Tidak Ada yang Kebetulan (Sebuah Kisah Nyata)
Saya coba dengan satu pengalaman dulu, kalau rame mungkin akan ada tulisan dengan cerita yang lain tentunya cerita pengalaman sendiri dan dijamin original.
Sebut saja nama saya Ferdi (bukan nama sebenarnya) Saya domisili disalah satu kota di Jawa Barat. Agan-agan yang pernah kontak saya tentang ilmu pelet pastinya tau lokasi dimana saya berada.
Pagi itu udara pagi sejuk sekali setelah subuh jelang pagi diguyur hujan yang tak henti. Begitupun aku (disini saya mulai menggunakan aku) yang terhipnotis oleh cuaca yang membuat enggan untuk bangkit dari kasur.
Jam menunjukan pukul 07.30 pagi. Dari luar sayup terdengar suara orang mengetuk pintu dan memanggil menyebut nama ibuku.
“Ua,… Ua…,” ujar suara dari balik pintu. Ada mungkin kurang lebih sepuluh menit sosok dibalik pintu itu memanggil.
Ua adalah panggilan akrab atau kehormatan warga sini kepada ibuku yang kini telah Almh.
Langkah kaki si empunya suara terdengar melangkah ke arah pintu samping.
“Ua,… Ua,…,” suara dari balik pintu pinggir kini terdengar lebih nyaring diiringi dengan suara ketukan pintu.
Sadar bahwa tidak ada yang menyambut dan sudah tentu itu suatu pertanda bahwa ibuku tidak ada dirumah, akhirnya aku memaksakan diri menemui suara tersebut.
Ku buka pintu samping dengan kondisi bangun tidur dan hanya mengenakan celana pantai pendek.
“Eh Teh Desi, mau ke mamah ya?,” tanyaku.
“Duh A Ferdi, jadi terbangun. Terganggu ya, A?,” jawab Teh Desi dengan posisi kedua tangan menggenggam kantong kresek belanjaan.
“Tar saya lihat dulu teh dikamarnya, barangkali mamah ada didalam,” sahutku. Aku melangkah ke kamar ibuku dan memastikan keberadaan beliau.
“Tidak ada teh, sepertinya sedang keluar. Mungkin sedang mencari sarapan,” terangku dari dalam kamar sambil berjalan menuju pintu samping dimana Teh Desi menunggu.
“Kemana ya, Ua? Ini teteh pulang dari pasar sengaja beli bahan-bahan untuk disayur. Minta dimasakin sama mamah tadinya,” Teh Desi menyodorkan belanjaan yang ia beli dari pasar.
“Waduh makan enak nih hari ini,” timplaku sambil beranjak ke dapur menyimpan bahan masakan dan membawa teh hangat bagi Teh Desi.
“Teh hangat tawar. Enak cuaca begini,” seraya aku memberikannya. Teh Desi perlahan meneguk teh hangat yang aku sodorkan. Sembari Teh Desi menikmati teh hangat, aku mengenakan kaos oblong yang tergeletak dibibir kursi.
“Padahal seksi begitu, tatonya keren, A,” puji Teh Desi sembari melihat badanku.
“Dingin, lagian gak sopan ada tamu disambut tanpa pake baju,” terangku sedikit jaim.
Oh iya, Teh Desi adalah tetangga beda RT. Disini ia tinggal bersama anak semata wayangnya. Yang mana aslinya dia orang Jakarta namun disini mengikuti dan merawat suaminya yang kini tengah berjuang melawan penyakit Strokenya.
Teh Desi dikalangan teman-teman tongkronganku disebutnya Desi Bulu. Lengan dan betis beliau ini tumbuh bulu-bulu yang menggoda ditambah dengan postur tubuh yang bohay dan memiliki kulit kuning langsat. Umumnya warna kulit orang Cindo.
Usia Teh Desi kalau dikira-kira sekitar 48 atau 50 tahun. Namun terkesan seperti perempuan usia 40 tahun. Dengan bentuk buah dada yang masih padat dan rambut warna merah maroon tergerai sebahu.
“Wina sekarang bagaimana kuliahnya, teh? Koq sepertinya jarang terlihat pulang ya, teh?,” tanyaku mencairkan suasana dan berharap Teh Desi betah.
“Wina lagi sibuk-sibuknya, A. Rencanya bakal pulang itu nanti awal bulan depan,” ujar Teh Desi menjawab pertanyaanku.
Daripada kita bicara dipintu belakang, dengan strategi dadakan aku ajak Teh Desi pindah ke tempat dimana aku biasa menghabiskan hari depan komputer. Kamar kosong yang aku sulap menjadi ruangan pribadi.
**Bersambung