The Curses
Pov Ria Siang terik membuat tubuhku kegerahan. Berputar-putar di dalam pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Apalagi gamis yang aku pakai ini berwarna hitam yang menyerap panas. Ulahku sendiri, kemarin sore berberes semua isi rumah sekaligus mencuci semua pakaian. Sehingga hanya Gamis ini saja yang tersisa di dalam lemari pakaian. Padahal sudah tau besoknya hari pasar. Gamis ini memang jarang sekali aku pakai. Hampir sepanjang tahun hanya nangkring terlipat rapi di dalam lemari. Aku memang malas memakainya, karena tubuhku sensitif sama yang namanya panas. Aku bisa tahan kedinginan, tapi tidak bisa tahan dengan panas. Kalau terlalu panas dan terlalu gerah, aku kadang bisa pingsan. “Haduuuhh… kenapalah panas sekali tuhaan. Nggak nenggang sekali panasnya…” Keluhku dalam hati berharap tuhan berbaik hati untuk mendinginkan suhu agak sedikit saja. Kalau terus-terusan begini, aku benar-benar bisa pingsan ini. “Siang buuk.. ada yang bisa saya bantu? Kayaknya Ibu kelalahan sekali membawa barangnya” Aaah… leganya.. Itu pasti suara malaikat penolong. Kalau bukan malaikat penolong, terus apalagi? Dari tadi aku panas-panas kegerahan, bolak-balik, tidak ada satupun kuli panggul yang nampak batang hidungnya. Kini, di depanku ada seorang pemuda berparas tampan, berkulit coklat, sedang menawarkan bantuan. Tentu aku bersyukur. Tapi sungkan juga. Karena sepertinya dia bukan kuli panggul. “Kuli paggul atau bukan yaa?” Aku jadi ragu. Sebenarnya barang bawaanku tidak terlalu banyak. Cuma ada dua keranjang yang aku tenteng di kiri dan kananku. Ada ikan, cabai, bawang, minyak goreng dan teman-temanya. Tapi kalau digabung semuanya, yaa bisa sampai 10kg juga. Kalau nentengnya semenit dua menit sih masih mending. Ini sudah hampir satu jam aku menentengnya kemana-mana. Gimana nggak ambrol coba bahu aku. Mana panas teriknya sengit banget lagi. Nggak kira-kira. “Iyaa deek… bisa tolong bantu bawa ini nggak? Nanti Ibu kasih uang 10 ribu.” Reflek aja aku ngomong gitu. Pakai nyebut nominalnya segala lagi, saking butuhnya. Kalau dia bukan kuli dan cuma niat mau menolong saja, kan dia bisa tersinggung. “Baik buu.. Sini Rian bawain..” Syukurlah dia tidak tersinggung. “Owh namanya Rian yaa..” Aku berikan satu keranjang belanjaanku padanya. “Iya nama saya Rian Buu. Saya masih baru disini. Eh dua-duanya aja Bu, nggak apa-apa Rian bisa kok.” Diambilnya keranjangku yang satu lagi dari tanganku. Sehingga tanganku bebas tanpa memegang apapun. Lega sekali.. Setelah berat-beratan ngangkat dua keranjang, dan sekarang kedua-duanya sudah lepas dari tanganku, itu rasanya lega sekali. “Oiya Bu.. belanja udah atau masih ada?” Tanyanya lagi. “Eh, iya masih ada sebenarnya.” Aku teringat martabak, makanan yang selalu aku belikan untuk suamiku kala aku pergi ke pasar. Suamiku sangat menyukai martabak yang di jual di pasar ini. Itu makanan mingguan favoritnya. Setiap dia pulang kerja saat hari pasar begini, pasti yang dia cari itu martabak. Jadi, membeli martabak itu seperti sudah menjadi hal wajib ketika aku ke pasar. Bisa-bisanya aku lupa hal penting satu itu. “Yaudah Bu, beli aja dulu. Ayo Rian temani.” Nggak enak juga sebenarnya. Aku sih nggak apa-apa kalau ngebayar jasanya agak mahal dikit. Tapi feeling aku, anak ini bukanlah kuli angkut. Aku jadi ragu. Kalau dia bukan kuli angkut dan cuma mau nolong aja, kan terlalu banyak waktunya tersita olehku.. “Gimana yaa.. Ibu memang perlu membeli mertabak. Tapi takut Rian kelamaan.” “Nggak apa-apa kok Buk. Ayo Rian temani beli martabaknya. Dimana Bu?” Dia sudah menenteng ke dua keranjangku dengan gestur, siap graak… Sigap juga dia. Nggak apa-apalah. Toh nanti aku kasih uang juga kan. Nggak gratis. Setelah sampai di tenda penjual martabak langgananku, langsung saja aku pesan. “Buk Ida.. beli martabak 3 mangkok.” “Iyaa.. Silahkan duduk dulu Buuk Riaa..” Buk Ida langgananku ini menyuruhku masuk ke tendanya. “Iya buuk..” Masuk aku ke dalam. “Rian… sini dulu masuk. Panas di luar.” “Iya Buu..” Rian menyusul masuk ke tenda, lalu duduk di sampingku. “Panas banget yaa Rian.” Aku ambil tisu yang ada di samping kiriku. Lalu aku ulurkan ke dia untuk mengelap keringatnya. “Makasih Bu.. Iya Bu panas banget. Mungkin udah mau kiamat kali yaa Buu.” “Eh, ada-ada aja Rian nih. Masa mau kiamat sih?” “Hehe, nggak tau juga Bu. Soalnya Rian liat matahari itu udah nggak lurus lagi posisinya. Biasanya jam 12 begini udah pas di atas kepala. Ini kok nggak? Masih ada bayangan sedikit. Berarti posisi mataharinya udah nggak pas lagi Bu..” “Hah, emang iya yaa..” Penasaran juga aku.. “Nih Bu.. udah nggak pas kan? Padahal udah mau jam 12 pas ini..” Rian pergi keluar tenda untuk berdiri melihat bayangannya. Aku lihat memang masih ada bayangannya cukup panjang. Heran juga aku jadinya. Selama ini aku tidak memperhatikan bayangan. Apa biasanya emang begitu yaa.. “Eh tapi kan kita di Sumatera Rian. Sementara jam yang kita pakai, itu menggunakan waktu Jakarta WIB. Kita kan beda 30 menit lebih juga dengan Jakarta. Jadi emang sebenarnya sekarang ini belum pas jam 12 kalau disini.” Hal cerdas terpikir olehku. “Emangnya begitu yaa Buuk..” “Iyaa.. liat aja kalau pas maghrib bulan puasa. Di TV TV Jakarta udah azan, di sini belum kan?” Dia nampak berpikir. Lalu kembali duduk di sampingku. “Owh iya juga yaa Buk.. Hehe… aku nggak mikir ke situ tadi.” “Iyaa… duh Ibu udah hampir terpengaruh juga loh tadi sampe mikir aneh-aneh. Ada-ada aja Rian nih, mau kiamat segala. Ibu kan masih muda. Masa kiamat sih. Duh. Rian Riaan..” Reflek aku menepuk-nepuk bahunya yang ternyata sangat keras dan lebar. Timbul pertanyaan dipikiranku, apa dia memang seorang kuli panggul yaa? Sampai sekaku itu badanya. “Hehee… maaf Buk.” “Nggak dimaafin…” Lah, kenapa aku tiba-tiba jadi genit sih. “Maafin lah Buk.. yaya yaaa…” “Hihii…” geli aku ngeliat expresinya yang seperti memohon-mohon gitu. “Hmm… kalau gitu cabut lagi kata-kata Rian tadi.” “Yang mana Buk?” “Yang bilang mau kiamat tadi. Bilang jangan kiamat dulu gitu.” “Iyaa jangan kiamat dulu…” “Yang seriuslah. Masa gitu. Mau Ibu maafin nggak?” “Iya iya Buk mau. Jangan kiamat dulu yaa tuhan. Aku juga nggak mau cepat-cepat kiamat Bu. Aku juga masih muda, masih mau nikah dulu..” “Nah tuh kan? Makanya doa yang bener. Kata-kata itu adalah doa. Kalau dibilang mau kiamat, nanti kiamat beneran gimana?” Aduh kenapa jadi panjang gini sih ceritanya, padahal cuma soal sepele doang. “Iya Buk… Tuhan maafkan Rian. Jangan kiamat dulu. Rian masih ingin ketemu sama Ibu cantik di sebelah Rian ini lagi. Please tuhaan. Sama Rian juga masih ingin nikah.” “Haha haa…” Ada-ada aja anak bau kencur ini pakai bilang cantik segala. “Siapa ini Buk Riaa.?” Buk Ida bertanya padaku. “Owh ini.. ini Rian Buk.. Dia ini…” Eh aku kan juga belum tau. “Saya Rian Buk. Saya masih baru di sini. Baru pindah 1 minggu yang lalu. Buk Ria ini pelanggan pertama saya Buk buat bawa-bawa barangnya..” “Kamu kuli panggul…?” Tanya Buk Ida heran. Bukan hanya Buk Ida, akupun juga heran. Masa iya anak muda tampan seperti dia kuli panggul. “Bisa akan jadi begitu Buk. Tadinya saya cuma main-main aja ke pasar, terus liat Ibuk Ria ini bawa barang. Terus saya tawarin, gitu Buk.!” “Owh… saya kira siapanya Buk Ria loh tadi Buk. Jadi curiga saya. Soalnya kayak udah deket gitu. Mana duduknya nempel, pakai rayu-rayu bilang cantik segala lagi. Eh adek, Buk Ria itu sudah punya suami. Jangan dirayu-rayu. Nanti suaminya marah loh..” “Tuh.. dengerin Rian kata Buk Ida. Jangan suka ngerayu orang. Nggak baik. Kalau suami aku sih nggak apa-apa Buk. Biasa aja. Rian ini kayaknya masih kecil gini. Masa iya cemburu..” kataku. “Iih hati-hati loh Buk Ria. Umurnya aja yang kecil…” lalu Buk Ida berbisik dan menutup sebelah mulutnya dengan tangan supaya tidak terdengar oleh Rian. “Tapi barangnya besar..” Ah, aku terkejut Buk Ida bisa sevulgar itu ngomongnya… “Masa iya sih Buk..?” Kataku agak keras sambil memperhatikan Rian. Rian yang aku perhatikan begitu, menatapku agak sengit, mungkin dia penasaran. “Eeh.. jangan salah Buk Riaa. Ibu ini sudah berpengalaman loh. Jadi tau mana yang” kembali lagi Buk Ida menutup mulutnya sebelah.. “Batang tongkolnya besar dan mana yang enggak. Kalau ini pasti besar..” bisiknya. “Hati-hati loh kepincut Buk Riaa. Ntar lupa loh sama yang di rumah. Sekali coba nggak akan sama lagi” “Ah Ibu Ida ada-ada aja deh… Rian tau nggak apa yang dibisikin sama Buk Ida tadi ke Ibuk?” Tanyaku ke Rian. “Nggak. Emang apa Buk?..” “Syukurlah…” ucapku. “Emang apa sih Buk? Rian penasaran jadinya.” “Nggak apa-apa. Nggak baik didengar sama anak kecil. Eh Rian mau beli es tebak nggak?”Kualihkan pembicaraan. “Mau…” Hehe… nih anak nggak ada jaim-jaimnya.. “Pak Zuul.. Es tebaknya dua..” pesanku ke penjual es tebak di sebelah. “Yaaa..” sahutnya. Aku yang tadinya cuma mau membeli martabak saja, malah jadinya nongkrong. Cukup lama juga aku nongkrong di tempat Buk Ida. Ngobrol-ngobrol dengan Buk Ida dan Rian. Entah kenapa, aku merasa Rian ini anak yang mudah sekali untuk diajak bicara. Kalau aku tebak, dia pasti punya banyak teman. Karena auranya itu loh seperti orang yang mudah untuk didekati. Apa adanya, dan nggak jaim. Oyaa… Perkenalkan nama aku Ria Fernanda. Umur aku baru 34 tahun. Tadi kenapa aku sering menyebut diri aku Ibuk-Ibuk saat bicara dengan Rian dan Buk Ida? Karena aku ini seorang guru. Jadi sudah biasa bagi aku menyebut diri aku Ibuk-Ibuk. Orang-orang yang mengenalku juga biasanya memanggilku Ibuk, atau Bu Guru. Dan pemuda yang bernama Rian ini, dia nampak seperti anak-anak seusia murid-muridku. Paling umurnya 17 tahunan, kalau nggak lebih dikit. Karena itulah aku menyebutkan diri ke dia juga sebagai Ibuk. Meski sebetulnya aku belum terlalu tua untuk dipanggil seperti itu. Lebih cocoknya aku ini dipanggil kakak saja oleh anak-anak seumuran Rian ini. Atau mungkin tante. Duh tante. Kesannya kayak gimana gitu yaa… Dari obrolan kami bertiga, aku, Buk Ida dan Rian. Ada sesuatu yang membuatku sangat penasaran tentang Rian ini. Tapi belum juga aku tanya dari tadi. Masih mengumpulkan info. Dan setelah semakin banyak informasi yang diberikan oleh Rian, aku semakin menduga.. Mungkinkaahhh… “Rian… Nama lengkap Ibu kamu itu siapa? Rosita Anggraeni bukan?” Tebakku. Itu nama kawan akrabku dulu dari kecil sampai SMA. Kalau kami jalan bersama, kami sering dikira anak kembar oleh orang-orang, karena wajah dan perawakan kami yang mirip. Tapi waktu kami kelas 1 SMA, dia tiba-tiba menghilang entah kemana. Setelah itu, beredar gosip kalau kawan akrabku itu sudah hamil. Sering aku nangis dulu itu karena banyak mendengar cerita-cerita jelek tentang dia. “ii… iyaa..” Rian agak tergagap. Mungkin dia kaget aku tau nama Ibunya. Tapi aku jauh lebih kaget lagi kalau dia benar-benar anak dari Rosi teman akrabku dulu. “Ibu kenal sama Ibu aku..?” Astagaaa… jadi dia benar-benar anak Rosi.? Jadi Rosi dulu benar-benar hamil? Siapa yang menghamili dia? Dan kemana dia selama ini? Aduh pusing kepala aku. Aku ingin bertemu Rosi sahabatku itu. ……… .