Tulus untuk mencintai mu
Chapter 01 —— Awal dari segalanya. ——— Sinar mentari membangunkan aku. Rasa malas dan kantukku dikalahkan oleh teriknya sinar sang mentari.* “Ah, sudah jam berapa sekarang. Terik sekali sinarnya,” gumamku sambil mencoba melawan kantuk.* Ku lirik jam weker di meja samping ranjang ku. “Apa sudah pukul 10.00. Mati aku, bisa kena makan sama nenek lampir kalau aku telat,” terkejutku dan memaksa kan untuk menuju kamar mandi.* 30 Menit kemudian… Kulihat jam tangan ku. “Akhirnya, tepat waktu juga sampai di kantor,” ucapku sambil melangkah keluar dari mobil kesayangan ku.* Oh, ya aku bernama Sueb. Panggilan akrab ku Ebi. Aku seorang karyawan di salah satu perusahaan BUMN. Ya, memang sudah kebiasaan ku untuk masuk kantor paling cepat jam 09.00 dan paling lama sehabis makan siang. Aku asli dari Sumatera Utara. Tepatnya kota Lemang, Tebing Tinggi. Umur ku saat ini baru saja memasuki usia 24 tahun. Bukannya ingin sombong, tetapi aku lulus menjadi sarjan teknik sipil di umur 21 tahun. Dan sudah 3 tahun aku menjadi karyawan BUMN ini. Keluarga ku memang bukan dari kalangan yang berada. Namun, ayah ku termasuk orang yang dihormati dalam adat kami. Maklum dalam tarombo keluarga* kami orang posisi ayah ku cukup disegani. “Ebi…. Jam berapa kau masuk kantor? Seenak nenek mu aja, kau datang ya,” teriakan dari Kepala Bagian ku yang membuat satu kantor serasa digoncang gempa tektonik. “Maaf mbak, aku tadi pagi singgah ke lokasi pekerjaan kita yang di jalan Lumban Surbakti mbak,” jawabku berbohong.* “Alasan aja. Sudah ntar kamu ke ruangan saya. Ada laporan team dari Aceh yang harus kamu koreksi,” perintah Mbak Ani, janda tak beranak yang menjadi atasan ku. Sedikit cerita tentang Mbak Ani atau lengkapnya Suryani. Dia adalah sseorang wanita tegas dan pantang menyerah. Walaupun bukan asli dari Sumatera Utara, tapi keluarganya banyak berdomisili di Medan. Mbak Ani adalah janda cerai hidup. Konon menurut rekan-rekan kerja ku, mantan suami mbak Ani lari karena Mbak Ani tak bisa memberikan keturunan. “Selamat siang mbak,” ucapku seraya melangkah kedalam ruangan mbak Ani yang terkesan luas dan besar untuk seorang Kepala Bagian.* Sebuah meja dengan setumpuk berkas-berkas tampak memenuhi meja kerjanya.* “Ebi. Gimana kalau kamu besok berangkat ke Dumai. Project kita yang di sana itu ada kendala,” mbak Ani membuka obrolan tanpa melihat ku. Dia masih asyik dengan layar monitor laptopnya. Entah apa yang sedang dilakukannya. Aku hanya bisa memandang wajahnya dan payudaranya yang ditutupi blazer hitam dengan kaos daleman warna merah.* “Kenapa saya mbak. Bukannya project Dumai itu urusannya si Robby. Saya kan tadi mbak panggil buat ngoreksi laporan team yang di Aceh,” jawab ku bingung dan mata yang tak lepas dari bongkahan gunung kembarnya.* Mendengar jawaban ku, Mbak Ani melirik dan memainkan pena diujung jari-jari lentiknya. “Jadi kamu nolak perintah saya,” tatapan matanya yang binal mengakibatkan Ebi Junior perlahan-lahan bergerak mengakibatkan celana ku terasa sempit. “Bukan nolak mbak. Tapi kerjaan saya masih cukup buat saya pusing tujuh keliling. Beberapa gambar untuk project Aceh juga masih belum saya pegang,” bela ku sambil menatap mata indahnya.* Dia pun menganggukkan kepalanya dan beranjak untuk berdiri. Jelas terlihat guratan-guratan celana dalam yang tercetak dari rok mininya ketika dia berjalan menuju sebuah lemari kayu yang terdapat dokumen-dokumen project-project. “Oke kalau begitu. Aku kasih kamu waktu 3 hari untuk selesaikan semua gambar dan dokumen untuk kerjaan di Aceh. Sehabis itu kamu berangkat ke Dumai dengan Lastri. Check semua kesiapan kerjaan di sana. Ini perintah,” ucapnya dengan penekanan. “Tidak ada penolakan kamu tau,” sambungnya dengan tegas dan menatapku seolah-olah aku mangsanya. Dengan wajah lesu pun aku mengangguk tanda setuju. “Tak ada lagi kata untuk menolak perintah atasan,” gumam ku dalam hati.* “Sekarang kamu boleh keluar dan kerjakan semua pekerjaan kamu, ingat kamu punya waktu 3 hari. Jika tidak selesai aku akan rekomendasikan kamu ke Kalimantan,” ucapnya sambil membalik-balikkan dokumen yang sudah di tangannya.* “Baik mbak. Terima kasih,” jawabku dengan dongkol. “Kalimantan oh Kalimantan, jangan sampai aku kesana,” tuturku dalam hati dan beranjak dari ruangan atasannku yang terkenal dingin ini.* Dengan langkah gontai akupun berjalan menelusuri lorong-lorong kantor ku. Langkah berat ku terhenti di sebuah bilik . Ya, di dalam bilik ini ada seorang wanita berkerudung nan cantik jelita bernama Sri. Wanita yang menjadi rekan kerja ku di kantor dan di ranjang. Dia bukan lah seorang lajang. Dia merupakan seorang istri yang patuh pada suaminya hingga beberapa bulan yang lalu. Sebelum dia merasakan nikmatnya berselingkuh dan mendapatkan kepuasaan dari ku.* “Selamat siang cantik. Gimana hari ini, makan siang dimana ntar kamunya,”tanya ku padanya.* “Eh, Ebi ngejutin aja. Kenapa kangennya kamunya. Aku juga kangen sayang, ntar ditempat biasa aja ya. Aku bawa mobil hari ini,” ucapnya pelan seolah berbisik. Sri memang termasuk wanita yang alim dan sopan. Jika berada di kantor dia seakan-akan berubah menjadi seorang wanita yang pendiam dan kalem serta lembut. Namun jika berada di ranjang, dia akan berubah seolah seekor kuda liar yang haus akan kepuasan.* “Okee. Aku juga mau jalan keluar makan siang. Suntuk aku di kantor habis kena omel ma nenek sihir tadi,” jawab ku sambil mencolek buah dadanya.* Sri pun membalas colekan ku dengan sebuah senyuman. Pukul 11.25 wib “Aku udah di lokasi, kamar 213. Cepetan dong sayang. Udah lapar nich,” aku menulis sms kepada Sri.* Sekitar 5 menit aku menunggu jawabannya. Tiit… Tiiit… “Iya sayang. Udh otw kok. Oh ya aku mw kasih kejutan buat kamu hari ini,” sebuah sms balasan dari Sri. “Huft, kejutan apa lagi yang akan diberikannya,”gumam ku dalam lamunan mengingat pertama kali aku bersetubuh dengan wanita yang terkenal alim dan sopan di kantor ku ini. Awalnya aku dan Sri tak begitu dekat. Kedekatan kami dimulai dari sebuah project di Aceh beberapa tahun yang lalu. Ketika itu aku masih menjadi seorang junior Enginering. Dan Sri merupakan staff admin drafter ku. Kedekatan kami sebenarnya tidak lebih dari urusan pekerjaan, maklum Sri termasuk wanita yang sangat pendiam dan tak begitu centil. Bahkan terkesan dingin. “Mbak, aku bisa minta dokumen untuk pekerjaan Area 20 yang di Aceh. Soalnya kemarin aku chek lokasi sepertinya banyak yang harus aku revisi,” ucap ku melalui telpon kepada Sri yang masih ku panggil dengan sebutan Mbak.* “oke. Aku kirim ke email kamu ajanya. Kamu jangan lupa juga laporan kamu selama di Aceh. Lusa, ada meeting dengan vendor dan klien kita. Kamu harus sudah sampai di Medan,”jawabnya tegas. “Beres mbak. Malam ini aku meluncur ke Medan kok. Mbak mau dibawakan oleh-oleh apa dari Aceh?” tanya ku. “Terima kasih dech. Asal kamu bisa hadir di meeting aja udah buat aku tenang. Oke segera aku kirimnya dokumennya,” tuturnya sambil mematikan sambungan telpon.* Memang begitu lah mbak Sri. Orangnya tak pernah banyak omong. Tegas dan ngomong seperlunya saja. Namun, setelah beberapa bulan yang lalu, tepatnya 3 bulan yang lalu. Semuanya berubah. Mbak Sri menjadi orang yang sangat manja terhadap ku. Memang jika dilihat dari umur kami berdua, Sri dan aku hanya terpaut 1 tahun. Perubahannya ini di mulai ketika dia meminta tolong pada ku. “Ebi, aku bisa minta tolong ga sama kamu. Soalnya aku bingung harus minta tolong ke siapa,”sebuah sms dari Sri yang merupakan awal dari semua perubahannya. Ketika membaca pesan ini, selayaknya seorang teman aku pun membalas, “Ada apa mbak? Kalau memang bisa aku bantu. Pasti aku bantuin kok.” Setelah beberapa kali berbalasan sms, aku dan Sri akhirnya memutuskan untuk bertemu di luar sehabis jam kantor usai.* Kami telah duduk berdua sambil bertatapan di sebuah kafe di pinggiran Kota Medan. Ku lihat wajahnya tampak kesedihan dan tampak jelas bekas air mata di pipinya. Dengan sedikit keberanian yang aku punya aku pun menanyakan padanya.* “Mbak habis nangisnya. Ada apa emangnya. Kok kayaknya lagi kesusahan sekali.” Matanya menatap ku tajam. Namun nampak jelas guratan kesedihan. Dia pun menggeleng, “Sebenarnya…” jawabannya terputus ketika pelayan mengantarkan pesanan kami. Sambil menikmati pesanan kami, aku pun terus menatapnya. Sebenarnya Sri sangat cantik.* “Sebenarnya apa mbak. Ayo dong cerita tadi katanya mau cerita,” tanya ku. Tampak keraguan di matanya. “Sebenarnya ini lebih ke masalah pribadi. Aku butuh seorang teman khusunya lelaki untuk sharing aja sich,”tuturnya sambil menyembunyikan wajahnya. “Emang ada masalah apa sich mbak? Kok tiba-tiba begini mbak,” tanya ku seakan tak mengerti. “Begini loh, suami ku sekarang berubah. Dulunya dia itu orangnya perhatian banget. Tapi setelah pulang dari Jakarta beberapa minggu yang lalu, semuanya berubah,” ungkapnya lagi. “Dia itu, biasanya tiap hari perhatian banget. Sebelum pergi kerja, kening ku diciumnya. Pulang kerja pun diciumnya. Malah selalu jemput aku. Tapi beberapa minggu ini, seolah dia cuek banget sama aku,” cerocosnya. “Maaf loh mbak, aku juga ga bisa kasih banyak saran. Soalnya aku juga kan belun nikah mbak,”* jelasku.* “Oh. Aku kira kamunya udah nikah. Maaf lah akunya salah ngomong sama kamu. Maaf ya Bi,” serasa memiliki salah yang besar banget.* “Mbak Sri, aku mau tanya berdasarkan pengalaman aku sich. Biasanya kalau lelaki berubah sikapnya kemungkinan ada titik kebosanan mbak,” jelasku seolah-olah aku paham tentang sifat suaminya.* “Bosan kenapa. Emang apa sich yang dibosanin dia. Aku salahnya dimana sich sampe dia bisa bosan sama istrinya sendiri. Padahal kami dulu itu ga pernah pacaran loch. Langsung nikah aja, titik bosannya dimana ya,” tanyanya sambil matanya berkaca-kaca.* “Sabar mbak. Aku sendiri juga ga begitu paham. Apa mbak udah coba tanyakan ke suaminya mbak. Ada masalah apa. Mungkin juga ada masalah di kantornya yang buat dia berubah sikap. Tapi positive thingking aja dech mbak,” aku coba menenangkannya BERSAMBUNG