Penderitaan Veirin si Amoy Menyedihkan 01
Awal sebuah kisah, akan menjadi akhir dari segalanya. Kenyataan yang sulit terlihat dari nafsu, kehancuran, dan rasa nikmat itu sendiri. Suatu lingkaran yang digunakan oleh anak-anak manusia untuk kesia-siaan dan kehancuran belaka. Sebuah persona yang kompleks dari keglamoran dan kehancuran. Semua dimulai sejak kecelakaan terjadi.
“Papa kecelakaan,” ujar mama tiriku. Itulah awal dari segalanya. Usiaku saat itu 15 tahun, waktu itu bulan juni dan sekolah sedang libur. “Mereka berdua meninggal seketika di km78,” ujar mama tiriku. Ia meletakkan telepon dan duduk dengan raut muka yang dilipat. Namaku Vei, aku adalah anak dari istri kedua keluarga ini. Keluargaku memang cukup berantakan kondisinya walaupun dari segi ekonomi kami tidak pernah kekurangan sedikitpun. Bahkan aku bisa bilang kami hidup mewah dan berkelimpahan. Ayahku adalah seorang keturunan Jepang dan Jawa yang lahir di Indonesia. Ia mewarisi bisnis dari kakekku, aku sendiri tidak tahu pasti apa bisnisnya. Setahuku mereka memiliki ekspedisi yang bergerak dalam eksport dan import dari dataran Jepang. Ia menikah dengan ibu tiriku yang asli pribumi dari tanah Sunda. Ibu tiriku bernama Jihan, aku yakin dia memiliki kecantikannya sendiri yang masih ada sampai saat ini. Wajahnya tirus dan ia ramping dengan tinggi seperti model. Mungkin dulu ia pernah menjadi model saat muda, sekarang di usianya yang hampir 45 ia sibuk mengurus bisnis bersama ayahku. Hubunganku dengan mama tiriku tidak terlalu baik. Ayahku menikahi mamaku seorang chinese setengah jepang, mama tiriku sangat membenci mamaku dan aku. Ia cemburu karena mamaku masih muda ketika dinikahi oleh papa. Usia mamaku masih 19 tahun ketika menikah dengan ayahku 16 tahun yang lalu. Saat pernikahan berlangsung usia mama tiriku sudah 30an dan kecantikannya serta gairahnya tentu tidak bisa menandingi mamaku sehingga sudah jadi rahasia umum bahwa pertengkaran keduanya sering kali terjadi. Mamaku ikut serta dalam perjalanan bersama papa sehingga hari itu aku kehilangan mama dan papa disaat bersamaan. Aku adalah satu-satunya anak dari mamaku, tapi mami tiriku Jihan memiliki 2 orang anak yang juga perempuan. Saudari tiriku yang pertama bernama Sierra, dia beda 8 tahun dariku. Saat ini ia sedang sibuk menjadi dokter di rumah sakit swasta di Jakarta sekaligus juga sedang sibuk mengambil spesialist di bidang kecantikan. Aku selalu tahu bahwa kakakku sirik kepadaku. Sejak dulu kami selalu dibandingkan, walau secara kepandaian dan kerajinan ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih cantik dan pintar menarik hati orang sehingga keinginanku lebih sering dituruti papa. Memang kecantikan dan attitude yang manis bernilai lebih di dunia ini. Ditambah lagi menurutnya semua kekacauan dan ketidakharmonisan berasal dari mamaku dan aku. Sierra memiliki tubuh yang langsing, tinggi 168cm dengan berat badan 54kg. Ia cukup kurus dan memiliki tubuh yang ideal dengan ukuran Payudara Bcup. Saudari tiriku yang kedua lebih muda 1 tahun dariku, namanya Safira, ia cantik dan agak putih dengan mata yang besar. Kedua saudariku tidak terlalu banyak bicara denganku, kadang kami bermain bersama tapi Sierra jauh menyayangi Safira dan dia dingin terhadapku. Safira bertubuh mungil karena baru berusia 14 tahun. Wajahnya kemayu dan terlihat innocence, berbeda dengan wajah Sierra yang terkesan galak. Aku sendiri memiliki tinggi 160cm saat itu dengan berat badan 48kg. tubuhku ideal dan langsing karena aku diajari merawat diri oleh mamaku. Aku berlatih salsa untuk membentuk badanku agar lentur dan mama bilang salsa membakar kalori yang besar dibanding tarian lain. Lagi pula memang aku ini tidak terlalu mudah gemuk. Wajahku oriental dengan mata tidak terlalu sipit karena mamaku masih memiliki darah jepang. Warna kulitku putih dan bisa dibilang mulus. Braku bercup B karena dadaku cukup besar untuk gadis seusiaku. Aku juga suka menggenakan pakaian seksi karena aku suka menjadi pusat perhatian. Aku sangat suka memamerkan pakaian dalamku, karenanya ketika memakai pakaian, biasanya pakaianku akan sangat menonjolkan braku. Kisahku bermula ketika pemakaman papa dan mamaku selesai. Aku, mama tiriku Jihan, kak Sierra dan Safira kembali ke rumah kami yang besar di depan danau Sunter. Rumah kami cukup besar di sana dengan halaman depan dan halaman belakang yang cukup luas. Rumah itu bergaya arsitektural era romawi kuno dengan sedikit modernisasi. Halaman rumah kami yang cukup luas memiliki jalan samping yang cukup luas juga untuk mencapai halaman belakang yang penuh dengan rerumputan. di rumah itu hidup kami sekeluarga, 4 pembantu perempuan, dan dua orang supir. Salah satu pembantu di rumahku, Ani memiliki usiayang lanjut dan sangat galak. Aku sering bertengkar dengannya karena keegoisan dan sifat usilku. Ketiga pembantu lainnya memiliki usia 19 stau 20 tahun. Nama mereka Yanti, Santi, dan Tantri. Sedangkan kedua supir di rumahku bernama Ikhsan dan Somat. Pa Ikhsan merupakan supir pribadi milik aku dan mamaku, sedangkan pa Somat bertugas mengantar mama tiriku, Sierra, dan Safira. 3 hari ke depan tampak biasa saja, tidak terjadi banyak hal. Aku banyak menghabiskan waktu di kamarku karena kakak dan mama tiriku sepertinya menyalahkanku dan mamaku atas kematian papa. Apalagi waktu terjadi kecelakaan itu mamaku yang sedang mengemudi. Aku jadi malas melihat muka mereka yang menatap benci kepadaku. Suasana rumah sangat tidak nyaman. Pembacaan surat wasiat telah dibacakan dan seluruh usaha yang dipegang ayahku akan diurus mama tiriku dan dia yang berhak mengaturnya untuk menjamin kehidupan seluruh keluarga termasuk aku. TAHUN PERTAMA PERBUDAKAN Chapter1 : Awal Mula Di hari kamis, satu minggu sebelum aku resmi menggunakan seragam putih abu-abu, kak Sierra tiba-tiba memasuki kamarku, ia membuka kamarku dengan kasar. Aku hanya menatapya dengan bingung dan tiba-tiba tanganku diseret dan aku ditariknya ke luar ke ruang keluarga. Mama Jihan duduk di salah satu sofa sementara keempat pembantuku berdiri di salah satu sisi. Kak Sierra mendorongku sampai tersungkur, aku langsung marah dan berdiri hendak menyerangnya. Tapi para pembantu segera menahanku. Aku meronta-ronta sambil memaki kelakuan Sierra yang kuanggap kasar, tapi tiba-tiba mama Jihan menamparku dengan keras dan membentakku agar diam. Aku langsung ketakutan dan diam. Setelah aku sedikit tenang mama Jihan membuatku berlutut sementara ia duduk di sofa di depanku. Kak Sierra duduk di sofa lainnya dan para pembantu berdiri di belakang kak Sierra. Aku duduk di lantai bersimpuh dengan bingung apa yang akan terjadi padaku. “Vei kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini,” ujar mama Jihan dengan nada dingin. Matanya melotot dan suaranya entah kenapa menciutkan hatiku. “Mamamu telah membunuh suamiku, ia juga merebutnya dariku. Kamu sebagai anak dari pelacur itu, kamu akan menerima hukuman dan menanggung yang dilakukan mamamu.” aku hendak protes ketika ia menyebut mamaku pelacur tapi entah kenapa aku tidak berani. Dari dulu aku dan mamaku selalu takut pada mama Jihan dan itu seperti ketakutan yang selalu mengusaiku sejak kecil. “Semua kepunyaamu telah dibekukan, mulai saat ini kau tidak akan memiliki apa-apa lagi. Seluruh barang milikmu akan diambil. Kamarmu bukan lagi kamarmu. Kamu akan tinggal di ruangan yang nanti akan kami pikirkan untukmu jika kamu memiliki kelakuan baik. Jika kamu melawan, ini ada akte kelahiranmu yang mungkin saja aku sobek dan bakar.” ujar Mama Jihan memperlihatkan surat-surat akte kelahiran. “Dan kamu bisa saja kujual ke Jepang atau China sebagai budak.” Aku hanya memandangnya tidak mengerti apa maksudnya. “Mulai sekarang kamu adalah budak dari Sierra” ujar mama Jihan. ia berdiri dan mengambil setangkai rotan lalu memukulku dan membentakku agar aku berlutut. Setelah dipukul aku segera berlutut karena ketakutan. “Ingat kamu tidak memiliki apa-apa, kamu ga punya uang dan tabunganmu sudah dibekukan” ujar mama Jihan. Ia memandangku dengan tatapan mengancam, kini aku sadar bahwa hidupku sekarang akan sangat sulit. Aku harus menjadi budak dari kak Sierra. “Sekarang tidak ada lagi yang akan melindungimu, mama pelacurmu sudah mati dan kau akan menebusnya dengan tubuhmu,” ujar mama Jihan. Ikhsan dan Somat menurunkan celana mereka dan penis mereka mencuat. penis somat lebih besar namun lebih pendek dibanding dengan penis ikhsan. pertama-tama Somat duluan yang maju dan memaksaku berlutut. kemudian ia dengan kasar mencengkeram wajahku dan memaksa buka mulutku lalu memasukan penisnya. “kulum yang benar. gunakan lidahmu,” aku mencoba mengikuti apa yang disuruh oleh Somat. aku membenci bau dari penis tersebut, dan entah kenapa nampak menjijikan, tapi aku menjilatinya, memainkan lidahku dan meniupnya juga.
sementara Somat memompa mulutku, Ikhsan menontonku dengan santai sambil sesekali mengocok penisnya. kepalaku maju mundur sesuai tarikan dari Somat. rasanya sangat capek dan pegal dan mereka belum juga terpuaskan. Somat terus memompa mulutku sampai akhirnya spermanya keluar. aku hendak memuntakannya tapi Somat mencengkeram dan memaksaku untuk menelannya. “telan pelacur!” ujarnya. rasanya asin, anyir, dan aku tak menyukainya. belum lagi aromanya juga anyir. aku memaksakan diri menelannya. setelah kutelan, Somat memintaku membersihkan sisa-sisa sperma dengan lidahku. Berikutnya giliran Ikhsan. Ikhsan lebih jahat, ia duduk dan membuka lebar kakinya agar aku bisa mengulum penisnya. jika Somat mengendalikanku lewat jambakan rambut, Ikhsan mengendalikanku melalui tangannya yang memainkan dadaku. dia akan mencubit dan menarik putingnya sesekali agar aku kehilangan ritmeku. sementara aku sibuk mengulum aku tidak menyadari bahwa para pembantu merekam kejadian ini dengan hp mereka. aku sudah tidak mengingatnya berapa lama dan berapa kali mereka melecehkan mulutku. ketika mereka puas, aku sudah merasa ingin muntah karena terus menelan sperma, dan wajah dan rambutku sudah dipenui oleh sperma mereka. kemudian bi Ani menarik putingku kembali dan kali ini ia membawaku ke gudang di bagian paling belakang rumah. gudang rumahku berada di luar bangunan utama. “kalian sudah dipuaskan oleh Vei, sekarang kalian harus membayar tempat tidur untuk pelacur ini, ” ujar bi Ani. “berapa ?” tanya Somat. “lima ribu rupiah untuk sehelai kardus ini,” ujar bi Ani mengambil sebuah kardus jelek yang sudah mengelupas dan berbekas terkena air. kadus itu berdebu sampai bi Anipun memegangnya dengan jijik dan melemparkannya padaku. “itu alasmu untuk tidur di luar,” ujarnya. “untuk kardus sejelek itu tiga ribu saja,” ujar ikhsan. “empat ribu ,” ujar bi Ani. keduanya menyetujuinya dan masing-masing mengeluarkan dua lembar uang seribuan memberikannya pada Bi Ani. “harga oral seks denganmu sangat murah ya, hanya dua ribu,” ejek bi Ani. aku merasa sangat terhina sekali mengetahui semua kerja kerasku hanya dihargai dua ribu rupiah. air mataku kembali mengalir dan perasaanku terasa perih sekali. kemudian rasa perih itu kembali ke putingku yang dipelintir bi Ani. “kamu baru menerima sesuatu, kamu harus berkata apa ?” “t-terima kasih tuan Somat dan tuan Ikhsan, hamba yang hina ini tidak pantas mendapat kemurahan hati tuan sekalian.” ujarku dengan terisak. Para pembantu segera meninggalkanku, supir juga meninggalkanku. hanya aku sendiri bersama kardus jelek yang kugeret ke tempat yang tidak terkena cahaya lampu. aku menyimpannya di atas rerumputan lalu berbaring keletihan di atasnya. aku kedinginan dan merasa sangat capek. aku berharap ini semua hanya mimpi buruk dan aku akan segera terbangun.