Slutty Wife Tia : Daripada Dia “JAJAN”

Tia Tia memberikan HP-nya kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram. Citra, kakak ipar Tia, menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka satu per satu foto-foto itu. Di cermin terlihat pantulan muka Tia yang cemberut. “Oo,” gumam Citra tanpa ekspresi, “Beginian. Dasar Bram. Penyakit lama, nih”. Tia agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang membikin Tia dan Bram bertengkar dua hari lalu. Waktu itu Tia makin marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK. “Penyakit lama, Kak Citra? Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?” “Emmm…” gumam Citra sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja, “Iya sih. Lho kamu kok malah baru tahu. Gimana. Kamu kan istrinya.” Tia malu sendiri. Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka berdua tidak pernah pacaran. Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka. Tia dan Bram sudah kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri setelah menikah. Satu yang Tia tahu, keluarga Bram memang longgar dalam mendidik anak-anaknya. Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu. Sama saja dengan kakak Bram, Citra. Citra yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk dijodohkan dengan seorang saudara Tia, tapi karena terbiasa bergaul sangat bebas, Citra dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa dinikahkan—dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya. “Terus gimana nih?” Citra bicara sambil menjepit rokok yang baru dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal. “Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram. Apa mau terus-terusan? Ah, tapi kamu kan anak baik. Pasti kamu mikirin keluarga besar kita. Gak enak sama mereka kalau sampai… cerai.” “Nggak!” jerit Tia. “Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia. Aku udah mulai belajar sayang dia Kak. Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia yang ini. Makanya aku datang minta saran Kak Citra, gimana baiknya aku hadapi masalah ini. Kak Citra kan lebih kenal Bram,” suara Tia mengecil karena malu, “…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.” Baik banget ini anak, pikir Citra. Cuma saat itu juga Citra merasa dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran. Tia, yang tidak pernah pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang. Kalau Tia pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Tia nggak suka. Citra mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut. Tia menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka. Kakak iparnya itu sudah merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Tia mengira Citra selalu bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok. Citra memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia remaja. Tia melihat Citra seperti berpikir sambil merokok, lalu membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu. Sackdress hitam agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak kelihatan. Citra lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu mendekati Tia. “Kalau menurutku sih begini saja…” ……………………………… “KOK GITU SIH CARANYA???” Tia tidak bisa menahan volume suaranya setelah mendengar saran Citra sampai habis. Yang memberi saran dengan santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan menyedot batang rokok. “Terserah kamu sih. Saranku ya gitu. Kalau mengingat sifatnya Bram sih kupikir cara itu mempan. Kalau kamu mau coba tanya orang lain, silakan.” “…” Tia diam saja. “Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Citra, sambil nyengir. “Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh. Hitung-hitung balas budi sama kalian yang udah bantu aku selama ini.” “…Sebentar. Aku pikir-pikir dulu,” bisik Tia, menimbang-nimbang. Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang. Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram. “Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.” SMS itu Tia kirim ke HP Bram. Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Tia setelah ‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor. ************************ Menjelang sore. Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Tia langsung keluar dari salon Citra dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya. Rumah itu rumah Bram dan Tia; Citra tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka berdua. Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Tia kalang-kabut ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan. Tapi dia sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat. Mercy itu tidak berhenti di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu berhenti di depan salon Citra. Dari balik pintu supirnya keluar seorang laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon Citra. Semua itu tidak sempat diperhatikan Tia. Tia sendiri sudah cukup lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa meter saja dari tempat kakak iparnya. “Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Tia. Tia duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin. Normalnya dia bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi mereka berdua, Bram dan Tia, yang menikah tahun lalu. Belum ada anak. Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja. Tia ‘si anak baik’ menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan mereka. Bram juga bukan suami brengsek. Setidaknya sampai belangnya ketahuan beberapa hari lalu. Hanya saja Tia sering merasa Bram seperti bosan dengan dirinya. Tia masih muda. Bram lebih tua sedikit. Setelah lulus kuliah keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah. Karier mereka berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana, hanya di bagian yang berbeda. Tia punya banyak waktu luang dan bisa bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi dijodohkan dengan Tia, yang berwajah lumayan menarik. Citra, yang sudah kenal duluan dengan Tia sebelum Tia mengenal Bram, pernah bilang dia iri dengan tubuh Tia yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri. Tapi kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah Citra daripada Tia, karena Citra selalu tampil ‘meriah’ dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Tia selalu terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif. Tia masih tidak percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Citra. Tapi, pikirnya, dicoba sajalah… tidak ada salahnya. *** Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai. Dia sadar, dia sendiri salah. Sudah kawin kok masih doyan jajan. Tapi, yah, kebiasaan lama susah luntur. Dan ada hal-hal yang dia kira tidak bakal dia dapat dari Tia. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil. Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP Bram. Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke tempat-tempat lain, tentu saja). Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam SMS itu. “Jangan dulu deh”, pikir Bram. *** Tia mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah dibuka. Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan (atas saran Citra), dan bersiap-siap. Tangannya dingin. Berjam-jam sudah dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Citra tadi. Dalam hati dia berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga. Tapi dalam hatinya berkali-kali terselip rasa penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana jadinya nanti. Bagaimana kira-kira reaksi Bram. Bagaimana kira-kira reaksi dia sendiri. “Sudah waktunya.” pikirnya *** Bram melongo di pintu, memelototi Tia yang berdiri di depannya. Malam itu, Tia berubah. Tia yang sederhana dan terkesan baik-baik sedang tidak hadir. Sebagai gantinya…Tia tampil beda. Dia memakai gaun mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak tinggi. Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Tia sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka. Kebetulan warna kulit Tia coklat muda. Bukan putih atau kuning atau sawo matang, tapi warna di antaranya. Itu juga yang membuat lapisan bedak yang membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras antara warna muka dan badan. Ketika Tia berkedip, tampak rona biru muda di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas. Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata. Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan. “Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?” Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Tia yang kali ini tidak telanjang. Biasanya Tia paling-paling hanya memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir Tia yang tampak lebih penuh dan sensual. Merah, mengilap, menantang. Seperti itulah saran Citra untuk Tia. “If you can’t beat ‘em, join ‘em.” Citra kenal benar dengan Bram. Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung pas-pasan. Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang mau dengannya. Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan. Dan seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan. Perempuan-perempuan macam itulah yang fotonya Tia temukan di HP Bram. “Tia… kamu… ini maksudnya…?” Melihat Bram bengong saja, Tia mengingat-ingat lagi apa kata Citra mengenai bagaimana dia harus bersikap. Jadi dia segera maju mendekati Bram dan menarik dasi Bram. Bram melihat istrinya menatap tajam matanya, sambil mencium bau parfum yang lumayan keras. “Kenapa? Gak seneng kalo aku kayak gini?” Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya. Dia cuma bisa menjawab pelan-pelan. “Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…” Tia tambah sewot. Maksudnya apa itu? Apa dia malah gak suka aku jadi seperti ini? Melihat muka Bram yang tambah panik, Tia memberanikan diri untuk agresif. Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang pangkal dasi Bram—seperti siap mau mencekik. Bram lebih besar dari Tia, tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Tia. Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri Tia mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur. Tuh, kan… pikir Tia. Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana. Tia meremas pelir Bram. “Masih mau bohong?” katanya sengit. “Aku udah tahu. Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe kelihatan murahan kayak gini kan? Itu kan alasannya kamu masih terus aja jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?” Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di cengkeraman Tia. Tia sudah kelihatan marah sekarang. Tapi Bram tidak bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Tia berani tampil seperti itu. Cuma dia tidak berani bilang. “Gak usah nyangkal,” desis Tia. “Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas. Tapi aku gak senang kalau kamu gak terus terang aja. Aku kan istri Mas Bram? Apa susahnya sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?” “Habisnya…” Bram meringis. “…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…” “Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih ngentot sama lonte? Gitu? Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau ngikutin kemauan Mas?” Bram menunduk, tidak berani bicara. Pada saat yang sama, dia tambah terangsang mendengar Tia berani ngomong jorok seperti itu. Tambah sempit saja celananya terasa. Tia juga merasakan itu. “Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Tia. “Bilang aja kalo suka, Mas. Jujur aja.” “Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa. “Cih. Kaya’ gini yang dianggap cantik? Seleramu payah amat, Mas,” maki Tia, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti itu. “Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…” Sudah waktunya, pikir Tia. Lanjut… “…mending kukasih aja.” Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk. Dengan tidak sabaran Tia langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium bibir Bram.

Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan Tia. Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling serang. Buat Tia sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa berpenampilan dan bersikap seperti saat itu. Seumur hidup belum pernah dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani bicara keras di muka Bram. Tapi itu baru permulaan. Dia sudah berniat mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa dia tidak mau lagi Bram main-main di luar. Artinya, dia sendiri harus melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan. Tangan kiri Tia membuka kancing dan resleting celana Bram. Tia belum pernah melakukan seks oral dengan Bram sebelumnya, karena Bram tak pernah minta, dan Tia sendiri kurang inisiatif. Tapi malam itu Tia tidak ragu-ragu dan tidak menunggu Bram. Setelah penis Bram yang sudah mengeras terbebas dari celana, Tia langsung menggarapnya. Jilat dan sedot. Bram terpana melihat bibir merah Tia naik-turun mengelus anunya. Bukan pertama kali dia disepong; cewek-cewek langganannya lebih kenal dengan rasa kemaluan Bram daripada Tia. Karena itu juga Bram mulai bisa tenang lagi, menghilangkan kaget sambil memikirkan apa yang sedang terjadi. Sambil menjilati ereksi Bram, Tia terus menahan rasa malu dan segan. Dia sudah tidak merasa jadi diri sendiri sejak pertama kali Citra selesai mempermak habis penampilannya dan dia melihat sendiri mukanya di cermin. Wajah perempuan bermake-up tebal yang asing itu terlihat norak sekaligus menggoda. Tia sempat terpikir bahwa itu sudah berlebihan, tapi dia mencoba menerima saja hasil karya Citra di mukanya. Perempuan di cermin itu tidak terlihat seperti dia, tapi itu memang dia. Pakaian yang dipinjamkan Citra pun tidak mencerminkan kepribadiannya yang biasa, tapi Tia diam saja. Biarpun harus menahan malu, dia harus mencoba dulu. Demi Bram. Demi dia sendiri…Berhubung Tia baru pertama kali mempraktekkan fellatio, aksinya masih canggung. Dia tidak tahu apakah Bram suka atau tidak. Dia berhenti lalu melirik ke arah muka Bram. Bram sudah merasa pegang kendali. Satu hal yang tidak diceritakan Citra ke Tia, karena Citra sendiri tidak tahu: kalau bersetubuh dengan wanita bayaran, Bram terbiasa dominan dan cenderung melecehkan lawan mainnya. Itu juga salah satu alasan Bram ragu-ragu meminta Tia mengikuti kemauannya. Bram tidak yakin istrinya bakal mau, dan kuatir kalau Tia tahu apa kesukaannya, masalah bisa muncul. Beda kalau dengan PSK; dia tinggal bayar lebih supaya mereka mau meladeni permintaannya, atau cari cewek lain yang mau. Sekarang ternyata Tia sendiri memberi sinyal bahwa sebenarnya dia mau mengikuti kemauan Bram. Dan Bram mulai sadar bahwa justru itulah yang dia tunggu-tunggu. “Kok berhenti?” kata Bram, dengan nada tegas. “Udahan, nih?” Sekarang gantian Tia yang kaget. Dia menganggap apa yang dia lakukan itu semacam akting, role-playing, bermain peran. Dia tidak menyangka Bram bakal secepat itu mengerti dan ikut ‘bermain’. Gara-gara salah perhitungan itu, perannya buyar. Dia merasa konyol karena bengong sementara bibirnya masih di seputar burung Bram. “Jangan dipaksain kalo emang gak bisa,” kata Bram, mulai yakin bahwa dia sudah membalik keadaan. “Tapi kamu sendiri yang ‘masang’. Ya udah. Sekalian.” Tia melihat sekilas Bram nyengir jahat lalu merasakan kedua tangan Bram mencengkeram kedua sisi kepalanya. Sebelum Tia sempat bicara, Bram berdiri, lalu dengan gencar memaksa kepala Tia bergerak maju-mundur menyervis anunya. Tia kelabakan sendiri, dan cuma bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas selagi mulutnya berubah jadi alat masturbasi Bram. Bram memutar tubuh sambil menarik Tia sehingga sekarang Tia membelakangi sofa. Lalu Bram menundukkan badan sehingga kepala Tia terdorong sampai berbantalkan jok sofa. Setelah dalam posisi itu, Bram langsung menggerakkan pinggulnya membabi-buta, penisnya mengaduk-aduk seisi mulut Tia yang tidak bisa apa-apa selain menerima. Beberapa genjotan kemudian, Bram melenguh keras dan muncrat di dalam mulut Tia. Setelah ejakulasi, Bram keluar dari mulut Tia. Tia terbatuk, berusaha mengeluarkan mani Bram dari dalam mulutnya. Bram melihat itu dan langsung menghardik. “Heh. Siapa suruh muntahin? Telan.” Tia yang masih kaget tidak sempat berpikir apa-apa lagi, secara refleks diikutinya perintah Bram. Tia memalingkan muka selagi menelan. Dia berusaha bangun, sementara Bram berdiri mengangkang di atas badannya. Tia beringsut ke sofa. Bram tersenyum penuh kemenangan sambil membuka dasinya. Dilihatnya Tia meringkuk di sofa. Sekarang istrinya itu terlihat ketakutan. Memang. Tia seperti baru melepaskan anjing galak dari ikatan, dan sekarang anjing galak itu malah mengancamnya. Ganti Bram yang mendesak Tia di sofa. Kedua tangan Bram memegangi kedua pundak Tia sementara tubuhnya merapat ke tubuh Tia. Dilihatnya lagi wajah Tia yang sedang main pura-pura jadi sundal itu. Walau ada yang cemong sedikit gara-gara mukanya tadi digagahi, bibir Tia masih merah, maskaranya belum luntur, bedaknya masih ketebalan. Topeng wanita murahan-nya masih ada. Cuma ekspresinya memang berubah; kalau tadi ekspresi PSK cari mangsa, sekarang tampang PSK kena razia. Tapi Bram yang mulai menikmati perubahan istrinya tidak mau membiarkan Tia balik lagi seperti yang dulu. Bram terpikir untuk bersikap gentleman dengan langsung melepas Tia, meminta Tia menghapus semua rias wajahnya dan ganti baju biasa, lalu meminta maaf dan kembali bersikap mesra. Tapi Bram tidak mau buru-buru melepas kesempatan. Mumpung istrinya lagi ingin bergaya binal, kenapa tidak dimanfaatkan sepuasnya? “Mestinya dari dulu kamu begini,” kata Bram di depan muka Tia, “Tapi kalo udah susah-susah dandan kayak gini, jangan setengah-setengah dong! Terusin aja.” Tia seperti berusaha meraih mukanya—maksudnya mau minta french kiss dari Bram, tapi Bram berkelit. Dia belum lupa tadi habis membuang apa di mulut Tia. Selagi Tia kecewa, Bram menyerang sasaran lain. Dibuatnya leher, pundak, dan bagian atas payudara Tia berbekas cupang merah. Lalu diangkatnya ujung bawah gaun mini Tia. Di situ Bram mendapati Tia tidak pakai celana dalam. “Niat banget, ya? Sengaja ga pake CD?” goda Bram. “Atau sedari tadi kamu udah gak tahan jadi self service dulu?” Yang digoda membuang muka karena malu. Dengan leluasa Bram melalap selangkangan istrinya. Hingga malam itu kehidupan seks Tia dan Bram relatif monoton; mereka biasanya cuma berhubungan seks biasa, sekadar bermesraan, petting, setubuh dengan posisi normal, tak banyak variasi. Tia tidak mempermasalahkan; Bram merasa kurang tapi tidak mau bilang ke Tia dan memilih melampiaskannya di luar. Jadinya, ya, baru kali itu juga Tia menikmati memeknya dimakan Bram. Sensasinya langsung membuat Tia mendesah-desah keenakan sambil menjepit kepala Bram dengan kedua pahanya. Tia sampai lupa terpikir untuk membalas perlakuan Bram tadi dengan tindakan yang sama, berhubung posisinya sekarang kebalikan yang tadi. Bram berkali-kali menyenggol G-spot Tia dengan lidahnya. “Mmmhhh…. Aaa!! Brammm!!” Tia terengah-engah karena kenikmatan melanda badannya. Tangannya gemetaran, mulutnya menganga. Tapi tiba-tiba Bram berhenti dan berdiri. “Yahh??” Tia merengek kecewa. Bram menatapnya dengan pandangan lapar… dan iseng. Bagaimana kalau kita main-main dulu… pikir Bram. “Mas Bram… terusin dong…” pinta Tia. Bram cuek. “Gak mau.” “Mas Braamm…” Bram maju. Tangannya memegang tangan Tia. Bibirnya mendekati bibir Tia, seolah mau mencium, tapi sekali lagi Bram berkelit dan malah mengulum telinga Tia. Sementara itu tangannya membawa tangan Tia ke arah kemaluan Tia. “Main sendiri. Sana. Di depanku. Aku pengen lihat lonteku ngobok mekinya sendiri. Gih.” Bram lalu mundur dan melepas tangan Tia. Tia diam sejenak, lalu dengan ragu-ragu mulai. Entah kenapa, biarpun kata-kata Bram tadi sangat melecehkan kalau dalam keadaan normal, Tia justru malah terangsang mendengarnya. Dia membebaskan buah dadanya dari balik baju dan mencubit-cubit pentilnya yang mengencang. Tangan satunya lagi mengelus-elus bibir vagina. “Kayak gini Mas?… Gimana… ah… ahhh… Lihat aku Mas…” Bram sendiri sibuk mengocok anunya, sambil terus ngomong. “Ya. Terus. Gitu. Masukin jarimu ke sana. Jangan cuma satu, tapi dua sekalian. Kobel terus. Gimana. Udah tahu gimana rasanya jadi sundal? Enak?” “Ah… ah… Mas lihatin aku… enak mas…“ “Mainin terus tuh pentilmu… jepit, cubit. Ah, sayang susumu gak segede itu. Kalo lebih gede kamu bisa gigit-gigit sendiri tuh pentil. Remas terus. Pencet terus.” “Maafin kalo kurang gede Mas… uh, ungh… Mas aku jangan dibiarin sendiri terus dong… isep toketku Mas…” “Gak. Pokoknya aku mau lihat kamu sampe klimaks. Terusin aja ngentot jari-nya.” “Ah… ah… iya Mas… ini kuterusin… engh…” Erangan Tia diseling suara becek dari vaginanya yang dia obok-obok sendiri. “Gimana Tia? Suka gak jadi lonte? Tau nggak, aku langsung ngaceng begitu lihat kamu yang dandan abis tadi. Sampe sekarang juga masih. Biarpun tadi udah, kayaknya sebentar lagi aku ngecrot lagi.” Bram terus memancing-mancing Tia. “Auhhh…. Engg… Hahh, iya, iya Mas, ah… ah…” “Ini baru di dalam rumah. Coba kalo kamu tadi keluar. Bayangin orang banyak ngelihat kamu. Apa nggak konak semua mereka.” Kata-kata Bram memancing khayalan Tia. Bram tidak tahu tadi Tia sempat ada di luar sebentar, waktu buru-buru pergi dari salon Citra ke rumah. Tadi Tia bersyukur tidak kepergok siapapun—termasuk orang di mobil Mercy hitam yang lewat.

Sekarang dia membayangkan sendiri andai dia tadi kepergok. Bukan cuma oleh satu orang, tapi banyak. Dan mereka semua terangsang melihat penampilannya yang menggoda. Dan dia dikerubuti oleh mereka, dipegangi, ditelanjangi, dipaksa… “AHH~!!” Bibir merah Tia menganga, mengerang tertahan, selagi kepalanya tersentak ke belakang dan sekujur tubuhnya gemetar. Dia orgasme gara-gara khayalan tadi. “Ah… hah… ah…” nafas Tia tersengal-sengal setelah mencapai klimaks. Bram mendekati Tia, setengah mati berusaha menahan semburan dalam penisnya, menarik Tia, dan dengan lega menyemprotkan spermanya ke muka Tia yang bermake-up tebal itu. CROTT…. CROTT… Tia terduduk di lantai. Dia mau mengusap cairan lengket di mukanya, tapi Bram menahan tangannya. “Biarin dulu! Aku mau lihat mukamu kayak gini!” Bram melihat maninya berleleran melintang di pipi dan hidung Tia. Muka pelacur yang habis dientot. Dia merasa lebih suka istrinya yang versi ini. “Ahh… Maass…” Tia merengek. Entah karena apa. Dan Bram merasa masih kuat melanjutkan. Tapi dia perlu istirahat sebentar— “Gak pernah aku lihat kamu seseksi ini,” kata Bram. “Tuh, yang di bawah udah pengen lagi.” “Kamu juga jadi lain, Mas…” Tia bilang, “Aku baru tahu… apa ini yang Mas dapat dari cewek-cewek lain itu?” Bram agak kesal karena Tia masih juga mengungkit-ungkit kebiasaannya, dan tidak menjawab. Dia malah menyuruh Tia menungging di depannya. Tia menurut, berharap Bram melanjutkan ronde 3. Biarpun sudah orgasme satu kali, Tia masih ingin vaginanya dipenetrasi. Dia merasakan tangan Bram di pinggangnya, sementara penis Bram yang mulai tegang lagi menggosok-gosok bibir bawahnya. “…masukin dong Mas…” bisik Tia. “Apa?” Bram pura-pura nggak mendengar. “Masukin dong Maaas,” rengek Tia. “Masukin apa ke mana? Yang jelas dong?” Tia terdiam sebentar lalu berkata, “Masukin kontolmu ke memekku Mas…” dengan malu-malu. “Bagus… kamu udah bisa ngomong kayak mereka,” celetuk Bram, sambil menyodok memek istrinya. Tia tidak menjawab, dan cuma mendesah karena nikmat. Tapi Bram masih terus berniat menggoda istrinya. Sambil merapat ke punggung Tia, Bram berbisik. “Becek amat di dalam sana, licin. Hayo ngaku. Udah dipake berapa orang kamu hari ini, lonte?” Tia menggigit bibir, malu karena diledek Bram. Dia mendengking waktu Bram menampar pantatnya. Tapi ternyata beberapa lama kemudian Bram mencabut burungnya dari kemaluan Tia. Sebelum Tia sempat protes, Bram menggenggam satu tangannya dan mendorong Tia ke arah sofa sampai kepalanya bersandar di sofa. Tia bertanya-tanya apa mau Bram, tapi dia langsung sadar ketika Bram menowel-nowel lubang anusnya… “Mas? Mas Bram mau apa…?” “Mau merawanin pantatmu…” Sesudahnya, ada jeritan yang sampai terdengar oleh Citra di rumah sebelah. Citra tersenyum puas mendengar suara berisik di rumah adik dan adik iparnya. Sarannya kepada Tia untuk coba berubah menjadi seperti perempuan-perempuan yang fotonya ada di HP Bram sepertinya manjur. Baguslah, pikirnya. Daripada Bram bawa pulang penyakit atau anak haram, mendingan dengan Tia. Orang yang tadi datang dengan Mercy hitam baru saja pergi dari salon Citra, puas dengan pelayanan Citra dan memberi tips cukup banyak. Citra kembali memulaskan lipstik di bibirnya; tadi lipstiknya terhapus ketika dia memberi servis blowjob kepada si pengendara Mercy. Satu jam sudah berlalu sejak Bram pulang. Sekarang dia terlentang telanjang, mandi keringat, di ruang tamu. Di dadanya bersandar Citra yang awut-awutan, make-up tebalnya luntur setelah entah berapa ronde berperan sebagai pelacur demi Bram. Dari lubang duburnya yang terasa agak nyeri, mengalir sedikit benih Bram yang tadi dikeluarkan Bram di sana. Dua-duanya terlalu capek untuk ngobrol ataupun merasa bersalah. Yang jelas, Tia merasa tambah yakin Bram tidak akan perlu lagi jajan di luar. Dan sepertinya, Tia sendiri juga menemukan sisi baru dalam dirinya…

#2

Tia​
Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Tia. Bram belum pulang; tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Tia, meminta Tia ‘bersiap-siap’. Tia tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Tia mampir ke salon milik Citra dulu. Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus membantu Tia dengan senang hati merias Tia. Persis seperti pertama kali. Tia kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah. Malam itu Tia memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa bra. Tia mendengar bunyi mobil masuk garasi. Lalu suara langkah orang mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka. “Puuunten.” Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Tia tertegun melihat empat orang yang ada di depan pintunya. Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar dan dipapah dua orang. Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit. “Mang Enjup?” tanya Tia. “Euleuh-euleuh, Neng Tia… Apa kabar? Ini, tadi kita habis ketemu klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya ketiduran,” jawab si laki-laki tua. Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning. Namanya Jupri, tapi Tia mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal mereka memulai usaha. Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapak Tia mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding perusahaan. Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih tinggi. Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan bisnis dan ikut bernegosiasi. “Baik, Mang. Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang. Ayo, masuk dulu.” Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Tia dan Bram sejak lama, sejak keduanya masih kecil. Waktu kecil, Tia senang bermain-main dengan Mang Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya. Tapi setelah Tia agak besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup. Waktu itu Tia sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab dengan teman-teman sekolahnya. Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari Tia karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Tia. Bram yang ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Danang, dan supir merangkap pengawalnya, Reja. Danang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan. Biarpun pekerjaannya kantoran, tapi Danang lebih sering berpenampilan urakan. Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi tambah keren karenanya. Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit. Sementara Reja mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup. Penampilannya masih khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama prajurit yang membuat dia dipecat. Reja dan Danang membawa Bram ke dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa. Tia mencoba membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan hawa beralkohol dari mulutnya. “Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Tia kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab. Tia menyadari Bram bakal tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya. Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu. Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di sofa. “Mau minum dulu, Mang?” sapa Tia, berbasa-basi. “Jangan repot-repot, Neng. Mang juga sebentar lagi pulang. Udah malam.” “Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Tia bikinin. Kopi?” “Boleh, boleh.” Tia tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup memperhatikan Tia dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Tia dulu sempat melarang Tia terlalu dekat dengan pegawai mereka itu, adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’. Mereka takut Tia jadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit dengan perempuan. Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis. Di sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di perusahaan. Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Tia, walaupun Bram sudah jadi bawahannya cukup lama. Mang Enjup juga biasanya mengenal Tia yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik. Jadi, ketika yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu Tia. Rasa penasarannya berlanjut. Selain itu…Tia kembali dari dapur membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya. Mang Enjup memperhatikan anak bosnya itu. Hampir tumpah liurnya melihat bentuk tubuh Tia yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang dipakai Tia. Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada Tia ketika Tia membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Tia lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan perusahaan. Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Tia dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju. “Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi wajah Tia, “meni geulis pisan Neng Tia ini malam. Apa baru pulang dari kondangan?” “Ah, si Mang bisa aja,” Tia tersipu, “Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.” Mukanya memerah. “Euleuh-euleuh…. Buat si Aden? Baguuusss… Itu baru namanyah istri yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami. Jangan kayak si Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah cuma molor sama ngomel.” Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda. Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan, dan lain-lain. Tapi begitu dia melihat Tia, anak bosnya yang sudah dia kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup. Bukan tanpa alasan dulu dia berakrab-akrab dengan Tia kecil. Tia sudah diincarnya sejak lama. Tapi lalu Tia menikah dengan Bram. Biar begitu, Mang Enjup orang yang tidak suka melewatkan kesempatan. Bram sedang teler. Tia ada di depannya… “Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng? Kasihan, sudah dandan cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur. Kumaha atuh, Neng?” sindir Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Tia. Tia melengos. “Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.” Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Tia. Tia tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi. Mang Enjup duduk di sofa, di samping Tia; lengannya merangkul pundak Tia. “Sayang atuh. Gimana kalau sama Mang saja?” Tia tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup. Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam yang dikuasainya. Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi. Kalau sudah bisa menguasai pandangan dan perhatian sasarannya, Mang Enjup bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan rasa curiga dan tak percaya. Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk kasus-kasus yang “harus menang”. Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan + minum + cewek, urusan bisa beres. Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan ilmu gendamnya. Apalagi untuk yang satu ini. Ketika perempuan yang dia incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Tia membawakan kopi, Mang Enjup sudah melancarkan serangan. Sambil ngobrol, dia terus memandangi mata Tia, menguasai perhatian dan mengendorkan konsentrasi Tia. Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Tia, Tia sudah jatuh ke tangannya, makanya Tia tidak bergerak. Kesadaran Tia sudah digenggam Mang Enjup. Sekarang Tia ada dalam rangkulan Mang Enjup, tatapannya kosong. Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan. Kedua bawahannya, Danang dan Reja, duduk diam sambil menyeruput kopi masing-masing, tidak berani berbuat apapun. “Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Tia, bahu Tia, terus ke pinggang dan paha. Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Tia tidak pakai celana dalam. Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Tia tidak memakai beha ketika mengintip belahan dada Tia yang tampak waktu Tia menyuguhkan kopi tadi. Sungguh senang dia melihat Tia kecil yang dulu digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi, tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu malam. “Tia. Bisa jawab pertanyaan Mang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Tia. “Bisa,” suara Tia datar, tanpa ekspresi. “Sedang apa kamu tadi, Tia?” “Aku nunggu Mas Bram pulang.” “Kamu pakai apa sekarang, Tia?” “Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.” “Terus apa lagi?” “Nggak pakai apa-apa lagi.” “Kamu pakai beha? Celana dalam?” “Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…” “Begitu. Terus. Ada apa dengan mukamu?” “Tadi aku ke salon Kak Citra. Minta didandani seperti kemarin-kemarin.” “Didandani… seperti gimana, Tia?” “Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.” Mang Enjup juga ingat Citra. Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat masa lalu. Kemudian dia melanjutkan interogasi. Sekarang satu tangannya mulai menjamah ke balik gaun tipis Tia. Ditemukannya kemaluan Tia, dan mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya. “Coba lihat mukamu Tia… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu. Kenapa kamu dandan seperti ini, Tia?” “Buat Mas Bram…” “Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Tia dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari. Tia mendesah tertahan. “Hahh… karena… saran Kak Citra. Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.” “Bram suka yang seperti ini? Apa dia minta?” “Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan… dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu jarinya ke celah kewanitaan Tia. Sementara itu, Mang Enjup juga menjilati tengkuk Tia, sehingga Tia mulai terangsang. “Terus gimana Tia… Bram suka?” “Bram suka…” “Kamu sendiri?” Tia terdiam, tidak menjawab. Mang Enjup sekarang sudah memasukkan dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Tia, sambil mencubit-cubit klitoris Tia. Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa basah. “Ayo jawab Tia… Jawab yang jujur.” “Aku… ah!” Tia mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan, “…malu…” “Kenapa malu, Tia?” “Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku bukan perempuan murahan…” Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Tia, meremas payudara Tia, menjilati tengkuk Tia. Tia tersandar tak berdaya pada badan Mang Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan kenikmatan. Dari pengakuan Tia, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup. “Kenapa harus malu, Tia?” “Soalnya…” “Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Tia. Dengar dan ikuti untuk seterusnya. Ngerti?” “Mengerti…” “Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Tia?” “Tahu…” “Seperti apa?” “Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…” “Tapi kamu nggak suka, kan?” “Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.” “Salah, Tia.” “Salah…?” “Kamu salah, Tia. Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan seperti itu. Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya, seseksi-seksinya. Iya kan, Tia?” “Iya…” Mang Enjup nyengir. Lebar sekali. Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Tia. “Kamu harus sadar, Tia. Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Tia?” “Iya…” “Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.” “Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.” “Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.” “Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.” “Bagus, Tia. Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi. Ngerti?” “Mengerti.” Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil terus menjamah seluruh tubuh Tia, Mang Enjup membisikkan berbagai sugesti ke telinga Tia. Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang Enjup membuat tubuh Tia makin tak mampu menahan gelora nafsu. “Ahh… ah… ah! Ahnggg!!” Terdengar erangan panjang Tia, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup. “Bagaimana rasanya yang tadi Tia?” “Hahh… enak sekali Mang…” “Sekarang giliran kamu bikin enak Mang. Ayo sini Tia, Mang pangku.” Tia menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup. Bokongnya bersandar di perut gendut Mang Enjup. Burung Mang Enjup yang mengeras di balik celana tergencet belahan pantat Tia. Mang Enjup menyibak rambut panjang Tia ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika menjelajahi punggung Tia. Kedua tangannya memegang pinggang Tia dan menggerak-gerakkan tubuh Tia maju-mundur, sehingga bokong Tia jadi mengelus-elus ereksinya.

Lalu Mang Enjup menggeser Tia ke depan supaya dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya. Penis Mang Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong Tia. Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Tia, merangsang vagina Tia lagi. Tia mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan pundak Tia. Mang Enjup tersenyum jahat. Tia, anak bosnya, yang sudah diincarnya sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya. Dulu, ketika memangku Tia yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Tia, merebut kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Tia jadi wanita dewasa. Tentu saja, Tia kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya. Sekarang, Tia yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya. Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana. Sayang Bram sudah menduluinya membobol keperawanan Tia. Tapi yang penting sekarang Tia sudah di tangannya… “Nah, Neng Tia, sekarang Mang mau masuk…” Setelah merentangkan kedua paha Tia, Mang Enjup mendorong kepala burungnya masuk ke vagina Tia. Tia meringis sedikit; Mang Enjup sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan dinding dalam vagina Tia. “Addeuhhh… Neng! Sempit amat inih!” Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya bertahun-tahun. Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Tia. Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung… “Uuuh… !! Anjing siah!“ Mang Enjup memaki-maki karena burungnya terlalu cepat ejakulasi. Impiannya bertahun-tahun untuk menyetubuhi Tia terwujud… dan berakhir setelah beberapa menit saja dengan tumpahnya cairan putih di dalam vagina Tia. Tak lama kemudian penisnya melembek dan menciut. Tapi Tia malah belum berhenti bergerak, pinggulnya terus geal-geol seperti penari jaipong di pangkuan Mang Enjup. Meski Tia masih di pangkuannya, burung Mang Enjup belum bangun lagi. Maklumlah, dia sudah tua, dan belum lama ini ahli pengobatan tradisional spesialis kejantanan langganan Mang Enjup meninggal dunia sehingga andalan Mang Enjup itu tidak lagi selalu siap bertempur. Ingin ronde dua pun Mang Enjup harus menunggu lama. Sementara Tia di pangkuannya belum puas. “Aahmm… mau lagi dong…” “Hehehe…” Mang Enjup terkekeh mendengar permintaan manja Tia tadi. Tia masih dalam pengaruh hipnotisnya… dan masih akan mendengar kata-katanya. Dia memutuskan untuk menjerumuskan Tia lebih lanjut. “Mau apa, Tia?” “Mau… dientot lagi…” Mang Enjup menoleh ke arah Danang dan Reja. Kedua anak buahnya itu terlihat melongo setelah menonton adegan porno langsung di depan mereka. “Danang!” seru Mang Enjup. Yang dipanggil tersentak dari keadaan mupeng. “HP kamu bisa rekam video kan? Ayo keluarin.” Danang nyengir dan langsung ngerti apa maksud atasan merangkap pamannya itu. Segera dia keluarkan ponsel miliknya dengan fungsi perekam video yang sudah beberapa kali memberi kontribusi 3gp kepada ajang video porno amatir di internet. Mang Enjup mendorong pelan Tia dari pangkuannya, lalu membuat Tia berlutut di lantai. Kemudian dia berdiri, mengambil HP Danang, dan menyuruh Danang serta Reja mendekat. Danang dan Reja berdiri di depan Tia yang bersimpuh, menghadapkan jendulan di balik celana mereka ke arah muka Tia. Sementara Mang Enjup sendiri duduk di kursi tamu, di belakang Danang dan Reja, matanya tak lepas menatap mata Tia. Dia menyalakan fungsi kamera video HP Danang. Danang yang sudah horny berat sudah mau membuka celana dan menerkam Tia, tapi Mang Enjup lebih dulu memperingatkannya. “Tahan dulu. Tunggu komando.” Kemudian Mang Enjup memulai menyorot Tia. Wajah Tia yang tertutup tata rias tampak bengong; mulutnya yang setengah terbuka dan matanya yang setengah tertutup memberi kesan “Tia,” perintahnya, “Coba kamu bilang, siapa kamu.” Tia, tak berdaya di bawah pengaruh tatapan penjerumus Mang Enjup, menjawab. Suaranya kembali datar tanpa ekspresi. “Saya Tia… “ “Bagus Tia. Sedang jadi apa kamu sekarang?” “Saya sedang jadi…” Tia berhenti; bawah sadarnya masih belum bisa mengungkapkan dengan jelas. “Hee… Apa kamu tidak tahu Tia? Sekarang kamu sedang jadi pelacur. Sedang jadi apa, Tia?” “Saya sedang jadi pelacur…” “Benar Tia. Kamu sedang jadi lonte. Kamu dandan menor, pake baju seksi. Buat siapa?” “Buat Mas Bram…” “Bukan.” “Bukan?” “Lihat siapa yang ada di sini, Tia. Kamu tahu? Sebenarnya kamu dandan bukan buat Bram saja. Kamu pengen dilihat semua orang. Dianggap cantik dan seksi oleh orang. Karena kamu sebenarnya lonte yang suka nggoda laki-laki.” “Iya…” Mang Enjup melihat sedikit perubahan ekspresi, seolah Tia agak enggan. Mungkin bawah sadar Tia sedang berusaha menolak sugestinya. “Jangan dilawan, Tia. Akui saja.” “…” “Lihat Tia. Lihat gara-gara kamu, dua orang ini jadi konak nggak ketulungan. Kasihan kan.” “Konak…” “Sebagai lonte, kamu jangan diam aja melihat orang konak. Hayo bantu mereka. Isap kontol mereka.” Mang Enjup mengangguk ke arah Danang dan Reja. Keduanya dengan senang hati membuka resleting celana dan menodongkan ‘senjata’ mereka ke muka Tia. Danang sedikit iri melihat punya Reja yang lebih besar daripada punya dirinya sendiri. Kedua tangan Tia masing-masing menggenggam penis yang diacungkan ke arahnya, lalu mulai mengocok. Lalu seperti lonte berpengalaman Tia mulai menggilir kedua penis itu dengan bibirnya. Danang terkekeh merasakan bibir empuk merah Tia melumat batangnya. Dielusnya rambut panjang Tia. Kemudian ganti giliran Reja, Tia memiringkan kepala lalu menggigit lembut pangkal batang Reja sebelum menjilatnya dari bawah ke atas. Mang Enjup memfilmkan itu sambil terbahak-bahak dalam hati. Salah satu kenikmatan hidup yang paling dia sukai adalah perempuan, namun sayang penyakit ejakulasi dini-nya sangat mengganggu dia merasakan kenikmatan itu. Kadang dia frustrasi ketika hanya bisa bertahan beberapa menit menggarap gadis-gadis yang sudah menyerahkan diri kepadanya. Frustrasinya itu akhirnya dia salurkan dengan cara merusak kepribadian para sasarannya dengan ilmu hipnotis; perempuan yang jatuh ke tangannya dia ubah menjadi lebih binal. Selanjutnya dia akan puas apabila perempuan-perempuan itu terjerumus akibat perubahan yang dia tanamkan. Pernah Mang Enjup membuat seorang perempuan mantan rekanannya yang sudah menikah menjadi membenci suaminya, sehingga akhirnya bercerai. Kali lain, Mang Enjup mengacau pemikiran seorang gadis yang diwawancaranya untuk lamaran kerja, sehingga gadis yang awalnya alim itu kini melacurkan diri di suatu kawasan hiburan malam terkenal (karena tidak diterima kerja sebagai karyawatinya). Dan sekarang, dia pun sedang mengubah Tia. Tia berganti-ganti menyepong Danang dan Reja; lipstik merahnya mulai celemotan setelah bibirnya naik-turun dua batang kejantanan. Kedua anak buah Mang Enjup mulai tak tahan, dan Danang yang duluan ejakulasi, ketika posisi anunya sedang di dalam rongga mulut Tia. Ketika itu juga Danang langsung refleks mencengkeram dan menekan kepala Tia ke selangkangannya, sehingga seluruh semburannya tidak ada yang tumpah di luar. “Uehh… gile enak banget!” teriak Danang. Tia mundur setelah kepalanya dilepaskan Danang, sambil menutup bibirnya dengan tangan, seolah menahan agar dia tidak memuntahkan mani Danang. Mang Enjup maju dan menyorot muka Tia dengan kamera video HP Danang. “Gimana, Tia? Enak kan? Jangan ditelan dulu. Buka mulutnya.” Tia membuka mulutnya, memperlihatkan sisa sperma Danang yang belum sempat tertelan. Dimain-mainkannya cairan lengket itu dengan lidahnya, sebelum akhirnya ditelan juga. “Enak, Tia?” “Enak…” “Enak kan ngisap kontol?” “Iya… kontol enak…” Semua itu terekam oleh kamera HP Danang. Mang Enjup sengaja merekam semuanya dalam video, untuk jaga-jaga. Barangkali kelak ada yang tidak beres, dia bisa menyelamatkan diri dengan memeras Tia. Tapi kata-kata Tia yang terakhir itu sungguh tidak terduga. Bisa aja si Neng ngomong begitu… “Nah, ingat itu Tia. Kamu suka ngisap kontol. Coba ulangi.” “Aku suka ngisap kontol.” Sementara Danang memulihkan diri, amunisi Reja masih penuh. Reja tidak banyak bicara, tapi dari wajahnya terlihat dia tidak puas karena Tia berhenti. “Bagus,” kata Mang Enjup kepada Tia, “nah, Tia, karena kamu sekarang sudah jadi lonte, kamu harus ingat baik-baik. Lonte itu nggak cuma ngentot sama suaminya. Lonte itu mau ngentot sama semua orang. Gak peduli sejelek apapun orangnya, se-ancur apapun orangnya, lonte harus mau. Mulai sekarang, kamu nggak akan menolak ngentot sama siapapun.

Biarpun kamu nggak suka, kamu nggak akan nolak. Ngerti, Tia?” “Mengerti.” “Nah, sekarang kamu ngentotlah sama dia.” Reja menghampiri Tia yang duduk di lantai, membuat Tia dalam posisi seperti mau merangkak. Gaun pendek Tia disibaknya sehingga terlihatlah pantat Tia yang mulus dan sekal. Tidak cuma Reja, Mang Enjup yang jadi juru kamera pun tergiur melihat bokong bulat-montok Tia yang tadi sempat mengulek kejantanannya. Mang Enjup memang paling suka pantat bahenol khas perempuan kampung halamannya. Dengan antusias ditontonnya dari balik kamera bagaimana kejantanan Reja yang besar dan menakutkan itu melesak masuk ke kewanitaan Tia, sementara Tia meringis keenakan selagi tubuh Reja menindihnya. Sebelumnya, baru Bram yang pernah mencicipi tubuh Tia. Tapi malam itu Tia tadi telah dijamah Mang Enjup (biar hanya sebentar), lalu Danang (baru di mulut), dan sekarang Reja—barangnya-lah yang paling besar di antara semua yang pernah mempenetrasi Tia. Si nyonya muda itu merintih dan mengerang, kelopak matanya yang dipercantik eyeshadow senada warna bajunya terpejam ketika dia merasakan ukuran luarbiasa onderdil Reja memaksa liang kenikmatannya merentang lebih lebar daripada biasa. Reja menggenjot dengan buas dalam posisi doggy style, tanpa basa-basi atau pelan-pelan dulu, dan ketika Tia menjerit, makin kencanglah aksinya. Entah Tia menjerit kesakitan atau keenakan, Reja tidak peduli. “AA!! AH! Ah! Ah!” Tia menggigit bibir, berteriak, menganga, menyentakkan kepala. Tiap tusukan Reja membuatnya tersentak ke depan, kedua payudaranya berguncang, gairahnya membara. Tak lama kemudian Tia mengalami orgasme kedua malam itu, di tengah gempuran gencar Reja. Mang Enjup merekam lolongan panjang yang muncul ketika Tia tersungkur, mencium lantai, rambutnya tergerai di sekeliling kepala, ditaklukkan klimaks. Tapi Reja benar-benar tahan lama. Walaupun disiksa jepitan vagina Tia, dia masih tetap dapat mempertahankan kekerasan anunya. Didengarnya Mang Enjup berkata sesuatu. “Ja! Cabut, terus kamu bawa dia ke kursi, hajar pantatnya.” Agak susah Reja melepaskan burungnya dari sempitnya memek Tia. Supir mantan tentara itu lantas mencekal pinggang Tia, lalu duduk dan menarik Tia ke pangkuannya. Tia yang baru saja orgasme tidak mampu melawan ketika ditarik Reja. Ketika Tia sudah berada di pangkuan Reja, Mang Enjup kembali mengajak bicara Tia. “Dasar nakal, Tia. Sudah ngentot sama sembarang orang, keenakan pula. Dasar lonte.” Tia cuma terengah-engah menerima penghinaan dari Mang Enjup. “Hei Tia. Sudah pernah main belakang? Lubang pantatmu sudah pernah ada yang nyodok belum? Ayo dijawab.” “Sudah…” Ternyata si Bram doyan pantat juga, pikir Mang Enjup. “Kamu suka dibegitukan, Tia?” “Enggak…” “Kenapa nggak suka?” “Sakit… jijik… malu…” “Oh… gitu. Tapi mulai sekarang kamu nggak keberatan lagi dientot di pantat. Ngerti?” “Mengerti…” “Bagus. Sekarang buka tuh lubang biar kontol bisa masuk.” Tia mengangkang di atas pangkuan Reja. Tangannya menjulur ke arah selangkangan, meregangkan bagian sekitar lubang duburnya. Kemaluan jumbo Reja yang basah dengan cairan vagina Tia bersiap masuk. “Eughhh…” Wajah Tia berubah meringis ketika kepala penis Reja berusaha menerobos saluran sempit yang baru satu kali ditembus dari luar itu. “Ah! Haah! Haduhh!!” Ketika beberapa malam lalu Bram memerawani anusnya, Tia juga menjerit-jerit, tapi senjata Bram tidak sebesar punya Reja. Bisa dibayangkan perbandingan kekuatan desakannya dan rasa sakit yang ditimbulkannya. Sampai-sampai air mata Tia mengalir selintas. Susah payah Reja mendorong, memaksa dinding dalam dubur Tia agar mau menerima benda tumpul keras berukuran ekstra. Hampir pingsan Tia ketika seluruh penis Reja berhasil dimasukkan sampai pangkal. Tia merasakan refleks normal bagian tubuhnya yang itu untuk mendorong keluar benda-benda yang ada di dalamnya membuat jepitannya terhadap batang Reja makin kencang. Dia mengeluh lemah, merasakan sensasi ‘terisi penuh’ yang tak wajar. Tubuh atasnya ambruk ke dada Reja; Reja langsung menyambut dengan ciuman-ciuman ke tengkuk dan bahu serta gerayangan ke dada dan perut, sementara pinggulnya mulai memompa. Kemarin-kemarin Tia sudah memutuskan tidak mau disodomi lagi setelah pengalaman pertamanya dengan Bram. Tapi keputusannya itu sudah dibatalkan pengaruh hipnotis Mang Enjup. Nyeri yang Tia rasakan ketika Reja memasukkan penisnya sedikit mereda, dan Tia merasakan bahwa di antara rasa sakit itu terselip kenikmatan. Tia merintih lembut ketika Reja menarik anunya sampai hampir keluar. Sejenak dia merasa kosong, ingin diisi kembali; keinginan itu segera terpenuhi dengan kembalinya batang Reja ke dalam anusnya. Reja awalnya tidak bisa bergerak cepat, karena begitu sempitnya jalan belakang Tia yang jarang dipakai itu, tapi lama-lama gerakan maju-mundurnya makin cepat. Dengan tiap tusukan, Tia merasakan tubuhnya mulai menuju klimaks. Tia mulai menikmati setiap gesekan batang Reja di dinding saluran duburnya, setiap desakan kepala kontol Reja dalam lubangnya. Nafas Reja mulai memburu, jepitan lubang anus Tia benar-benar menguji ketahanannya. Mang Enjup sangat puas melihat wajah Tia yang kelihatan sangat mesum, terengah-engah keenakan selagi anusnya disodok kontol besar seorang laki-laki yang bukan suaminya. Anak bosnya itu benar-benar kelihatan seperti lonte murahan. Dan Mang Enjup juga tahu, PSK betulan saja banyak yang tidak mau melayani seks anal; artinya dia sudah berhasil merubah Tia menjadi lebih parah. Tak perlulah semua bagian video yang direkamnya dipertahankan, pikir Mang Enjup. Cukup bagian si Tia dibo’ol saja. “Woi, Ja! Ikutan!” Danang memutuskan untuk tidak bengong saja. Kemaluannya sudah bertenaga lagi. “Memeknya buat gua, ya!?” Posisi Tia yang mengangkang di pangkuan Reja dengan pantat tertembus senjata tumpul Reja jelas sangat mengundang. Dengan terburu-buru Danang mendekati Tia dari depan, dan tanpa basa-basi menempatkan kepala penisnya di bibir vagina perempuan yang bukan haknya itu. Sekali dorong, dan kehormatan Tia sebagai seorang istri kembali tercemar oleh bagian tubuh orang lain. Tia mendesah, mengerang, merasakan sensasi baru ketika dua orang memasuki tubuhnya sekaligus—double penetration yang baru pertama kali dialaminya sendiri. Memeknya langsung membanjir karena diterpa rangsangan demi rangsangan. Reja dan Danang mengeroyok kedua lubang Tia dari depan dan belakang, kadang berbarengan, kadang bergantian. Tia sendiri balas menggoyang pinggulnya, kadang melawan tusukan Danang dari depan, kadang menggilas coblosan Reja dari bawah. Yang keluar dari mulut Tia hanya aneka jerit kenikmatan yang tak jelas artinya. Lalu sekujur tubuh Tia serasa meledak ketika dia orgasme untuk ketiga kalinya, lebih hebat dibanding yang sebelumnya. Reja melenguh keras ketika akhirnya kehilangan kendali, dicengkeramnya pinggul Tia keras-keras ketika penis besarnya memuncratkan mani ke dalam ujung saluran pencernaan Tia. Lama sekali dia mengosongkan muatannya di dalam pantat Tia. Ketika semburannya selesai dan Reja menarik keluar penisnya, dubur Tia menganga dengan tak senonohnya dan cairan putih keruh mengalir keluar—sekali-sekali alirannya berubah jadi muncratan akibat refleks normal bagian tubuh itu. Mang Enjup tak lupa mengabadikannya dalam sorotan close-up. Melihat Reja mesti istirahat, Danang tidak berhenti. Reja menggeser tubuh Tia sehingga bisa menyingkir dari bawah Tia. Sekarang Danang ada di atas Tia yang terduduk tanpa daya di sofa. Sambil menggerayangi payudara Tia dan mencupangi leher Tia, dia terus merangsek lubang sanggama Tia. Terus begitu sampai akhirnya Danang pun ejakulasi, di dalam rahim Tia. Tia yang akalnya sedang kacau tak mampu menolak benih asing tertumpah dalam dirinya. Mang Enjup mulai kesal akan keadaan dirinya yang sudah tak muda lagi ketika setelah cukup lama pun kejantanannya belum mampu bertempur lagi. Sementara itu kedua asistennya yang masih muda hanya perlu waktu tak seberapa lama sebelum mereka kembali siap menyetubuhi lonte mereka malam itu, Tia. Sejam kemudian, Reja dan Danang akhirnya tak kuat lagi. Mereka berdua menggeletak kecapekan di kiri-kanan Tia yang juga terkapar. Sungguh mengenaskan keadaan Tia; wajahnya ternoda cipratan mani yang tadi sempat ditumpahkan di sana, sementara liang vagina dan duburnya yang babak belur dipenuhi sperma Reja dan Danang yang sedikit-sedikit mengalir keluar. Dada dan pundaknya penuh bekas cupangan dan gigitan. Benar-benar seperti seorang wanita tuna susila yang habis dibayar untuk pesta seks semalaman. Setelah memotret Tia dalam keadaan seperti itu beberapa kali, Mang Enjup menggoyangkan tubuh Tia untuk meminta perhatiannya. Mang Enjup hendak menyelesaikan tindakannya terhadap Tia malam itu. “Tia, bangun. Tatap mata Mang dan dengarkan semua kata Mang. Mengerti?” “Mengerti…” suara Tia terdengar lemah. “Sehabis ini, kamu akan lupa semua yang terjadi malam ini. Kamu tidak akan ingat pernah diberitahu segala macam oleh Mang, tapi semua itu tetap akan kamu patuhi dan ikuti. Tidak akan kamu kaitkan perubahan perilakumu dengan kata-kata Mang. Sesudah Mang menjentikkan jari, kamu akan tidur selama satu jam, lalu bangun dan tidak ingat apa-apa. Kalau di badanmu ada bekas-bekas bersetubuh, itu karena kamu habis bersetubuh dengan Bram. Ngerti, geulis?” “Ya…” CTAK. Tia memejamkan mata untuk tidur selama satu jam ke depan sesuai perintah Mang Enjup. Mang Enjup tersenyum puas. Biarpun tidak bisa maksimal menikmati tubuh Tia, dia puas bisa mengubah Tia untuk seterusnya. Pikirannya sudah membayangkan berbagai hal yang bakal dialami Tia kelak. “Danang! Reja! Hayoh jangan pada molor di sini. Kita pergi!” Dua orang yang dipanggil itu bangun dengan susah payah. Danang merasa pinggangnya sakit dan dengkulnya tak bertenaga setelah entah beberapa ronde tadi merasakan semua lubang yang bisa dientot di tubuh Tia. Reja berdiri, menutup celananya, dan terus berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Mang Enjup dan rombongannya kemudian meninggalkan Tia yang terkapar dan ternoda di ruang tamu, ditemani Bram yang masih terbaring tak sadar di sofa. Ketika Mang Enjup dan kedua bawahannya keluar pagar rumah Bram dan Tia untuk menuju mobil mereka yang diparkir di luar, satu suara menyapa mereka. “Baru pulang, Mang?” Mang Enjup menoleh, melihat api rokok menyala di arah suara tadi datang. Rokok dengan filter terjepit bibir merah seorang perempuan yang wajah cantiknya kurang jelas terlihat di bawah lampu luar rumah yang kurang terang. “Euleuh-euleuh, Neng Citra, masih bangun? Ikutan ngeronda, atau sekarang salonnya buka dua puluh empat jam?” Citra yang sedang duduk-duduk sambil merokok di luar salonnya itu menghampiri Mang Enjup. “Ah si Mang bisa aja. Tumben mampir ke sebelah. Ada urusan sama Bram atau Tia?” kata Citra sambil melirik genit. Mang Enjup tidak bisa tidak memperhatikan itu. “Mang cuma ngobrol-ngobrol sebentar sama Neng Tia. Kan sudah lama tidak ketemu. Neng Tia sekarang berubah, ya? Jadi pangling. Tambah cantik dia.” Citra terkikik. Berbeda dengan Tia, Citra sudah lama tahu kebiasaan buruk laki-laki tua pegawai orangtua adik iparnya itu. “Nah, sekarang Mang mau pulang dulu. Sudah malam, dan kepala Mang agak pusing. Biasa, kerjaan. Perlu konsentrasi. Capek.” “Nggak mampir dulu, Mang?” goda Citra. “Citra pijatin deh Mang biar gak pusing.” Kenapa tidak, pikir Mang Enjup. Dia mengangguk dan kemudian mengikuti Citra masuk ke salon. Kedua anak buahnya membuntuti. Bram membuka mata dengan berat. Dia merasa kepalanya sakit, dan dia mengingat-ingat apa yang baru terjadi. Jelas tadi dia terlalu banyak menenggak minuman keras ketika menemani Mang Enjup menjamu tamu di satu pub. Setelah tamu itu pergi, dia terus minum-minum dengan Mang Enjup, dan dia tidak ingat lagi apa saja yang dia obrolkan dengan atasannya itu. Mungkin dia menyebut-nyebut Tia. Berikutnya dia ambruk karena mabuk, lalu sepertinya dia ketiduran dan diantar pulang oleh Mang Enjup, karena dia sekarang terbaring di sofa di ruang tamunya sendiri. Dan tadi dia bermimpi aneh sekali, dia bermimpi Tia yang menunggunya malah dipangku oleh Mang Enjup, lalu Tia menuruti kata-kata Mang Enjup, dan Tia menyerahkan dirinya untuk disetubuhi dua orang yang tidak bisa dia ingat siapa… Di mana Tia? Bram bangkit pelan-pelan, mengangkat kepalanya yang puyeng, dan dilihatnya Tia meringkuk di sofa, dengan baju dan dandanan acak-acakan. Dilihatnya bekas mani yang mulai mengering di pipi Tia. Siapa yang… Bram berguling sehingga turun dari sofa, lalu beringsut mendekati Tia. Digenggamnya bahu Tia lalu diguncang-guncangnya perlahan agar istrinya bangun. “Tia? Sayang, bangun yang…” “Uuhhh… Mas… Bram?” “Duh… sakit banget ni kepala. Kayaknya aku tadi kebanyakan minum… auw… apa… tadi aku diantar pulang?” Tia terdiam, bingung karena ingatan jangka pendeknya sudah dikacaukan. Tia tidak ingat bagaimana Bram pulang, siapa yang mengantar Bram pulang, apa yang terjadi barusan. Yang dirasakannya cuma letih, pegal di sekujur tubuh, dan nyeri di sekitar selangkangan. Bram mengelus pipi istrinya yang tergeletak lemah di sofa. Tanpa sengaja dia menyentuh peju kering yang tertempel di sana. “Tia… apa tadi kita…” Tatapan Tia lemah, tapi kali ini dia menjawab. “Iya, Mas…” Tia tersenyum lemah. Bram masih tidak percaya. Apa tadi dia bercinta dengan istrinya? Dia tidak ingat sama sekali. Dilihatnya sekali lagi wajah istrinya yang begitu dekat. Pastilah Tia tadi berdandan habis-habisan seperti biasa; sisa-sisanya masih terlihat, walaupun sebagian sudah terhapus akibat apapun yang tadi terjadi. Aroma tubuh Tia bercampur bau asing yang tak Bram kenal. Ribuan pertanyaan mengganggu pikiran Bram. Tapi dia terlalu pusing akibat hangover untuk menanyakannya. Dia ambruk lagi, tertidur di samping wajah istrinya. Entah bagaimana perasaan Bram kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tia telah terjerumus.

 

#3

Tia​
Suatu pagi di rumah Bram dan Tia. Beberapa hari sesudah kunjungan Mang Enjup ke rumah yang tidak diingat oleh Bram maupun Tia. Padahal kita tahu apa saja yang dialami oleh Tia malam itu. Pagi itu sekitar jam 8, Bram sudah berangkat ke kantor, sedangkan Tia baru saja selesai mandi pagi dan berganti pakaian setelah tadi mengurusi Bram. Tia mulai merasakan ada yang ganjil pada dirinya. Entah kenapa, tadi waktu mandi dia jadi lebih lama dan intens mengelus-elus tubuhnya sendiri. Sesudah mandi, Tia mengenakan daster panjang longgar nyaman yang biasa dia pakai sehari-hari. Kalau berencana seharian di rumah seperti pada hari itu, biasanya Tia betah seharian mengenakan daster. Tapi entah kenapa, pagi itu daster itu dirasanya kurang nyaman. Dibukanya lagi lemari bajunya, dan diambilnya satu daster lain. Daster setali berwarna biru, jauh lebih pendek (hanya sampai setengah paha), berbahan tipis. Tia melepas daster panjangnya dan ganti memakai daster biru pendek itu. Kalau daster panjang yang tadi menutupi bahu dan lengan atas Tia, yang ini cuma menyisakan seutas tali kain yang menyampir di tiap bahu, sehingga pundak Tia yang cantik itu terbuka. Tidak tahu kenapa, dia merasa lebih nyaman dengan daster babydoll yang seksi itu. Lalu ketika dia duduk di depan cermin di kamar tidurnya, dia merasakan ada yang kurang. Wajahnya… terasa terlalu polos. Jadi, biarpun tidak berencana ke mana-mana hari itu, Tia pun mulai merias wajah. Awalnya dia hanya berbedak tipis. Lalu diulaskannya lipstik pink, tipis saja, di bibirnya. Entah kenapa, dia tergoda untuk menebalkan lipstiknya. Beberapa saat kemudian, bibirnya yang indah itu jadi makin menarik perhatian karena berwarna pink cerah dan dibuat kemilau karena lip gloss bening. Digerainya rambutnya yang sudah kering. Tia mendesah ketika rambutnya mengelus pundaknya sendiri. Ditatapnya dirinya lagi di cermin; dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah aku sudah cantik? Apakah aku bisa menggoda para lelaki hari ini? Tia tertegun. Terlintas pemikiran tadi di kepalanya. Dia tak tahu dari mana datangnya. Tapi seolah ada perintah dalam kepalanya yang menyuruh dia berpenampilan secantik-cantiknya, supaya bisa menarik perhatian laki-laki. Dan dia tak kuasa melawannya. Entah kenapa. ***** Biarpun orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Tia terbiasa bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Tia sering aktif dalam kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan kaum miskin. Tia memang punya kepedulian sosial yang besar, dan patut diacungi jempol karena konsisten mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Salah satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Tia berbelanja. Sementara nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah berbelanja di pasar atau di tukang sayur dan memilih belanja di pasar swalayan, Tia lebih suka belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang sayur. Dan hari itu pun, seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Tia mampir ke rumah Tia. Tia membuka garasi membiarkan gerobak tukang sayur masuk. Tukang sayur langganan Tia adalah seorang laki-laki berumur 40-an tahun, namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan ibu-ibu pelanggannya dengan nama “Pak Kumis” karena, ya karena apa lagi, kumisnya. Kumisnya boleh diadu dengan kumis diktator Timur Tengah yang sudah mati digantung ataupun kumis suami seorang artis dangdut yang terkenal karena goyangan khasnya. Wajah bulatnya yang berkulit hitam biasa tertutup caping. Ketika datang ke rumah Tia pagi itu, Pak Kumis mengenakan kaos partai bekas kampanye bertahun-tahun lalu yang belel dan agak kekecilan sehingga perutnya yang membuncit tampak menonjol, juga celana panjang usang dan sandal jepit. Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar amat untungnya, tapi Pak Kumis tidak mempermasalahkan jalan hidupnya, yang penting ada kerjaan biar bisa makan. Apalagi kalau dia mengingat bahwa masih banyak ibu-ibu yang menunggu kehadirannya tiap pagi. Pak Kumis harus mengakui, salah satu langganannya tampil agak beda hari ini. Ya, Bu Tia memang masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini, dengan baju lebih pendek dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik. Tapi sebagai tukang sayur profesional yang berpengalaman, Pak Kumis tetap melayani Tia dengan baik seperti biasa. Tia memilih-milih tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum terpikir mau masak apa untuk Bram nanti malam. Ah, ikan saja. Dengan sop sayuran. Cuci mulutnya pepaya segar. Dimintanya Pak Kumis memilih dua ekor ikan yang kemudian dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya. Tia memperhatikan lengan Pak Kumis yang bergerak-gerak ketika pemiliknya menyiapkan ikan. Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap, maklum karena waktu muda pemiliknya tiap hari berolahraga mencangkul sawah di kampung, dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong gerobak yang lumayan berat berkeliling kota. Sepintas Tia membayangkan bagaimana rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu… “Semuanya empat puluh empat ribu, Bu Tia,” suara Pak Kumis membuyarkan lamunan Tia. Pak Kumis menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Tia, ikan dan sayuran dan pepaya, dengan sopan. Tia menerimanya lalu membuka dompet. Ada beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya; tidak ada uang kecil. “Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Tia sambil menyodorkan selembar Rp100.000. “Tunggu sebentar ya Bu,” Pak Kumis kemudian membuka tas pinggang kumal yang melingkari perutnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang kucel, lalu dihitungnya. “Wah, nggak ada kembaliannya, Bu. Saya tinggal dulu ya? Mau tukar duit.” Pak Kumis pergi meninggalkan garasi rumah Tia dan gerobak sayurnya di sana sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Tia bisa menyita gerobak tersebut. Nah, rumah Tia terletak agak jauh dari warung, toko, pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa menukar uang untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Kumis akan pergi agak lama. Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Tia memutuskan untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu. Tapi…Setelah ada di dalam rumah, Tia terpikir mengenai salah satu barang yang baru dibelinya dari Pak Kumis. Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari barang itu. Dapat! Tia memegangi sebuah terong yang tadi dibelinya. Ungu, panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal. Padahal yang mau dimasak Tia ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli terong? Bukan, Tia bukan mau memasak terong itu. Entah kenapa, sayuran yang bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu. Atau lebih tepatnya, menyerupai fantasinya tentang sesuatu. Tia menggenggam terong itu penuh rasa sayang, sambil mengamat-amatinya. Pelan-pelan disingkapnya sedikit daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya terlihat, terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis. Lalu… meskipun tak mengerti benar mengapa dia melakukannya Tia kemudian mengeluskan ujung terong yang dipegangnya ke bagian depan celana dalamnya. Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras itu terhadap vagina di balik celana dalam membuat Tia merinding. Tambah merinding dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai sayuran, melainkan kejantanan penjualnya. Betul, Tia sedang membayangkan tukang sayur langganannya yang berkulit hitam dan berlengan kekar itu. Dalam bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang keras dan kumisnya yang ganas, senjata pusaka Pak Kumis mestilah gelap dan mantap seperti terong yang dipegangnya. Berulangkali Tia menggosok-gosok celana dalamnya dengan terong itu, kadang sampai menekannya agar ujungnya sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara belahan kewanitaannya. Tia mulai mendesah selagi nafsunya terbangkitkan. Dia jadi tidak puas dengan hanya menggoda kemaluannya sendiri dari balik kain, dan menggeser sedikit celana dalamnya sehingga terong yang beruntung itu mengelus-elus kedua bibir luar vagina Tia. Setelah kewanitaannya mulai basah, Tia pun tak ragu lagi untuk memberi kesempatan kepada si terong untuk mempenetrasi manusia. Ujung terong itu diterima dengan hangat dan becek oleh vagina Tia. Yang dibayangkan Tia tentunya bukan bercinta dengan terong, melainkan Pak Kumis tukang sayur langganannya itu. Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan tangan Tia keluar masuk. Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja bibir Tia membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya. “Ah… ammm… Pak Ku… mis… engg…” GEDUBRAK! Tiba-tiba pintu depan rumah Tia terbuka mendadak dan terjatuhlah tukang sayur yang bersangkutan ke lantai di samping kursi yang diduduki Tia. Tia dan Pak Kumis sama-sama terkejut. Jadi begini ceritanya: Pak Kumis sudah berhasil menukar uang 100 ribu yang diberikan Tia, dan dia kembali ke rumah Tia membawa kembalian. Waktu dia kembali, dilihatnya Tia sudah tidak ada di garasi, dan pintu depan rumah Tia setengah terbuka. Menganggap Tia sudah di dalam, Pak Kumis mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu untuk menyerahkan kembalian kepada Tia. Tapi dia tanpa sengaja malah mengintip Tia yang sedang menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan sejenak dia tak berani beranjak dari posisinya di depan pintu yang terbuka sedikit itu. Ketika Tia menyebut namanya tadi, saking kagetnya, Pak Kumis sampai terpeleset, mendorong pintu sampai terjeblak, dan jatuh ke dalam rumah. “Adudududuh…” Pak Kumis meringis karena mencium lantai marmer. “Ahhnnnh…” Tia meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya. Dua-duanya sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan anehnya situasi. Pak Kumis buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi kalah cepat dengan Tia yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa membiarkan Pak Kumis keluar dari rumah ataupun terong keluar dari kemaluannya. “Eh, Bu Tia…? mmMmmMM??” Tia mendorong Pak Kumis ke tembok di belakang pintu, sambil menutup mulut Pak Kumis… dengan bibirnya. Saking kagetnya akan kegesitan gerakan Tia, Pak Kumis hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda langganannya itu memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Tia merangsek ke dalam rongga mulutnya. Dengan buas Tia memberi french kiss kepada si tukang sayur, tanpa memedulikan gesekan kumis tebal Pak Kumis yang kasar ke kulit sekitar bibirnya. Satu tangan Tia kembali memain-mainkan terong di kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan perut Pak Kumis, turun terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke bagian depan celana Pak Kumis. Pak Kumis bukanlah orang yang suka main perempuan, dia cukup setia dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar mengurus anak, tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan seksi yang dengan ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya, tukang sayur itu tak berdaya. Dia tak kuasa melawan ketika Tia menarik turun resleting celananya dan langsung mengocok penisnya. Selesai menciumi habis bibir Pak Kumis, Tia langsung berjongkok di hadapan Pak Kumis, mengamati terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke vaginanya, lalu barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di depannya. Tanpa memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan setengah hati dari Pak Kumis, Tia menggesekkan pipinya ke batang hitam tegap itu, mengendus baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya. “Aduh… Bu Tia… jangan Bu Tia…” keluh Pak Kumis, yang konak sekaligus ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya itu. Tapi dia tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Tia. Dia hanya bengong sambil melihat burungnya yang sudah tegang dimain-mainkan Tia. Tia makin berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Kumis ke mulutnya. Bibir atas Tia menjepit daging kemaluan Pak Kumis sementara bibir bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia. Pak Kumis merasa bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Tia menyentuh urat-urat di barangnya. Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau kuatir selagi membiarkan anunya diisap Tia. Sementara yang mengisap tidak peduli; yang Tia pikirkan hanyalah betapa besarnya kejantanan Pak Kumis, dan betapa kerasnya terong yang menjolok kewanitaannya. Ada yang bilang perempuan lebih mampu melakukan multitasking, mengerjakan beberapa tugas sekaligus, daripada laki-laki. Setidaknya Tia memang seperti itu, karena dia menyodok vaginanya sendiri makin cepat dan dalam dengan terong betulan sambil memperhebat godaannya terhadap ‘terong’ Pak Kumis. Sementara Pak Kumis yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak bisa berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak oleh kenikmatan badani yang diberikan mulut Tia. Tubuh Tia ikut menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak. Terong di kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Tia menjerit keenakan dalam klimaks. Mendengar suara kenikmatan Tia yang begitu menggoda, Pak Kumis merasa tak kuat lagi menahan. Muncratlah burungnya tepat di depan Tia, sehingga wajah cantik Tia ternoda cairan kelelakian si tukang sayur. Tia terduduk lemah, merasakan hangatnya benih terlarang Pak Kumis menerpa hidung dan pipinya. Pak Kumis yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan segera menutup celananya, lalu mencoba beranjak selagi Tia terduduk lemas akibat orgasme. Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi ketika dia membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Tia, dia merasakan celananya ditarik. Pak Kumis menoleh dan melihat wajah Tia yang belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar. Lapar akan laki-laki. “Aduh, Bu Tia… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Kumis dengan wajah memelas. Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan kumis se-sangar itu. Saat itu juga Tia berdiri pelan-pelan, lalu mendekatkan mukanya ke muka Pak Kumis yang ketakutan, lalu berbisik: “Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.” Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Kumis jadi tenang lagi. Tia berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja. “Jangan nggak balik lagi ya Pak Kumis… saya tetap mau langganan belanja sama Pak Kumis, ya? Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang seperti ini…” “…Iya …iya …” Pak Kumis mengiyakan dengan lirih. Setelah itu, Tia melepaskan tangannya, dan Pak Kumis bergegas pergi. Dengan terburu-buru Pak Kumis mendorong gerobak sayurnya keluar. Karena masih panik, gerobaknya sampai menabrak pagar rumah Tia sewaktu mau keluar. Setelah Pak Kumis pergi, Tia baru merasakan betapa tak wajarnya tindakannya tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya orgasme. Kenapa dia sampai begitu? Berfantasi mengenai tukang sayur sampai-sampai ‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya sendiri, dan memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Kumis yang sejenak terjebak dalam rumahnya? Tia bingung sendiri. ******** 2. SIANG Setelah pagi yang tak terduga itu, Tia akhirnya bisa menenangkan diri lagi. Dia kembali ke rutinitasnya, membaca laporan dan berkas-berkas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, melakukan beberapa perhitungan, sambil menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Dia tak mengganti baju daster pendek biru-nya. Dia juga sudah mencuci muka—dan memulas kembali mukanya dengan make-up sehingga dia kembali tampak secantik penampilannya tadi pagi. Tia makan siang sendirian, hanya nasi dengan lauk seadanya. Dia juga membelah pepaya yang tadi pagi dibelinya dari Pak Kumis. Pepaya itu terlalu besar. Kalau hanya dimakan berdua dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat. Ah, kalau begitu separonya nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Tia. Sepinya siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan nyanyian asal-asalan dari depan pintu. “Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku” Terdengar suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru pecah, peralihan dari suara anak-anak ke dewasa. Tia yang sedang duduk di depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan.

Di luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3 SMP atau 1 SMA. Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk mengiringi nyanyian. Tia kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu. Tia lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan dapur, dan berjalan keluar. Setelah keluar, Tia bisa melihat lebih jelas kedua pengamen itu, keduanya tampak seperti biasanya anak jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit gelap terbakar matahari. Keduanya mengenakan jeans belel dan kaos hitam bertuliskan nama-nama band beraliran keras. Gaya rambut keduanya sama-sama tak biasa: yang bertepuk tangan rambutnya dibuat spike, mencuat di sana-sini seperti duren atau landak, sementara kawannya yang main gitar membotaki pelipis kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk walaupun rambutnya yang tersisa di tengah tidak diberdirikan, mungkin karena kurang modal. Terlihat tindikan menghiasi tempat-tempat di muka mereka. “Makasih tante…” kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar uang seribuan dari tangan Tia. Yang memberi dan yang menerima sama-sama tersenyum, Tia tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua pengamen itu tersenyum bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik bidadari pada siang yang panas itu. Biasanya mereka ketemu pembantu, nenek-nenek, atau anjing penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah ketika dia mengingat sesuatu. “Lho… ini Kak Tia kan?” Tia kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya. Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan… “Janu?” Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu. “Iya Kak, saya Janu, yang dulu di rumah singgah!“ “Ooo, Janu! Iya iya, inget. Yang waktu dulu itu ya. Kamu udah lebih jangkung, ya?” “Hehehe, iya dong kak, kan udah gede sekarang.” Kegiatan bakti sosial Tia waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru bagi anak-anak terlantar di suatu rumah singgah. Salah seorang anak yang sempat dia ajar adalah Janu, yang sekarang kebetulan ngamen di depan rumahnya. Janu dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya kehidupan di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada Tia. “Eh, Janu, ayo masuk dulu! Kak Tia pengen ngobrol sama kamu sebentar, ya. Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?” Tia menawarkan. “Gimana, Fi?” Janu menengok, bertanya ke temannya yang berambut landak. Temannya mengangguk. Tia membukakan pintu garasi lalu mempersilakan keduanya masuk. Janu dan kawannya yang dia panggil Fi itu masuk, lalu duduk di teras. “Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Tia. “Jangan repot-repot Kak Tia, kita di luar aja,” tampik Janu sopan. Fi langsung menyindir kawannya, “Ceileh, sopan amat lu Jan, kalo ngadepin cewek cantik aja langsung sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan kepala landak Fi ditoyor Janu. “Kirik, diem lu, dia kakak gue yang ngajarin gue dulu, masa’ gue ga sopan ama dia?” balas Janu. Tia tertawa kecil melihat tingkah kedua pengamen itu. “Janu dan… siapa tadi, Fi? Tunggu di sini dulu ya. Biar Kak Tia ambil airnya dulu.” Tia masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang makan. Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas dilihatnya pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi. Dia putuskan untuk berbagi cemilan juga dengan kedua bocah tadi. Maka diiriskannya dua potong besar pepaya untuk Janu dan Fi. Janu dan Fi yang meneruskan adu cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Tia muncul lagi. Keduanya terpesona dengan sosok Tia yang tampak begitu cantik di mata mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol air sejuk dan sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari kahyangan membawa berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti mereka berdua. Sungguh bersyukur Janu dan Fi siang itu, bisa duduk sambil mendinginkan tenggorokan mereka yang kering dengan minum air dingin dan makan pepaya ditemani seorang wanita jelita. Sambil menemani kedua pengamen itu, Tia ngobrol lebih lanjut dengan Janu tentang keadaan di rumah singgah. Tia berhenti mengajar di sana waktu mulai membuat skripsi, dan tidak pernah ke sana lagi setelah lulus dan menikah. Menurut Janu, kegiatan belajar di sana terus berlanjut, tapi Janu sendiri yang sudah tambah besar mulai jarang ikut, dan dia menyambung hidup dengan ngamen bersama kawan-kawannya sesama anak jalanan, termasuk Fi. Tia menasihati agar Janu jangan melupakan sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan. Fi tidak banyak bicara karena baru kenal dengan Tia, tapi Tia memperhatikan bahwa mata teman Janu itu tak lepas-lepas mengamatinya. Tak lama kemudian suguhan air es dan pepaya pun habis. Untuk pertama kali, Fi berbicara dengan Tia. “Kak, makasih ya. Kalau boleh, biar kita cuci-in piring dan gelas bekas kita.” Setelah berpikir sebentar Tia setuju. “Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.” Fi dan Janu membawa piring dan gelas mengikuti Tia yang masuk ke rumah lewat pintu samping. Di balik pintu samping itu ada koridor pendek sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Tia. Tia menunjukkan wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun mencuci alat makan yang tadi mereka pakai. Setelah selesai, keduanya berbalik untuk keluar rumah. Tia berjalan mendahului mereka ke arah pintu, bermaksud membukakan pintu samping. Fi berada tepat di belakang Tia. Ketika Tia hendak membuka pintu, dengan iseng Fi mencolek pantat Tia. “Aww!?” Tia memekik dan langsung menangkap tangan Fi yang belum jauh dari pantatnya. Janu yang berada di belakang Fi menyadari apa yang baru dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Fi dari belakang. “WOY!” teriak Janu langsung ke kuping Fi. “Lu jangan berani kurang ajar sama kakak gue ya, kirik! Aduh, maaf banget Kak Tia, si kirik ini emang brengsek, biasa nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya, makanya tangannya jail. Ayo lu minta maaf sama kakak gue! Sekarang!” Bukannya insyaf, Fi malah menghardik balik. “Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!” “Sudah, sudah!” seru Tia. Kedua pengamen itu memandangi muka Tia dan anehnya Tia terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu sebagaimana biasanya perempuan kalau habis dilecehkan. “Janu, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Tia kalem. “Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak! Emang pantas dihajar dia Kak!” Janu masih panas. Tangan Tia yang satu lagi meraih tangan Janu yang mencengkeram leher kaos Fi, lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman Janu lepas. “Makasih ya Janu, kamu mau ngebelain Kakak. Nggak apa-apa kok. Fi nggak salah.” Genggaman lembut Tia membuat amarah Janu mereda. Padahal tadi dia sudah siap menonjok Fi. “Fi,” kata Tia, “Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?” “I… iya…” kata Fi pelan. “Kenapa, Fi?” “Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Fi dengan jujur. “Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Janu mendamprat Fi. “Janu, udah dong, jangan marah sama Fi…” Dan tanpa disangka-sangka Janu, tangan Tia melepas genggaman di tangan Janu, membelai lembut pipi Janu, lalu kembali menggenggam tangan Janu. Tia kembali ke Fi. “Emangnya tadi kamu lihatin apa, Fi?” “…Uh…” “Ya?” Tia tersenyum ke arah Fi yang sekarang tersipu. Fi bingung apakah harus menjawab atau tidak. “…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Tia cantik ih…” Tia menarik tangan Fi yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Fi. “Fi bohong ya sama Kakak…” kata Tia dengan nada nakal. “Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Tia gigit lebih keras ni…” Fi tidak yakin gigitan Tia bakal serius, tapi dia kemudian merasakan tekanan gigi Tia, dan dia memutuskan untuk segera menjawab. “Iyaiyaiya Fi ngaku… Tadi Fi ngelihatin… toket Kakak.” “Hmm…” gumam Tia. “Terus?” “…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Fi tadi…” Janu berusaha menarik tangannya dari genggaman Tia, mau menghajar Fi, tapi Tia tidak melepasnya. Bukan cuma itu—setelah melepas jari telunjuk Fi dari gigitan, giliran tangan Janu yang Tia tarik ke dekat mukanya. Janu tertegun melihat Kak Tia yang selalu dikaguminya itu menjilat dan mengulum telunjuk dan jari tengahnya. Kedua pengamen muda itu kini dalam posisi berhadapan dengan Tia di koridor sempit yang menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan kiri Tia menggenggam tangan kanan Fi yang tadi digigit, dan tangan kanan Tia menggenggam tangan kanan Janu yang barusan dikulum. Jantung keduanya berdebar-debar akibat tindakan Tia yang berani itu. “Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Fi?” tanya Tia. “Ehm…” Fi tak berani menjawab karena malu. “Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Tia lagi. “…” Fi tambah tidak bersuara. “Hayooo…” sindir Tia. “Kak…” Malah Janu yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa. Saat itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Tia menarik tangan Fi sampai menyentuh payudaranya. Daster birunya tidak memberi perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Tia itu, dan sejak tadi memang Fi sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit mulus nan sekal yang mengintip di balik kain tipis. Fi menatap muka Tia dengan tak percaya, dan Tia membalas tatapan Fi dengan anggukan setuju. Dengan malu-malu Fi mengembangkan jemarinya dan mulai menjamah kelembutan buah dada Tia. “Fi!” teriak Janu tak setuju. Dia mau protes lagi, tapi keburu merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya dibawa ke payudara Tia yang satunya. Janu merasa bulu kuduknya berdiri ketika jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Tia. “Kak… Tia…” Janu hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa melarang tangannya mengikuti tangan Fi mencengkeram sepasang payudara Tia. Rasanya tak percaya dia melihat Kak Tia yang begitu baik dan pintar dan cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang. Lebih dari itu: Tia malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas payudaranya. Namun sebagai remaja di tengah masa puber Janu tak bisa melawan gelora nafsu yang dipicu Kak Tia idolanya. “Emmm…” Tia menggumam karena remasan tangan kedua pengamen muda itu mulai membangkitkan gairahnya. Dia kemudian menjauhkan tangan Janu dan Fi dari payudaranya, dan mendekat ke keduanya. “Janu, Fi… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Tia dengan bibir tersenyum manis. Janu tidak berani menjawab. Fi berani. “Kenyal… empuk…” “Pengen lihat?” pancing Tia. Fi mengangguk. Tia melepas tangan Fi, dan segera memelorotkan kedua tali bahu dasternya. Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum terbebaskan dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati. Tadi keduanya tidak berani bertindak. Tia tertawa kecil melihat mereka berdua salah tingkah. “Kak… Kak Tia…” Dari tadi Janu tidak bisa berkata yang lain. Tia tersenyum ke arah Janu, lalu merangkul kepala Janu, dan mendekatkan muka Janu ke dadanya. Fi menelan ludah karena iri, sementara Janu tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat ketika pipinya bersandar di bantalan empuk payudara Tia. Saat itu Janu bersyukur, dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan bertemu Tia, tidak hanya karena Tia cantik dan baik dan mengajarinya banyak hal, tapi juga karena Tia telah memberinya kebahagiaan seperti itu. Tia mendekap dan mengelus-elus kepala Janu seolah-olah Janu itu bayi yang sedang digendongnya. Sentuhan paku logam yang menyelip di alis Janu membuat Tia geli. “Fi mau juga?” tanya Tia kepada Fi yang sudah menanti, dan tanpa menunggu ditarik, Fi langsung mendekatkan mukanya ke payudara Tia yang satunya. Seperti yang tadi disebut Janu, Fi memang besar di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia bukan orang yang polos dalam hal menyentuh wanita. Kalau Janu cuma bersender, Fi malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya menyentil-nyentil puting Tia. Tia terpekik lagi akibat ulah nakal Fi, tapi dia membiarkan Fi melakukan itu. Sambil merangkul Fi, Tia meraih muka Janu. Tia berbisik, “Janu kamu pernah ciuman nggak?” yang dijawab Janu dengan gelengan kepala. Dan serta-merta Tia memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak jalanan yang pernah diajarnya itu. Tidak tanggung-tanggung, ciuman pertama Janu bukan sekadar kecupan singkat dari Tia, melainkan french kiss penuh nafsu. Janu kaget, dia tak menyangka Kak Tia-nya bisa bersikap seperti ini. Selama ini Janu mengagumi Tia seolah seorang dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang serta kecantikan sederhana yang anggun, namun imej itu dikacaukan tindakan Tia. Namun itu tidak membuat rasa kagum Janu terhadap Tia pudar. Hanya saja dia tidak mudah mengerti mengapa Tia jadi seperti ini. Ataukah dia saja yang tak pernah tahu sifat Tia yang sebenarnya? Sementara lidah Tia bertemu dengan lidah Janu di dalam rongga mulut Janu, lidah Fi terus beraksi di seputar puting kiri Tia. Fi tidak hanya menjilat dan menyentil, tapi juga menggigit dan mengulum puting Tia. Fi makin berani ketika dia merasa tangan Tia di belakang kepalanya justru menekan kepalanya mendekat, pertanda Tia suka dengan perbuatannya. Tia mulai melakukan gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi menggenggam tangan Janu dan Fi, tapi mulai menyelip di balik kaos Janu untuk mengelus perut dan dada Janu, dan merangkul Fi. Bukan tubuh atas mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Tia sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu. Tidak heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi digoda Tia. Tia tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru menangkap mereka berdua berbuat kenakalan. “Hihihi… kok kalian konak sih…?” goda Tia, pura-pura tidak tahu penyebabnya. Janu membuang muka, masih malu, sementara Fi balas nyengir. Dasar Fi sudah berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka resleting celana dan mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Tia tanpa ragu. Sementara Janu tetap terpaku, bingung antara ingin ikut-ikutan berani seperti Fi atau tetap bersikap menghormati Tia. Tia menyadari kebingungan Janu. “Janu… tenang aja ya? Kamu ikutin Kakak aja.” Di sisi lain, tangan Fi menggenggam tangan Tia yang sekarang mulai membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun, membuat Tia mengocok anunya. Tia menoleh dan tersenyum ke arah Fi, membiarkan saja si rambut landak menyalahgunakan tangannya. Perhatian Tia kembali ke Janu. Sambil tetap mengocok Fi, Tia mengecup lembut bibir Janu, lalu pelan-pelan berlutut. Begitu mukanya sudah sejajar dengan selangkangan Janu, seperti seorang pelacur profesional Tia menggigit resleting celana Janu dan menurunkannya, kemudian menjilati jendulan hangat yang masih terbungkus celana dalam. “Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta Janu. Tia melirik ke atas, melihat wajah Janu yang khawatir, dan dengan cueknya dia malah membuka kancing dan memelorotkan celana Janu sekaligus dalamannya. Tia membelai-belai dan memijit-mijit penis Janu. Janu tak bisa menahan desah keenakan keluar dari mulutnya ketika sentuhan jemari Tia memanjakan kemaluannya. Apapun yang mau diperbuat Tia, Janu sudah tak ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati. Pandangan Janu terpaku kepada wajah, tangan, dan payudara Tia yang menggoda, menyihirnya sehingga terperangkap dalam hasrat. Tia melepas pegangannya terhadap penis Janu dan Fi, lalu menarik selangkangan Janu makin dekat dengan tubuhnya. Tia lalu mengangkat tubuhnya sehingga selangkangan Janu sejajar dengan dadanya. Sekali lagi diajaknya tangan Janu menjamah buah dadanya.

Di depan muka langsung, Tia memandangi batang Janu yang berdiri tegak. Ketika Tia mencium kepala penis Janu, Janu menahan nafas. Tia melanjutkan dengan memberi gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu. Sementara itu salah satu lengan Tia meraih ke belakang tubuh Janu, menggenggam dan mendorong pantat Janu supaya tubuh Janu makin merapat. Kemudian si nyonya muda memutuskan memberi kenikmatan bentuk lain kepada Janu. Memang payudaranya berukuran hanya sedikit di atas rata-rata, tidak besar sekali, tapi cukup untuk melakukan yang ingin dia lakukan. Kedua tangan Tia menggenggam kedua payudaranya sendiri, lalu menjepitkan keduanya ke penis Janu. Kelembutan kedua gundukan itu membuat Janu serasa terbang. Dia mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan menggesek-gesekkan batangnya maju-mundur menembus jepitan belahan dada Tia. Fi tidak mau ketinggalan, dia berlutut di belakang Tia dan merangkul pinggang Tia. Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Tia. Anak itu jelas-jelas tidak polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dia menjulurkan jemarinya ke dalam vagina Tia dan mendapati bagian dalamnya sudah becek. Sambil nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di bibir vagina Tia, tapi— “Eit, maaf ya Fi… boleh pegang, gak boleh dimasukin,” kata Tia sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis Fi. Fi dilarang mempenetrasi. Tapi Tia lantas menggesek-gesekkan belahan memeknya mengelus batang Fi. Tia menyadari bahwa posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua pengamen muda itu berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Janu duduk. Janu duduk di lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak menantang. Tia menjauh lagi dari Fi untuk berlutut dan kemudian berposisi merangkak di depan Janu, kedua buah dadanya menggantung, tangannya kembali mengocok batang Janu. Tia menempatkan kejantanan Janu di antara kedua buah dadanya, lalu menurunkan tubuh depannya sehingga batang Janu kembali terjepit dalam kenikmatan. Gerak maju-mundur tubuh Tia membuat kedua buah dadanya melumat penis Janu, menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat kelamin yang belum pernah merasakan lawan jenis itu. Sementara itu Tia sepertinya maklum Fi akan bertindak sendiri, dan melihat Tia kini berposisi nungging di depannya, mana bisa Fi diam saja? Tapi Fi tetap menuruti permintaan Tia tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia memilih memuaskan diri dengan menyibak bagian belakang daster Tia sehingga menyingkapkan pantat bahenol perempuan yang diidolakan Janu itu, mencengkeram kedua belah pantat Tia, dan menggesek-gesekkan batangnya di lembah antara keduanya. Janu tak kuasa menahan sensasi lembut yang membekap kemaluannya. Setelah hampir satu menit digeluti kedua tetek Tia, jebol juga pertahanan Janu. Dia memejamkan mata dan meringis ketika tak bisa lagi menahan maninya muncrat ke dada dan leher Kak Tia yang begitu dikaguminya. Mungkin karena jarang dikeluarkan, ejakulasi Janu cukup banyak, terciprat menodai tubuh Tia. Fi bertahan lebih lama, apalagi dia dilarang memasuki vagina atau anus Tia yang sudah menantang di depannya. Cukup lama dia menggesek-gesekkan batangnya di belahan pantat dan bibir memek Tia, menikmati kehangatan dan kelembutan tubuh bagian bawah Tia. Sekali-sekali dikemplangnya pantat Tia. Tak lama kemudian, Tia merasakan seciprat-dua ciprat cairan kental menimpa punggung bawahnya. Fi keluar juga akhirnya. Untuk beberapa lama mereka bertiga tetap terdiam, Janu terduduk, Tia meringkuk dan kepalanya menyandar di perut Janu, Fi juga terduduk lelah di belakang Tia. Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak adalah Janu, buru-buru dia bangkit dan membantu Tia bangun. Janu langsung menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan tangan seolah ingin membantu Tia membetulkan pakaiannya yang tersingkap, tapi kemudian ragu dan menarik lagi tangannya. Janu melihat ke kanan dan kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan menyodorkannya ke Tia sambil menunduk. “Ka… Kak Tia… maaf… maafin Janu Kak… maafin Janu…” Suara Janu tercekat, seperti mau menangis, agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Tia menerima tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Janu dan Fi yang menodai tubuhnya. Dihampirinya Janu dan diciumnya kening Janu. “Kamu gak salah Janu… ga usah minta maaf. Mestinya Kakak yang minta maaf soalnya udah ngegodain kamu,” kata Tia lembut sambil mengelus rambut Janu. Janu mengangguk dengan agak takut. Sementara di sisi lain, Fi senyum-senyum sendiri. Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu pamit dan meninggalkan rumah Tia dengan perasaan campur aduk. Sebelum mereka pergi, Tia sekali lagi meminta maaf kepada Janu dan mengatakan Janu boleh mampir ke rumahnya kapan saja. Tinggallah Tia sendiri. Satu sisi dirinya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani itu. Sisi lain dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen itu. Dia memang belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia sangat menikmati menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai kedua remaja tanggung itu. Dia senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahi. Tia sedang berubah… ***** 3. SORE “Hmmmm…” Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya. Sore itu Tia berada di salon Citra. Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan, akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Widy. “Enak kan tangannya Widy? Aku aja suka kok. Saban hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku. Widyane—biasa dipanggil Widy—adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Widy lebih muda daripada Citra dan Tia, mungkin baru berumur sekitar 20, bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Tia bisa melihat betapa celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang semok. Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang. “Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya? Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo…” komentar Widy dengan logat medok. “Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra bangga. “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej. Gimana Ti? Mempan gak saranku?” Tia tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum. Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra. Kepribadian pelacur. Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki. Memancing birahi mereka dan menguasai mereka. Seperti lonte-lontenya Bram. Seperti… Citra? Sambil menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang, waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik perhatian Bram. Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang penampilannya dia tiru.

 

Citra juga seperti itu. Citra Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra. Lamunan Tia terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar. “Halo halo,” sapanya sok akrab. “Eh Pak Bernardus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab. “Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Bernardus. “Iya deh… Om Bernard,” balas Citra dengan centil. “Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.” “Emang siapa yang ngabarin?… Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya. Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.” “Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan. Ketika berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon. “Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon. Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon. Pasti mobil Pak Bernardus yang tadi, pikirnya. Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu. Jadi waktu itu, dia yang datang… ***** Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra. ***** “Gimana kabar bisnisnya, Om?” Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard. “Apa ndak ada pernyataan lain tho Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?” “Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?” Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera. Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel dasar tetek Widy dengan hidungnya. “Widy… asu tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket brutal… heeheehee…” Bernard kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy. Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran. Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra. Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara. “Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta. Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku… “Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar…” Bernard langsung berhenti membanyol… atau tidak. “Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.” Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Bernard yang terlanjur tegak itu! ******************* Tia mendapati pintu salon Tia tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi ke mana Citra, Widy, dan Pak Bernardus? Tadinya Tia kira, paling-paling Pak Bernardus datang untuk cukur rambut atau semacamnya. Mercy hitamnya juga masih ada di depan. Tia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar. Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di ruang belakang untuk luluran. Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia meminta tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli. Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram. Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Tia mendekat… ***** Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, bersama-sama Widy. Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka penuh nafsu menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra. “Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.” Citra menjawab, “Adik iparku tuh.” “Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga, ya?” Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!” “Heeheehee, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…” “Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard. “Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…” ***** Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi—Pak Bernardus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Bernardus, dan… Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Bernardus, menyepong senjata Pak Bernardus. Ternyata… Kak Citra…? Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy tertawa-tawa kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Pak Bernardus dengan tangan, bibir, dan lidah. Pak Bernardus sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Pak Bernardus mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya. Sekali-sekali Pak Bernardus berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak Bernardus. Pelan-pelan, tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri. **** “Cit, Wid… Om pengen nih…” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya. “Siapa nih yang mau… apa dua-duanya mau?” “Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om…” “Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?” “Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.” “Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang…” Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama. “Oke deh Om… tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra. Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra. “Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,” perintah Citra. Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut. **** Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi. Kalau tadi pagi alat bantunya terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya—dompet yang tadi ketinggalan. Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak Bernardus. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Pak Bernardus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu. “Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau. Tidak hanya Citra. Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Bernardus. Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan. Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek… “Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk, jurus-jurus silat lidah Pak Bernardus membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Pak Bernardus. ***** Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah. “Haduh… ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian Bernard. Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?” Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard. Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas. Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.” “Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi…” pinta Widy. Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard. Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy. Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy.

Sambil menindih Bernard di bawah, kedua pekerja salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu. Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak tertawa menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan. ***** Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri. Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra. Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya. Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya. “…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya. Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks. “MmMMmmMMm!” **** Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard. Citra tersenyum puas. Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman. Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya. Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur. Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli. Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Widy dan Bernard. Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Tia, dan dia bisa mengira sedang apa Tia di sana. Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi. ***** Tia pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Pak Bernardus? Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra? Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian. SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram. “Yang, aku sudah di jalan, ya.”

Tia “Mas Bram sayang…” “Ya?” Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta. “Aku lagi bingung…” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas…” “Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia. “Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya… Menurut Mas aku berubah nggak?” Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya… selain ya… selain yang tadi itu?” Tia terdiam. Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Pak Bernardus di salon Citra. Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya. Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu. Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang? “Udah waktunya siap-siap nih yang… mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut. Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya. “Ahh… Mas Bramm…. Ah… jangan godain kayak gini mas… assh…” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok. “Kamu juga yang ngegodain aku duluan… mmh mmh…” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang… hmmMmm… berubah. Kamu jadi lebih jago nggoda.” Begitukah? Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada benarnya… bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen? Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur. Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?” “Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia. Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram. Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya. Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia. Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku. Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya. Sayang, Tia belum tahu itu. ***** Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat. Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh. Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram. Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri. Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya. Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan. Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu. Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu. Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu. Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah: Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer. Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya. Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia. **************************** Menjelang siang… Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum. HP Tia berbunyi…Citra. “Hei, Ti! Lagi di mana?” “Di kantor, Kak.” “Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah… aku jalan sendiri aja deh.” “Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.” “Oke dehhh… ntar kabarin aku lagi yah. Bye.” Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja. Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal berkesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi. Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup. Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya. “Makan siang dulu?” ajak Tia. “Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang. Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia. ****************************** Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan,Tia mengalami sedikit gangguan. Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia… dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas. Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu. Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan yang tadi mengepel di pojok. Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana… ******************************* Sore… “Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya. “Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.” “Oh, boleh juga tuh…” ujar Bram. Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!” “Oke…” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup. Tia mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam? Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar. “Eee… aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya. “Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek. “Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.” Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang. “Ya,” jawab Bram pendek. “Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup. “Emm… aku ada janji sama Kak Citra, Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia. Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup. Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama. “Heungh!” seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir. ************************** “Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.” “Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia. “Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia. Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan. ******* Sore. Satu pusat perbelanjaan besar di kota… “Kak Citra!” “Heii!” Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti… biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya. Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu. “Kak…” bisik Tia. “Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra. Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama. “Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu. “Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra. Citra balik melirik sambil tersenyum genit. “Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko. Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain…iri. Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik? Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda. Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia; sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu. “Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah. Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya. “Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, ngisinya lebih bagus.” Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan. Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya. “Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” Tia tersipu malu mendengar komentar Citra. Ya, ini semua buat Bram…ya, kan? Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya. “Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?” “Hmm… boleh lihat?” “Silakan, silakan.” Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana. Tia memuji make-up si SPG; si SPG balik memuji Tia. “Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?” Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan sejumlah produk yang akan dia cobakan. “Saya Haula, Mbak. Boleh kenalan?” “Saya Tia.” Pertama-tama Haula dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Haula. Haula melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan mata ketika Haula mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya. “Bibir Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Haula. Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Haula adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Haula, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia. “Mbak Haula, ini apa nggak terlalu…” Tia mau memprotes, tapi Haula bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut. Citra memandangi cara kerja Haula sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar. “Maaf ya Mbak,” kata Haula sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner. Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Haula rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama. Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Haula. Haula memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari, “Mbak Haula hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.” Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Haula. Tia berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja. Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi. “Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra. “Mas Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia. “Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra. “Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.” Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. SMS. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya. “Ehhh!?” Tia menjerit kaget. Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan. Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian. “Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra. Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja. “Hmm… buka aja blazernya Ti, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran. Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Haula si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda. Dan efeknya memang terlihat. Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga… tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall. *********************** Di suatu karaoke… Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon. Di sofa dalam ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain mereka, ada juga dua orang perempuan pemandu karaoke; kedua cewek itu duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD. Mang Enjup melihat Bram habis mengirim SMS. “Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup. “Mang juga, kalo punya istri geulis seperti Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.” “Ya… kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram. Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau diajak ke karaoke. Bram tidak tahu, SMS-nya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia ******************* “Aduh, Bu… maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap. Citra dan Tia keluar dari taksi. “Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi. “Kita cari taksi lagi,” kata Citra. Tia mengangguk. Jalan ke rumah masih jauh…tapi, taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua orang perempuan. “Ti, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra. “Ayo Kak,” jawab Tia. Tia juga sadar dengan lingkungan di sana. Keduanya pun berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya. Tak seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya; di jalan itu ada beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih buka. Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat… dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung… bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci. Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi. Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas! Ada razia!!” “Razia…?” keduanya bertanya-tanya. Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh. “Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat. Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung mendekati Citra dan Tia. Di kota tempat Citra dan Tia tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi. “Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat. “Lepasin! Mau apa sih kalian?” “Jangan ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra. Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang ditelikung. Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan! ******************* Citra dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.

“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan. “Mau rokok nggak?” “Citra,” Citra menjabat tangan Mince. “Kita ini…” “Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok. Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri. Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik. “Gimana ini… gimana ini Kak… kita mau diapain Kak…” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar. “Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra. “Coba kamu kontak Bram.” Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram. Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu. “Mas Bram ga bisa dikontak Kak…” keluh Tia, matanya berkaca-kaca. “Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf… *************** Truk aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun. Ketika Tia turun, ada yang iseng mencolek pantatnya. “Auw!” jerit Tia kaget. Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya. “Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya. Merah padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat yang menangkap mereka. Citra terlihat tersenyum sinis; dia sudah punya rencana. Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka. “KTP mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”. “Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?” Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di belakangnya. Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.” Tia melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu. “Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk. Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup… Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya. Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa. “Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?” Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam. “Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang juga, Gde.” Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung. “Sini,” Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu. Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak mendekat. Setelah keduanya bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gde baru menanggapi Citra. “Anak buah gue cuma ngejalanin tugas. Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan. “Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.” “Rese’ lu,” hardik Citra. “Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.” Gde tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.” Citra muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu. Dia langsung memperjelas urusan. “Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum lu. Sebut aja berapa yang lu minta.” “Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu. “Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel. “Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh! Yang penting lu lepasin gue sekarang.” Gde nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru. “Gimana kalo gue minta sekarang, di sini? Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?” “Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masa’ di sini? Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.” Gde cuma nyengir. “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses, gue sih gak rugi.” Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar. “Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde. “Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.” Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban. “Gimana?” Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab. “Oke. Suruh anak buah lu keluar.” Gde tertawa. “Buat apa?” “Dasar aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.” Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde. “Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah. Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra. “Lu nggak ngerti keadaan lu, ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra. “Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran, sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu. Mau gitu? Hm?” “Engh…” Citra takluk. Rencananya tawar-menawar dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut. “Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?” Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak. “Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?” “Terserah apa mau lu…” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci. “Bagus. Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya.

Dia menengok ke jam dinding. “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.” Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam. Tak lama kemudian… “Unghh…” desahan pertama Citra pun terdengar. Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka. Citra yang sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya. Namun dia tak punya pilihan. Pelan-pelan sentuhan Gde jadi makin berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra. Citra mendesah lagi, berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit. “Buka baju,” perintah Gde. Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka. Gde nyengir melihat puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan tubuhnya. Gde mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka resleting celana. “Duduk di pangkuan gue, sini,” suruhnya. Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan tidak juga kencang berotot; Citra merasa seperti berada di atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde, membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra. “Ayo goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan mulai membesar. Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan menyodok ke atas. Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya. “Uh! UH! Ahnn!” Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya sukarela. “Balik badan,” perintah Gde. Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun hingga senjata Gde tertelan sampai pangkal. Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali. Kini tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan. Gde kembali mencubit-cubit puting Citra yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara desahan dan gerungan. “Uh! UHH! Ah!” Citra menggila di pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra. “HUUHHHH!!” Citra ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra. “Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi. Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh, dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah melepaskan celananya. “Turun lagi,” perintah Gde. Turun lagi? Itu berarti… Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang pantat Gde. Untung Gde tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu. “Oke. Hey, Jul,” Gde memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.” Jul mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata adalah “Tiduran di sana.” Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya. “Hey, apa-apaan nih?” tanyanya ketika mereka mendekat. “Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa, “Sampai semuanya puas!” Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya. Julfan—yang mendapat giliran pertama—tahu-tahu saja sudah buka celana dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra. “Giliran gue!” katanya. Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi Citra. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerimanya dengan mudah. Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium bibirnya. Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga. Selama beberapa menit digumuli, Citra hanya bisa merintih dan mengeluh. Tak lama kemudian, Julfan melenguh panjang dan memuncratkan benihnya di dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik oleh kawannya agar segera keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi kesempatan beristirahat kepada Citra, yang lain langsung menggantikan. Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat ***** Hampir satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara. “Bang…” akhirnya Tia memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu. “Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?” ***** Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut. Berulang kali, dengan berbagai variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa muka. Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar ketika lubang pantatnya dirojok orang keempat; dia sudah tak bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu. Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra. “Ah! Kak…” Tia langsung menutup mulut dan terpaku, Pintu terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu. “Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia. “Mau nggantiin kakakmu nggak?” “Apa… ada apa ini… kenapa… Kenapa Kakak…” Tia bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra, tapi Gde menghalanginya. “Tolong Pak… sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak… tolong…” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah. Gde mencoba memanfaatkan keadaan. “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.” “Tolong Pak… bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan… pelacur… Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak…” kata Tia di sela-sela isak tangisnya. “Tolong Pak… kasihani kakak saya…” “Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde. “Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.” “Bukan Pak… tolong percaya saya… saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila… mohon lepasin kami Pak…” “HUNGH!” Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang sedang menggagahi pantat Citra; dia baru saja mencurahkan benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung kontribusi tiga orang. Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus Citra, Citra langsung ambruk; sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah. Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa. “KAKAAK!” jerit Tia. Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga… “JANGAAAN!” jerit Tia. “Jangan… jangan lagi… kasihan kakak… tolong… jangan sentuh kakak saya lagi… sama saya saja… biar saya saja…” Gde memegangi Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu: ketika perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja. “Stop!” kata Gde. “Mundur kamu.” Orang yang baru saja mau menyodomi Citra—ternyata Julfan lagi—menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas Tia; Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan berantakan. “KAK CITRAAA…” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis. “Ti…” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan. Gde dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Ia berjongkok dan memegang bahu Tia. Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah Gde. “Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.” “Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga…” kata Tia sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu. “Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.” “Tolong pak… tolong bebasin kakak saya juga Pak… kasihan kakak saya… Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas…” Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya. “Beneran?” “Iya Pak… Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya…” “Kalau gitu…” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.” “Ah…” Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan. Gde melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia. “Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.” Tia terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah. “Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia. “…” Tia tak mengatakan apa-apa, hanya anggukan yang menyatakan persetujuan, anggukan yang dilakukannya dengan berat hati. “Bagus,” ujar Gde. “Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?” Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan. “Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya.

Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan. Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya. Tia berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya. Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu. CROTT! “Aih!” Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia. “Gue juga nih…!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia. Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah. Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Haula. Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat. Gde sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani tiga orang di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia. Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu; wajah Gde yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya. “Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.” Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gde mendorongnya lagi. “Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia. Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu. Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung. “Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh… nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?” Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali. Tia telentang, telanjang, tanpa daya… Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde. Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia. Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tia menahan jijik. Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde. Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia. Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu. “Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela. Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja? “Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya. “Auhh…huhh… ahh…” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh… “Mau lagi gak? AYO BILANG!” “AHH… IYA PAKHH!! LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Tia. Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan? Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela! Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia… dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti. Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi… dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.” “YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH… OH!” Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu. Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang. “AAKKK….. NGHHAAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan. Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia. “Huehh… enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek…” kata Gde lemah. Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar. “Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…” Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi. Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia. Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu. Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya. Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri. “Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi. Sungguh mereka ini tak ada puasnya. “Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde. Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya. Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan, “Auuw…Auhh! Pe…lan-pelann!!” Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia. Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur. Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia… tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi. “Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masa’ empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.” “Eh…” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra. Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka. Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di mulutnya.

“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia; dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal. Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki anus Tia; Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya. Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia. “Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde selagi menggenjot lubang dubur Tia. Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi anusnya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur-aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya. Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki… ****************** Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga. “Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?” “Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya. “Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.” Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya. “Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh…” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya. Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci… ***************** Jam 11 malam. Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering. “Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde. Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar. Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra. Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan. Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok. Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternoda. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi… Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi menyelamatkan Citra… Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Tia? Sudah, akui saja, Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja. “Bukan… bukan… aku bukan seperti itu… aku Tia, istri Mas Bram… bukan perempuan seperti itu…” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Hahaha. Kenapa nyangkal, Tia sayang? Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi? “Bukan… tidak…” Kamu wanita murahan, Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima! Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri? Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu? “Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya. Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia. “Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.” Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan. ******************** Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram. “Yang, aku pulang, maaf kemalaman…” “MAS BRAM…!!” Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi. “Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?” Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak menyadarinya… tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.