TETANGGA-TETANGGA MESUM
W i d i
MALAM itu aku terbangun oleh suara pertengkaran antara sepupu aku, Hasto dan istrinya, Widi. Maklum rumah kami bersebelahan.
Inti pertengkaran mereka adalah kecurigaan dan kecemburuan Widi terhadap suaminya yang selalu pulang kerja sampai tengah malam bahkan dua hari terakhir pulang pagi.
Keesokan harinya, sesaat setelah Hasto berangkat bekerja dan istriku juga sudah berangkat ke kantor, Widi bertandang ke rumahku.
“Maaf Ren, aku mengganggu! Aku mau curhat nih,” kata Widi dengan wajah layu.
“Mau curhat masalah apa, Wid?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ya, tentang semalem, mungkin kamu mendengar…”
“Nggak, tuh…”
“Aku kurang apa sih, Ren??”
“Hmmmm…” aku hanya bergumam, sambil menggaruk kepala bingung harus menjawab apa.
Sebenarnya aku serba salah karena pasti aku terpaksa harus memihak salah satu diantara mereka. “Sebagai seorang pria, menurutmu aku menarik gak, sih? Jawab jujur, Ren!”
“Ayo tenang dulu, tenang! Jangan emosian begini…” kataku.
“Sudahlah, jawab dengan jujur aja, jangan menghibur aku!”
“Oke.. oke..! Menurut aku kamu cantik, menarik dan jujur aja, aku sangat menyukai wanita yang badannya langsing dan tinggi semampai seperti kamu. Apalagi kamu pakai celana pendek begini sama tanktop…” jawabku sambil memandangi lekuk tubuh Widi yang putih mulus.
“Lalu kenapa Hasto cuek sama aku??”
“Lha, mana aku tau? Masa urusan kamu sama Hasto, tanya sama aku?” jawabku.
“Kok gitu? Kamu kan tahu bagaimana dia dan pacar-pacarnya dulu.” ujar Widi dengan nada ketus.
“Oke, tapi kamu jangan tersinggung, ya. Mungkin kamu kurang aktif dalam bercinta karena Hasto suka cewek aktif.” jawabku.
“Iya sih, aku memang pasif, trus apalagi kekuranganku?” tanya Widi memelas.
“Hee.. hee.. mungkin payudaramu kurang gede,” jawabku sambil tertawa coba mencairkan suasana.
“Ren..! Aku seriuuuuuusssss…!!!!!” teriak Widi.
“Aku juga serius!” jawabku.
“Trus, aku harus bagaimana?” tanya Widi kemudian.
“Gampang!” jawabku. “Pergi saja ke salon suntik silikon, atau ke dokter minta obat perangsang biar kamu nggak frigid.” jawabku sekenanya.
Widi terdiam, mungkin dia menganggap perkataanku tadi serius. Lalu tiba-tiba dia berkata lagi. “Iya…, bener banget kata-katamu, Ren. Bantu aku, ya? Tolong belikan aku obat perangsang!” pintanya mengejutkan aku.
Aku jadi bingung sendiri. “Ogah!” kataku. “Bisa-bisa aku masuk penjara, gara-gara kamu salah minum obat! Sudah deh, kamu pulang aja, aku mau kerja. Maaf, aku mau ganti baju,” kataku berjalan menuju kamar.
Tapi tiba-tiba dari belakang Widi melingkarkan tangannya di pinggangku dan memeluk erat tubuhku sambil berbisik,: “Ren… kamu tadi bilang kamu menyukai aku. Apa kamu bisa membuktikan perkataanmu?” tanya Widi dengan nada manja.
“Apaaa…?” aku tak mampu melanjutkan perkataanku, mulutku terkunci, karena Widi melepaskan celana pendeknya.
Melihat celana dalamnya yang mini dan paha mulusnya yang jenjang tanpa lemak, aku sungguh terpesona dan lupa kalau Widi adalah istri sepupuku.
Spontan penisku langsung memberontak mengangkat celana pendek yang aku kenakan. Apalagi kemudian Widi mendekati aku, lalu menjulurkan tangannya ke penisku yang tegang dan…
Aku langsung mengangkat tubuhnya ke kamarku dan merebahkannya di tempat tidur. Kami langsung saling berciuman bibir dan bergerak liar.
Lidah kami berpilin, saling menghisap dan tangan kami saling meraba, mengelus dan memainkan sisi sensitif masing-masing hingga pakaian yang kami kenakan, terlepas satu persatu.
Nafsu kami semakin menggebu ketika kami sudah bertelanjang bulat. Aku mengelus vagina Widi yang berbulu halus itu, ternyata sudah becek bahkan banjir. Sebaliknya, Widi menarik penisku ke arah mulutnya, ujungnya dihisap dan dikocok dengan sangat cepat.
“Aaaahhhh… uuuuhhhh… mmmpphh… aaaaahh… oooo… ooohhhhh…” erangan dan desahan kami saling bersahutan, melukiskan bagaimana bergairahnya kami saat itu sama-sama tinggi.
Widi sangat liar memainkan semua sisi tubuhku, sungguh berbeda dengan biasanya yang pemalu dan lembut. Diciuminya tubuhku dari kening hingga ujung jari kakiku diemutnya bahkan anusku tak luput dari jilatannya tanpa jijik atau malu.
Selanjutnya, diapun mengambil posisi duduk di atas penisku dan tanpa basa-basi langsung menekan kuat ke bawah membuat penisku sakit karena sesak dan terlalu panjang. Dia menggoyang maju-mundur dengan cepat bertumpu pada kedua tangannya yang berada di dadaku.
“Uuhg… uhgg.. uhggg… uhgghh…” rintihannya dan desahannya begitu keras dan tanpa henti, membuat aku panik takut kedengaran tetangga.
Pantatnya diputar-putar dengan cepatnya, seakan Widi sedang memperkosa aku. Keringatnya berjatuhan, tapi sepertinya yang Widi rasakan hanya nikmat dan nikmat bahkan tak ada tanda-tanda penurunan tensi goyangannya sekitar 20 menit lebih.
“Wid, aku mau keluar nih, buruan jangan sampai di dalam,” pintaku karena takut kalau dia hamil dan anaknya mirip aku, bisa repot aku!
Widi tak menghiraukan dan akhirnya akupun menyemprot spermaku di dalam vaginanya. Crrett… crrett… crrettt…. tapi Widi terus bergoyang sampai spermaku selesai nyemprot, kemudian ia menghentikan goyangannya.
Widi menjilat habis sperma di bulu kemaluanku yang meluber keluar dari vaginanya. “Reno sayaaaang, kamu memang hebat, dan dahsyat.” bisiknya di telingaku.
“Kamu juga,” balasku.
Sesampai di kantor, aku terima WA dari Widi. “Terima kasih ya Ren, untuk pagi yang indah tadi dan untuk semuanya.”
“Maaf aku telah berbuat salah kepadamu,” balasku. “Tolong rahasiakan ini dan aku mohon jangan biarkan aku mengulanginya!”
Seminggu berlalu semua berjalan seperti biasa, Hingga kemudian pada suatu hari kami kembali mengulanginya. Hingga kini kami masih sering bercinta walau dengan sembunyi-sembunyi dan curi-curi waktu.
N a n a
PAGI-PAGI buta Nana, tetangga di sebelah rumahku, bertandang ke rumahku. Dari dalam kamar, aku mendengar Nana mau meminjam duit pada istriku. Tentu saja istriku tidak serta-merta meminjamkan duit pada Nana.
“Pa, Nana mau minjem duit lagi tuh! Di kasih nggak?” istriku masuk ke kamar bertanya padaku.
“Suruh dia pulang dulu, biar nanti Papa yang urusin,” kataku pada istriku. Aku ingin Nana meminjamnya lewat aku.
Tanpa banyak tanya, istriku keluar dari kamar menemui Nana. “Na, agak siangan aja ya, soalnya misuaku belum bangun.” kata istriku.
“Ya deh Mbak, agak siangan aku datang lagi…” balas Nana.
Hee.. heee.. tawaku licik dalam hati.
Beberapa saat kemudian setelah istriku berangkat bekerja, Nana kembali ke rumahku. Dia datang dengan memakai daster butut yang sebagian basah kena air cucian baju.
Payudaranya yang besar tidak terbungkus BH tercetak dengan jelas di bagian dada dasternya. Begitu pula putingnya, nampak menonjol di permukaan daster. Entahlah apakah Nana, wanita yang berusia 27 tahun itu sadar atau tidak.
Aku maklum, Tedy, suami Nana, bukan orang kantoran. Tedy bekerja sebagai kuli bangunan di sebuah proyek perumahan. Pulang ke rumah, tidak menentu waktunya.
“Pinjam duit buat apa sih, Na?” tanyaku sambil mencuri pandang susunya.
“Ya buat kebutuhan sehari-hari Mas. Tedy kadang-kadang pulang, kadang-kadang nggak…”
“Ooo… jadi, kamu mau pinjam berapa?”
“Aku butuh satu juta Mas, kalau gak ada, ya 500 ribu juga boleh! Lusa aku kembalikan,”
“Tadi, Neti nitip aku 200 ribu…”
Nana menunduk terdiam. “Begini aja deh! Aku tambahkan jadi 1 juta, tapi sebenarnya duit ini buat aku hepi-hepi. Kamu tau kan, aku bagaimana?” kataku.
“Hepi-hepi? Mas Reno masih suka gituan ya, kan sudah ada Mbak!” sahut Nana agak terkejut.
“Sudah, jangan bahas lebih lanjut lagi, intinya kita saling tolong-menolong aja. Aku kasih kamu duit, kamu buat aku hepi!” kataku berani.
“Enggak Mas, aku nggak berani!” jawab Nana singkat dan mengambil ancang-ancang mau pergi.
“Na, maaf!” ujarku menghentikan langkah Nana. “Aku nggak bermaksud merendahkan kamu. Ini bawa aja uangnya, daripada kamu nggak bisa membeli susu buat anakmu,” kataku.
Nana menerima uangku.
Sepeninggal Nana dari rumahku, aku masih terbayang dengan susu dan puting Nana yang tercetak di dasternya yang basah. Kemudian, aku hanya bisa pergi beronani di kamar mandi.
Aku gelisah setelah berlalu 2 hari. Malam harinya, istriku pulang kerja, aku mendapatkan nomor telepon Nana dari hape istriku.
Aku WA Nana. “Na, bagaimana pinjamannya yang kemarin?”
Sebentar kemudian, aku mendapat balasan dari Nana. “Maaf Mas, aku belum bisa mengembalikan. Dua hari lagi, ya?”
“Begini aja, deh!” balasku. “Aku mau bertemu kamu malam ini!”
“Di mana?”
“Di jembatan!”
Setelah menunggu setengah jam, Nana datang naik sepeda. Ia memakai daster yang 2 hari lalu ia pakai ke rumahku. Tapi malam ini, ia tutupi dengan kemeja suaminya.
“Kamu cukup mengembalikan 200 ribu saja, sisanya nggak usah kamu balikin. Kita jalan-jalan saja, bagaimana?” kataku.
“Aku… aku tetap nggak bisa Mas, apalagi keluar rumah mendadak malam-malam begini?” jawab Nana dengan mata berkaca-kaca.
“Berarti kalau nggak keluar rumah, kamu bisa kan?” kataku mencoba memegang tangan Nana yang sedang memegangi setang sepeda.
“Maksudnya… Mas mau ke rumah aku? Ohh… jangan Mas, jangan!” jawab Nana tanpa menghindari tangannya dari tanganku.
“Kalau begitu… kalau begitu… boleh nggak Mas pegang toketmu. Mas suka sama toketmu,” balasku.
“Mas Reno…! Tega banget Mas sama aku!” seru Nana tertahan hampir mau menangis.
“Terserah kamu!” kataku. “Kalau boleh, 800 ribu itu nggak usah kamu balikin ke Mas. Coba kamu pikir baik-baik!”
Penisku yang sudah menegang sejak dari rumah terasa semakin menyesak di celana. “Ya, sudah!” jawab Nana beberapa saat kemudian. “Di mana?”
Ternyata Nana tertarik juga dengan uang 800 ribu itu. Banyak lho! Haa.. haa..
“Di lapangan, Mas jalan dulu, ya?” kataku.
Lapangan yang jaraknya hanya sekitar 500 meter dari jembatan, adalah tempat berkumpul anak mudah pada malam minggu, sedangkan malam biasa, seperti malam ini, tidak begitu ramai.
Setelah Nana datang ke tepi lapangan dengan sepedanya, aku langsung membawanya ke ujung lapangan sepi dan agak gelap. Nana tidak menolak.
Aku dan Nana duduk di gundukan tanah, sedangkan di depan kami, aku halangi dengan sepeda motor. Kemudian dengan cepat aku membuka kancing kemejanya. Payudara yang padat itu langsung aku sergap bersama dasternya.
Tapi Nana membukakan aku kancing di belakang dasternya. Nana menurunkan bagian atas dasternya hanya sampai kelihatan payudaranya saja.
Uhhgg… aku langsung menciumi bibir Nana dan lehernya bertubi-tubi sambil meremas dua payudaranya yang sangat kenyal.
“Mmmmmppphhh… Mass… uuuhhhhhhgg… “ desah Nana pelan saat aku mengisap putingnya yang sudah tegang.
Desahan Nana semakin menjadi-jadi saat aku mulai mengobok-obok vaginanya dengan jari. Aku tak menyangka Nana memberi aku kesempatan mengobok-obok vaginanya yang sangat basah itu.
Aku hanya tersenyum melihat wajahnya memerah, entah karena malu atau sudah terangsang?? Mungkin juga kedua-duanya! Gumamku dalam hati.
Aku berbalik dari hadapannya dan mengangkat kedua paha Nana serta melebarkannya. Aku tekan ujung penisku pelan-pelan di bibir vaginanya yang sangat basah, tapi karena sangat sempit aku sangat kesulitan.
“Masih sempit banget memek kamu, Na… nggak pernah dimainkan sama Tedy, ya?” tanyaku.
Aku dorong kuat-kuat hingga akhirnya… BLEE…EESSS… BBLEEEES… penisku menancap kuat di vagina Nana. “Uuughhhh…” rintih Nana.
Aku goyang maju-mundur setelah kurasa cukup becek dan licin, aku bisa merasakan vagina Nana dapat memijit-mijit penisku dengan irama yang teratur.
Nana menggelinjang. Plakk… Plaakkk… Plaaakkk… aku tak menghiraukan suara benturan penis dengan vagina Nana yang semakin keras.
Aku semakin bersemangat saat Nana secara tidak sadar mendesah, “Aaaaggghhhhhhhhhh… enak Mass…”
“Iyaaa… Naa…” jawabku terengah-engah.
“Ah… ah.. ah… ahhhh.. ahhhh… ahhhhh.. aaa… aaaaaaaaaahhhhhhhhh.. aku gak tahan, Massss…” desah Nana dengan nafas terengah juga dan tubuhnya mengejang.
Aku menghentikan goyanganku memberikan kesempatan pada Nana untuk melepaskan kenikmatan orgasmenya. Setelah itu aku goyang maju-mundur lagi penisku di dalam vagina Nana yang semakin basah.
Nana menggerakkan pantatnya maju-mundur. “Oooo… hhh… aaggghhh.. goyangan kamu hebat, Na!” desahku.
Beberapa menit kemudian tubuh Nana mengejang hebat, bahkan kedua tangan dan kakinya gemetar tak mampu menopang tubuhnya. Bersamaan dengan itu aku juga menyemprotkan seluruh spermaku ke dalam vagina Nana.
CRET… CREEEETTTT… CROOOTT… CRRETTT…
“Ahhh…. Mass…. masa keluarkan di dalam sih?” desis Nana.
“Mas sayang sama kamu, Na…” jawabku dengan nafas terengah, lalu kujatuhkan wajahku ke pangkuan Nana.
Tidak mau ketahuan orang, akupun buru-buru memakaikan bajuku dan Nana juga memakai bajunya. Nana kemudian berpamitan pulang dengan aku. (24052017)
Mbak Nuryati
AKU menikah belum lama. Mertuaku menawarkan aku tinggal di rumahnya, tetapi isteriku menolak tawaran kedua orangtuanya. Dia sudah punya suami, dia harus hidup mandiri, demikian kata istriku pada kedua orangtuanya. Maka kami memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil dengan kondisi rumah yang sangat sederhana.
Kamar mandi di kontrakan kami terletak di belakang dan dipakai bersama-sama dengan tetangga-tetanggaku. Kamar mandi sudah tidak begitu baik keadaannya. Karena istriku takut ada orang iseng yang mengintipnya mandi, dia sering mengajak aku mandi bersama.
Pagi itu selesai mengantar istriku ke stasiun kereta api, aku balik lagi ke rumah karena dompetku yang berisi beberapa dokumen penting ketinggalan di rumah. Mungkin dompet itu berada di saku celana panjangku yang belum di cuci. Semalam aku pulang kerja tidak mengeluarkannya dari saku celanaku.
Setelah menemukan dompetku, biar nanti lega di jalan, aku pergi ke belakang membuka pintu belakang yang tersambung ke kamar mandi.
“E… Mas Parnowo, belum berangkat?” tanya Mbak Nuryati yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, dan di punggungnya yang berkulit coklat sawo matang itu juga masih terdapat bintik-bintik air, karena Mbak Nuryati tidak memakai pakaian lengkap, tapi memakai handuk.
“Ketinggalan dompet, Mbak Nur.” jawabku tidak berani memandang perempuan yang sudah beranak satu ini dengan mata melotot, karena selain punggungnya basah, dadanya juga tidak tertutup rapat dengan handuk.
Nanti aku disangka genit, repot! Tau sendiri tinggal di kontrakan dengan berbagai jenis macam manusia. Tapi Mbak Nur menyambung aku, “Mas Parnowo mesra ya dengan Mbak Lusi sering mandi sama-sama,”
“Haa… haa…” aku tertawa.
“Ngajarin dong Mas Parnowo, biar Mas Awang bisa mesra juga gitu dengan aku.”
“Iya, Mbak Nur.” jawabku supaya cepat selesai obrolan kami.
Mbak Nur melangkah pergi ke kontrakannya yang berselisih satu kontrakan dengan kontrakanku, sedangkan kontrakan yang terjepit di antara kontrakanku dengan kontrakan Mbak Nur, kosong. Aku masuk ke kamar mandi menutup pintu.
Buru-buru aku keluarkan pistol airku dari celanaku sambil menghadap ke corong kloset. Astaga di ember… seketika detak jantungku memburu. Di dalam ember berwarna hitam itu terdapat baju kotor. Pasti baju kotornya Mbak Nur yang baru selesai mandi.
Selesai kencing, aku tidak berpikir tentang urusan pekerjaan di kantor lagi. Mau terlambat masuk kantor, biarin deh! Potong gaji nggak dapat uang makan juga gak papa, kataku nekat rela membuang uang makan 50 ribu rupiah demi pakaian kotor Mbak Nuryati.
Sewaktu aku menarik daster panjang Mbak Nur keluar dari ember, berjatuhan BH dan celana dalamnya ke ember. Kucium sebentar daster panjang Mbak Nur untuk merasakan bau tubuhnya yang montok.
Tetek Mbak Nur tidak besar terlihat dari bentuk BH-nya. Warna BH-nya merah tetapi sudah berubah warna menjadi merah pucat karena keseringan dicuci. Uggg… bau BH-nya asem segar!
Kontolku yang belum kukembalikan ke celana panjangku langsung berdiri ngaceng. Apalagi ketika kulihat celana dalam Mbak Nur yang berwarna krem dan sudah kendor karet elastisnya itu. Mungkin sudah dipakai bertahun-tahun, di bagian pantatnya juga sudah sobek bolong berlubang.
Di selangkangannya berwarna kuning. Di atas peta yang berwana kuning itu, terdapat lendir kental. O… astaga… seruku dalam hati sewaktu kudekatkan celana dalam yang sudah molor lebar itu.
Baunya sedap!
Mbak Nur kencing pasti tidak pernah membersihkan memeknya dan ganti celana dalam juga sehari sekali. Pakai pagi, esok pagi mandi baru ganti celana dalam, sudah pasti! Maka itu lendir memeknya banyak dan baunya, aduhai….
Sesampai di kantor, sambil bekerja di depan komputer, bau celana dalam Mbak Nur seperti tidak mau pergi dari penciumanku. Bau busuk dan bau pesing itu seperti melekat di hidungku. Tapi aku tidak kapok.
Aku masih sering mencari BH dan celana dalam Mbak Nur di kamar mandi untuk memmuaskan birahiku, sehingga aku jadi tau berapa BH dan berapa celana dalam Mbak Nur.
Lewat beberapa hari, aku melihat kontrakan di sebelah kontrakanku pintunya terbuka. Dengan memakai celana boxer dan kaos oblong aku pergi ke kontrakan sebelah. Ternyata di dalam ada Mbak Nur yang sedang nyapu.
“Mbak Nur, siapa yang mau tempati?” tanyaku.
“Kakakku, Mas Parnowo!” jawab Mbak Nur yang memakai daster panjang dan kerudung hitam itu.
“Yang kita ngomong di depan kamar mandi beberapa yang lalu, bagaimana, Mbak? Jadi nggak, Mbak?” tanyaku.
Mbak Nur langsung membungkam mulutku dengan telapak tangannya. “He…!!” tegurnya dengan mata melotot. “Ada suamiku di rumah tau nggak? Sembarangannya aja ngomongnya!”
Aku memegang pergelangan tangan Mbak Nur, tidak ditariknya pergi. “Aku kan nggak tau, Mbak! Maaf…” kataku pelan.
“Iya sih… aku juga minta maaf ya, Mas Parnowo….” jawab Mbak Nur pelan dengan wajah menyesal.
Aku mencium punggung tangannya. Ciumanku seperti mengandung listrik, mata Mbak Nur menatap aku dengan terbelalak. Aku tidak konsen, pikiranku konslet.
Segera kurangkul pinggang Mbak Nur yang sudah melebar itu dengan tangan kiriku. Ternyata Mbak Nur tidak menolak rangkulanku. Sapu yang dipegang dengan tangan kirinya jatuh ke lantai. Plak!
Inilah waktu yang paling asyik ketika dia memberikan bibirnya untuk kucium mesra. “Ooohhhh…. Mass…” desahnya saat kulumat bibirnya.
Mbak Nur mendorong aku pergi saat tanganku mau memegang teteknya. “Jangan di sini Mas Parnowo,” bisiknya dengan napas yang tidak teratur.
“Mau di tempat aku?” tanyaku.
“Mas pulang dulu,” suruhnya.
Astaga, gampang banget wanita ini didekati, pasti memeknya sudah gatel banget, kataku dalam hati masuk ke dalam kontrakanku menyiapkan diri.
Tentu aku tidak mengajak Mbak Nur bercinta di tempat tidurku. Aku tidak mau melumuri tempat tidurku dengan dosa perselingkuhan. Aku bawa keluar gulungan kasur lantai dan kugelar di ruang tamu.
Tidak lama kemudian terdengar pintu belakang kontrakanku diketok perlahan. “Apa masalahnya, Mbak?” tanyaku setelah Mbak Nur berada di dalam kontrakanku.
“Ugghhh…” jawabnya dengan mulut cembetut.
“Kenapa ughhh…? Jengkel sama Mas Awang?” tanyaku.
“Iya tuu….”
“Ngapain? Ayo duduk….” aku menarik tangan Mbak Nur.
Mbak Nur duduk di kasur yang tipisnya tidak sampai 5 sentimeter itu. Aku memeluknya, aku mengelus punggungnya. “Boro-boro seperti ini Mas Awang itu, Mas Parnowo…” kata Mbak Nur.
“O… Mbak Nur pengen yang begini? Boleh nggak lepaskan pakaian Mbak sekarang?” bisikku.
O… Mbak Nur langsung melepaskan kain kerudung hitam yang menutupi kepalanya. Aku melepaskan kaos oblongku dengan jantung tak tenang, memikirkan istriku dan memikirkan Mas Awang.
Apalagi kemudian Mbak Nuryati melepaskan daster panjangnya dan kini duduk di depanku sesosok wanita yang hanya memakai BH hitam ketat dan celana dalam berwarna merah.
Bukankah itu celana dalam yang pertama kali kutemukan di kamar mandi, tanyaku dalam hati. Aku menjulurkan tanganku memegang BH Mbak Nur.
“Nggak usah dibuka ya Mas, BH aku.” kata Mbak Nur. “Tetek aku kecil, nanti Mas Parnowo nggak napsu.”
Aku membuka juga pengait BH di punggung Mbak Nur. Mbak Nur menutup teteknya yang sudah telanjang itu dengan telapak tangannya. Memang kecil tetek Mbak Nur. Tidak kendor, hanya bentuknya saja yang melebar ke kiri dan ke kanan dadanya yang berkulit coklat sawo matang itu.
Aku tidak peduli, mau tetek montok atau tetek kecil, yang penting batang kontolku bisa masuk ke lubang memeknya, aku terkam bibir Mbak Nur, lalu aku robohkan Mbak Nur yang hanya memakai celana dalam itu di kasur.
Kulumat bibir Mbak Nur, napasnya terengah-engah. Menurutku, Mbak Nur bukan pemain seks yang ulung. Hanya memeknya saja yang gatel pengen digoyang kontol.
Kulepaskan celana boxerku dan kuterkam pentil teteknya yang kecil panjang itu dengan mulutku. Saat kuhisap pentil teteknya, kuarahkan tangan Mbak Nur ke kontolku yang keras. Tangan Mbak Nur hanya menggenggam batang kontolku, tidak dikocoknya.
“Kenapa kontolku didiamnkan nggak dikocok Mbak, biar kita sama-sama nikmat?” tanyaku.
“Ngg… nggg… aa… aa…ku gak bisa, Mass…”
“Selama ini….”
Mbak Nur menggeleng. “Mas Awang nggak suka yang begitu-begituan, Mas. Habis masuk… keluar, sudah… langsung tidur! Maka itu, aku jengkel, Mas Parnowo…” ujar Mbak Nur.
Aku memeluk erat Mbak Nur. “Sudah, aku nggak memaksa.” bisikku.
Mbak Nur tersenyum senang. Aku melepaskan celana dalamnya hingga dia telanjang bugil, lalu dia memegang kontolku dan diremas-remasnya batangku yang keras itu.
“Nah gitu, enak kan?” kataku.
Mbak Nur mengecup bibirku. Aku memegang memeknya yang penuh bulu hitam itu. “Ahhh… jangan, Mas…” buru-buru Mbak Nur mengatupkan pahanya.
Wahh…. benar-benar primitif nih wanita, batinku. Berbeda dengan istriku, waduhh… kalau sudah begitu, dia langsung mendorong kepalaku ke bawah, atau kami membentuk formasi 69.
Tapi aku tidak putus asa. Kucium bibirnya mesra sambil kuelus pahanya. Perlahan Mbak Nur meregangkan pahanya. Tanganku tidak segera ke memeknya. Aku usap-usap dulu bulunya, tapi jariku sudah kusiapkan.
Ketika aku merasakan Mbak Nur sudah menikmati usapan-usapanku, jariku langsung merosot turun ke lembah curang yang basah berlendir itu dan segera kutusukkan jariku ke lubang kawin Mbak Nur.
“Ahhh…” dia menjerit dalam ciumanku, tapi tak kuasa menolak ketika jariku mengocok lubang memeknya yang berlendir berbau amis itu keluar-masuk.
Aku tidak punya waktu lebih banyak lagi. Jika Mbak Nur dicari oleh Mas Awang, kontolku bakal nggak dapat apa-apa. Maka itu segera kutindih Mbak Nur.
Lumayan, Mbak Nur masih bisa memegang kontolku dan membawa ke lubang persetubuhannya. Kontolku langsung menusuk lubang kenikmatan Mbak Nur. BLESSSS….
“Enak nggak, Mbak?”
Mbak Nur mencubit pinggangku manja. “Gede…” jawabnya.
“Gede itu yang nikmat,” kataku, “Maka itu Mbak harus sering-sering sama aku begini, biar bisa melayani Mas Awang dengan baik. Oke?” ujarku, lalu kugoyang pantatku maju-mundur sehingga kontolku terasa keluar-masuk di lubang memek Mbak Nur yang licin dan basah itu.
Aku tertawa membayangkan wajah Mas Awang. Laki-laki tolol, punya kontol nggak bisa memuaskan istri. Akhirnya istri lari mencari kontol orang lain. Bego!
Sejak siang itu, memek Mbak Nuryati bukan barang haram lagi buatku. Mbak Nuryati seperti istri siri untukku, akibat ketololan suaminya, Mas Awang!
MALAM ITU panas lebih dari biasanya, sebab sudah lama tidak turun hujan. Enok duduk di teras rumahnya mencari angin, lagi pula kedua anaknya sudah tidur.
Kemudian Hasyim, tetangga sebelah rumah Enok keluar dari rumahnya ngobrol dengan Enok. Hasyim tidak bisa tidur, karena kepanasan juga. Lagi pula istrinya pulang kampung 2 hari yang lalu, lusa Hasyim akan menyusul.
Setelah agak lama ngobrol, Enok menawarkan Hasyim minum kopi tanpa ada niat apapun, karena memang mereka bertetangga baik.
Rachmat, suami Enok suka bermain catur dengan Hasyim, jika Rachmat libur dari pekerjaannya sebagai sopir bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi).
Hasyim menerima tawaran Enok. Sewaktu Enok sedang menuang air panas dari termos ke gelas yang telah berisi kopi 2 in 1, tiba-tiba Hasyim datang dari belakang memeluk Enok.
“Sudah lama aku terpikat sama kamu, Mbak!” kata Hasyim.
Enok panik.
Enok meronta melepaskan diri dari pelukan Hasyim. “Apa-apaan sih kamu, Syim? Jangan gitu, ahh!” kata Enok tidak berani berteriak, karena takut kedua anaknya bangun dan kedengaran tetangga.
Tapi Hasyim nekat mencium leher Enok. “Hasyim, kamu bab* apa mony*t, sih? Ngapain kamu suka sama aku yang sudah punya anak 2?!”
Hasyim tidak mau mendengar ocehan Enok. Ia menjilat belakang telinga Enok dengan lidahnya. Bulu kuduk Enok meremang, karena di sinilah letak kelemahan Enok.
Enok menggeliat sehingga semakin disukai Hasyim. Tangan Hasyim langsung beralih ke buah dada Enok yang tidak mengenakan BH. Buah dada Enok yang kendor menggantung itu diremas oleh Hasyim.
“Setan kamu, Syim!!”
Hasyim tidak mau dengar kata-kata Enok. Buah dada Enok terus diremas sementara bibirnya menjilat bolak-balik belakang telinga Enok sampai ke pangkal leher Enok.
Enok yang sudah hampir 2 bulan tidak disentuh Rachmat, harus mengakui bahwa ia terangsang. Buah dadanya terasa tegang dan napasnya sesak, sehingga membuat ia semakin tidak berdaya melawan cumbuan Rachmat.
Entahlah dimana letaknya daya tarik Enok yang sudah berumur 35 tahun ini, sedangkan Rachmat berumur 25 tahun. Rachmat baru menikah 1 tahun dan belum mempunyai anak.
Suci, istri Rachmat pasti lebih cantik daripada Enok. Buah dada Suci masih padat, perut belum melar seperti perut Enok, dan vaginanya juga pasti lebih singset karena belum pernah melahirkan seperti Enok yang sudah punya 2 anak.
Enok semakin tidak berdaya ketika tangan Hasyim turun hingga ke bagian selangkangan. Telapak tangan Hasyim mencakup selangkangan Enok yang tembem. Daging vagina Enok ditekan-tekan membuatkan Enok menunggingkan sedikit pantatnya ke belakang. Hasyim yang memakai celana pendek tanpa memakai celana dalam itu langsung mencucukkan batang penisnya yang tegang ke belahan pantat Enok.
“Syimm… sudah Syimmm…. apa enaknya sih kamu main sama aku yang sudah tua? Apa kamu gak kasihan sama Suci?” erang Enok.
“Kamu lebih nikmat, Mbak!” desah Hasyim menggosok-gosok belahan vagina Enok yang tertutup celana dalam hangat dan lembab.
Pantat Enok semakin terangkat menahan nikmat akibat gosokan Hasyim, sehingga jari Hasyim berhasil menemui ‘mutiara nikmat’ Enok.
Enok tidak bisa lagi menahan diri lebih lama lagi. “Syimmm…. ssseettthh… ooogghhh… berhenti dulu, aku bikinkan kopi buat kamu. Nanti dilajutin lagi… uugghh… emmpphhh…” rintih Enok.
Hasyim tidak juga mau melepaskan Enok. Malahan ia berhasil menarik turun celana dalam Enok yang karet elastisnya sudah molor. Kemudian diseretnya Enok yang sudah tidak berdaya ke depan meja makan. Hasyim segera menurunkan celana pendeknya dan mengangkat daster Enok ke atas.
“Syimm… massukin pelan-pelan ya, Syim… jangan dipaksa…” desah Enok menggigit bibir saat Enok merasa kepala penis Hasyim yang besar menekan ke bibir vaginanya yang merekah.
Setengah tubuh Enok bertumpuh di atas meja makan. Dan dengan pengalaman yang ada padanya, batang penis Hasyim mulai menyodok liang vagina Enok.
Huuhhh…
Dunia rasanya gelap dalam sekejap ketika sedikit demi sedikit batang Hasyim masuk ke dalam liang vagina Enok.
“Mbak, masih ketatt…” bisik Hasyim ke telinga Enok. Hampir keseluruhan batangnya terbenam ke dalam liang vagina Enok yang basah.
Terengah-engah juga Enok dibuatnya. Batang Hasyim lebih kurang sama besarnya dengan batang Rachmat, tapi batang Hasyim lebih panjang. Enok bisa merasakan kepala batang Hasyim menekan ke rahimnya.
Uuhhh… jangan disemburkan dulu… enakkk… desah Enok di dalam hati.
Untuk beberapa saat Hasyim membiarkan batangnya terbenam di dalam lubang vagina Enok. Hasyim ingin merasakan denyutan nikmat dinding vagina Enok yang meremas-remas batang penisnya. Yang begini, Hasyim tidak mendapatkan dari vagina Suci.
Hasyim memegang pinggang Enok lantas ia menarik batangnya keluar, dan kemudian dimasukkan lagi dengan perlahan-lahan. Enok merasakan tubuhnya bergetar saking nikmatnya.
Setelah masuk hampir keseluruhan, Hasyim menarik keluar batangnya dengan cepat. Hasyim mengulanginya untuk beberapa kali. Kemudian ia menukar temponya.
Kali ini Hasyim memasukkan batangnya dengan cepat dan menarik keluar perlahan-lahan. Duhhh… Enok mulai merasa ingin kencing tanda klimaksnya hampir tiba. Beberapa kali liang vaginanya digenjot kuat oleh Hasyim, tubuh Enok mulai bergetar dan beberapa saat kemudian terus menjadi kejang-kejang.
Uughhh… sungguh nikmat rasanya!
Hasyim mencabut batangnya yang masih keras keluar dari lubang vagina Enok. Ia memeluk Enok erat-erat dari belakang. Kemudian ia membawa Enok duduk di lantai.
Hasyim membaringkan Enok dan kemudian kedua belah kaki Enok dibukanya. Hasyim menaikkan kedua kaki Enok ke atas pundaknya.
Sambil tersenyum Hasyim menekan batangnya ke dalam lubang vagina Enok yang masih basah. Kali ini Enok merasa lebih nikmat karena kelentitnya tergesek batang penis Hasyim. Begitu pula dengan batang Hasyim dapat masuk jauh ke dalam lubang vagina Enok.
Setelah agak lama digenjot dan disodok, Hasyim mulai merasa tanda-tanda untuk klimaks. Kemudian Enok memeluk tubuh Hasyim dengan erat. Hasyim juga memeluk tubuh Enok.
Enok mendengus,: “Uuughhh.. Syimmm, mau dua kaliiii…”
Crutttttttt…. cruttttt.. air mani Hasyim menembak rahim Enok pada saat yang sama.
Setelah napas mereka mereda, Hasyim bangun membetulkan letak celana pendeknya. Enok melepaskan celana dalamnya membersihkan vaginanya yang berlumuran air mani Hasyim.
“Jangan pulang, Syimm.. tidur sini, ya?” kata Enok tersenyum.
Mereka lalu berpelukan saling melumat dan mengulum bibir. (11112016)