Salon “Alin”
RAMBUTKU sudah cukup panjang dan sudah saatnya dipangkas. Aku mendatangi barber shop tempat aku biasa memangkas rambut. Tapi di tempat itu sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu giliran. Aku bukan termasuk tipe orang yang sabar menunggu, kemudian aku pulang.
Hari berikutnya aku mendatangi lagi barber shop langgananku itu. Keadaannya masih tetap sama dengan yang kemarin, ada beberapa orang yang sedang duduk menunggu giliran.
Daripada aku pulang lagi, kemudian terpikirlah olehku untuk memangkas rambut di salon saja. Aku belum pernah pangkas rambut di salon, sebab ongkosnya pasti lebih mahal. Hee… hee…
Aku memilih salon yang dekat rumahku. Salon “Alin” namanya. Sebuah salon yang kecil, bukan salon yang besar.
Aku mendorong pintunya yang tertutup. Pintu kaca yang rangkanya terbuat dari kayu. Seketika mataku terbelalak dan kaget melihat paha putih yang ngangkang dan terlihat celana dalamnya yang berwarna merah.
Orang yang pahanya ngangkang ini pastilah wanita, duduknya di bangku dan sedang membaca majalah. Dia tidak menyadari kehadiranku.
“Mbak, permisi!” kataku.
“Oh, iya!” jawabnya kaget menurunkan majalah yang menutupi wajahnya.
Wah, ternyata seorang waria.
Maaf, aku bukan tidak suka karena dia seorang waria, dan aku juga bukan menghina dia karena dia adalah waria.
Wajahnya cantik dan tubuhnya menarik juga, persis seorang wanita. Berdada besar membusung indah. Namun hanya suaranya saja yang cempreng membedakan dia dengan seorang wanita.
“Mau gunting ya, Pak?”
“Iya, Mbak!”
“Mari, rambutnya dicuci dulu.” ajaknya membawa aku duduk di bangku kapster. Rambutku dicucinya dengan shampo.
Ini yang membedakan pangkas rambut di salon dengan barber shop. Sambil rambutku dicuci, kami ngobrol. “Salon ini punya Mbak, ya?” tanyaku.
“O… bukan, hanya pakai namaku saja, kami bagi hasil. Aku dapat 40 persen. Bapak, rumahnya di mana?”
“Rumah saya deket, hanya beda 1 gang dari sini. Selain perawatan rambut, di sini ada perawatan apa lagi?” tanyaku.
“Pedikur, menikur, refleksi, mijit capek-capek…”
“Sendirian aja ngerjain begitu banyak pekerjaan?”
“Ya, paling-paling yang kesini hanya satu dua orang Pak sehari. Maklumlah Pak, ini salonnya bencong. Orang pada takut!”
“Ah, masa begitu sih?”
“Kami kan dianggap sampah, Pak. Kami diejek, kami dihina, kami disingkirkan…” katanya sedih. “Bapak sudah berkeluarga?”
“Kalau belum, apa Mbak mau jadi istriku?” godaku.
“Ahh… Bapak, gitu deh, godain…”
“Haa… haa… becanda. Saya sudah punya 2 anak,” kataku kemudian.
Setelah rambutku dicuci bersih, kemudian dikeringkan dengan handuk. Lalu kami pindah tempat duduk dan rambutku siap digunting.
Sambil rambutku digunting, kami ngobrol lagi. “Kami ini susah dapat pekerjaan di pabrik atau di kantor, karena kami ini sekolahnya nggak tinggi-tinggi. Aku aja nggak lulus SD.” katanya.
Memang benar sih, pekerjaan mereka kebanyakan di salon, jadi pengamen atau menjual diri. “Aku kasian dengan teman-temanku yang jadi pengamen dan suka diejek sama anak-anak, dan sama teman-temanku yang sering mangkal malem-malem. Kalo nggak gitu, kami nggak dapat makan, Pak!”
“Mungkin nasib Mbak lebih baik dari mereka,” tukasku. “Mbak cantik, pasti sudah punya pacar dong?”
“Pernah sih dulu, tapi sekarang… nggaklah!”
Banyak lagi obrolan kami.
Akhirnya pekerjaan memangkas rambut selesai. Aku digiring lagi untuk keramas. Kepalaku dipijit. Tentu di barber shop aku tidak mendapatkan servis yang begini. Kepalaku jadi lebih ringan selesai dipijit.
“Refleksi ya, Pak?” kata Alin selesai memijit kepalaku.
“Waduh, saya nggak biasa refleksi!”
“Sekarang dicoba, Pak. Gratis buat Bapak!”
“Haa.. haa.. terima kasih.” jawabku tertawa menerima tawaran Alin.
Alin duduk di depanku, dan mulailah dia memijit jari-jari kakiku. Kami terlibat obrolan seru lagi dan kadang-kadang aku menjadi pendengar yang baik untuk menampung segala keluh kesahnya. Oleh karena itulah, mungkin aku mendapat refleksi gratis.
Sakit juga jari-jari kakiku dipijit. Selesai memijit jari-jari kaki, meminjit telapak kaki dan punggung kaki, Alin memijit dan mengurut betisku, terus naik ke pahaku, karena saat itu aku mengenakan celana pendek dan aku sempat melihat Alin mencuri-curi pandang selangkanganku yang menggelembung.
“Itu alatnya mau di refleksi juga, Pak?” tunjuknya ke selangkanganku selesai dia memijit dan mengurut pahaku.
“Boleh,” jawabku.
“Pindah Pak, baring di situ!” suruhnya, lalu dia pergi mengunci pintu salonnya.
Tulisan “BUKA” dibaliknya jadi “TUTUP”.
Aku berbaring di sebuah ranjang seperti ranjang periksa dokter. Sekembalinya dari mengunci pintu, kemudian Alin melepaskan celana pendekku dan celana dalamku.
“Aww… besar, Pak torpedonya Bapak!” serunya melihat penisku.
Aku hanya tersenyum.
Dengan minyak kemudian Alin mengelus-elus penisku dan menggosok-gosok buah zakarku.
Seketika penisku jadi ngaceng berat. Wajah Alin memerah, aku tahu dia terangsang berat juga dengan penisku. Kemudian tak segan-segan lagi dia menurunkan kepala dan mengeluarkan lidah menjilat kepala penisku dan menggelitik lubang kencingku.
Aku menggelinjang nikmat dan tidak mau membuang-buang waktu lagi. Tanganku terjulur ke payudaranya yang tertutup kaos.
Payudara ukuran 36 itu segera kupegang dan kuremas. Padat nan kencang payudara Alin, tidak seperti payudara istriku yang sudah lembek.
Alin semakin ganas. Penisku masuk ke dalam mulutnya yang hangat dan betapa napsunya dia menghisap penisku serta mengocok-ngocoknya dengan tangan. Sementara tanganku menyusup ke balik kaosnya.
Penutup payudaranya aku naikkan. Payudara yang telanjang dan kencang itu bikin napsuku kian terbakar.
Napas Alin mendengus-dengus saat payudaranya kuremas-remas sepenuh napsu. Kutarik keluar penisku dari mulut Alin.
Alin melepaskan kaos dan BH-nya. Segera kupeluk dia, kami berciuman bibir dengan saling melumat. Tak terpikirkan lagi olehku bahwa dia seorang waria, seorang pria yang menjelma menjadi wanita, karena ketika kurogah celana dalamnya, Alin punya penis yang besar.
Sambil melumat bibir, aku mengocok penis Alin. Kami masing-masing tidak sanggup menguasai napsu lagi.
Kami melepaskan sisa pakaian yang masih melekat di tubuh kami. Aku telanjang, Alin juga telanjang. Penis Alin kugenggam dan kujilat dengan lidahku. Napas Alin tambah mendengus-dengus.
“Ngentot aku, Bang… ngentot aku…!!” teriaknya.
Aku melompat turun dari ranjang dan mengarahkan penisku yang tegang ke pantat Alin yang mendongak. Alin menyodorkan lubang anusnya.
Lubang anus Alin kujilat dan kuhisap-hisap dulu. Pinggang Alin meliuk-liuk dan penisnya dikocok-kocoknya sendiri. “Aduuhhh… Bang, enakk… Banggg…” lenguhnya.
Sebentar kemudian batang penisku telah melesat masuk ke dalam lubang anus Alin yang lezat dan sempit.
Alin meliuk-liukkan pinggulnya. Kenikmatan menyerang aku. Kemudian aku ikut menggenjot lubang anus Alin dan payudaranya kuremas-remas dari belakang. Uugg… Alin benar-benar membuat aku gila.
Nikmat banget lubang anusnya.
Beberapa saat kemudian, aku menyirami lubang beol Alin yang penuh kenikmatan itu dengan air maniku. Sheerr… sheerr… shheerr.. ooogghhh… ooogghhh… rintihku.
Tubuh kami terkulai diranjang dengan kelelahan. Setelah capekku hilang, aku melepaskan penisku yang loyo dari lubang anus Alin.
Kami berpelukan. “Oohh… Abang…!” desah Alin merasakan kehangatan tubuhku. “Terima kasih ya, Abang.”
Rasanya aku tidak ingin segera meninggalkan Alin. Kemudian, segera kulumat lagi penis Alin dengan mulutku. Isapan mulutku membuat birahi Alin kembali melonjak-lonjak.