Pelacurku Bekas Penyanyi
Tulisan ini adalah karya Ruhul Yaqin Yanti Dengan sigap kumundurkan truk gandeng trailer ke tempat yang ditunjuk tukang parkir, aku turun dari kabin sopir, membuka pasak roda kelima, melepas saluran udara dan koneksi listrik, dan menurunkan roda penyangga gandengan. “Sialan,” gumamku, melihat langit gelap, “Mudah-mudahan gak hujan!” Naik kembali ke kabin, kuambil unit radio SSB/CB yang digunakan untuk berkomunikasi dengan perusahaan. “Lagi markir di derah Indramayu, over”, aku kisiki mereka. “Aku mau out dari jam ini, dan mau mandi dan makan malam disik. Ada yg isa tak kerjakno besok?, ganti” Aku mulai baca-baca pos kota yang kubeli di jalan dari Jakarta tadi. Kuletakkan koran ke bawah, melepaskan rem dan masukkan gigi truk gandeng buah-buahan. “Berangkat dan makan malam,” kataku penjaga di pintu gerbang, “Sampe nanti yo!” Aku berbelok ke jalan raya menuju arah Cirebon, dan dalam lima belas menit aku masuk parkiran truk. Aku menemukan tempat parkir di barisan tengah, dan matikan mesin. Kulemparkan kemeja bersih, alat mandi, dan beberapa kaus bersih dan pakaian ke dalam tas plastik. Melongok keluar jendela, kulihat awan makin tebal, dan pasti hujan sebentar lagi. Menuju restoran yg menyediakan kamar mandi, dan mandi dengan cepat. Setelah membersihkan diri, makan malam Nasi ikan sayur lagi – dan memeriksa ruang TV. Tidak ada acara tv yang layak ditonton, kembali ke truk, dan mungkin mau main game di hape. Hujan telah mulai turun, cukup dingin. Ini malam enak banget buat pancal selimut dan tidur seperti mampus. Menghindari hujan mlipir-mlipir diantara truk, akhirnya sampai ke truk. Aku ganti baju buat tidur – celana pendek katun longgar, dan T-shirt. Aku ambil hape buat main game, tapi aku sudah mengalahkan hape berkali-kali, gak menyenangkan lagi. Tiba-tiba, ada suara tok-tok-tok di pintu. Dikejutkan oleh suara, aku melihat ke bawah, dan ada seorang gadis muda berdiri antara truk. “Ya?” aku bilang, waktu aku turunkan kaca jendela. “Cari teman pak-e?” sesaat ia tersenyum padaku. “Hmmm …” aku mikir sendiri, “Beberapa buat gituan yang santai aja?.” “Masuk,” kataku, saat aku membuka pintu, “kita omong di dalem aja.” Saat ia memanjat ke kabin sopir, aku masukkan hape ke laci dan dia menggeser ke kursi pengemudi. Bisa kulihat lebih jelas dengan diterangi lampu jalan, masih muda – mungkin belasan awal dua puluhan tahun – rambut cokelat gelap, mata gemerlap, dan sangat cantik. Dia belum usang oleh kehidupan seperti beberapa perempuan yang pernah kulihat di pangkalan truk. Mungkin tingginya 165-an cm, basah kuyup. “Sini,” Aku menyerahkan handuk. “Keringin sendiri.” “Ma kasih om,” katanya berseri-seri. “Gimana om, mau ditemani malam ini?” “Mungkin aja. Kau mau santai-santai aja khan?” Kutanya. “Brapa?” Aku tanya. “Tergantung apa maunya om,” jawabnya. “Bagaimana kalau setengah-setengah?” Dia menatapku heran. “Aku hamil ga papa khan?” “Tidak, aku suka wanita hamil, lembut dan licin.” “Aku belum main ama siapa pun berbulan-bulan, gak ada yang mau kalo perut gendut om,” ucapnya. “Aku biasanya tiga ratus, tetapi Om baik, biar dua setengah deh.” Dia menatapku tajam dengan mata cokelatnya yang besar dan meneruskan, “Tapi harus pelan-pelan!” “Oke,” kataku tersenyum padanya. “Ga masalah.” Kujangkau kotak, kuambil sebotol pil, buka, dan telan satu “Vitamin V” biru kedalam mulutku. “Apa itu? Viagra apa Ciallis?” “Dulcolax,” aku berbohong. “Mulas. Aku makan banyak sambal waktu makan malam, bikin mulas.” Kuletakkan botol pil kembali, dan mendapatkan beberapa lembar merah favoritku menarik 3 lembar dari simpanan rahasia. ” aku punya cuman ini,” kataku. “Ada kembalian?” “Gak ada om,” ia mengerutkan kening. “Ah ayolah,” aku berpikir sendiri. “Kamu mau duit khan, kau bisa apaan?” “Jika om mau mau, aku tambah waktu buat om, mungkin satu jam atau lebih. Keluar dua kali deh… Kalo om bisa!” katanya, tersenyum padaku. Ngeledek! Namun lebih mudah daripada nepuk lalat terbang, pikirku. Tunjukin duit, mereka sendiri yang nawarin. Biar aku tua dan muka kayak badak, siapa yang gak mau duit?. “Yah … Oke?” kataku. “Cukup khan?.” “Ya deh om!” katanya, mengambil 3 lembar ratusan dan memasukkan ke dalam tasnya. “Namaku Sheila, om namanya siapa?” “Sheila? Yang bener, aslinya siapa?” saat aku menarik tirai kaca jendela dan menutup kaca depan pakai karton bekas bungkus buah. Sekarang gak kelihatan dari luar. “Yanti om,” katanya. “Sheila aku pake kalo nyanyi.” “Kau penyanyi?” “Ya, dangdut dan tarling di Bar ‘Bunga Seroja ke arah Cirebon,” katanya. “Di mana? Aku pernah lihat papan namanya, tapi belum pernah ke sana,” kataku. “Tempatnya cukup oke. Yanti dapat uang lumayan om, tapi setelah mulai gendut, mereka gak kasih job lagi. Sayanya disuruh tungguin tamu jadi waitress, tetapi manajer diajak berantem ama lakiku, maksudku ama pacar Yanti .. Kumpul kebo om.. Dasar pacar bajingan, dan manajernya bilang ama akunya untuk balik setelah Yanti lahirin bayi. Tapi khan sayanya harus cari duit biar bagaimana.” dia mengangkat bahu. Yanti menunjuk diri sendiri dengan aku-nya atau saya-nya. Bahasa Pantura bagian barat yang lucu. “Jadi, siapa nama om?” “‘Anjing laut’ adalah namaku di radio SSB/CB,” kataku. “Nama asli Ricky,” kuulurkan tanganku. “Dari mana aslinya, om Ricky?” dia bertanya sambil menggenggam tanganku. “Surabaya,” Aku berbohong, aku mundur ke tempat tidur di belakang jok sopir dan melepaskan celana pendek dan T-shirt. “Kamu dari mana?” “Aslinya dari Jepara om”, katanya sambil melepas jaketnya. “Aku meninggalkan sana umur 16, gak tahan nganggur. Belum pernah pulang. Sudah lebih dari lima tahun.” Dia mencopot celana jeans-nya, dan menarik baju dari kepalanya. Dia berdiri di depanku hamil dengan perut buncit, tetek besar, dan sepasang celana dalam berenda biru-biru dan bra masih melekat. “Berapa lama lagi lahir?” kutanya, waktu dia melepas bra-nya. “25 minggu lagi,” katanya, sambil membiarkan payudaranya berayun bebas. “tetek jadi kegedean om,” dia mengeluh. “ukurannya naik dua nomor. Awalnya 36-c sebelum hamil, sekarang 38-d!” Aku menyaksikannya melepas celana dalam, dan meki-nya terbentang jelas. Hutan subur, coklat gelap, dipangkas kayak Mohawk. Aku bersiul. “Aku terus begini kalo nyannyi pake mini, biar nggak jrawut keluar” dia tersenyum, diusapnya hutan diatas pintu surga itu. “Banyak yang suka ini lho om.” “Aku juga suka, cantik sekali.” Kataku. “Ma kasih!” saat ia berlutut di antara kakiku, dan berbaring di sampingku. “shhhhh … Dengerin … Denger suara hujan?” hujan turun lebih deras, dan membuat suara berisik waktu kena atap kabin sopir. Suara yg bikin santai, menghibur, dan hampir romantis. Aku jadi ingat bahwa aku sudah tidak muda lagi, hampir enam puluh, muka brewok berantakan dengan jahitan di sana sini setelah kena ledakan mesiu dan pecahan logam di satu operasi laut sebagai marinir. Terpaksa pensiun dini dan jadi sopir, istri minggat dengan lelaki lain, Untung belum punya anak. Sejak itu aku dijauhi gadis ataupun STW baik-baik karena ngeri lihat mukaku, inilah satu-satunya pelepasanku.. Tiba-tiba, ada suara dering – “briip-BIP-BIP-BIP”. Dia berdiri, dan meraih ponsel dari tasnya. “Ya,” katanya. “Akunya lagi sibuk, gua telpon lagi ntar.” Aku bisa mendengar suara laki-laki di ujung yang lain, tapi aku tak bisa dengar yang dia katakan. “Aku bilang mau nelepon lagi ntaar!” dan dia menutup telepon. “Bajingan, anjing babi sialan! Tinggalin aku kenapa sih?” “Coba tak tebak … Pacar?” “Ya, Sejak aku dipukuli, dianya pikir aku punya dia. Selalu meriksa aku! Ama siapa, kapan balik … Dasar ngentott, minggat deh sonoh! ” Aku hanya nonton dan memberinya setengah senyum sedih. Tak bisa bilang apa-apa padanya – hidup adalah apa yang kau lakukan. “Yaahh,” dia mendesah saat ia meletakkan hape kembali. “Si om bau wangi deh, om pake apa?” “Mandom,” kataku. Banyak gadis suka laki-laki tua yang pake mandom, memang kuno tapi membuat mereka berpikir tentang ayah atau kakeknya, mengingatkan ketika dia masih kecil dan polos. “Enak baunya om!” katanya sambil mulai mencium putingku. “Kakek dulu baunya begini.” “Aku tahu,” pikirku. “kakek-kakek baunya seperti itu.” Yanti menjilat dari puting turun ke pusar, paha, mencium, menggigit, dan menjilat, sambil menghindari penis. Dia terus menjilat mendekati penisku yang berdenyut-denyut dan dengan lembut napasnya mengelus kepala penis. Napas dinginnya membuat kedutan di penis menunggu, sambil cairan mulai merembes keluar dari ujungnya. Aku meraih bahunya, tidak mendorongnya, hanya buat merasakan sentuhan kulitnya. Aku mengelus bawah lengannya, mengusap bagian depan, dan mulai membelai susu kirinya yang menggantung di atas kakiku. Kuusap payudara yang terjumbai, dan menyelipkan tanganku ke putingnya. Mulai kupermainkan putingnya dengan lembut, penuh perasaan, puting itu mengeras karena sentuhanku. “Pelan om, susu ibu hamil sangat lembut,” bisiknya. Napas dingin membuat penisku berdenyut dengan keinginan memuncak, dan mengharapkan bibirnya menelan batang itu. Hampir seolah bisa membaca pikiran, ia menjulurkan lidahnya, dan menjilati dari pangkal sampai ke ujung. “Suka yang gitu?” “Oh, yaaah!” Aku terkesiap, kugosok dengan lembut putingnya. “Ya begitu om, enakan!” Lagi-lagi ia menjilati penisku, dari dasar ke ujung. Dan lagi, dan lagi, dan lagi, seperti batang permen yang besar. Mahluk ber ini sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan kepada saya, dan sangat menyukainya. Akhirnya, dia melahap batangku ke dalam mulutnya, dan mulai menganggukkan kepalanya ke atas dan ke bawah, lidahnya berputar-putar di sekitar ujung kepala penis. Rasanya luar biasa sampai jari-jari kakiku menekuk-nekuk! “Ohhhhhh …” aku mengerang. “Begitu, enak banget …” Dia terus menggosok dengan bibirnya ke atas dan ke bawah, keatas bawah, dan menggelitik ujungnya dengan lidahnya. Seringkali ia berhenti dan menjilati batangnya sampai ke ujung seperti permen besar, dan mulai menghisapnya lagi. Enak sekali rasanya, kuingin itu berlangsung terus … “Tunggu sebentar,” kataku, saat aku berdiri. “Di sini, coba ini …” Aku berdiri di samping tempat tidur di kabin, dengan penisku menunjuk ke mulutnya. Yanti kembali melahap penis yang dia tinggalkan – menganggukkan kepalanya dan memputar-putar lidahnya di penisku. Aku mengulurkan tangan dan dengan lembut mulai mengusap kedua susunya, merasakan bobot susu itu di tangan. Aku menarik putingnya, dan merasakannya mulai mengeras. Satu tangannya yang lain menggenggam pangkal batang penisku yang berdenyut-denyut, dan mulai mengocoknya. Tangannya yang lain dengan lembut menggeserkan kukunya di bola saya. Rasanya betul-betul menggetarkan, sehingga terasa kantung itu mengetat. “Oohh, aku mau keluar, keluarrr, oh ya, yaah,!” saat kurasa orgasmeku mulai datang. “Ayolah di tetek Yanti om!” katanya sambil menarik bibirnya dari penisku. “Keluarkan di toket om!” Tapi sebelum dia bisa mengarahkan ke palkon (kpala kontol) di payudaranya, mulut palkon itu sudah memuncratkan isinya. Benih sperma mengalir dari bibirnya ke dagunya dan menetes ke payudaranya. Dia mengangkat teteknya dengan tangan kiri, dan terus mengocok batang penisku menggosokannya ke payudara dengan tangan satunya. “Keluarin!” ia menuntut dengan mesum. “Ayo di tetekku om!” Muncrat lagi, dan lagi, dan satu lagi tembakan seperti benang putih keluar dari penisku dan ke payudaranya yang besar. “Engggggghhhh …” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku, sambil ia terus memerah susu kental asin itu sebanyak yang ia bisa. Tangannya berlumas dengan sperma, mengocok ke atas dan ke bawah tangkaiku yang ikut terus berkedut-kedut. “Engggggghhhh …” mataku berputar terbeliak-beliak. Akhirnya semprotanitu berhenti bersamaan dengan berhentinya kocokan Yanti. “Ohhh enak sekali Yanti!” aku melenguh. Lututku jadi lemah, aku berdiri agak terhuyung. Mataku kembali fokus, aku menatapnya. Teteknya ditutupi air benih, dan dia menjilati bibirnya. “Om keluar se ember,” katanya dan mulai menggosok cairan itu di payudaranya. Dia melihatku yang mungkin agak nampak bingung, dan bilang “Ini bagus buat kulit, biar garis-garis ilang,” sambil terus mengusapkan cairan maniku ke teteknya. “Lotion kulit alami buatan badan manusia, ya?” kataku sambil menyeringai. “aku gak ngira.” Dia tak bilang apa-apa, hanya terus memijat cairan itu ke payudaranya. Setelah itu semua habis, ia menatapku dengan mata berwarna kecoklatan, “Ya, om udah siap lagi, atau masih lemes?” “Beri waktu sebentar deh,” kataku, masih coba kudapatkan kembali tenagaku. “Aku gak sekuat dulu lagi.” “Oke. Boleh ngrokok ga Om?” “Kamu gak boleh merokok saat sedang hamil. Sori, biar om buka jendela.” “Ya bener,” katanya. “Bungkus terakhir, ntar saya berhenti om.” Yanti meraih tasnya, meraba-raba di dalamnya, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Dia menyalakan, mengisap dalam-dalam, dan menaruh pak rokoknya kembali tas. Tiba-tiba ada benda berwarna keperakan jatuh ke lantai. Secara otomatis, aku mengambilnya dan menyerahkan kepadanya. “Apaan nih?” Kataku sambil tersenyum. Dia mengambil vibrator dari tanganku dan tersenyum ke arahku. “Itu yang membuat aku gak membunuh bajingan yang tinggal bersama Yanti. Dia gak mau niduri karena Yanti hamil, kadang-kadang Yanti napsu banget jadi harus ada pelepasan om. Dia gak mau sama sekali!” “Tunjukin,” kataku pelan. “Tunjukin kamu bisa apa.” Yanti menarik satu lagi rokoknya, memberikannya kepadaku, mengidupkan vibrator, suara berdengung rendah terdengar di telingaku. Aku membuang asap keluar jendela, dan nonton dia menggosok ujung sekitar putingnya. Dia menggosok payudaranya selama satu menit lebih, meletakkan kembali dan menaruh vibrator di antara selangkangannnya. “Yanti sukanya di susu,” dia mendesah, “Tapi putingnya lembut banget Yanti gak tahan lama-lama.” Dia mulai menggosokkan vibrator yang berdengung antara pahanya, menyentuh vaginanya tak terlalu mepet, hanya sedikit menggodanya. Perlahan-lahan dia menggerakkan vibrator di sekitar bagian luar pintu surga itu, sampai bisa kulihat makin merah dan basah. Klitorisnya tegang menegak seperti penis kecil, dan bibir vaginanya membuka seperti bunga. Kontolku yang telah mengempis mulai hidup kembali. Yanti menggerakkan ujungnya ke vaginanya yang basah kuyup, mendapat sedikit pelumas di atasnya, dan kemudian mengusapkan ke klitorisnya. “Aaaaahhhhh …” Matanya setengah terbuka, dan dia berkonsentrasi pada perasaannya, ia perlahan bermasturbasi. Dimasukkannya vibrator ke liang surganya, menggesek-gesek sebentar, kemudian kembali memijat klitorisnya yang tegak ngaceng. “Ohhhhh …” rintihnya, “Ummmmm …” Dengan membuka mata, dia melihat aku menatapnya lekat dengan burungku yang kini benar-benar keras. “Sinih”, ia berbisik dengan bernafsu, “Sini main ama Yanti sekarang.” Dia mematikan vibrator, menaruhnya di tempat tidur di sampingnya, dan aku masuk di antara kakinya yang terkangkang lebar. Aku menggosok penisku naik dan turun, sampai pintu surga itu basah. Aku tidak terburu-buru – kunikmati perasaan bibir vaginanya yg basah, menggosokkan sepanjang penis, dan merasa berdenyut klitorisnya ketika aku menyentuhnya dengan kepala penisku. “Ngewe om,” dia memohon. “Jangan godain terus, ngentot yuk om!” Aku posisikan kontolku yang membengkak di pintu masuk vaginanya yang berair, dan mendorong. Aku meluncur tepat di terowongan licin tanpa perlawanan, dan masuk dalam ke liang nikmatnya. Ini lebih panas dari panggangan sate, dan kehangatan dan gairahnya membuatku makin liar. Liangnya tidak terlalu ketat, tapi juga tidak terlalu longgar. “Ohhhh …” lenguhnya. “Ohhhhh … Udah lama banget …” Perlahan-lahan mulai kugeser penisku masuk dan keluar mulut vagina yang mirip orang mengulum. Sangat panas dan basah di sana, aku tidak ingin keluar. Aku hanya ingin terus penisku diemut vagina yang panas, dan berkubang jus birahinya. Kuhentikan sejenak dan kurasakan otot-ototnya meremas penisku, dari atas ke bawah batang penis. Perlahan kugerakkan masuk dan keluar di iang birahi yang menggembung itu perlahan, perlahan-lahan … “Emmngghh …” dia melenguh. “Terus jangan brenti.” Aku memompa dengan lambat, dengan irama stabil, memompa masuk dan keluar vaginanya yang lembut dan licin. Permainan cinta yang santai pasti itu yang diinginkan Yanti, dan akan kuberikan padanya. (cinta..? Bukannya perek?) Teteknya yang besar bergoyang-goyang sedikit karena aku terus bererak di bawahnya. Kugerakkan tanganku, dan rasakan putingnya yang keras. Aku membungkuk ke depan, coba menangkap salah satu puting dengan bibir saya, tapi tidak bisa – Badanku ternyata sudah tidak lentur itu lagi. Kutegakkan tubuh, dan terus bercinta dengannya, masuk dan keluar, masuk dan keluar, merasakan kehalusan vaginanya yang halus bagai beludru. Dia menatapku dengan melamun, mata setengah terbuka. “Oh iya om, gitu enakan.” Aku tak bilang apa-apa, hanya tersenyum padanya, celah dalam liangnya terus membelai penisku masuk dan keluar. Terus kugesek batang milikku masuk dan keluar, dan menonton payudaranya yang bergoncang. Bisa kurasakan jus tempiknya mulai berkurang dan menetes ke bawah kantung bola. Otot-ototnya terus berdenyut dan berdenyut menggenggam penisku, dan terus kuayun masuk dan keluar, masuk dan keluar. Aku suka rasa yg sensitif, tapi lututku sakit dan aku perlu untuk turun dulu. Kutarik penisku keluar dari vagina yang basah itu, dan berbaring di sampingnya. Dia menatapku aneh, tapi sebelum bilang apa-apa, aku bilang padanya “Aku takut akan menyakitimu. Kamu di atas dulu sebentar.” “Aku terlalu gendut ya om,” katanya. “Perutku terlalu besar.” “Nggak papa kok. Naik sini.” aku mendesak. “Lagian kamu yang jadi joki, entotin om yang kenceng semau kamu.” Omonganku sebenarnya tai kucing, tapi dia tampaknya setuju. Dia berguling ke samping, mengangkat kaki kirinya, dan nyeli keatas tubuh saya. Kugeser bantal sedikit, sehingga kepala dan bahu terganjal, geser lagi ke tengah. Dia mengangkat pinggulnya, meraih penisku, dan ambil posisi di pintu masuk nona puki miliknya. Udara dingin terasa enak di penisku, dan aku bisa rasakan panas yang memancar dari gunung berapi nya. Kurasakan basah saat ia bergerak ke bawah dengan tusukan palkon ke pintu masuk yang basah, dan dengan perlahan-lahan memantek dirinya dengan penisku. “Emmmmmh …” dia melenguh. “Emmmmh …” Dia mulai menggiling pinggulnya di penisku, goyang pinggulnya maju mundur, membuat tusukanku bergerak maju mundur di dalam dirinya. Rasa gesekan liang panas dan licinnya luar biasa, dan kulihat dua susu tetek besar bergoyang di depan wajah menambah rasa yang menyenangkan. Kuletakkan tanganku di kedua payudaranya, kuangkat-angkat terasa antap. Kugosok tanganku dan menagkup serta menggenggam dua gundukan, lalu kutarik perlahan bagian putingnya. Muncul dua puting yang indah, mengundang untuk disusui. “Why not?” Kutanya diri sendiri. Kubuka mulut, dan menangkap pentil susu kirinya dalam mulutku. Mulai kujilati putingnya, dan dengan lembut menarik-nariknya dengan bibirku. “Aaaaahhh …,” lenguhnya. “isap teteknya om.” Kugesek lidahku di sekitar putingnya, seperti dia mainkan lidah penisku. Tangannya merangkul belakang kepala saya dan mengucek rambut dengan jarinya, dia menarikku ke bola melonnya yang besar. “Oh ya, gitu aja,” dia suara bergetar. Tiba-tiba, ada kejutan yang tak terduga dan lezat. Ada aliran susu masuk ke tenggorokanku, dan langsung kutelan. Kujilat dan kuisap pentil dot itu, dan aku dapat air susu ibu yang hangat. Yanti terus menggilas vaginanya yang panas pada penisku, dan membelai kepalaku. “Enak banget om, ya gitu makin enak,” gumamnya dengan puas. Aku kira payudara kanannya menjadi cemburu karena aku tidak memberikan perhatian, jadi Kutarik mulutku dari dada kirinya yang lezat, dan menggerakkan kepalaku untuk mulai berpesta di lain kendi susu yang penuh. Saat kutarik mulutku, aliran susu hangat mancur keluar dari pentil dan menyemprot pangkal leherku. Yanti membuka matanya untuk melihat mengapa aku tidak mengisap susu dia lagi, dan melihat tetesan air susu mengalir di dadaku. “Oh tuhan,” katanya tersipu. “Maafkan aku, aku tidak tahu aku …” “Jangan khawatir tentang itu,” aku meyakinkannya. “Aku suka itu!” saat aku tersenyum kepadanya. Yanti tak bilang apa-apa, tapi dia berhenti menggerakkan vaginanya pada penisku, dan pasti dia malu. “Kukira kau menyusui,” kataku. “Aku pasti terkejut jika tidak malahan. Itulah mengapa payudara kamu sakit, dua-duanya penuh dengan susu.” Yanti tidak bilang apa-apa, dia hanya menatapku dengan matanya yang berwarna gelap. Kugerakkan mulutku atas ke susu kanan, dan mulai mengisap puting di atasnya. Semakin sulit, dan mudah-mudahan ada aliran susu setiap saat. “Mau aku berhenti?” Kutanya ketika kutarik bibirku dari payudaranya. Dia tidak bilang apa-apa, tapi dia tidak harus, – tubuhnya terus berbicara. Tangannya telah menemukan jalan ke bagian belakang kepala aku lagi, dan kurasa dia menekan wajahku ke susunya. Kulanjutkan menyusui, dan aku diberi aliran susu hangat yang manis. Yanti mulai menggesekkan vaginanya bolak-balik lagi, dan aku dihadiahi erangan yang pelan, “ummmmmm …” aku terus merawat di payudara kanannya, sampai tak adalagi susu di dalamnya. Kuberalih kembali ke susu kiri, dan menghisapnya. Beberapa semprotan susu, lalu tidak ada lagi – aku sudah terkuras sampai kering. Kuberbaring, dan menonton dia menggenjot pinggulnya sendiri di penisku. Dia hal keindahan, visi untuk dilihat. Matanya tertutup, rambut cokelat tua di sekitar wajahnya, dan teko susunya yang menyembul berayun malas ke sana kemari dan dengan sengaja digoyangnya bolak-balik. Kugosok tanganku di atas tubuhnya, merasakan sentuhan sensual di kulitnya dan lapisan keringatnya yang mengambang. Kuusapkan kedua tanganku di bahunya, turun ke tangannya, dan ke kakinya. Sampai di pahanya menjangkau semak tipis, di atas perut buncit itu teteknya berayun, dan naik turun. Saat kugerakkan tanganku di pahanya, kurasa salah satu tangannya menyentuh batang penisku. Dengan lembut dia memindahkan tanganku ke tempat di mana tubuh kami menempel, dan mengangkat dirinya sedikit. Dia menyelipkan tanganku di bawah kelentitnya yang sekeras batu, menurunkan badannya kembali, dan kembali bergoyang. Segera kutahu apa yang diinginkan Yanti. Dia sudah mencoba membuat dirinya keluar dengan menggiling klitorisnya pada selangkanganku, dan sekarang dia ingin aku untuk merangsang sambil dia meniduriku. Aku membuka telunjuk dan jari tengah sedikit, dan merasakan gesekan klitorisnya di antara jari-jariku. Saat ia menggosokkan klitorisnya ke jari-jariku, kurasa cairan basah berminyak mulai mengalir dalam liang sepanas tungku miliknya. “Oh ya, di sana!” lenguhnya. “oooooohhhhhh …” Dia menggosok klitorisnya ke jari-jariku, dan kujentik-jentik lagi tonjolan kecil miliknya. “Ohhhhh yeeaaaahhh,” lenguhnya. “Unhhhhh …” Sebuah ingatan berkelebat di kepalaku. Kurasa di sekitar tempat tidur, ia mencari mainan kecilnya. “Dimana itu?” kupikir. “Dia taruh di sini di suatu tempat …” kurasakan sesuatu yang keras, dan aku telah menemukannya. Aku memegang belakangnya, dan melihatnya. Cukup sederhana, putar bawahnya .. Nyala, dan semakin diputar itu, semakin kencang getarannya. Kuputar bagian bawahnya sedikit ke kanan, dan terasa bergetar di tanganku. Berani bertaruh dia akan suka kejutan kecil ini untuk dia! Kutarik tanganku keluar, tapi sebelum dia bisa bilang apa-apa, aku sudah menggantinya dengan vibrator lembut yang berdenyut. Benda itu menggosok klitorisnya, dan kudengar dia megap-megap. “aaaaaaahhhhh …” Seperti seorang wanita kerasukan, Yanti mulai menggenjot penisku dan mendesakkan klitorisnya melawan vibrator dengan tenaga baru. Seluruh tubuhnya berkonsentrasi pada rasa sedap gesekan itu, dan dia menggigit bibirnya dalam kenikmatan. “Emmmmmh,” lenguhnya. “Emmmmm h…” Kuputuskan untuk melakukan seperti koki di TV bilang, dan ‘tambah bumbu tambah lezat.’ Ketika aku memutar bagian bawahnya sedikit lebih ke kanan, aku bisa rasakan meningkatnya getaran, dan demikian pula Yanti. “Ohhhhhhh lailahailallaaah,” ia meratap. “Jangan berhenti, jangan berhenti omm! Ohhhh … Biarin aku keluar, biarin aku keluar!” Pinggulnya telah goyang sendiri. Dia gerakkan vaginanya di penisku yang begitu keras sampai aku heran, apa mau dipatahin pangkal kontilku ini?. Payudaranya yang berayun liar, dan memantul dari satu sama lain dengan suara menampar yang musik ke telinga saya. “Aku mau keluar, kheluarrr, aku mau kheluar,” dia teriak sambil menggelengkan kepalanya ke kiri kanan, membuat rambutnya yang panjang terbang liar. “aku nyampe om! Ohhhhh …” Kurasa vagina licinnya mulai kejang dan berdenyut di penisku. Seperti catok beludru, meremas penisku, mengepal dan membuka. “Mari kita lihat apa yang dilakukan,” kukira. Kuberbalik dasar vibrator kecil semua jalan ke kanan – kekuatan penuh. “Eiiiiih!” Sebuah jeritan nada tinggi keluar dari bibirnya, diikuti oleh megap-megapnya dia menarik nafas. Yanti tiba-tiba condong depan dan ambruk ke dadaku, kepalanya ditelungkupkan ke bantal di sampingku. Kutarik tanganku, dan vibratornya sekalian. Kumatikan, dan menoleh ke samping untuk melihat wajahnya. Pinggulnya telah berhenti bergerak, tapi vagina masih berkedut dan berdenyut menggenggam penisku yang tertanam dalam-dalam. Ketika kulihat wajahnya, kontraksi dalam celah lembutnya berkurang. Matanya terbuka, tetapi mata itu kelihatan berkaca-kaca. “Hei,” bisikku, sambil membelai rambutnya yang panjang kecoklatan dari pipinya. “Kau baik-baik saja?” Seperti yang kulihat, kelopak matanya berkedip, sekali … Dua kali … Saat ia mulai fokus, kehilangan bayangan berkaca-kacanya. “Lailah ya tuhan,” dia bergumam ketika tubuhnya bergetar dan menggigil. “Itu kebanyakan, terlalu enak.” “Suka yang begitu?” Kutanya. “Ngerasa lebih enakan?” “enak bangettss!” dia mengeluarkan bunyi saat menghela napas. “Bajingan tua ini masih bisa muasin gadis muda,” pikirku. “setidaknya dengan bantuan dikit.” “Ma kasih om,” bisiknya sambil mengecup lembut pipiku. “Yanti juga butuh gituan, sudah lama.” “Sama-sama.” Penisku berkedut dalam dirinya, dan dia bertanya apakah aku keluar. “Belum, jangan dulu.” “Aku perlu tidur siang,” kata Yanti melamun. “Kurasa aku yang terlalu kebelet pengen nyampe!” Aku bergerak keluar dari bawah dari badannya, dan membiarkan dia telungkup pada perutnya. Berpindah ke belakangnya, kuselipkan tanganku di bawah pinggang, dan mengakat pinggulnya. “Jangan di pantat ya, om? Apalagi aku lagi hamil.” “Oke.” Aku dengan lembut menggeser penisku di dalam liangnya yang masih basah dengan juice, dan mulai menyelinap masuk dan keluar dari dirinya. Dia masih setengah sadar, dan aku harus memeluknya dengan satu tangan. Aku mulai perlahan piston penisku masuk dan keluar dari terowongan berminyak nya, menikmati basah indah dari vagina panas nya. Aku geser keluar sampai ujung hampir keluar, dan kemudian geser kembali sejauh yang aku bisa. Bola aku berayun bolak-balik dengan gerak, dan menampar melawan saat kupompa terus. Kuturunkan pinggulnya sedikit, dan ada perasaan yang sempurna – Aku tidak menyentuh apa pun kecuali vagina licin dengan penisku, dan rasanya hebat. Sedikit lebih dari ini, dan aku mau keluar lagi. Aku berkonsentrasi pada rasa gesekan penisku yang meluncur bolak-balik dalam vagina ketatnya, dan kurasakan madu berminyak mulai mengalir keluar dari celah sempitnya dan melalui bola saya. Dia jadi makin basah dan makin basah karena terus kupompa celah beruapnya. Aku menggerakkan jari aku ke klitorisnya, dan masih terus memegang pinggulnya. Aku mulai menyentuh tombol kecil yang membengkak, dan merasakan vagina itu menggenggam penisku saat kubermain dengan klitorisnya. “Mmmmmm,” katanya, mendorong memeknya ke arahku. “Di mana barangku?” “Di sini,” kataku, meraih ke tempat tidur. kuhidupkan lagi lambat- lambat, dan kutempatkan bartang itu di klitorisnya. “Oh yeah,” lenguhnya. “Di sana!”
Aku terus memompa penisku masuk dan keluar dari liang basah itu, sambil memijat klitorisnya yang bengkak dan keras dengan vibrator. Perlahan-lahan, kami mendekati puncak. Aku bisa merasakan vaginanya menggenggam pada penisku saat aku membelainya, dan aku merasakan kedutan yang akrab di kantung bolaku ketika aku mendekati orgasme lagi. “Oh yeah!” aku mendesah. “Aku mau keluar.” “Entotin yang kenceng om!” lenguhnya. “Masukin di dalam!” Aku mengatur tempo untuk beberapa genjotan terakhir, membenamkan satu tusukan dalam ke vaginanya yang hot dan basah. “Enngghhh” dia menjerit, waktu celah sempitnya mulai berkontraksi dan memerah penisku. Aku merasa orgasmeku sendiri mendekat, dan berteriak seperti banteng mengamuk, aku membenamkan penisku sedalam-dalamnya. Sebuah semprotan keluar dengan keras dari kepala penisku, diikuti oleh semprotan yang lain. Rasanya itu begitu kencang, membuatku pusing, dan aku secara naluriah lengan kananku memegang kabinet tempat tidur agar tidak terguling ke atas dirinya. Ketika kuletakkan tanganku, aku lupa bahwa itu adalah salah satu pendukung pinggulnya, dia ambruk seperti boneka kain. Penisku meluncur keluar dari vaginanya, dan aliran sperma tunas keluar dari ujung penis, muncrat di bibir vaginanya. Aliran benih yang berikutnya keluar mendecit dari ujung penis, dan mendarat di rambutnya. Sebagian lain mendarat di mulut naga berapi yang di gambar berupa tatoo di punggungnya. Penisku menyelip antara pipi pantatnya, dan semburan terakhir mengisi celah pantatnya dengan krim putih sperma. Aku jatuh berjongkok kembali, benar-benar total puas. Yanti tergeletak di sana, kaki mengangkang lebar, waktu spermaku perlahan menetes ke bawah celah pantatnya, di atas vagina meleleh ke seprai. Tiba-tiba, terasa sangat, sangat pengap di sini. Aku maju, dan membuka salah satu ventilasi. Udara dingin dan lembab mengalir di atas tubuh kami, dan aku duduk di samping Yanti. “Haus?” Kutanya dia. “Aku punya jus jeruk di lemari es.” “Ya, dong om. Pasti enak deh.” Aku membuka lemari es, dan ambil dua botol kecil Orange Jus. Kubuka satu, dan menyerahkan satunya kepadanya. Dia duduk dan mengambil minuman, sambil aku membuka milikku dan meminumnya. Dia mengambil satu lagi, dan tanpa berkata-kata menyerahkan botol itu padaku. Kuletakkan minuman di stand samping tempat tidur, kuminum lagi, dan berbaring di sampingnya. Dia merapat di samping saya, dan aku merasa lengannya membelai dadaku. “Om baik sama Yanti,” katanya “Mudah-mudahan aku bisa seperti ini selamanya …” dia tergagap. “Ronny.” “Maafkan aku, aku sangat pelupa dengan nama. Yanti pengen bisa dapat orang yang baik ama akunya seperti Om Ronny.” Dia menatapku dengan mata kelam yang besar, dan aku melingkarkan lenganku di tubuhnya, dan menariknya mendekat tubuhku. Aku hanya ingin terus mewmeluk tubuh cantik indah, menggairahkan, dan berambut warna gelap-coklat di sebelah saya. Hujan menetes dengan ritme staccato di atap truk, lilin memberikan sinar lembut, berkedip-kedip cahayanya, dan aku sangat senang dengan suasana itu. Dia begitu muda, begitu cantik, begitu … Yang selalu diinginkan seorang pria pada kekasihnya. Aku mencium keningnya, dan ia merapat lebih dekat. Aku bertanya-tanya apakah mungkin aku harus jujur padanya??, mungkin bilang yang sebenarnya, ya mungkin … “Breep-BIP-BIP-BIP” “breep-BIP-BIP-BIP” “Sial!” katanya sambil meraih tasnya. Dia melihat caller ID, membalik telepon dan bilang “Apa?” Satu suara laki-laki di ujung sana kedengaran, tapi aku masih tidak bisa menduga apa yang dia katakan. “Aku sedang dalam perjalanan, on de wei, aku nyampe di sana bentar lagee.” “Kenapa sih kau tidak pergi ke toko?” “Apa maksudnya motor kagak …” “… Tapi hujan!” “Oke, oke, aku pegi.” “Aku gak pingin debat, aku pulang bentaran,” katanya, menutup telepon. Sebuah kesedihan terlihat di wajahnya yang cantik, dan tampak seperti akan menangis. “Pacar lagi?” “Ya, dia …” suaranya makin lirih. “Dengar, kamu bisa minta tolong? Bisa gak om anter Yanti pulang? Aku tinggal deketan situ, gak jauh dari Mart. Ayo dong om? Aku terima kasiiih banget deh om.” “Tentu. Jadi kamu diperlakukan kayak sampah ama dia?” Aku bertanya. “Dia mencintai Yanti om, dia hanya lagi susah sekarang kali om.” “Benar! Dia perlakukan kamu buruk karena dia cinta kamu! Pikir deh bagaimana dia perlakukan kamu kalo dia gak peduliin kamu!” “Om gak ngerti,” katanya. “Om gak ngerti aja.” “Yaa, rasanya Om gak paham.” Aku menuangkan air di kain lap, serahkan padanya, dan ia mulai menyeka mani kering dari tubuhnya. Aku menyeka cairan itu dari rambutnya. “Aduh, kita bikin kacau.” Dia benar. Seprai tampak seperti habis pesta orgy. Bintik-bintik dan noda basah di seluruh seprai, dan pasti perlu dicuci. Kami berpakaian tanpa bilang apa-apa, dan dia menjatuhkan diri di kursi penumpang dengan botol jus jeruknya. “Siap?” aku bilang, waktu aku lepaskan rem angin dan masukkan gigi. Aku keluar dari perhentian truk, ke jalan besar, dan ke arah Mini Mart. Aku mengemudi perlahan, sebagian karena hujan, sebagian karena aku tidak ingin malam ini segera berakhir. Kami berkendara diam-diam, sampai aku tak tahan lagi. “Dengar,” kataku, “ini bukan urusanku, tapi …” “Tapi, ini dia,” katanya sinis. “Tapi … Jika orang ini gak bikin kamu hepi, jika ia bukan yang kamu mau dalam hidup, kamu berutang kepada diri sendiri, tinggalkan dia, dan temukan orang lain yang akan buat kamu bahagia. Dan itu bukan berarti hanya om aja, ada seribu, sejuta orang yang akan senang bikn bahagia bagi seorang yang begini muda, cantik, pintar dan seksi seperti kamu,” kataku. “Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa hidup ini terlalu singkat untuk menjadi gak bahagia, terutama dengan seseorang yang seharusnya cintai ama kamu.” Yanti tak bilang apa-apa, tapi dari cara dia menatapku dengan mata warna mahoni yang besar, aku dapat tahu bahwa kata-kataku menghentak sarafnya. Kami jalan bersama dalam keheningan, hanya suara suara wiper. Sebagai tanda keluar dari jalan besar di hujan gerimis yang suram, aku nyalakan lampu sein, dan meperlambat jalannya di jalan raya. “Kiri atau kanan?” Kataku. “Hah? Oh, kiri,” katanya. “Maafkan aku, Yanti lagi mikir.” “Gapapa.” Lampu berubah hijau, dan aku jalankan di sebelah kiri. “Lihat itu mini-mart di lampu depan?” Yanti bertanya. “Di sana di sebelah kiri? Om bisa turunkan Yanti di sana, Yanti harus dapatkan beberapa macam, cuman deket dari situ ke rumahku.” Aku membuat kiri di lampu, dan tarik truk ke pinggir jalan. “Dengar, I. .. Aku benar-benar menikmati diriku sendiri malam ini, dan aku punya waktu yang tepat. Aku dapat berhubungan sekitar dua kali se bulan atau lebih, dan aku akan senang bertemu denganmu lagi. Tidak ada yang serius, mungkin hanya berteman, dan aku ingin selalu ketemu kamu. Apakah itu oke? ” aku bertanya. “Apakah kamu punya nomor telepon yang bisa aku hubungi di saat aku mau balik?” “enggak juga om,” katanya. “Ponsel itu adalah miliknya, dan ia memeriksa caller ID untuk melihat siapa yang nelpon yanti. Ponsel saya, dan telepon rumah aku diputus.” “Pokoknya bisa aku berhubungan dengan kamu?” Aku bertanya. “Pacar, ibu, adik, seseorang yang aku dapat tinggalin pesan?” “Tidak,” katanya. “Aku harus kembali bekerja di Seroja setelah bayi lahir, aku mungkin akan berada di setopan truk sekali atau dua kali seminggu, dengarin aja aku di CB Jangan lupa -.. ‘Sheila'”. “Baiklah, aku akan melakukannya. Ingat aku -..”Anjing Laut ‘, Randy dari Surabaya aku akan mengingatkan kamu di malam hujan deras, dan kita muncrat dengan keras, oke? ” Kataku. “Oke,” katanya sambil membuka pintu. “Om jaga diri baik-baik, dan nyetir dengan aman. Yanti pengen ketemu lagi.” “Daaah, yanti.” Saat ia turun dari truk mata kami bertemu selama sepersekian detik, dan percikan perasaan menyala di antara kami. Sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia sudah di tanah dan menutup pintu. Aku melihat saat dia melintasi jalan dan menuju ke mini-mart. “datang kembali dong,” pikirku pada diri sendiri. “kembalilah dan beritahu aku itu bukan uang semata, bahwa antara kita ada sesuatu yang nyata – Jika hanya sesaat. Katakan kita tidak hanya main ngewek, kita bercinta. Kembalilah dan …” Dia berjalan ke toko tanpa melihat ke belakang. “Daaa, Yanti,” kataku setengah keras, ada setetes air mata turun di pipiku. “Aku akan selalu mengingat Yanti.” Aku tarik truk-ku dengan gigi satu kembali menuju jalan besar. Tidak ada gunanya kembali ke perhentian truk, tempat ngedrop barang hanya beberapa kilometer jauhnya dan aku bisa tidur di dalam truk di sana. Senyum sedih menghias wajahku karena mikirin Yanti. Aku merasa dekat dengannya, dan mudah-mudahan itu tidak berakhir seperti ini. Aku ingin lebih, dan mudah-mudahan dia bisa memberikannya padaku. Aku tahu itu tidak akan pernah terjadi, tapi Kuharap aku bisa melihatnya lagi. “Paling cuma setengahnya dari kepinginnya dia ketemu aku!” Aku tertawa terbahak-bahak. Kamu lihat, di komputerku di rumah aku punya scanner, dan printer laser warna. Sungguh menakjubkan program foto-imaging yang baik, dan sedikit kerja dapat bikin. 100ribuan, pasti dia kecewa ketika dia pakai untuk membeli. Aku berhenti di tempat ngedrop barang, dan penjaga membuka pintu jaga waktu kuturunkan jendela kaca. “gimana makan malamnya?” dia bertanya. “Lumayan,” kataku. “Nasi sayur sambalnya lumayan, tapi penutupnya benar-benar hebat!” “Makanan penutup selalu yang paling enak!” katanya, sambil tersenyum dan melambai padaku melalui pintu gerbang. Aku memarkir truk, melipat seprai yang bernoda peju, dan melemparnya di keranjang cucian. Aku menarik selimut keluar dari lemari, dan memasangnya. Hari yang cukup panjang, saatnya anjing tua ini untuk tidur. Aku melihat “pesan masuk” di SMS, tauk sudah berapa lama. “Jemput besok ditempat ngedrop,” kata sms itu. “Kirim ke Surabaya, Jumat sebelum tengah malam.” Hampir 600 km dalam satu setengah hari – enteng. “Surabaya,” pikirku, karena aku tertidur. “Aku ingin tahu apakah ‘si paus biru’ masih bekerja pada Maersk Line?” Aku harus cek dulu… ################################ Enam bulan telah berlalu, hujan datang dan pergi, dan udara mulai memanas lagi. Perusahaan memberi aku sebuah truk baru, rambut aku yang sudah lama, dan aku sudah tumbuh jenggot – tumbuhnya berwarna abu-abu, karena usia tua kurasa – tetapi tidak banyak yang berubah. Aku masuk parkiran truk yang sudah kukenal baik, dan menemukan tempat di barisan belakang. Cukup mudah memutar trailer ini ke dalam slot parkir, kutarik rem, dan mulai mengisi dokumen yang diperlukan sehari-hari. “Jam 10:34,” saat kulirik jam digital. “Waktu untuk istirahat,” kupikir. Tiba-tiba, ada suara di radio CB, “Ada yang mau cari teman, ke saluran 31, Sheila di tiga-satu ganti.” Gak mungkin, ah! Setelah sekian lama … Aku masuk saluran 31, dan mendengar suara wanita berkata, “ada yang ngontak, ganti?” “Ya,” aku ambil mikrofon, “Aku di sini.” “Siapa ini?” suara bertanya. “John,” jawabku. “Siapa ini?” “Mereka panggil aku Sheila,” balas suara itu. “Apa kamu mau cari temen?” “Tampilan kamu gimana?” Aku bertanya. “Rambut coklat, toket besar, bibir manis, dan pinggul bulet. Tertarik?” “Ya,” kataku. “Sangat!” “Di mana kamu?” suara bertanya. “Barisan belakang, bak putih, diujung.” “Lampu kedipin.” aku kedipkan lampu depan, ada suara, “oke, aku lihat kamu. Buka pintu penumpang, aku akan datang.” Aku lakukan, dengan cemas menunggu. Satu sosok gelap bergerak cepat muncul entah dari mana di sisi kanan, membuka pintu penumpang dan memanjat masuk. “Ya ampun!” Seruku pada diri sendiri. “Itu si dia!” “Sial!” katanya. “Patroli!” Aku melihat ke kiri, dan sebuah mobil patroli polisi perlahan memeriksa barisan truk, menyenteri tanah dan truk-2 yang diparkir. “Nunduk ke bawah, dan sembunyi di kabin,” kataku. “Cepat!” Dia melakukannya, waktu itu mobil polisi berhenti di depan truk. Petugas keluar, menyenter di sekitar truk di kedua sisi, dan berjalan ke arahku. “Malam, Pak,” kataku, saat aku menurunkan kaca jendela. “Ada apa?” “Kami dapat laporan ada pelacur beroperasi di tempat ini, dan kami coba menemukan dia. Bapak lihat gak?” “Tidak Pak tidak, saya barusan nyampe di sini. Tadinya saya mau ngisi kolom laporan sebelum tidur. Gitu pak, laporan antaran” kataku, tersenyum padanya. “Ya, ngerti.” jawabnya. “Selalu banyak formulir yang harus diisi.” “Ya, pak, selalu ada beberapa dokumen yang harus diisi.” “Yah,” kataku, menguap degan sengaja, “Ya udahlah, cukup hari ini. Perjalanan lumayan dari Polsek.” “Malem pak,” katanya. “Hati-hati.” “Bapak juga, Selamat malam!” Aku berdiri dan menarik tirai kaca depan hingga tertutup, menghalangi pandangan ke dalam truk. Kuletakkan atlas menutupi jendela pintu kanan bawah, dan sekarang tidak ada yang bisa melihat ke dalam. “Hampir aja!” katanya. “Sayanya gak jadi kembali ke penjara.” Aku duduk kembali di kursi pengemudi dan berhadapan dengannya. Secercah kilauan mata seperti kenal denganku di matanya, dan dia bilang “Aku tahu Om di satu tempat …” “Ya, betul kamu kenal.” Jawabku. “Hujan deras, dan kami muncrat keras.” Matanya melebar saat ia mengenalku, dan suaranya gemetar karena marah, “Kau bajingan! Kamu manusia rendah bangsaaat! Anjing luh, Elu sialan taik anjing, babi, setaann!” Yanti berdiri di kedua kakinya sekarang, mengayun tangan ke arahku dengan sekuat tenaga. Sebuah pukulan ke kepala, ke dada, tendangan ke tulang kering. “Plak, pak, plak, pak” pukulan cepat dia hajarkan ketubuhku. Aku mencoba untuk menangkis serangannya, tapi pukulannya terus datang. “Bajingan!” ia berteriak. “Anjiiing! Gue benci elo! KONTOLLLL!” Splakkk, tabokannya mendera bahuku. “bajingan NGENTOTTT!” Splaak. “Ngeenntoott!” Jantungku berdebar keras. “Gue benciiii!” Aku mendorongnya kembali ke tempat tidur, dan duduk diatas tubuhnya. Dia mencoba untuk melemparkanku, tapi aku lebih besar daripada dia hampir tigapuluh kilo lebih, jadi aku tidak bergeming. Dia terus bergayut padaku, sampai kupegang pergelangan tangannya. Dia mencoba menggigit tangan saya, tapi aku tarik lengan ke bawah di samping tubuhnya. Dia mencoba untuk menanduk saya, tapi karena dia tidak bisa duduk sejauh itu, ia coba meludahi wajahku. “Bangsat!” “KAMU makan tai, aku mau bunuh elo!” ia berteriak. Kujepit lengan kirinya di bawah kaki kananku, dan taruh tangan kananku menjepit mulutnya. “shhhhhhh …” kataku. “kita berdua masuk penjara jika kamu terus berteriak.” Menggeram seperti anjing gila, ia menggigit bagian berdaging di telapak tanganku sekeras yang dia bisa, matanya terbakar dengan kebencian. Jika aku tidak melakukan sesuatu dengan cepat, dia akan menggigit tanganku! Aku menarik tanganku dari mulutnya dan dengan cepat melihat kalau terluka. Tidak ada darah, tapi ada beberapa tanda bekas gigitan yang dalam. Kupencet mulutnya di kiri kanan pipinya hingga tak dapat menggigit. “Yhu hiki aka’ang,” ia menggeram. “Angging ho!” Mungkin dia bilang “Lu pikir apaan, anjing loe”, tapi mulutnya masih kupencet. “Hanya jika kamu janji berhenti teriak,” kataku. “Kita berdua akan masuk penjara jika kamu terus teriak. Ga akan gua sakiti, gua cuma ingin omong. Oke?” “Huuuhh,” dia mendengus. Aku melepaskan pegangan Catok-klemku di wajahnya, perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya dan duduk di tepi kursi penumpang, sambil menunggu pukulan yang berikutnya. Dia perlahan-lahan duduk tegak di tepi tempat tidur, mata hitamnya bersinar seperti bara. “Halo, Yanti,” kataku. “Bagaimana kabarmu?” “Sialan kau! Kabarku kaya taik, brengsek!” “Aku tahu kamu marah padaku, dan aku ga nyalahin kamu.” “Marah? Ha, lu pikir apa?” “Aku lihat kamu gak hamil lagi, bagaimana bayinya? Aku bertanya. Splak! Sebuah hook kiri menghajar di sisi kanan wajahku. “Dasar bajingan!” ia menjerit, karena aku mendorong punggungnya. “KAMU BUNUH dianya!” “Apa maksudmu?” Kataku. “Jangan omong kosong luh.” “Kamu bunuh bayi aku, bajingan biang anjing, dan aku harus bunuh kamu!” “Omong kosong! Keluar dari sini, gua engga bunuh bayimu.” “Ya kamu yang bunuh dia,” katanya, tiba-tiba dia diam. “Bagaimana aku bunuh bayi kamu?” Aku bertanya. “Ingat malam kamu turunkan aku di mini market?” desisnya. “Aku pergi membeli dua belas-kaleng bir dan beberapa pak rokok buat Toni sebelum pulang.” “Toni?” “Ayah bayi itu, orang yang tinggal bareng sayanyaa,” katanya, tenang lagi. “Yanti ambil bir kaleng dan rokok, dan siap bayar. Yang Yanti dapet uang palsu dari kamu, tapi Yanti gak tahu itu palsu dan Yanti berikan ke kasir. Dia ngambil bolpen, kamu tahu , mereka gunakan itu buat periksa uang palsu, dan ketahuan. Dia bilang itu palsu, dan Yanti beri cepekan lainnya. Dia chek dan bilang padaku itu juga palsu. Kemudian Yanti tahu apa yang telah elu lakukan ama Yanti, dan Yanti tinggalkan toko. ” “Jadi bagaimana aku membunuh bayimu?” “Diam, nanti juga tahu,” katanya. “Yanti pulang ke rumah dan Toni nanya di mana bir nya. Kukatakan padanya bahwa ada yang beri Yanti uang palsu, dan Yanti tertangkap karena coba untuk belanja di mini-mart. Dia bilang Yanti pembohong. Yanti berkata ‘ Yanti tidak berbohong ‘, dan dia bilang kalau Yanti tidak berbohong, maka Yanti adalah perek terbodoh di dunia ini. Ia melemparkan gocapan ke Yanti dan bilang kepada Yanti untuk beliin bir dan rokok. Yanti bilang padanya untuk pergi aja sendiri – waktu itu hujan dan Yanti mau tidur. Dia menampar Yanti, dan Yanti bilang kepadanya supaya keluar aja dari kos-kosan Yanti “! “Ya, dan kemudian …?” “Kami berantem berat. Dia berteriak dan berteriak pada Yanti, dan Yanti juga teriak-teriak. Dia bikin Yanti marah banget, maka Yanti lemparin video game dia, gak kena di kepalanya. Dia kejar saya, dan Yanti lari keluar dari pintu depan. Ketika Yanti mau turun tangga, Yanti kepeleset karena hujan, dan jatuh ke tanah dari ketinggian 2 meter. ” “Dan …?” “Polisi baru aja muncul. Ada yang nelpon mereka, kukira karena kami bikin bising. Mereka lihat Yanti jatuh, dan Toni mengejarku menurunin tangga. Yanti gak sadar ada pendarahan, sehingga mereka panggil Ambulan, nganterin Yanti ke rumah sakit. Yanti mengalami keguguran malam itu juga… ” saat dia mulai tersedu. “masyaallaah, maafin Om …” “Polisi nangkep Toni, karena selain bikin bising mereka temukan putau, ganja, ama senjata curian punya Toni. Dia kena delapan tahun untuk itu. ” “Jadi … Trus gimana?” “Waktu Yanti di rumah sakit, dua orang datang menemui saya. Mereka nangkep Yanti karena narkoba dan senjata, dan juga uang palsu. Tampaknya mini-market yang telah laporin bahwa ada yang pake uang palsu, dan mereka foto Yanti rekam di video yang mereka miliki. Setelah Yanti keluar dari rumah sakit, Yanti dimasukin penjara Wanita. Karena Yanti gak punya uang, Yanti gak bisa dilepasin hari itu juga. Polisinya mintanya lima puluh juta. Yanti di penjara sampai sore tadi. ” “Bagaimana kau bisa keluar?” Aku bertanya. “Para pembela bilang ke hakim dan ceritain kisah Yanti. Para jaksa sepakat untuk batalin tuntutan narkoba dan senjata, karena sidik jari Yanti tidak ada di senjata, dan karena Yanti lulus tes kencing, mereka tahu Yanti tidak ngobat. Hakim bilang Yanti mungkin tidak nyadar bahwa uang itu palsu, tapi mengingat bagaimana Yanti dapetin itu duit, ia menghukum Yanti sampe sore tasi dilepasin. ” “Kau baru saja keluar dari penjara hari ini? Aku bertanya. “Ya, belum sampe empat jam yang lalu,” Yanti menjawab. “Itulah sebabnya Yanti begitu gelisah waktu Yanti lihat polisi, Yanti ga ingin balik ke penjara. Penjaranya di sana deket,” katanya, sambil menunjuk. “Jadi Yanti datang ke sini untuk cari uang cepat sebelum Yanti pulang.” “Jadi bagaimana aku membunuh bayimu?” Kataku. “Aku tidak bikin kamu jatuh menuruni tangga.” “Tidak, tidak,” jawabnya. “Tapi Om yang mulai semuanya.” “Bagaimana?” “yang Om lakuin itulah sebabnya, dasar brengsek! Kalo Om gak kasih itu duit palsu, Yanti bisa beliin bir buat Toni waktu pulang, dan kami ga akan berkelahi, dan Yanti ga akan lari keluar dari pintu kos di tingkat 2 dan jatuh, dan bayinya mati, “katanya emosi, air matanya meleleh dipipinya. “Ini salah Om!” dia meratap. “Ini semua salah Om!” Diam-diam kuserahkan kain lap bersih dan duduk kembali. Apa yang telah kulakukan benar-benar memukulku, rasanya seperti peluru menembus ke jantung. “Dia benar,” kupikir, “Ini semua salahku.” Aku menggapai dan meraih tas kecil buat menyimpan kertas-2, kukeluarkan dari tempat rahasia. Aku membukanya, dan menyerahkan isinya. “Taik!” dia terisak-isak. “Aku ga ingin uang palsu sialan dari Om!” sambil melempar lembaran-2 itu ke arahku. “Ini bukan palsu,” kataku, saat aku mengambili lembaran-2 itu. “Aku ga akan melakukan itu lagi. Aku mungkin brengsek, tapi aku bukan penjahat bajingan.” “Ambillah,” kuserahkan beberapa gepok. “Nih…. ini …” Dia menatapku dengan mata gelap yang besar, tidak bilang apa-apa, rasanya meremas-remas hatiku. “Ini duit beneran,” kataku. “Kita akan masuk toko, dan kamu dapat menggunakan pena mereka untuk ngecek jika kamu tidak percaya padaku. Aku akan pergi ke sana dengan kamu. Jika palsu, telepon polisi laporin saya, aku akan tetap ada di sini
“Aku ga perlu masuk ke dalam!” dia memotong. “Aku udah kapok ama kamu, setan! Lihat apa yang aku punya!” Yanti meraih tasnya, membukanya, dan mengeluarkan pen pendeteksi uang palsu. Dia meletakkan tutup di giginya, dan mengeluarkan pena itu. Dia bekerja dengan cepat, dia memindai empat belas lembar cepekan, dan duduk kembali tanpa bilang apapun. Empat belas tanda benang pengaman di empat belas gambar duit cepekan. “Kenapa?” dia bertanya dengan kasar. “Mengapa Om kasih aku uang?” “Sebab Om ehm. ..aku..” “Karena aku tidak bisa tidur di malam hari berpikir bagaimana aku bikin kacau hidup Yanti!” katanya sinis. “Jadi sekarang aku mau beli hati nurani sehingga ngerasa lebih baikan diri sendiri! Asu, ngentot!” dan dia melemparkan lembaran-lembaran itu kembali wajahku. “Yanti ga pingin ‘uang rasa bersalah’ dari Om!” “Ya, aku akui, aku merasa bersalah tentang apa yang om lakuin,” kataku. “Tapi juga lebih dari itu. Om tidak bermaksud menyakitimu. Aku tidak bermaksud untuk menyebabkan kamu menderita dengan cara yang kamu lakukan. Aku hanya bersenang-senang, hanya main-main guyon sedikit, tapi ternyata kelewatan. Aku ga pernah bayangkan jadinya berakhir seperti ini. ” “Sialan! Bajingan pembohong!” “Aku sumpah, jika aku bisa kembali dan membatalkan apa yang udah terjadi, aku akan lakukan… Tapi aku ga bisa. Aku tidak pernah bermaksud nyakitin kamu, aku gak pernah maksudkan agar kamu kehilangan bayi, dan aku minta maaf. Aku sangat, sangat nyesal. ” Dia tak bilang apa-apa, hanya menatapku dengan mata kelam, dan jam menonton air mata di pipiku. “Sini,” kataku, sambil menyerahkan uang. “ini yang bisa om lakukan buat coba menebus yang udah terjadi padamu. Maafkan aku, maafin om …” Dia mengambil uang, dan menaruh itu di dipan, dan terus menatapku, tak bilang apa-apa. Aku melihat ke matanya, dan ia balas menatapku, tak satu pun dari kami omong apa-apa, hanya melihat ke dalam mata masing-masing, dan melihat air mata menetes. “Aku sudah kembali di sini mungkin, ahhhh … Dua lusin kali sejak aku meninggalkanmu malam itu,” aku mengakui. “Kadang-kadang aku dapat kesempatan berhenti, dan selalu berhenti di sini di pangkalan truk dan coba nyari kamu.” “Aku ada di penjara…. Taik!” “Aku tahu sekarang. Aku mau panggil di radio CB, dan dengarkan apakah kamu ada di pangkalan … Tapi kau gak ada. Aku udah tanya semua cewek yang ngider disisni kalau mereka lihat kamu .. Tapi ga ada. Aku nelepon Bunga Seroja buat ngecek apakah kamu ada di sana, tapi mereka bilang kamu gak kerja di sana lagi. Aku malahan ke mini-mart pas setelah Lebaran, siapa tahu kamu ada disana. Om udah kaya gila nyariin kamu.” Yanti duduk di sana diam, menatapku, menusuk jiwaku dengan mata kecoklatan yang dalam. “Aku pergi ke mini-mart, dan tanya apakah mereka pernah melihat gadis muda, cantik, berambut kecoklatan dengan bayi baru lahir, tapi mereka gak pernah lihat.” “Mengapa Om cari saya?” tanyanya dengan tenang. “Kenapa?” “Karena aku merasa seperti sampah untuk apa yang telah aku lakukan padamu. Itu memang gak bener aku memberikan uang palsu, dan mestinya aku gak gitu. Aku tinggalkan sini hari besoknya, pergi ke Bandung, dan pikiranku gak bisa lepas dari kamu. Aku nyetir berjam-jam dengan CB dan musik selalu dimatiin, dan selalu mikir tentang kamu, dan apa yang sudah om lakukan. Om hanya ingin betulin, dan minta maaf ama Yanti. . Om gak sengaja udah ngancurin hidup kamu. Sepertinya kamu benci banget pada om, aku ngerti sebabnya, dan aku gak menyalahkan kamu – aku juga benci diri sendiri juga. Aku gak bisa memaafkan diri sendiri atas apa yang aku lakukan padamu. . ” Aku lihat hook kirinya menerpa sudut mataku, tapi aku tidak cukup cepat. Bletakk! Tamparan lain mendarat ke pipi kanan, dan yang satu ini menyakitkan. Kuletakkan tanganku ke wajahku, dan ketika aku tarik kembali, ada noda darah di jari-jariku. “CUKUP, sialan loe!” Aku berteriak, kudorong dia kembali ke tempat tidur. Aku berdiri di atasnya, kemarahanku mulai mendidih. Dia tidak bilang apa-apa, tapi menatap ke arahku dengan pandangan bersalah karena telah menyiksa orang secara fisik. Semenit berlalu … Dua … Tiga … Kami berdua saling menatap, tidak bilang sepatah kata pun. Akhirnya, dengan berbisik pelan dia berkata, “Yanti udah maafin Om.” “Apa?” “Aku bilang Yanti udah maafin. Kukira om gak bermaksud nyakitin sayanya, mungkin aja itu cuman guyon yang keterlaluan, aku maafin kok.” Aku jatuh kembali ke tempat duduk, dan air mataku meleleh. “Ini,” katanya, menyodorkan lap. “ambil nih.” “Terima kasih,” kataku, aku mulai menyeka mataku. “Gak disitu, pipinya,” sambil mengambil kain itu kembali. “Om bedarah.” Dia menaruh kain di pipiku, tapi aku tanpa sadar mengelak waktu tangannya mendekat. “Aku gak akan mukul om,” katanya. Dia mulai menyeka darah dari wajah saya, dan berkata, “Maaf aku bikin muka om luka. Harusnya aku gak mukulin Om, Yanti gak biasa aja orang yang minta maaf ama Yanti.” “Gapapa,” kataku. “Aku layak dapat begitu.” “Gimana tangannya?” Aku melihat ke bawah, tanda gigitan sudah hilang, tapi ada memar kecil yang mungkin perlu waktu dua minggu untuk sembuh. “Gak apa-apa,” kataku. “Aku masih hidup.” “Om tahu, ada agak lucu.” “Apa yang lucu? Om berdarah lucu?” “Bukan, bukan itu. Yang lucu, satu-satunya laki-laki yang main ama Yanti selagi hamil, orang yang main seks dengan Yanti sebelum masuk penjara, adalah orang pertama yang pingin main seks dengan Yanti waktu keluar penjara, “katanya. “Aku berani taruhan kamu juga benar-benar pingin ketemu aku lagi, kan?” “Anggap aja Yanti ada perasaan macem-macem,” dia tersenyum. “Aku ingat betapa baiknya Om ama Yanti, dan gimana Om bikin Yanti nyampe kenceng banget, dan kemudian Yanti ingat kenapa masuk penjara, dan … Aah …” “Yah … Aku. .. Ahhh … Gak manggil kamu ke sini malam ini untuk main seks,” Aku tergagap. “Aku cuma ingin minta maaf ama kamu. Kupikir kamu gak ingin ada hubungan lagi dengan aku setelah itu.” “Om gak mau lagi main ama Yanti?” dia bertanya tak percaya. “Kenapa? Sekarang Yanti tidak hamil, Yanti gak menarik?” “Bukan .. Ya … Enggak .. Maksudku … Ya …” “‘Ya’ atau ‘Tidak’ – Om mau main seks dengan Yanti ya nggak?” “Iya, tentu saja!” “Jadi kesini dong om,” katanya, ia menggeser kembali ke tempat tidur. “Sinih … Ngomong-ngomong, siapa nama asli Om?” “John,” kataku. “Ya, aku ingat Om bilang namanya Randy, dan itulah yang aku bilang kepada penyelidik, tapi aku juga ingat bahwa Om bilang namanya Ricky, dan yang lain lagi… Robby, ya kan?” “Ronny, kalee.” “Ya gitulah. Jadi, John nama asli Om?” Aku berdiri dan merogoh dompetku dari saku belakang. “Ini di sini,” aku bolak-balik SIM-ku, “Lihat aja sendiri.” “Johny Ananda, Kelurahan Samaan, jalan Mawar Nomor XXX, Malang, Jawa Timur. “Dimana itu Samaan?” “Malang kota, deket kuburan,” kataku. “Tidak terlalu jauh dari kuburan umum atau pasar jalan Tawang Mangu.” “Tidak, aku belum pernah ke Malang.” Kuletakkan dompetku kembali, duduk di tempat tidur, meraih botol kecilku ‘Vitamin V’, dan dia bertanya “Viagra?” “Uhhh …” Kataku. “Mungkin … Jadi kenapa kalo ya?” “Coba lihat,” kata Yanti, saat ia mengambil botol dariku. Dia membaca labelnya diam-diam, dan mengembalikannya. “Bagus!” katanya sambil tersenyum. “Sekarang Om telen Viagranya, karena Om pasti perlu sekarang!” “Hah?” “Aku belum pernah main setelah ama Om enam bulan yang lalu, dan aku harus tebus semua malam ini. Om ada kerjaan berat yang harus dilakukan malam ini, MBAH!” katanya sambil nyengir. “Aku tak tahu apakah aku …” “lakukan seperti terakhir kali, dan Om akan oke-oke saja!” dia tertawa. Aku menaruh satu pil biru kecil di bawah lidahku, dan merasa pil itu larut di mulut, Yanti menarik kaus luarnya dari atas kepala, dan membuka bra-nya, membiarkan pegunungan susunya bergantung bebas. Ukurannya tidak sebesar seperti yang kuingat, tetapi sama-sama mengesankan. Aku melepas sepatu dan kaus kaki, menarik bajuku dari atas kepala, dan turunkan celanaku ke lantai. Aku Burungku berdenyut, berkedut menunjuk ke depan, karena ingat kesenangan yang pernah diberikan oleh tubuhnya yang indah. Terlentang kembali di dipan, dia mencopot sepatunya, menarik kaus kakinya, dan buka retsletting celana jeans-nya. Mengangkat pinggul, dia menarik lewat kakinya yang panjang. Dia terlentang kembali, berpakaian hanya CD biru tua, yang perlahan-lahan dicopot sehingga kelihatan semua di mata saya. “Sinih,” bisiknya. Aku pindah, dan menciumnya di bibir. Waktu wajahku mendekati wajahnyanya, dia menggeser wajahnya ke samping sehingga aku mencium pipinya. Aku mencium pipinya, lehernya, dan dadanya. Aku bergerak perlahan ke gunungan payudara, dan menggeser lidahku di puting sampai memuai dan menonjol munjul dari payudaranya. “Emmmmmh …” lenguhnya lirih. “Emmmmmh …” Aku terus mencium dan menjilat puting, bergantian antara mengemut dengan bibirku, dan meniup-niup udara dingin di atasnya. Matanya kelihatan melamun, terlihat setengah terbuka, dan aku tahu dia menikmati. Aku perlahan-lahan bergerak ke bawah, mencium dan menggigiti perutnya yang datar, perut bagian atas, dan bagian atas pahanya. Aku ingin melihat cukuran yang rapi, tapi ternyata telah berganti dengan hutan tebal, gelap dan berbulu kusut. Aroma vaginanya memabukkan, dan aku menggerakkan wajahku di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. Aku tiup lembut di vaginanya, dan dia mengerang lembut. “Ahhhhh …” Klitorisnya menyembul, minta untuk diisap, dan bibir vaginanya mulai membuka seperti kelopak bunga yang sedang mekar. “Jilat memeknya om,” dia memohon. “Hmmmm …” aku bilang, menikmati efek yang aku ciptakan pada dirinya. “Aku gak dengar.” Dia tak bilang apa-apa, tapi menaruh tangannya di belakang kepala aku dan mencoba untuk menarik wajahku ke dalam vaginanya yang manis. Leherku kubuat kakudan menolak, sambil aku meniup udara dingin ke klitorisnya. “Ohhhhh …” lenguhnya memanas. “Jilat memeknya om, cepetan!” Kukeluarkan ujung lidahku, dan sedikit menyentuh klitorisnya. Dia terlompat seperti kena kejutan dan mengerang, “oooohhhhhh …” Tangan Yanti mengelus bagian belakang kepala, dan aku menggerakkan wajahku ke depan sedikit, dan bernapas dalam aroma harum cairan yang manis. Aku menggeser lidahku keatas dan ke bawah di alur celah sempitnya, dan aku dengar ia mengeluh, “Enngghhhh …” Aku menjilat celah itu ke atas dan ke bawah, dan mengaduk lidahku diatas bibir vaginanya yang seperti karetnya. Rasanya luar biasa- manis, pahit, asin, dan asam, sekaligus – kompleks, hanya cairan seorang wanita dapat berasa seperti itu. Pinggulnya maju mundur saat aku menjilat vaginanya yang ber-jus, dan sirup mengalir keluar dari vaginanya. Aku menjilat di celah sempitnya, dan terus memperlakukan seperti itu sampai mengalir cairan yang mujarab. “Ooohhhh …” aku mendengar dia mengerang. “Enak sekali, yang itu enak bangetsss …” Aku pindahkan lidahku ke klitorisnya, dan sekali lagi hati-hati menyentuhnya dengan ujung lidah. Dia berkelojot bawahku dan meraung, “Aaaaaahhhh …” Aku menyentil-nyentil klitorisnya bolak-balik dengan lidahku di atasnya seperti itu, tubuhnya menggelepar di tempat tidur dan dia memuku-mukullkan tinjunya di kasur. “Aaaahhhhh …” lenguhnya. “Aaaahhhhh …” Aku mengemut klitorisnya yang berdenyut-denyut dengan bibir, dengan lembut kutarik dengan bibirku, dan mulai berdehem lembut. “Hmmmmm …” ada melodinya, suara bergetar keluar dari tenggorokan dan bibirku. “Hmmmmm …” Yanti menggulirkan pinggulnya, tinjunya memukul- kasur, mencoba menarik kepalaku lebih ke dalam, dan menggoyang kepalanya ke kiri kanan. Dadanya naik-turun, susunya terpental-pental, putingnya mencuat lurus ke atas, dan dia mau keluar. Kakinya melingkar di belakang kepala saya, dan dia mnyodokkan vaginanya yang basah ke arahku, sambil mengempit dan mengendorkan otot-otot di pahanya. “Hmmmmm …” aku melanjutkan. “Hmmmmm …” “Aduuuuuhhhh,” Yanti meratap. “Jangan brenti, jangan brentiii. Aku mau keluar, keluarrr, mau keluarrrrrrr..” “Hmmmm …” “hmmmm …” “hmmmm …” “Aduuuuhhhh …” ia berteriak, “Nggghhhh .. Aaaahhhh..” Tubuhnya menggeliat di bawahku dan aku hanya bisa menjaga bibirku tetap di klitorisnya. Dia berkelojotan dan melengkung ketika orgasme menguasai dirinya, dan aku terus berdehem di atas klitorisnya. Dia meraung, lenguhannya makin keras, dia meracau, tinjunya memukul kasur dalam kenikmatan. Dia memutar pinggulnya dan menjerit keenakan, “Oooooooohhhhhh …Nnnggghhhh” Aku berhenti berdehem di klitorisnya, dan biarkan klimaksnya berkurang. Aku dengar napasnya ngos-ngosan, dan kulirik. Mata Yanti tertutup, dan wajahnya bersinar kepuasan. Matanya perlahan membuka, dan ia menatapku dengan melamun. “Wih enak banget om!” serunya lembut. “Di mana om belajar?” Aku menurunkan bibirku kembali ke klitorisnya yang membesar dan memjepit di antara bibir. “Hmmmmm …” Aku bertanya. “Apa katamu?” “Aaaaaahhhh …” lenguhnya pelan, orgasme yang lebih kecil muncul lagi. “Aaaahhh …” Aku bikin dia mencapai puncak seksual yang hiruk-pikuk, dan aku buat dia sampai dan sampai lagi hanya dengan berdehem-dehem di atas klitorisnya. Jadi, aku lakukan terus. “Aaaahhhhh … Oh Aduh, tolong …” “Hmmmmm …?” aku bilang, menggetarkan bibirku pada klitorisnya yang sensitif. “Apaan?” “Nngghhhhhh …” lenguhnya, saat orgasme lain menyelubungi tubuhnya yang berlekuk-lekuk. “… Nnnggghhhhhh… Oooohhhhhh … Keenaken ommm!” “Kamu suka? Enakkan? Hmmmmmm…?” “Ooooohhhhh …” Jus manis asin mengalir keluar dari vaginanya, dan aku menggeser lidahku sepanjang celahnya dan menikmati rasa lezat jusnya. “Ooohhh yaaaahhh, jilat memeknya oommm!” “Apa? Hmmmmm …?” saat aku berhenti menjilati vagina lezatnya, dan melanjutkan berdehem pada kelentitnya yang sangat lembut. “Aaaaahhhhh … Jangannn brentiii!” dia memohon, tangannya mencoba mendorong kepalaku ke vaginanya. Aku teruskan permainan kucing dan tikus ini sedikit lebih lama, sampai penisku berdenyut-denyut menuntut perhatian. Aku menyelip di tempat tidur di sampingnya, dan gulingkan dia ke samping, mengangkat, kaki kanan yang panjang dan lentur ke udara. Penisku yang keras menyelip ke dalam vaginanya yang basah dari belakang, aku mulai mengocok masuk dan keluar dari celah hangatnya, jus manis membasahi bolaku waktu jus itu mengalir keluar dari vaginanya yang berasap. “Ummmmm …” lenguhnya, “Entotin terus memek Yanti …” Yanti menggapai ke bawah dan mulai menggosok klitorisnya dengan jari-jari, membuatnya vaginanya berkedut dan berkejang-kejang. “Oooohhhh …” dia mendesah puas, “Entotin, entotin terus, entotin teruss …” Kugeser lengan kiriku di bawah lehernya, dan sekitar untuk payudara yang kenyal. Bergantian kiri kanan, aku menggosok teteknya yang berat, lalu kutarik secara perlahan putingnya, sehingga menonjol putting-putting itu. Yanti dengan lembut mencium lenganku sambil aku bermain dengan susu yang besar, dan ia melenguh “ooooohhh yeahhhhh, entotin Yanti, biarin akunya keluar, biarin sayanya keluarrr …” Aku terus menggoyang penisku masuk dan keluar dari celah sempitnya yang dilumasi, menikmati rasa vagina panas dan lembabnya yang kejang-kejang menggenggam penisku. Aku melihat ke matanya, dan ia menatapku dengan pandangan yang lebih dari sekedar nafsu … Lebih hangat, melihat lebih dalam. “Emmmmmmh … Om bikin Yanti keenakan!” serak suaranya penu dengan gairah. Bolaku mulai jadi tegang, dan kurasakan orgasmeku mendekat. “Aku mau keluar lagi,” lenguhnya, “Aku keluar!” “Hhhhhh …” Bisikku di telinganya. “Kerasa aku keluar …” “Lailah, Lailah, aku keluar, entotin, entotin terus …” Vaginanya mulai mengepal-ngepal, menggenggam berkejut-kejut sepanjang penisku, dan aku merasa otot-ototnya meremas batangku. Yanti berhenti bermain dengan klitorisnya, dan menggerakkan tangannya ke kantung bolaku. Dia membelai di tangannya dengan lembut, dan aku mengerang waktu aliran benih panas memancar keluar dari kepala penisku ke vaginanya yang basah. Kedutan lain datang dan banjir air mani menggelontor berkedut-kedut. Muncrat lagi, lagi dan lagi sampai bolaku menguras semua isinya ke dalam vaginanya yang panas. Aku dengan lembut menurunkan kakinya, dan kami berdua berbaring di tempat tidur, keringat membasahi tubuh, dan burungku yang masih keras berendam dalam vaginanya yang basah dan hangat. Lenganku otomatis memeluk tubuhnya, menariknya lebih dekat, dan dia merapat ke badanku, matanya tertutup. Aku membuka ventilasi, dan merasakan aliran udara dingin malam atas tubuh kita kepanasan. “Aku akan berbaring di sini hanya sebentar dan istirahat,” aku berpikir sendiri. “Hanya satu atau dua menit …” #################### Berkedip mataku, bisa kulihat awal hari melalui kaca jendela. Lenganku memeluk tubuh Yanti, tangan menangkup susu kirinya, dan penisku menempel di pantatnya. “Jam menjunjuk 05:51” di radio AM / FM. “Hanya satu atau dua menit …” aku berpikir sendiri. Aku duduk, dan Yanti mulai mengulet. Dia bangun agak bingung, melihat saya. “Kita ketiduran kali …” Aku mengangkat bahu. Yanti menatapku aneh, dan kubayangkan dia mengingat ulang malam tadi di kepalanya, dan coba untuk memahami mengapa dia ada di sini sekarang, dan terutama karena ada saya. “Aus,” dia bergumam mengantuk. “Ada minuman?.” Aku tersenyum padanya, buka pendingin, mengambil sebotol jus jeruk, memutar atasnya dan menyerahkan padanya. “Makasih,” katanya, meneguk banyak. Dia menelan, meneguk lagi, lagi, dan lagi, dan akhirnya berkata, “Jam brapa?” “Hampir jam enam,” kataku. “Kita sedikit tidur siang.” Dia mengangguk setuju, dan terus menatapku. Setelah beberapa saat dia berkata “John?” “Ya?” Puas bahwa dia dapat dapat namaku yang benar, katanya, “John, kamu hari ini sibuk?” “Tidak,” kataku. “Trailer ini tidak ngangkut sampai hari Senin, trus aku kembali ke Jatim. Kenapa?” “Maukah om nolongin Yanti?” dia bertanya. “Apa?” “Ada beberapa tugas yang belum kelar, aku butuh tumpangan. Maukah om bantu Yanti, ayo dong?” “Tentu saja,” kataku. “Aku akan antar trailer ini ke tempat drop, dan aku libur akhir pekan.” “Terima kasih,” katanya. Dia duduk di tempat tidur, dan mengerenyitkan hidung kecilnya yang lucu. Menggapai ketiak, dia menghirup melalui hidungnya, dan berkata, “Wheeehhh, bau! Aku perlu mandi.” Dia lihat kearahku, mengendus lagi dan bilang, “Om juga bau! Om perlu mandi.” “Tau gak,” kataku. Mari kita parkir trailer ini, dan aku cari kamar hotel. Kamar mandi di perhentian bukan dirancang buat mandi panas yang enak, dan kita butuh mandi begitu. Gimana oke? ” “Oke,” katanya. Saat ia bergerak untuk berpakaian, lengannya menyenggol meja, dan uang yang kuberikan tadi malam jatuh ke lantai. Kami berdua berhenti dan melihatnya. Yanti tidak bilang apa-apa – hanya terus melihat uang itu. Akhirnya, ia menggapai ke bawah, mengambilnya, dan mengatur lembaran-lembaran itu dengan rapi. Dia mengambil seratus ribuan tiga lembar dari dari gepokan itu, dan tangan sisanya dikembalikan ke saya. “Nih,” katanya. “Nggak,” kataku. “Ini milikmu semua, simpan.” Dia melihat tas Bank kecil tempat aku menyimpan uang, menaruh lembaran sisanya di dalamnya, dan menyerahkan padaku. “Ini.” “Simpan aja,” kataku. “Aku utang padamu …” “Aku ambil tigaratus, itu saja utang om,” katanya. “Udah impas.” “Oke kalau begitu,” kataku sambil merogoh tas dan menarik keluar sekitar lima lembar lagi, “gimana tadi malam?” “Gratis,” dia tersenyum. “Di rumah. Aku napsu banget, kalo ada orang mati ato kambing hidup Yanti entotin!” “Uuuu, mesum!” Aku menyeringai, saat aku menaruh tas kembali di tempat yang tersembunyi. Dia tersenyum dan menggeleng. “Waah!” Kami berpakaian, dan aku keluar dari perhentian truk. Sebuah perjalanan singkat dan kami berada di tempat ngedrop. Aku memarkir trailer, dan mengirim pesan biasanya. “Jemput Senin, kirim ke Cilegon kapan saja sebelum Jumat tengah malam,” kembali sms beberapa menit kemudian. “Baiklah,” kataku. “Aku mau pulang!” Aku berjalan menuju Jalan besar, dan kulihat sebuah hotel. Banyak ruang parkir truk, dan kelihatannya sangat oke. Kami masuk ke parkiran hotel yang cukup bagus. Aku menaruh beberapa pakaian bersih di tas saya, dan kami berjalan ke lobi dan mendaftar. “Apakah Anda dan putrinya perlu kamar terpisah?” petugas front office bertanya. “Putri?” aku berpikir sendiri, “Apakah kita benar-benar terlihat seperti ayah dan anak?” “Tidak,” kataku. “Tempat tidurnya yang terpisah aja.” “Kamar 423,” menyodorkan kartu kunci. “Lantai atas, sisi barat. Terima kasih tinggal bersama kami.” “Ayo, Ayah!” dia cekikikan saat ia meraih tanganku. Kami naik lift ke lantai atas, menemukan ruang, dan berjalan masuk. Sebuah kamar yang luas, hotel bergaya khas. Dua tempat tidur king size, TV, sofa, meja, dua kursi, dan pintu kaca geser yang mengarah keluar ke balkon kecil. “Kau dulu,” kata Yanti. “Perlu waktu lama. Aku cukur saat kamu mandi,” sambil ia duduk di tempat tidur dan mencopot sepatu dan kaus kaki. “Oke,” aku menaruh tas mandi aku di meja cuci muka. “Ini barang-barang saya, pake dulu.” Dalam sekejap mata, Yanti mencopot bajunya, bra, celana jeans-nya, dan berdiri di depanku hanya memakai celana dalamnya. Dia membuka tas, dan ambil pisau cukurku dan krim cukur. Dengan halus ia mengangkat satu kaki panjangnya ke atas meja dan mulai memoles krim cukur di selangkangannya, sambil menyeimbangkan badannya yang anggun di sisi lain seperti angsa. Menutup pintu kamar mandi, aku melepas pakaian, dan duduk di toilet untuk buang air pagi hari. Saat aku duduk di sana, aku berpikir tentang apa yang aku lakukan padanya, dan bagaimana dia memaafkanku. Aku ingin mengenalnya lebih baik, tapi aku ingin tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Aku menyeka, menyiram, membuka shower, dan perhatikan dengan senang bahwa pancuran itu ada unit pijatnya. Tidak ada yang lebih enak dari pada mandi dengan pijat air membuat aku merasa lebih segar. Aku menyesuaikan suhu – setelah pas, masuk. Aku mandi busa, bilas, shampo rambut, dan mencukur jenggot di wajah dengan pisau cukur sekali pakai yang telah disediakan hotel. Beralih dari ‘Spray’ ke Massage’ mulai aliran air berdecit-decit, dan aku berbalik dan membiarkan jet air memiijat pangkal leher saya. Pijatan mandi melemaskan badanku, dan aku berdiri di sana, membiarkan jet berdenyut airnya memukul-mukul leher dari bahu atas. Kurasakan perubahan suhu cepat di udara dalam ruangan, dan kudengar pintu ditutup, tapi aku terlalu asik dalam pijatan jadi tak banyak memperhatikan. Toilet menggerojog, pintu kamar mandi terbuka dan menutup dengan cepat, dan air berhenti mengalir di atasku. Aku berbalik, dan Yanti berdiri dengan punggung ke saya, dengan semprotan mengucur di badannya. “Ini,” ia menyodorkan lap berbusa. “tolong gosok punggung.” Aku mengambil kain lap, dan mulai menggosokkannya di punggungnya. Bahunya, punggung atas dan bawah, napasku sedikit jadi lebih cepat. Aku menggosokkan lap di pantatnya yang bulat dan busanya melicinkan gosokanku. Perasaan sensual menggosok tubuh basah dan kulitnya yang bersabun menyebabkan burungku membengkak. Dia mundur ke tubuhku wakru menyemprotkan air di dadanya, kurasa burungku yang tegak menusuk di pantatnya, ia genggam dengan lembut dan berkata pelan, “apa ini?” Aku tak bilang apa-apa saat ia dengan lembut menggosok penisku yang bengkak di antara bongkahan pantatnya yang berbusa sabun, dan perlahan-lahan ia memutar pinggulnya dengan lingkaran kecil.
“Aku gak melihat om telen Viagra hari ini,” katanya pelan. “Om pasti menyukai Yanti!” Kupindah tanganku ke perutnya, dengan lembut kutekan ke badanku. Tangannya melingkari leher saya, dan menarik perlahan wajahku ke lehernya. Aku pelan menyondol dan menggigiti daerah sensitif lehernya saat tanganku berkeliaran di atasnya. Aku merasa payudara nya yang penuh menggantung, mengangkat dan memijatnya dengan jari-jariku. Aku menggeser tanganku turun dari payudara ke perutnya, merasakan tubuh sensual itu. Saat aku menggosok tanganku di atas puncak paha dan pangkal paha, aku melihat sesuatu yang berbeda – sesuatu yang hilang. “Seneng yg ini?” bisiknya. “Aku cukurin.” hutan lebat sebelumnya sudah hilang, meninggalkan cukuran Mohawk yang dipangkas dari bulu-bulu subur di tempatnya. “Ya, seneng bangettss!” Saat aku menggosok tanganku di atas paha dan pangkal paha, dia menyelipkan tangannya ke bawah saya, dan dengan lembut menggosok klitorisnya yang menonjol. Aku tidak perlu dorongan, aku mulai dengan mudah memijat tonjolan agak keras itu dengan jari-jariku. Yanti mendesah puas, dan terus menggosokkan pantat kenyalnya ke penisku. Dia membungkuk ke depan sedikit, bersandar ke dinding kamar mandi dengan satu tangan, dan dengan tanganya yang lain menggapai dan menggenggam batang saya. Dia mendorong pinggulnya ke belakang, dan aku merasa palkonku memasuki liang yang sesak dan hangat. “Pelan-pelan,” erangnya parau. “Jangan nyakitin memekku.” Aku menggosok klitorisnya dengan jari-jariku, kurasakan penisku di sana. Baru sadar aku di mana penisku, dan aku menyukai rasa yang berbeda berada di dalam celahnya dengan berdiri. Aku hati-hati menggerakkan penisku ke depan sedikit, dan merasakan perlawanan ketat atas tusukanku. Perlahan-lahan aku menggenjot penisku yang berkedut-kedut dalam dirinya, pelumasannya sangat alami yang mempermudah jalan di dalam vagina basahnya – dan rasanya sedikit sakit. Aku menyelipkan tanganku yang lain di gunung payudaranya, dan menggosok putingnya, membuat dua putting itu berdiri keluar dari payudara kenyalnya. Aku menggerakkan tanganku sampai lehernya dan mengelus pipinya, kemudian tanganku bergerak di depan mulutnya, dia mencium jari-jariku. Tanganku berpindah kembali ke dadanya, dan menggosok payudaranya yang fantastis dengan puting kerasnya. Perlahan-lahan aku berusaha menggesek seluruh panjang batang penisku dari belakang lalu berhenti. Jemariku terus mengulek dan mengobel klitorisnya yang berdenyut-denyut bersamaan dengan daging payudaranya, membuatnya mengerang keenakan, “Ummhhh … Rasanya sedap banget!” Aku menyelipkan jari tengahku ke dalam bibir vaginanya yang menggetar dan lezat. “Ohhhhh!” dia mendesah, saat tubuhnya sedikit bergidik. “Ohhhhh yaaahhh!” Jariku mencari dan menemukan daerah kecil di dinding vagina lezat nya, dan mulai memijat tempat itu. “Laa ilaaah,” erangannya lantang, “Jangan brenti! Ohhhhh … Jangan brenti!” Vaginanya berkontraksi dan berkedut di jariku, dan jusnya menetes dari vaginanya yang lezat saat aku menggosok telapak tanganku di atasnya klitorisnya yang tegak dan bergerak-gerak. Burungku bisa merasakan jariku yang bergerak masuk ke dalam lorong surga itu, sensasinya luar biasa. Aku menarik tubuhnya merapat kedekatku, dan dia menjerit kesenangan, “Ouhhhh … Ya di sana, gosok memeknya, ohhhhh … Teruss jangan brenti!” Otot vaginanya mengepal-ngepal pangkal penisku, dan otot-ototnya meremas dari bawak ke atas dan ke bawah sepanjang batangku. Jariku membelai G-spot, telapak tanganku menggosok klitorisnya yang sensitif, dan Yanti meratap keenakan. “Ohhhhhh …” dia melolong. “Ohhhhh … Terusss, jangan berenti … Aku mau keluar, aku mau keluar, ohhhhhh …” saat itu ia mendorong pantatnya ke arahku. “Ohhhh … Aku keluar, aku keluar om …” Genggaman vagina dan ototnya meremas penisku saat aku terus memijat vaginanya yang basah. Kurasakan tubuhnya gemetar dan vaginanya kejang-kejang. “Aaaaaaahhhh …” dia meraung, memukul-mukulkan tangannya di dinding kamar mandi. “Aaaaaahhhh …” Sewaktu klimaks Yanti berkurang, aku terus memindahkan jariku di dalam lorong manisnya. Aku memindahkan ujung jariku ke kepala penisku, dan itu menyebabkan mulainya orgasmeku sendiri. “Ahhhh …” Aku mendengus. “Aku keluar!” Karung bolaku berkontraksi, perasaan sesak yang sangat kukenal, dan tusukanku jadi berdenyut-denyut waktu semburan air mani keluar dari ujungnya ke dalam liang yang menggenggamnya dengan kencang. “Ihhhh …” Aku mengerang tak berdaya. “Ohhhhh …” “Aaaaahhh …” Yanti meratap waktu orgasme lain datang membuatnya mengejangkan tubuh seksinya keenakan. “Aaahhhhh … Enaaaaak, mmmm, ahhhhhh …” Ada pancuran hangat keluar dari kepala penisku, yang berdenyut, membanjiri pantatnya dengan air maniku. Semprotan demi semprotan membasahi perut saat liangnya penisku, otot-ototnya bergetar dan bergerak-gerak di penisku yang berdenyut. Bolaku menghabiskan isinya ke liangnya yang ketat, dan terus memompa dengan kacau sampai benar-benar terkuras. Waktu klimaks kami perlahan-lahan berkurang, kami berdua berdiri, terengah-engah, dan merasakan semprotan air hangat di tubuh. Yanti perlahan berdiri tegak, dan penisku yang lemas keluar dari liangnya. Dia berbalik dan melingkarkan lengannya di leherku, dan dengan lembut mencium pipiku. “Uh, enak banget!” katanya. “Aku tidak pernah nyampe begitu sebelumnya. Belajar dimana om? Dan yang tadi malam sambil bersenandung?” “Udah sedikit latihan,” aku tersenyum. “Om bisa latihan ama saya aja nantinya!” katanya sambil tersenyum. Kami berbilas, melangkah keluar dari kamar mandi, dan berhanduk kering. Aku ganti pakaian bersih, Yanti mengambil pakaian yang sudah dipakai, menghirup, dan mengeriputkan hidungnya yang lucu karena jijik. “Wheeeh … Aku benci pake pakaian kotor sesudah mandi!” “Aku punya kemeja kamu bisa pakai,” aku menawarkan. “mungkin sedikit kebesaran, tetapi kalo kamu mau …” “Iya dong” “Ada di dalam truk, aku segera kembali.” Aku ke lift ke lantai bawah, naik ke truk, dan menemukan celana pendek dan kemeja putih lengan pendek berkancing. Saat aku berjalan ke kamar, dia menaruh telepon. “Aku menelepon kafe, tapi terlalu pagi, gak ada siapa-siapa di sana. Aku menelepon Tifa, salah satu penyanyi yang aku tahu dari Seroja, dia bilang mereka mungkin akan kirimin aku gaji terakhir Yanti. Kantor pos bilang mereka ada setumpuk surat yang telah dikumpulinbuat saya, dan mereka buka sampai siang. Aku nelpon yang punya kos, tetapi jawabannya cuma inbox semua. ” “Wow,” seruku. “Cepat, efisien, dan lengkap! Kamu akan jadi seorang seorang sekretaris yang baik!” Aku menyeringai. “Om kaget kalo tahu aku bisa macam-macam ‘Om Senang’,” dia menyeringai balik. “Apaan tuh?” sambil menunjuk ke tanganku. “Pembantu,” kataku. “boxers. Aku pakai ukuran empat puluh, dan kukira cocok …” “Aku ukuran tiga puluh enam, tahu gak!” ia menyela, cemberut menghias wajahnya. “Gede,” tambahku buru-buru, “terlalu besar dan … Wah … Baggy ke kamu, dan kamu harus penitiin. Kau jauuhhhh … Lebih kurus dari aku, dan kamu akan ….. ” “Cukup,” dia tersenyum. “Aku ngerti.” Dia menemukan peniti di tas toilet punyaku, dan bikin celana pendek jadi lebih kecil. Yanti menghilang dari pandangan di sudut sambil aku duduk di tempat tidur dan menyalakan TV. Ketika ia muncul lagi, dia nampak cantik banget. Rambut hitamnya yang panjang lepas di belakang diikat, dan meskipun dia tidak pakai make up, Yanti terlihat sangat cantik. Dia mengenakan kemeja, bagian bawahnya diikat bersimpul, perutnya yang rata sedikit kelihatan. Dua kancing atas dibuka, memberikan intipan pada payudaranya yang mulus. Dia tidak mengenakan bra, dan aku hanya bisa melihat areola gelap melalui katun kemeja putihnya. Celana jeans di pinggulnya mencetak sempurna bentuk badannya yang langsing. “Om suka?” saat ia melangkah di depan cermin, memutar dari sisi ke sisi, dan ia lihat bayangannya sendiri. “Ya, sangat suka!” “Aku kelihatan gemuk,” ia mengerutkan kening. “Pinggul aku besar.” “Kamu cantik luar biasa,” kataku. “Kau tampak sempurna!” Yanti tersenyum mendengar pujian itu, dan menoleh padaku. “Siap? Yuk kita pegi.” Aku membuka pintu dan dia naik dalam truk. Aku memanjat, menghidupkan mesin, dan dia bertanya, “Om tahu jam berapa sekarang?” “Sembilan tujuh belas,” kataku sambil melirik jam di radio. “Aku lapar. Kita ada waktu, Yuk kita cari sarapan!” “Ide bagus,” kataku. “Yok kita pergi!” Di sisi seberang jalan aku lihat ‘Simpang Empat’, aku arahkan ke sana, dan memarkir truk. Aku buka pintu, dan ia melompat keluar dan meraih tanganku. Kami berjalan ke restoran, dan mengambil tempat duduk di sebuah bilik. “Kopi?” meminta pelayan saat ia bawa menu. “Ya, silakan,” kataku. “Nggak, terima kasih,” kata Yanti. “Aku pingin segelas jus jeruk, dan es teh besar.” Kami pelajari menu, dan Yanti bertanya aku mau apa. “Mungkin telur dadar.” Jawabku. “gimana kamu?” “Aku tak tahu,” katanya. “Aku lapar.” Pelayan datang kembali dengan minuman kami, dan bertanya “Apakah bapak dan putrinya udah siap pesan?” “Putriku,” pikirku. “Mengapa semua orang pikir dia putriku?” “Apakah udah siap, Ayah?” Yanti tertawa. “Telur dadar, bubur ayam, roti,” kataku. “dan kamu, putriku sayang?” “Aku makan orak-arik telur, ama roti.” “Aku gak lihat,” kataku, melihat ke menu. Pelayan menunjuk sambil menulisan dengan pennya. ” “Empat telor “tulisnya. “Empat telor, bubur ayam, sosis dua batang, roti panggang. Tiga krupuk udang, tiga tahu isi, dua tempe goreng, dua bakwan, sambel. Ini jadi sarapan berselera tinggi.” “Marinir aja makan gak sebanyak itu!” Seruku waktu pelayan ke dapur dengan pesanan kami. “kamu laper atau apaan?” “Aku gak makan bener udah enam bulan, bapaak!” katanya tajam. “Ingat di mana aku kemaren?” “Oh ya,” kataku. “Maaf … Lupa.” “Penjara kasih makannya gak bener, rasa makannya kayak sampah,” katanya, agak ketus. “Mungkin gak bisa disebut makanan!” “Maafin, aku gak bermaksud bikin kamu sedih.” Percikan kemarahan menyala di matanya kecoklatan, tapi segera digantikan oleh sesuatu yang lain, tak bisa aku katakan apa. Sarapan kami tiba, dan kami membicarakan sarapan, obrolan ringan tentang kehidupan. Aku menceritakan bagaimana aku bergabung dengan Angkatan Laut langsung dari perguruan tinggi, kerja dua puluh tahun, dan keluar dengan pensiun yang cukup layak. Aku bilang aku menikah tanpa punya anak dan cerai delapan belas tahun yang lalu. Aku menghabiskan sebagian besar hidupku di laut, dan tidak pernah menikah lagi. Aku menjelaskan bagaimana aku mulai mengemudi truk sejak empat tahun lalu, karena aku ingin melihat beberapa tempat sebelum menetap. Yanti menceritakan kisah yang jauh lebih menyedihkan, dari rumah tangga miskin dengan ibu pecandu obat dan ayah yang kasar. Dia menceritakan bagaimana dia meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke perguruan tinggi, dan mulai menyanyi untuk membantu membayar biaya kuliah. Setelah lima semester kuliah, ia jatuh ke dalam perangkap tawaran industri hiburan malam, dan entah bagaimana ia tidak pernah berhasil kembali ke perguruan tinggi. Dia cerita bahwa dia berganti-ganti pacar, pasangan, cinta satu malam yang semuanya punya kesamaan – mereka semua memperlakukannya seperti sampah. Aku tidak termasuk didalam daftarnya, tapi hal itu tidak membuatku senang. Pelayan membawa tagihan, dan mengambil piringku. Aku melihat ke meja, dan lihat Yanti telah membersihkan semua yang ada di piring nya! Dia sudah makan semua kecuali dua batang sosis yang ada di tengah-tengah piringnya. “Kurang matang?” Kataku, menunjuk ke sosis. “Apa jatuh?” “Lihat nih,” katanya, dengan pandangan menggoda. Dia ambil sosis dengan ibu jari dan telunjuk, meletakkan ke bibirnya, dan mulai perlahan-lahan menggerakkan sosis itu keluar masuk di mulutnya. “Mmmmmm …” lenguhnya, mengerling padaku. “Mmmmmm …” “Hentikan!” Aku mendesis padanya. “Jangan gitu!” “Mmmmm …” dia terus mengerang. “keras banget, ngaceng, geliii …” “Hentikan!” “Gurih, enak, aku mau yang begini!” dia menyeringai nakal. Berlawanan dengan protesku, penisku malah jadi hidup akibat dari tontonan erotis itu. Pas waktu kukira bisa jadi lebih mesum lagi, dia menarik sosis sedikit dari mulutnya, diolesinya dengan saus yang tersisa di piring nya, dan kembali menggerakkan di mulutnya. Lidahnya keluar dan berputar di ujung sosis, ia menjilati saus sampai bersih. “Emmmmm …” lenguhnya sambil mengedipkan sebelah mata padaku. “Enaaakkk!” Aku menatapnya terpaku, pameran yang seksi, dan penisku berdenyut-denyut seperti itu akan meledak. “Cukup,” kataku sambil berdiri. “Ayok, kita pergi.” Cepat-cepat aku melihat bon, dan meninggalkan sejumlah uang dan tip untuk pelayan. Bagian depan celanaku keluar melejit kedepan memalukan, aku menutupinya dengan jaket sehingga tidak ada yang melihat gelagat burungku yang tegak mengamuk. Yanti berjalan keluar pintu disamping saya, tak bilang apa-apa, hanya senyum seperti kucing Anggora. Aku membuka pintu ke truk, dan saat ia naik ke dalam, pantatnya digoyang-goyang dengan provokatif di depan wajahku. Dia memanjat masuk dan duduk, tapi aku memanjat dari belakangnya. Yanti bergerak kembali ke tempat tidur dan duduk membiarkan aku lewat, tapi aku berhenti dan duduk di tepi kursi penumpang. “Tolong jangan lakukan itu lagi!” Kataku sambil menatap wajahnya. “Lakukan apa?” dia bertanya, pura-pura tidak bersalah. “Yang di restoran! Jangan lagi.” “Karena tadi di depan umum?” katanya, menekankan ‘umum’. “Enggak,” kataku, “karena aku tidak suka jalan dengan burung ngaceng! Kamu bisa main-main jika kamu mau, cuma jangan ganggu harimau tidur kalau gak siap jadi pawangnya! Jangan anggap… ” Pemadam kebakaran mendekat, dengan lampu berkedip dan sirene meraung-raung. Ini memperlambat di depan kami, membuat berbelok ke kanan, dan menuju perempatan. Aku berhenti bicara dengannya, dan berbalik untuk nonton. Aku tidak tahu apa ada orang hidup yang tak berhenti untuk nonton pemadam kebakaran – kukira salalu ada kanak-kanak dalam diri kita. “Okeeey?” kubilang, menoleh padanya. “Apa kamu ngerti apa yang aku. ..” Dalam beberapa detik kulihat sudah pemadam kebakaran itu lewat, Yanti bajunya telah dipreteli tak tersisa apa-apa, dan berbaring di tempat tidur di belakang jok saya, benar-benar telanjang. “Sinih,” bisiknya, peregangan di tangan saya. “Sinih, jadi pawang harimauku.” “Aku. .gue.” aku tergagap, aku berdiri. “Itu bukan maksud. ..” “Johnny ngaceng! Johnny ngaceng!” ia bernyanyi dengan suara gadis kecil. “Johnny benar-benar menyukaiku, karena Johnny ngacengggg!” sambil ia menggapai ke depan dan menggosok penisku melalui celana. “Sinih!” serunya saat ia mulai buka gesper ikat pinggang saya. Aku menarik diri darinya, mengunci pintu, dan menutup tirai. “Ya, aku ngaceng,” kataku sengit. “Kamu harus tahu, kamu yang bikin ngaceng aku!” Aku menendang copot sepatuku, menjatuhkan celana dan celana pendek, dan merangkak di antara kakinya yang panjang terkangkang. “Aku mau menjinakkan harimaumu!” Desisku marah saat kugosokkan penisku di celah sempitnya yang licin berminyak. “Aku bungkam mulut harimaumu, oke?.” aku mendorong maju, dan penisku dengan mudah nyelip ke vaginanya yang sudah licin. Ototnya menggenggam batangku, dan dia menjerit dengan senang hati. “Ummmmm …” dia jeritan, “Entotin Yanti.” Aku mulai memompa penisku masuk dan keluar dari celahnya yang panas- lembut dan menyedot pada awalnya, tapi karena aku penasaran dengan adegan kecil di restoran, dan mulai kugenjot dengan lebih keras. Yanti membuka kancing bajuku, goresan kukunya terasa ringan di dada, dan dia menarik keras puting susuku. “Entotin Yanti yang keras!” ia menuntut, matanya bernapsu. “Entotin Yanti semaumu!” Aku mulai menggenjot vaginanya sekeras-kerasnya – kasur bedspringnya mendecit, truk bergoyang, dan bolaku memukul-mukul plek plek plek karena menampar pantatnya. Ini bukan seks lagi – ini adalah siapa mau mengusai siapa. Salah satu dari kami akan kalah dalam lomba ngentot ini, dan aku bertekad untuk tidak kalah. Dia juga. Yanti merasakan vaginanya yang lezat kugempur, dan membalas menyodorkan vagina panasnya ke arahku. “Ayo, entotin entotin!” dia menggumam. “Entotin Yanti Bapaaaak, entotin aku, entotin aku yang keras!” Aku bercinta dengan semua tenaga yang kupunya, penisku menggelepar-gelepar dalam liangnya yang lembut, jus hangat mengalir di atas bolaku. “Entotin Yanti, entotin memeknya, entotin Yanti yang kenceng!” dia menangis. “Bikin Yanti keluar, bisa gaaak? Masukin semua, Ayaaaaah! Bisa gaaak? Entotin Yantiiih!” Dia melingkarkan kakinya yang panjang di belakangku, membenamkan tumitnya ke punggung, dan menarikku ke dalam vaginanya yang berapi-api. “Bisa nglawan aku, Papiii??” dia mendesah, menatap dengan mesum ke mataku. “Yanti cewek yang paling enak dientotin! Entotin Yanti yang keras! Cepetan, entotin memek Yanti!” Aku seolah mau mampus menyerah, kutaruh tanganku di bawah pantatnya yang bulat, dan kutarik lebih keras ke penisku yang berdenyut-denyut. Tanganku mencengkeram pantatnya begitu ketat, aku tahu ini menyakitinya, tapi dia terus menggesek barangnya di penisku, mengocok klitorisnya keselangkanganku, dan melolong, “Entotin Yanti, entotin aku yang kenceng dan keras Ayaaah!” Menggapai punggungku, kuambil pergelangan kakinya, dan berhasil kubuka kancing kakinya dari punggungku yang menekan badanku ke badannya. Dia nyengir seolah-olah dia menang, tapi aku cepat melemparkan kakinya, sehingga kakinya terlipat kembali, dan tumitnya hampir menyentuh telinganya. Aku membenamkan penisku masuk dan keluar dari memeknya yang mengeluarkan juice, menggenjot lebih keras, sekeras-kerasnya. Gerakan bergelombang membuat susunya yang besar bergoncang dan bergoyang-goyang, putingnya yang keras berputar acak di udara. “Oooohhh yeaaaaa,” lenguhnya. “Om cinta ama memek Yanti, kan?” “Yeeees,” Aku terkesiap, saat kulepaskan pergelangan kakinya dan membiarkan kakinya beristirahat di pundakku. “Ya, aku seneng bangetts …” “Bilang dong!” dia memohon hangat. “Katakan saja! Katakan om cinta ama memek Yanti!” “Aku suka memek kamu!” Aku mengerang saat aku membenamkan penisku ke dalam vaginanya yang sedap. “Aku suka memek kamu, Ai lap yu…” “Emmmmm … Memek aku cinta ama kontol ayah!” Kami bertatap mata satu sama lain, dan sesuatu di antara kami menyatakan hal yang lebih dalam. Tiba-tiba terasa tidak penting lagi siapa yang menang dalam lomba bercinta ini. Aku berhenti menggoyang penisku ke vaginanya yang basah, dan menggeser posisi batangku sehingga si otong ini menggosok itilnya yang tegak saat aku menusuk sangat dalam, keluar masuk di vaginanya yang empuk. “Ohhhhh … Apem kamu gurih bangettss!” Aku merintih, “Kamu bikin aku keluar lagi!” Tangannya mulai menggosok bahu dan lengan saya, saat ia menatap mataku. “Enngghhhhh …” dia meratap. “Entotin apemku John! Enngghhhhh yaaa, aku mau keluar …” “Laaaillaaah,” ia menjerit, saat celahnya yang selembut sutra mulai kejang-kejang dan berkontraksi di penisku yang berdenyut-denyut. “Lailaaaah, John! Aku keluar! Keluarin di dalemm, enngghhhhhh …” “Enngghhhhh …” Aku mengerang karena aku merasa tembakan pertama air maniku muncrat keluar dari kepala penisku. “Enngghhhh …” “Aaaaaahhh …” Yanti meraung sambil kukunya cakar bahuku. “Keluarin di memekku!” Mataku tertutup, dan setiap lembar ototku berkontraksi menyatu di penisku. Aku menarik pinggulnya dan mendorong penisku sejauh yang aku bisa ke dalam vaginanya yang bergetar. Bolaku berdenyutan dan berkedut-kedut menempel di lubang belakangnya ketika cairan itu memasuki liang surganya. Pejuku seolah tak habis habis, kental dan lengket, memenuhi liang surgawinya. Tapi dia benar – aku tidak pernah dapat yang lebih baik dari dia. Dia meremas dengan otot vaginanya, menguras semua tetes dari mani yang ada di bolaku sampai terasa sakit selangkanganku, akhirnya kucabut keluar dari lorong penuh cairan itu. Kuturunkan dengan lembut kakinya dari pundakku, dan saat aku duduk kembali, dia menurunkan kakinya dan menatapku dengan matanya berwarna mahoni. Kami tidak bicara selama beberapa menit, hanya saling menatap, tenggelam dalam pikiran masing-masing, napas kita perlahan-lahan kembali normal. “Seri,” akhirnya aku berkata sambil menyeringai kepadanya. “Tapi kalau aku telen vitamin V, kamu akan mohon ampun!” “Ayah gak perlu Viagra lagi kalau ketemu sayanya,” dia menyeringai kembali. “Aku adalah yang dipengeni setiap orang. Nama sayanya ‘Miss Viagra’, itulah aku!” dia tertawa. “Yang paling hebat di Pantura!” “Kamu nakal sekali, Yanti,” kataku, perlahan-lahan menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum padanya. “Kamu gadis yang nakalll.” “Ada gadis kecil, yang rambutnya mrintil, di tengah jidatnya yang kecil,” katanya, memulai sajak lama. “Waktu dia hebat, dia jadi dahsyat. Dan ketika dia jahat … Dia jadi bejat!” dia selesai, tersenyum lebar padaku. “Itu kan kamu,” Aku tersenyum saat aku mengangguk. “Kamu hebat, kamu nakal, dan kamu emang dahsyat. Gak pernah ketemu orang seperti kamu.” “Aku emang istimewa!” katanya, sambil duduk dan menciumku lembut di pipi. Dia melihat handuk di keranjang cucian saya, menyeka celah sempitnya dimana jus kami bercampur dan mengalir keluar, dan menyerahkan padaku. “Ayo,” katanya, “Aku ada tugas lain.” Kami berpakaian, dan aku membuka korden. Aku setengah-mengharapkan melihat kerumunan orang di luar bertanya-tanya dan orang-orang berteriak mengapa truk kami bergoyang-goyang, tapi nyatanya tidak ada. Hari cuma hari biasa saja. Aku mengarahkan truk besar ini ke jalan raya, dan dalam beberapa menit kami mendekati lingkungan dia. Dia mengarahkan, sampai kulihat kantor pos di sebelah kanan, dan aku pinggirkan ke tempat parkir. “Aku segera balik,” katanya, sambil keluar dari truk. “Jangan tinggalin aku.” “Meninggalkan kamu sekarang atau nanti?” aku berpikir sendiri. “Cepat atau lambat aku harus pergi.” Yanti kembali beberapa menit kemudian dengan tas kotak penuh surat, majalah, dan junk mail. Dia mendapat masuk ke truk, menaruh kotaknya di tempat tidur, mengambil seikat amplop, dan mulai memilah-milah. “Sampah, sampah, sampah, sampah,” katanya. “Sampah, tagihan, sampah, sampah, tagihan, tagihan, faktur bank …” saat ia berhenti di sebuah amplop. Dia buka, membaca surat itu dan berkata, “Sial!” “Apa?” “Mereka ambil motor saya,” katanya. “Sial! Kukira mereka ambil waktu aku gak bayar. Yaah begitulah, semua manajer keuangan mesum itu juga maunya cuman ngentotin doang.” “Gak ada orang hidup yang gak pingin ngentotin kamu,” kupikir sendirian. “Pastor aja pasti nyerah,dan mau ngentot ama kamu!” “Motor apaan?” “Mio J 2011,” katanya. “Motor bagus, tetapi bayarnya nyekek, dan perlu ganti lampu. Siang-siang disuruh nyalain, aturan paling goblog di dunia” katanya. “Tagihan, sampah, sampah, tagihan, sampah, aha … Ini dia!” saat ia menarik keluar sebuah amplop dan dibukanya. “Dua juta lima ratus lima puluh ribu rupiah,” kata Yanti, melambaikan gajinya di udara, sebelum memasukkan ke dalam tasnya. “Mereka mengambil lima ratus ribu untuk ‘biaya kunci locker, tapi gapapa.” “Sampah, tagihan, tagihan, tagihan, sampah,” saat ia mulai membalik-balik tumpukan amplop lagi. “Eh-oh, dari pemilik kos,” saat ia membuka amplop. Dia membaca surat itu diam-diam, meletakkannya, melihat ke luar jendela, dan membaca surat itu lagi. “Anjing babi setan belang, BANGSAATTT” ia berteriak sampai terengah-engah. “SIALAN biang anjing! SIALAN sialan, sialan taik, shit! Sialan babi masuk neraka loh!” dia meninjunya di dashboard truk. “Ngentot,” ia berteriak, “Kontolll, APAAN, apaannih!” “Tenaang, tenaang!” Kataku keras, “Kau bisa pecahin barang! Apa yang salah?” “Ini!” teriaknya, mengipatkan surat padaku. “aku dikerjain!” ‘Ibu Suyanti yth,’ surat itu dimulai demikian, dan sisanya adalah surat standar. Intinya adalah, kamu tidak bayar sewa/kos beberapa bulan, kami jual barang-barang kamu untuk membayar sewa kos, dan kamu masih berutang tiga bulan sewa kos dan biaya pengacara. “Aduuh kacau,” dia terisak-isak sambil mulai menangis. “Aku tak punya apa-apa. Mereka telah menjual perabot saya, TV, semua barang-barang saya, bahkan pakaian juga!” ia menangis makin keras. “Aku jadi kacau, aku gak tahu mau ngapain lagi.” “Aku gak punya tempat lagi, gak ada pakaian, gak ada tempat tinggal, tidak ada motor, tidak ada apa-apa,” dia terisak-isak tak terkendali. “Apa yang aku akan lakukan, di mana aku tinggal? Aku kacau!” dia meratap. “Hidupku jadi kacau!” Aku duduk diam saat ia bangkit dari kursi dan melangkah ke tempat tidur di belakang jok. Yanti berbaring telungkup dan menangis histeris, aku duduk diam dan mengawasinya.
“Ini salahmu!” kata suara kecil dalam hatiku. “Kau melakukan ini padanya. Kamu bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi padanya. Kau pikir lucu memberi uang palsu cetakanmu, dan ini yang terjadi. Ini semua salahmu, harus kamu luruskan!” Aku mengambil peta jalanku dari lantai, buka-buka halaman peta kota dan bertanya, “Di mana mall terbesar?” “Apa?” dia tersengguk, “Apa om bilang?” “Mall, di mana mall terbesar, paling besar? Mega-mal atau komplek pertokoan yang semuanya ada. Setiap kota biasanya punya, di mana di sini?” “Carrefour,” dia terisak-isak, “Di Jalan utama Cirebon atau kita ke Tegal.” Aku tahu tempat itu, dan aku segera merasa di peta – sekitar tiga puluhan menit berkendara. “Oke,” kataku, kutarik truk ke lalu lintas. “Let’s go.” “Kenapa?” dia beringus. “ngapain kita pergi ke mall?” “Kamu butuh pakaian, dan mereka menjualnya di mall.” “Aku tidak punya uang,” dan dia mulai menangis lagi. “Aku tidak punya apa-apa!” “Biar aku yang khawatir, kamu tenang aja, oke? Aku belikan beberapa pakaian. Kamu dapat tinggal dengan aku di hotel untuk beberapa hari, dan kita akan coba untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. Ini tidak banyak, tapi untuk saat ini itulah awalnya. ” Kataku. “Mari kita pergi cari pakaian untuk dipakai.” “Oke, masa untuk dimakan” ingusnya menggoda. “Oke.” Tiga puluh lima menit nyetir membawa kita ke mall Perancis yang besar. Aku memarkir truk, turun dan membukakan pintu. “Ayo,” kataku, “kita pergi belanja.” “Om gak perlu lakukan ini untuk saya.” “Aku tahu,” kataku. “kita pergi ajalah.” Senyum mencerahkan wajahnya, dan dia turun, menutup pintu, dan meraih tanganku. Kami berjalan bergandengan tangan di tempat parkir, dan melalui pintu kaca yang mengarah ke dalam mall. Dalam hidup, setiap orang punya satu keahlian – pelukis, seniman, musisi, pilot, ahli bedah, mekanik, tukang kebun – setiap orang punya beberapa bakat alam, kemampuan yang diberikan Tuhan. Bakat Yanti adalah belanja. Dia masuk ke toko seperti angin puyuh, dari dalam langsung melancarkan gempuran. Dia menyerang rak pakaian, membolak-balik seperti tukang penatu, pilih delapan, sepuluh, dua belas item dan menuju ruang ganti dengan aku ditarik di belakangnya. Aku duduk di bangku di luar ruang ganti selama Yanti masuk ke dalam. Tiga puluh detik berlalu, dan dia muncul dengan celana jins dan melihat dirinya di cermin besar – “Apakah Om suka begini?” “Ya.” “Aku tidak suka, mereka pantatku terlihat gemuk.” Kembali ke ruang ganti, tiga puluh detik kemudian keluar dengan pasangan lain “suka yang begini?” “Ya.” “Aku tidak suka, membuat pantatku kelihatan tepos.” Kembali ke ruang ganti, tiga puluh detik kemudian, pasangan ketiga “Suka ini?” “Ya.” “Aku tidak suka, pinggulku kelihatan besar.” Setelah dia mencoba semua pakaian, dia pilih satu atau dua item dan menyerahkan kepadaku untuk kupegang. Sisa pakaian yang lain diserahkan ke pramuniaga yang malang untuk ditaruh kembali di gantungan, sambil dia menyerang rak pakaian yang lain. Ini pengalaman baru dan berbeda bagi saya, karena dengan belanja pakaian bersama wanita, aku memposisikan diri jadi peran pendukung – mengikutinya dari toko ke toko, membawa tas keluar ke truk, dan yang paling penting … Membayar itu semua. Tingkat dasar, tingkat atas, tingkat menengah, dan tingkat teratas semua merasakan jejak kami. Sayap Utara, sayap Selatan, Timur dan Barat sayap semuanya menerima kehadiran kami. Aku mulai melihat bahwa kemana pun kita pergi, Yanti adalah pusat perhatian. Semua pria menoleh dan mengaguminya ketika kami berjalan. Tidak diragukan lagi dia wanita paling menarik di mall, dan itu membuat dadaku bengkak dengan bangga, mengetahui bahwa wanita yang sangat menyilaukan kecantikannya ini bersama saya. Kami sedang berdiri di salah satu department store besar, dan dia berbicara dengan seorang wanita di counter kosmetik tentang sesuatu yang terdengar seperti kita berada di toko bangunan – fondasi, dasar, dan istilah lain yang aku tidak tahu. Aku berjalan ke konter perhiasan, dan melihat ke dalam. Sebuah kalung dengan tiga untaian mutiara menarik pandangan mata saya, dan aku minta ke pramuniaga. “Itu mutiara bukan?,” kataku. “Aku pingin lihat, boleh?.” Petugas membuka display, membuka pintunya, dan menyerahkannya kepada saya. “Sebuah kalung indah, Pak. Kalungnya indah sekali.” Ya, begitu juga harganya. Harganya jauh lebih murah di navex di Yokohama, tapi ini bukan di Yokohama. “Aku ambil,” menyerahkan kartu kredit saya. Yanti mendekat, dan aku cepat-cepat pindah memotong jalannya. “Aku tadi tanya-tanya kemana kamu pergi,” katanya. “Hanya browsing, buang waktu, melihat-lihat,” jawabku. “Aku perlu satu hal lagi, trus selesai,” sambil kembali menuju konter kosmetik. “Aku akan segera ke sana.” “Ini, Pak,” kata petugas penjual, menyodorkan kalung mutiara dalam kotak, dan tanda terima untuk ditandatangani. “Apakah untuk putri Bapak?” dia bertanya, menoleh ke Yanti. “Putri?” aku berpikir sendiri. “Bukan dia… Pacarku? Pelacur? Pacar? Kawan buat ML? Siapa dia?” “Ya,” aku menandatangani tanda terima dan menyembunyikan kotak itu di saku jaket dalam. “Saya yakin dia akan suka, dan jika dia tidak suka kami akan senang untuk …” “Dia akan suka sekali,” kataku. “Terima kasih.” “Terima kasih, Pak!” Aku berjalan kembali ke counter kosmetik, membayar pembeliannya, dan kami pergi. Di perjalanan kembali ke mal setelah mengambil di ke truk, Yanti bilang, “Aku haus, kita minum yuk.” Aku melihat lapak camilan, dan kami menuju ke sana. Aku pesan secangkir kopi, dan dia pesan es krim. Kami duduk di meja beseberangan, aku menyeruput kopi, Yanti makan cone es krimnya. Sambil aku menatap keluar ke mal, menonton hiruk pikuk, aku mendengar suara yang akrab – “Mmmm …” Aku melihat kembali padanya, dan senyum iblis yang seksi dan sensual menghias di wajahnya. “Mmmmmm …” ia memutar-mutar lidahnya yang sensual di ujung kerucut es krim. “Nyemmm …” “Jangan gitu lagi ah.” “Nyemmmm …” dia melenguh. “Mmmmm …” Dia menjilat kerucut dan menyeka sedikit es krim di atas bibirnya, menjulurkan lidah dan menjilatinya. “Lllmmmm …” katanya, menjengkitkan alisnya ke arahku, “Manis dan lembut!” Burungku mulai membengkak dan mengangguk di celana, dan aku duduk terpaku oleh kelakuannya yang agak cabul, yang sedang terjadi di depanku. Yanti melihatku yang menatapnya lekat-lekat dan tiba-tiba berdiri dan mengumumkan, “Aku udah selesai, yuk kita pergi.” Hanya dengan memikirkan pekerjaan aku mampu membuat penisku yang berdenyut-denyut mengecil sedikit. Aku memutuskan untuk tidak menyebut kelakuannya seperti pagi ini, dan dia tampaknya agak kecewa ketika aku tidak berkomentar. Yanti berjalan ke tempat sampah, melempar sampah ke dalamnya, dan menuju meja counter. Aku lihat dia menunjuk sesuatu dan berbicara dengan seorang petugas yang masih muda. Dia menyerahkan sesuatunya dalam cangkir kecil dan dia mengedipkan mata ke arahnya, tersenyum, dan mendekatiku. Kami berjalan sepanjang mal, bergandengan tangan. “Apa yang kamu dapatkan?” Aku bertanya. Yanti menunjukkan aku apa yang dia pegang di tangannya – sebuah cangkir plastik kecil dengan cheri tunggal. “Lihat ini,” katanya. Dia mengambil ceri dari cangkir, dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Rahang bawahnya bergerak sedikit, dan aku bisa melihat lidahnya bergerak di dalam bibirnya. Dia berhenti, meletakkan tangannya ke mulutnya, dan mengambil sesuatu. “Nih,” tersenyum nakal saat ia menyerahkannya padaku. Aku mengambil dari tangannya dan melihat ke bawah … Batang ceri terikat dalam simpul sempurna. Sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia menyeret aku dengan lengan menuju toko pakaian pria. “Kamu butuh celana,” dia katakan sambil mendorongku masuk. “Mosok?” aku bilang, sambil menjatuhkan batang ceri di saku bajuku. Sewaktu kita berjalan melewati rak pakaian pria, ia meraih satu dari rak dan mendorongku menuju ruang ganti, dia bilang, “Nih, coba ini.” “Gak cocok, kukira” kataku padanya, sambil dia mendorong aku ke dalam sebuah ruangan. “Ini kayaknya terlalu kecil …” Pintu terutup di belakang saya, dan aku mulai berbalik. Sebelum aku bisa bilang apa-apa lagi, aku merasa sepasang tangan membuka gesper ikat pinggangku dan menarik celana dan celana pendek. Aku melihat ke bawah, dan ada dia, berlutut di depanku. Burungku agak membengkak, dan tanpa berkata dia mengulumkan bibirnya di situ. “Aaahhhh …” Aku mengerang. “Apa yang kau lakuin padaku …” “Shhhh …” Aku dengar bisikannya. “Shhhhh …” Lidahnya yang ahli berputar-putar di ujung penis yang berdenyut-denyut seperti yang ia lakukan di es krim, dan kepalanya berayun-ayun bolak-balik mengisap penisku. Tangannya dengan lembut menarik pantatku maju ke mulutnya yang rakus menyedot. Tanganku meraih pegangan didinding, karena lututku mulai goyah keneenakan oleh mulutnya di penisku. Maju mundur mulutnya di penisku yang berdenyut, lidah multi talentanya berputar-putar di kepala penis. Saat ia menelan penisku, kurasakan napasnya yang panas dari lubang hidung menggelitik jembutku. Yanti melepas bibirnya dari penisku yang berkedut, dan menjilati dari bawah ke atas, seperti permen panjang. “Aarrhhhh …” Aku mengerang pelan-pelan. “Aarhhhh …” Dia menggesek lidahnya di bagian bawah dan menjilati pangkalnya hingga berkedutan. Dia perlahan menjilati kantung bola, sebelum menghisap kedua bolaku ke dalam mulutnya yang hangat dan diputar-putar dengan lidahnya. Erotika yang dia lakukan membuat kepalaku pusing. Di luar pintu, aku bisa mendengar orang berbicara dan pintu ke kamar ganti yang lain terbuka dan menutup ketika pelanggan lain mencoba pada pakaian mereka. Mereka sibuk urusannya sendiri, sama sekali gak tahu ada gadis muda nakal yang cantik di dalam ruangan ini denganku, dan berusaha keras membuat aku keluar di mulutnya. Maju mundur terus dia menjilati penisku yang berdenyut-denyut, dan kemudian mendorong lebih dalam ke mulutnya dengan satu tangan, tangannya yang lain mulai menggerayangi kantung bola, dan aku merasakan kedutan akrab mulai menencang di kedua telorku. “Aku mau keluar,” aku mengerang pelan. “Ohhhh … Aku mau keluar!” Dia merasakan kedutan di penisku yang menandakan orgasme sudah dekat, dan aku merasa tangannya menggapai pantatku. Tiba-tiba aku merasa salah satu jarinya menekan lubang pantatku dan meronta mauk ke pantatku saat aku keluar. Yanti dengan lembut mengocok lubang pantatku dengan jarinya saat aku menembakkan semburan demi semburan mani ke dalam mulutnya yang menunggu dengan hangat. Jarinya yang meluncur masuk dan keluar di pantatku terasa luar biasa, dan lubangku terasa meremas-remas jarinya saat aku keluar. Bolaku mengeluarkan benih dan bekerja keras bersaing dengan mulutnya yang menyedot. “Ennggghhh …” Aku mengerang tak berdaya, “Enngghh …” Lututku yang sudah lemah menekuk, dan aku jatuh kembali di dinding ruang ganti dengan keras, dinding-bersuara ‘gedebuk’. Ada ketukan di pintu. “Ada masalah, Pak?” Aku mendengar suara laki-laki berkata. “Ya,” aku nyaris tidak berhasil menjawab, “Aku baru saja kepleset. Aku oke saja.” Aku menatap Yanti, saat ia berdiri di atas kakinya. Sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia melingkarkan lengannya di leher dan mencium pada bibirku dengan keras. Aku merasa lidahnya menekan bibirku dan aku secara otomatis membuka mulut. Lidahnya melenggot dalam mulut dan kurasakan sesuatu yang baru dan berbeda – hangat, sedikit manis, sedikit asin, dan kental – seperti saus atau semacam krim; begitulah kira-kira. Dia memutar lidahnya di sekitar lidahku selama beberapa detik, kemudian menarik kembali dan menatapku dengan hangat dengan mata kelam miliknya. “Toni tidak akan pernah membiarkan aku menciumnya setelah aku ngisep dia. Kau berbeda -. Aku suka deh!” seksi bisiknya. “Yuk kita pergi.” Ketenanganku perlahan-lahan kembali mendekati normal, dan aku menyelipkan bajuku, memasang gesper celanaku, dan mengakkan diriku. Aku mengambil pakaian olahraga dari rak mantel, dan membuka pintu ruang ganti. Seorang pemuda, petugas penjualan usia SMA ada di sekitar empat meter memunggungi saya, dan ia bebalik saat aku membuka pintu. “Nah, Pak …” ia mulai, dan berhenti di tengah kalimat. Matanya melihat kepadaku dan ke Yanti, yang baru muncul dari ruang ganti, dan berdiri bergandengan tangan denganku, menyeringai seperti kucing belang. Anda tidak perlu secerdas Einstein untuk tahu apa yang barusan terjadi di sana, dan ia menatapku dengan seringai di wajah remajanya. Aku menyelipkan tangan kananku di saku saya, ambil dua puluh ribu, dan kusalamkan ke tangannya. Aku menyerahkan pakaian olahraga dengan tangan kiri saya, dan menjabat tangannya dengan tangan kanan saya. “Ma kasih!” kataku sambil tersenyum penuh percaya diri padanya. “terima kasih banyak!” Kurasakan dia mengambil dua puluh ribuan itu ketika aku jabat tangannya, dan Yanti mulai menarik aku pergi. Aku melihat anak muda itu melihat ke tangannya, kemudian mengantongi lembaran itu ke saku celananya. Jika ada sistem rekaman video CCTV keamanan, aku tahu pasti dia akan menunjukkan tontonan ‘kencan’ kami kepada teman-temannya – tapi aku tidak peduli, aku sudah dapatkan gadisnya. “Terima kasih, Pak!” serunya waktu Yanti menyeretku pergi, “Terima kasih banyak,” dan hampir seperti tak sengaja ia berkata, “Silahkan, datang lagi!” “Oh, pasti!” Yanti cekikikan. “Itu dijamin!” “Kau sangat nakkkaall!” Aku tertawa, waktu kita berjalan keluar dari toko pakaian pria. “Kamu gadis yang nakkall.” “Aku tahu,” katanya. “Kau ga ingin aku yang beda khan!” “Dan,” tambahnya sok tahu, “Tadi barusan yang ketiga hari ini! Kamu gak perlu Viagra kalo udah punya aku!” Lalu kami pergi. Blus, rok, gaun, celana jeans, celana panjang, bra, celana dalam, kaus kaki, sepatu, pakaian, pakaian, pakaian, dan lebih banyak pakaian lagi. Akhirnya, aku diselamatkan oleh suara dari sebelah atas – “Perhatian pengunjung,” suara pengeras cukup merdu. “Mal akan ditutup dalam lima belas menit. Terima kasih atas kunjungan Anda, dan selamat malam.” “Auuwwww,” kataku setengah bercanda, setengah sinis, “Dan aku barusan jadi anget. Untung deh.” “Seven eleven buka 24jam 7 hari penuh.” Yanti mengumumkan. “Perlu apa lagi kamu?” Aku bertanya, agak putus asa. “Buat mandi,” katanya. “Makanan.” Kami menuju pintu keluar, dia berhenti di depan sebuah toko pakaian perempuan, dan mengumumkan, “Aku mau pipis.” “Aku akan pergi memundurkan truk dulu,” kataku. “Oke, aku nanti cepet keluar.” Aku mengemudi ke pintu masuk mal, dan dalam beberapa menit Yanti muncul dari mal dan naik ke dalam truk. Dia bergerak menuju dipan di belakang jok, dan kukira aku melihat dia meletakkan tas kecil kembali ke sana, tapi ada sesuatu yang tidak sengaja jatuh ke lantai. Dua jam perjalanan ke Carrefour membelikannya shampoo, sabun, pisau cukur, pisau, deodoran, sikat gigi, pasta gigi, obat kumur, cotton buds, penyeka kapas, gunting kuku, pinset, cat kuku, alkohol, dan banyak barang-barang kecil lainnya . Dia juga berhasil memilih satu pengeriting, setrikaan, pengering rambut, cermin makeup berlampu, dan enam tas nilon untuk membawa semuanya. Kami memuat barang-barang itu di tempat tidur sampai, dan aku kembali ke jalan besar. “Aku lapar, kamu lapar gak? Kita cari makan malam,” katanya. “Ya, aku leper. Kau hampir bikin aku kering, aku perlu makanan.” Kami kembali ke tempat kami sarapan pagi ini, dan aku melirik jam radio; 12:37 – tak terasa kami sudah bergaul selama delapan belas jam. Saat kami berjalan ke restoran, aku beli koran, dan ambil edisi sore. “Aku ingin periksa bola,” kataku. Kami memesan makan malam, dan sambil aku melihat bagian olahraga, Yanti membaca halaman depan. Selama makan malam aku terkejut mengetahui bahwa dia cukup cerdas. Yanti punya pengetahuan yang baik tentang keuangan, politik dunia dan nasional, dan geografi dunia. Dia sedikit ketinggalan untuk berita terkini – tapi kukira itu karena ia ada dalam tahanan baru-baru ini. Dia mampu melakukan dialog tentang banyak topik, dan dia adalah seorang pembicara yang baik. Pelayan membawa cek, dan bertanya apakah kita ingin yang lain lagi. “Sarapan sosis?” yanti bilang, ia menatapku sambil tersenyum nakal nampaknya ada masalah bagi saya. “Tidak ada lagi, terima kasih,” aku memberitahu pelayan. “Sosis adalah lelucon kami.” Pelayan tak bilang apa-apa, hanya tersenyum senyum terpaksa dan pergi. Yanti bilang dia perlu ke kamar mandi, dan aku bilang padanya aku akan menunggu di sini saja. Saat ia pergi ke kamar kecil, aku merasa tonjolan di saku bajuku, dan aku mengeluarkan segepok besar lipatan bon tanda terima dari toko. “Apaan sih?” aku berpikir sendiri. Aku ratakan lipatan-2 itu, dan mulai menjumlahkan angka di kepalaku – “317 ditambah 286 sama dengan 603 ditambah 262 ada 865 ditambah 184 ada 1049 ditambah 473 sama dengan 1522 plus …” Yanti duduk dan melihat aku menjumlahkan bon-bon. “Yah,” ia bertanya sambil tersenyum, “Berapa kamu udah keluar buat aku hari ini?” Aku menambahkan dua kuitansi terakhir di kepala dan jawaban saya, “Apa itu penting?” “Tolong kasih tahu, aku pingin tahu.” “Aku gak ngitung recehannya, cuman berapa ratusan. Dengan hotel, itu sedikit lebih dari empat puluh tujuh.” “Aku menghabiskan hampir empat puluh lima cepekan dari uang kamu buat pakaianku hari ini?” tanyanya dengan suara tenang. “Dan perangkat mandi dan dan lain-lain.” “Ya ampuun!” katanya, sambil merosot. ” Yanti menyesal, Yanti kelewatan.” Dia menatapku sedih dan berkata, “Besok aku akan kembalikan kalo kamu mau. Yanti gak butuh semua itu, aku tidak nyadar aku ngabisin …” Aku mengangkat tangan ke arahnya. “Jangan khawatir itu,” kataku. “Ini bukan masalah besar.” “Ini masalah buatkku,” katanya. “Aku gak basa ngabisin uang kamu seperti itu.” “Ya bisa,” kataku, “… Dan kamu udah khan?” sambil menyeringai padanya. Dia menatapku dengan mata kelam, dan tak bilang apa-apa selama satu menit. Akhirnya dengan suara berbisik ia bertanya, “Kenapa, John? Kenapa kamu lakukan ini?” “Karena.” “Karena apa? “Karena, aku utang … I love yu… Hanya karena itu sebabnya.” Aku menaruh jaketku, dan kurasakan sesuatu di saku ada benjolan di bagian dalam menekan dadaku. “Oh ya,” Aku ingat. Aku segera bergerak ke sisinya, dan bergeser di sebelahnya. “Aku punya sesuatu untukmu,” kataku. “Aku harap kamu suka.” kutarik kotak perhiasan dari saku dalam, dan meletakkannya di depannya. “Ini, buka aja.” Dia membuka kotak, dan mundur seperti dia baru saja melihat ular. “Ahh John,” bisiknya lembut, “cantik bangeeet!” Dia menatapku dan menggeleng, “Kamu gak harusya, kamu gak perlu, aku gak pantas …” “Apa kamu suka?” Tanyaku penuh harap. “Oh ya,” dia tergagap. “Ya!” “Nih.” aku mengambil kalung itu dari kotak, dan saat ia mengangkat rambutnya yang panjang, coklat tua aku membuka dan kupasang kalung di lehernya. “Kau tampak lebih cakep!” Kataku. Yanti berbalik dan melihat bayangannya sendiri di jendela kaca. Dia menggerakan tangannya ke lehernya, merasakan untaian indah, dan berbalik dengan air mata menggenang di matanya yang kelam. “Terima kasih,” katanya, saat ia dengan lembut mencium pipiku. “Aku gak tahu harus ngomong apa.” “Senyum kamu, udah bilang semua.” Dia menatapku dan aku melihat air matanya mulai menetes di pipinya. “Terima kasih John untuk semua yang telah kamu lakukan buat Yanti,” katanya. “Aku gak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu. Kamu baik banget pada Yanti, kamu begitu baik, aku. .. Aku. ..” Aku menatapnya dan tersenyum, memeluknya erat-erat, dan menciumnya. Saat aku menggerakkan wajahku ke arahnya, dia menurunkan kepalanya, aku mencium keningnya. “Kita tidur yuk,” kataku. “ini hari yang panjang, dan aku capek.” Aku meninggalkan uang untuk tagihan di atas meja, dan kami meninggalkan restoran. Aku membuka pintu, dia memanjat, dan aku berjalan memutar dan memanjat di sisi saya. Saat aku duduk, dia bergerak di atas, dan dengan lembut mencium pipiku lagi. Dia tersenyum lembut padaku, dan ketegangan begitu tebal menggantung seperti awan. Aku tahu apa yang aku rasakan, dan kukira aku tahu apa yang dirasakannya, tapi tak satu pun dari kami akan mengatakan itu. Kami kembali ke hotel, dan ketika aku membuka pintu, dia mulai menyodorkan barang bawaan. “Malam ini?” Kataku. “Sekarang?” “Tolong? Tolonglah? Buat saya?” “Ini akan lima kali bolak-balik, mungkin enam,” kataku. “Tunggu sebentar, aku punya ide.” Aku masuk hotel, dan mencari salah satu kereta bagasi yang disediakan hotel. Aku menemukan satu, tetapi tidak ada dinding sisinya, dan mungkin akan jadi lebih repot. Ide lain…aku ke meja counter petugas depan, dan membayar dua puluh ribu untuk pergi mendapatkan satu bak plastik besar yang digunakan housekeeping menaruh pakaian kotor ketika mereka membersihkan kamar. Ia gelidingkan kepada saya, dan kugulung ke truk. Yanti akhirnya membawa beberapa kantong sambil aku mendorong gerobak – ada begitu banyak barang, tidak akan masuk semua di bak mandi. Kami naik lift ke kamar, dan menumpuk semuanya di sekitar tempat tidur yang terdekat ke pintu. Kuletakkan bak cucian di lorong, memanggil petugas untuk memberitahu bahwa ia bisa mengambilnya, dan berterima kasih padanya setelah aku menggunakan bak cuciannya. Yanti melepas jaketnya, dan mulai memeriksa tas dan barang-barang. Aku mengawasinya selama satu menit dan berkata, “Aku mau mandi, aku akan segera selesari.” “Oke.” Aku nyalakan air, sesuaikan suhu air yang tepat, dan nyemplung, setelah memastikan pintu kamar mandi terkunci – kukira aku gak bisa main yang bergairah lagi dengan Yanti hari ini. Aku gosok sampai berbusa, bilas, berhanduk, dan mengenakan celana pendek longgar buat tidur. Muncul dari kamar mandi, aku melihatnya sangat asyik dengan pakaian barunya. Dia tersenyum dan menciumku saat aku lewat di depannya – aku tersenyum kepadanya dan terus ngeloyor ke bed lainnya. Aku duduk di tepi tempat tidur lainnya, dan melihat keluar ke pintu kaca geser. Sebuah garis awan terlihat di cakrawala, dan sepertinya ada hujan deras sedang bergerak mendekat “Kamu oke?” dia bertanya. “Aku baik-baik, hanya lihat ke luar jendela. Sepertinya mau hujan.” Dia tak bilang apa-apa, dia sibuk dengan pakaian barunya. Aku menyalakan televisi, dan mencari saluran cuaca, entah di Indovision atau program lain. ‘Hujan mulai Minggu dini hari, dan berlanjut sepanjang hari Minggu, “kata penyiar. Di dalam ruangan sudah dingin, jadi kukira aku akan bisa nyelusup di bawah selimut biar hangat. Aku membolak-balik saluran di TV, tapi tidak ada yang menarik, dan kelopak mataku mulai berat. Hal terakhir yang aku ingat adalah suara yang berkata, “gimana ini, John? Yang ini cocok gak?”
################################# Aku bangun, karena aku harus pipis. “10:03” kata radio jam di meja. Aku keluarkan semua isi kandung kemih, dan diam-diam menyelusup kembali ke tempat tidur. Aku melihat bahwa semua pakaian barunya yang dilipat rapi ditumpuk di tumpukan kecil di tempat tidur dan sofa. “Itu satu pelaut hebat,” sepertinya samar-samar kuingat sesuatu dari kehidupan lain. Menyeret ke pintu kaca geser, aku menarik kembali tirai dan melihat ke luar. Langit mendung, dan hujan adalah mengguyur. Saat aku merangkak kembali di bawah selimut, aku melirik di tempat tidur di sebelah saya. Yanti berbaring di sana dengan memunggungi saya, selimut ditarik sampai menutupi bahunya, dan mendengkur lembut. Kukeluarkan tanganku, kuusap dan kutepuk pantatnya yang montok, berguling, dan tertidur lagi. Aku bermimpi aku kembali di Angkatan Laut, dan aku berada di laut. Kami menangkap putri duyung berambut gelap dengan mata cokelat besar, dan dia ngajak aku ngentot. Kami lakukan, dan rasannya itu luar biasa, sangat menyenangkan. Begitu sedap dan menyenangkan sehingga aku terbangun dan membuka mata. Yanti mengangkangiku, menggesek memeknya yang sehalus beludru keatas dan kebawah pada penisku yang sudah bangun. Aku mengawasinya sejenak, terpesona oleh apa yang kulihat. Dia mengenakan daster sutra, berwarna sampanye yang menyelubungi tubuhnya yang berlekuk pas di atas pahanya. Dua tali tipis menahan daster itu, brokat halus dari sutra dan renda menutupi sebagian payudaranya yang menggantung. Areola cokelatnya yang besar hanya terlihat di balik tabir, dan putingnya tertekan renda. Bagian depannya berpotongan rendah, dan menampilkan hamparan dadanya yang tumpah. “Aku tak ingat membeli daster ini, dia pasti membeli ini ketika kami meninggalkan supermarket,” kukira. Rambut cokelat gelapnya acak-acakan membuat kerangka frame wajahnya cantik, kalung mutiara itu berkilau, bercahaya lembut, dan aroma halus parfumnya mengisi hidungku. Dia adalah gambaran keindahan feminin dewi kamaratih – dewi asmara. Dia memuaskan dirinya sendiri dengan tubuh saya. “Selamat pagi,” bisikku. “Shhhhh …” bisiknya, menaruh jari-jarinya lembut di bibirku. “Dengar … Dengar hujan?” Suara hujan di kaca pintu geser mengingatkanku tentang malam yang baru berlalu, tidak terlalu lama. Tubuhnya bergerak semulus hujan, saat ia mengocok vaginanya yang juicy pada penisku yang sudah ngaceng membesar. Matanya tertutup, dan ia menaikkan dan menurunkan badannya di penisku. Naik turun dia menggosok kweanitaannya yang manis padaku, memutar pinggulnya, dan membuat penisku masuk keluar di dalam vaginanya lezat. Diam-diam, aku menggerakkan tanganku ke tubuhnya, merasakan kakinya cantik dan kenyal, pantatnya yang kencang, punggung, bahu, lengan, dan payudaranya. Aku menggosokkan tanganku di atas tubuhnya lagi dan lagi, merasakan sentuhan sensual dari kulitnya, payudaranya yang matang, otot-otot ketat pahanya saat dia menusuk dirinya dengan penisku. Celah sempitnya yang terlumasi lebih panas dari gunung berapi, dan aku bisa merasakan aliran lava keluar darinya membasahi bolaku karena dia dengan tegas memanjakan keinginan nakalnya pada diriku. Aku melihat payudaranya bergelombang malas saat ia memuaskan dirinya sendiri dengan penisku, dan aku dengan hati-hati membelainya dengan dibatasi daster yang halus. Aku pindahkan tanganku, dan dengan lembut kutarik ke bawah kain yang menutupi payudara kirinya. Susunya kini telah bebas dan tersajikan di depan mataku. Aku memutar-mutar lidahku di sekitar putingnya yang keras, seperti peluru dan dengan rakus kusedot ke dalam mulutku. “Emmmmm …” Suara Yanti nyaris tak terdengar. Tangannya bergerak ke bagian belakang kepalaku, dan dia mulai menggeser jari-jarinya ke rambut saya, sambil menarik kepalaku ke teteknya yang besar. Tidak ada air susu lagi di dalamnya, tapi aku masih terus menyusu dan memperlakukan putingnya seperti ada susunya- menarik lembut ujung dot susu itu dengan bibirku, menggesek lidahku di puting dan meniupkan udara di atasnya sebelum aku teruskan mengisapnya. Yanti tak bilang apa-apa, tapi hanya terus diam-diam secara seksual meremas penisku yang keras dan berdenyut-denyut. Aku terus menggerakkan tanganku pada tubuhnya, dan saat aku menggerakkan tangan di pahanya, aku merasa salah satu tangannya di atas tanganku. Aku otomatis tahu apa yang dia inginkan, dan aku menyelipkan jari-jariku ke mana tubuh kami menempel bersama-sama. Aku merasa klitorisnya keras, dan dengan ringan kupijat dan kurangsang dengan jari-jariku. Gesekan jari itu mengirimkan sengatan listrik kenikmatan ke tubuh bahenolnya. Yanti menggesek klitorisnya sudah terlalu peka ke jari-jariku dengan napsu yang besar, dan saat aku menarik bibirku payudaranya yang dari empuk, kulihat wajahnya makin mempesona. Matanya tertutup, dia menggigit bibir bawahnya, dan dia benar-benar terbawa perasaan bersamaku. Kudengar suara napasnya menjadi lebih dalam dan lebih tak beraturan, dan pinggulnya tampaknya bergerak atas kemauan sendiri, sambil terus memompaku dengan vaginanya yang berkedut-kedut manis. Dan dia menggosokkan itilnya yang sensitif ke tanganku. Dengan napas terakhir, kurasakan vaginanya otomatis bergetar kejang di penisku yang menancap dalam. Otot-ototnya menegang, saat ia mendorong vaginanya yang basah di penisku, ditancapkannya dirinya sedalam-dalamnya. Aliran nektar madu panas keluar dari vaginanya dan melumuri bolaku dengan hangatnya. Dia bergetar mengejang dua, tiga, empat kali, dan perlahan-lahan mulai bernapas lagi. Wajahnya, seluruh tubuhnya bersinar merasakan kenikmatan seksual, dan hal itu membuatku merasa senang mengetahui bahwa aku bisa memberikan kepuasan fisik seperti ini padanya. Setelah reda orgasmenya, Yanti turun dari badanku, dan berbaring di sampingku di tempat tidur. Lengannya di pelukkan di dadaku, dan kepalanya berada di samping telingaku. Aku berbaring melihat langit-langit , berpikir tentang bagaimana perasaanku padanya, dan aku mendengar, dengan lembut ia berkata, “Aku mencintaimu, John. Aku cinta sekali sama kamu.” Seperti bendungan pecah, kata-kataku juga nyerocos keluar dari mulutku, “Aku juga mencintaimu, Yanti! Aku juga cinta sama kamu!” Dia bangkit, bergerak di atas, dan menciumku penuh di bibir. Aku merasa lidahnya di bibirku, dan ketika aku membuka mulut, aku merasa lidahnya yang berbakat tergelincir ke dalam. Kami menjalin lidah, dan kami berciuman, dan berciuman, dan berciuman lagi. Aku memeluk, dan menarik dia lebih dekat denganku, menekan bibirnya sepenuhnya ke mulutku. Ribuan emosi yang terpendam mengalir ke seluruh tubuh saya. Otakku dibanjiri lautan perasaan yang bertentangan, sampai tiba-tiba aku berhenti dan menarik kepalaku kembali. “Enggak, aku gak bisa.” “Gak bisa apa?” “Aku tidak bisa melakukan ini. Enam bulan aku mencarimu, dan sekarang aku sudah menemukan kamu, aku harus tinggalkan kamu. Aku tidak bisa membiarkan diriku lekat sama kamu, karena kamu akan menghancurkan hatiku lagi, “kataku. “Lagi?” “Ketika kamu meninggalkan aku malam itu, aku sangat berharap kamu akan berjalan kembali kepadaku, dan aku sangat sedih kamu ternyata malah pergi …” “Kau bukan satu-satunya,” kata Yanti. “Apa maksudmu?” “Ketika aku tinggalkan kamu, yang kupikirkan cuman seseorang yang akan memperlakukan aku seperti aku pingin diperlakukan. Dan gimana aku bisa jadi bahagia. Entah gimana aku merasa dekat dengan kamu , dan kukira kamu rasakan hal yang sama juga. Aku jalan di seberang jalan, tetapi semua yang ingin aku lakukan adalah kembali di truk dengan kamu. Aku masuk toko, berhenti sebentar, dan kembali berjalan keluar pintu . Kamu sedang nyetir, jadi aku masuk kembali untuk mendapatkan bir buat Toni, dan kamu tahu cedritanya.” “Kenapa kau gak kembali?” Tanyaku pelan. “Kenapa enggak balik?” “Takut, kukira,” katanya pelan. “Takut bahwa seseorang sebaik kamu tidak pingin seorang gadis seperti aku. Takut ditolak, takut gagal, takut yang gak kuketahui, cuma takut.” “Aku juga,” kataku. “Dan lihat yang terjadi.” “Aku duduk di penjara dan mikir,” kata Yanti. “Aku mikir tentang bagaimana manisnya kamu ama Yanti, dan aku mikir apa yang kamu lakukan yang menyebabkan Yanti berada di penjara, Yanti gak bisa paham – Itu seperti cerita Jeckyl dan Hyde. Entah gimana Yanti bisa tahu bahwa jika Aku kembali ke truk, semuanya akan beda, dan Yanti gak akan kehilangan kamu. ” “Dan sekarang aku akan meninggalkanmu lagi. Aku akan menuju ke Surabaya hari Senin, dan aku gak tahu kapan ketemu lagi.” “Yah,” katanya, menatapku lembut dengan mata kelamnya, “Itu mungkin gak jadi masalah. Aku sudah putuskan ingin pergi dengan kamu.” “Pergilah dengan aku?” Tanyaku tertegun. “Kenapa kamu gak mau tinggal di sini?” “Ngapain?” katanya. “Gak ada apa-apa lagi punyaku di sini. Yanti gak punya kerjaan, tidak ada kos-kosan, tak ada keluarga, tidak ada. Yanti punya kesempatan mengakhiri bagian dari hidup Yanti yang ini, dan mulai hidup baru dengan si Om, jika kamu membiarkan Yanti …” suaranya jadi pelan. “Tapi …” “Truk ini cukup besar untuk kita berdua, khan? Kau tidak menikah, dan Yanti juga tidak. Gak ada alasan Yanti gak bisa pergi dengan si Om, kecuali jika si Om tidak ingin ama Yanti.” “Tentu aku ingin sama kamu!” aku bilang, sambil Yanti mengangkat kakinya yang panjang dan indah ke atas perutku, bergerak naik dan duduk di perutku. “Tapi gimana dengan…” “Bagaimana dengan apa yang kita? – perbedaan umur kita? Bahwa si Om cukup tua untuk jadi ayahku. Yang Yanti tahu adalah ini -?. Aku mencintaimu, dan kamu mencintaiku. Om baik padaku, peduli padaku, dan kamu coba membuat Yanti bahagia. Itu semua yang diinginkan gadis manapun, tak ada lagi yang lebih penting. ” Senyum ceria mulai ada di wajahku saat ia melanjutkan, “Ingat yang kamu katakan, hidup ini terlalu singkat buat menjadi tidak bahagia, dan Yanti harus cari orang yang bikin Yanti bahagia? Itulah kamu, om John. Kamulah yang Yanti inginkan. .. ” Aku tak bilang apa-apa, tapi mataku jadi sembab. Dia menatapku, tersenyum manis, dengan lembut membelai rambutku, dan bilang, “Selain itu, kamu utang.” “Hutang apaan?” kubilang agak terkejut. “Aku punya pacar, tapi dia pergi dan sekarang aku punya kau,” katanya. “Aku pernah punya tempat sendiri dan motor, dan sekarang enggak.” “Kau ingin aku belikanmu rumah petak dan motor?” “Tidak, aku pingin lebih. Kau utang padaku lagi. Kamu utang bayi padaku.” “Bayi?” “Ya, bayi,” kata dia lirih. “Aku hampir dapat bayi tapi kehilangan dia. Aku pingin punya bayi, dan kamu akan kasih aku bayi.” “Aku gak yakin siap jadi ayah …” Aku berusaha katakan sebelum Yanti menaruh jarinya di bibirku. Dia menurunkan wajahnya sehingga hidung kami hampir berentuhan, dan mata kami terpisah beberapa senti. “Aku pingin punya bayi,” katanya blak-blakan, saat ia menatap tajam ke arahku dengan mata yang kelam. “Dan kamu akan memberikannya kepadaku.” “Aku ini?” “Ya, kamu,” tegasnya. “Kemudian kamu akan memberi aku yang kedua, sehingga yang pertama akan punya teman bermain!” “Dua?” Aku bertanya, sejenak tertegun. “Paling dikit … Mungkin lebih.” “Terus?,” kataku, terpesona oleh matanya yang besar, dan mulai menyukai suara kehidupan baruku. “Bilang lagi …” Sambil Yanti telah menceritakan masa depan, dia telah memposisikan dirinya sehingga bibir vagina kenyalnya menyentuh kepala penisku. Dia duduk tegak, dan menghempaskan pinggulnya ke bawah sehingga penisku tergelincir masuk ke dalam vagina yang sedap, dan lembut, “Kamu akan ML dengan Yanti dan bikin Yanti hamil. Kamu akan ML dengan aku dan buat aku puas bila Yanti jadi napsu saat Yanti hamil. Dan ketika tetek Yanti jadi penuh susu, kamu akan mengisapnya sehingga gak jadi nyeri karena kepenuhan susu. Atau … ” Dia sudah menggerakkan vaginanya yang licin perlahan naik turun di batangku yang kejang-kejang, tapi dia tiba-tiba berhenti. Kepala penisku ditancapkan dalam hangatnya liangnya, tapi sisanya terkena udara dingin, dan perasaan itu betul-betul indah. “Jangan goda aku,” bisikku serak. “Jangan …” Dia mengrjaiku dengan tempiknya yang berminyak ke tugu kemerdekaanku dan berbisik, “Kamu bisa bikin Yanti hamil gak …?” ia mengangkat pinggul dan berhenti lagi dengan hanya ujung penisku yang masuk dalam dirinya. “Jangan,” aku merengek. “Jangan godain …” “Kamu bisa menjaga dan cintai Yanti gak …?” karena lagi-lagi dia menggoyang vaginanya yang hangat dan juicy ke bawah dan sengaja meninggalkan kepala penisku saja yang masuk di vaginanya yang sedap. “Oh jangan, Yanti!” aku memohon, menggeliat dan menekuk pinggulku, mencoba untuk mendorong seluruh penisku yang berdenyut-denyut kesakitan kedalam celahnya yang manis bermadu. “Biarin aku di…” “Ah, ah, ah, jangan terlalu cepat,” ia berbisik, sambil mendorong ke bawah pada perut saya. “gimana gitu, Ayah? Mau tambah yang ini?” dengan santai ia menggesek vaginanya pada kontolku yang berdenyut-denyut, meggiling pinggulnya, dan menyelipkan palkon kembali dan berhenti. “Atau ini?” ia duduk tak bergerak hanya dengan kepala penis yang ada dalam vaginanya yang panas dan basah. “Ya tuhan Lailahailallooh, ayolah!” Aku mengigau mengerang. “Aku gak tahan …” “Hmmmmm? ‘Ya’ atau ‘Enggak? Apakah kamu akan memberikan yang Yanti inginkan?” katanya pelan saat ia perlahan-lahan mengedutkan otot vaginanya di penisku lagi, pinggulnya bergulung beberapa kali, dan perlahan-lahan naik kembali. “Atau enggak?” ia berhenti. Penisku hampir meledak dari siksaannya yang luar biasa sedap. “Ya, ya, ya Tuhan, YES!” Aku berteriak. “Aku akan berikan bayi buat kamu, aku akan berikan apa pun yang kamu mau! Aku akan cintai kamu selama sisa hidup aku!” kutarik pinggangnya, dan kutusuk dia dengan penisku yang berkedut. “Yanti tahu kau pasti mau!” dia tersenyum bahagia. Yanti mulai menggesekkan kewanitaannya yang lembut dan manis ke atas dan ke bawah dan menggenjot pinggulnya bergulung-gulung, membuat vaginanya menggosok seluruh batangku. Pukinya yang sedap memijat-mijat burungku yang nyeri dan panas, dan jus berminyaknya mengalir, memandikan dan menenangkan penisku dengan sari madunya yang nyaman. Dia mencondongkan tubuh ke depan sehingga payudaranya menggantung di atas dadaku dan rambut cokelat gelapnya yang panjang menggelitik wajahku, dia memandang penuh kerinduan di mataku. “Emmmm …” bisiknya, sambil vaginanya membelai lembut indah naik turun di sepanjang penisku, masuk dan keluar dalam kehangatan surgawinya. “Keluarin, John. Entotin Yanti sampai hamil. Keluarin di dalem memek Yanti dan bikinin bayi. Keluarin di dalam dan bikinin bayimu, bayi kita …” “Enngghhhhh …” Aku mengerang, “Ini bayimu!” Tanganku menarik pinggulnya ke bawah saat aku melengkungkan punggungku dan mencoba untuk mendorong penisku yang berdenyut sedalam-dalamnya di vaginanya yang sepertinya datang dari surga. Ledakan muncrat keluar dari ujung penisku dan membanjiri tempiknya dengan air mani. Dia menurunkan kepalanya dan menciumku, menggelincirkan lidahnya kedalam mulutku ketika aku klimaks dalam vaginanya yang menggenggam dan mengisap semprotanku. Muncratan, muncratan lain, dan semprotan lain memasuki liang bayinya yang beruap, seolah vaginanya meremas-remas penisku, memerah cairan sampai tetes terakhir. Bagian dalam tubuhku serasa mencair, dan kontolku menembakkan benih ke dalam gerbang kewanitaannya yang menyambut dengan senang. Aku terus muncrat sampai tidak ada yang tersisa, dan aku rubuh kembali telentang di tempat tidur, habis total secara fisik dan emosional. Yanti berbaring di samping aku lagi sehingga penisku yang lemas menyelip keluar, kepalanya Yanti menekan di lenganku. Aku meraihnya dan menariknya lebih dekat, dan dia merapat kepadaku. Aku menggeser tanganku di punggungnya, dan berhenti dengan tangan menggenggam pantatnya yang kenyal dan bulat. “Aku mencintaimu John,” bisiknya lembut, ketika tangannya lembut membelai wajahku. ” Yanti sangat senang kita bersama-sama.” “Bagaimana aku bisa begitu beruntung?” aku berpikir sendiri. Ketika aku berbaring, perlahan-lahan kesadaranku pulih, dia bilang, “Apakah aku suka kota Malang?” “Ya, kukira kamu pasti suka. Ini adalah kota yang cukup kecil, cuaca bagus, dan kita punya pemandangan yang indah dari Gunung Panderman dari ruang tamu.” “Kedengarannya bagus!” katanya. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan kita untuk menuju ke Jawa Timur?” “Jika kita berangkat besok, kita sampai Senin malam, Selasa pagi mungkin …” “Tanggal berapa hari ini?” “Ini hari Minggu tanggal tujuh belas,” kataku. Aku dengar dia dengan lembut menghitung, dan merasakan jari-jarinya di dadaku saat dia menghitung hari, “delapanbelas, sembilan belas, dua puluh…” Ada jeda saat ia berpikir, lalu berkata, “Aku mulai pembuahan Kamis atau Jumat. Aku subur akhir pekan depan. Aku biarkan kamu beristirahat sampai kita sampai di Surabaya, tapi ketika kita pulang sebaiknya kita siap untuk akhir pekan depan – kamu banyak pekerjaan…Ayah “! Katanya, dengan seksi dan senyum nakal. “Ya Allooh,” kataku, “Apa yang kulakukan?” aku tersenyum lebar. “Untung, setidaknya aku masih punya beberapa Viagra.” “Ayah gak perlu Viagra, kamu punya aku!” Yanti berbisik sambil menciumku di bibir. “Aku mencintaimu Yanti!” Bisikku kembali ketika aku memeluknya erat-erat. “Yuk kita berpakaian dan cari makan siang prasmanan.” “Apakah ayah kira ada yang punya sarapan sosis?” dia cekikikan, dengan binar nakal di matanya yang kelam. “Yanti, kamu nakalll!” Kataku penuh kasih, sambil aku menggeleng-geleng. “Kamu gadis yang nakal!” “Yanti tahu!” katanya, seringai penjahat menghiasi wajahnya yang cantik. “Itu sebabnya si Om cinta ama Yanti!” ########################### Epilog Kami sudah menikah selama tujuh tahun dan punya empat anak, dan aku mencintainya. Cinta yang terus tumbuh setiap-hari. Hidup kami luar biasa, kehidupan seks kami hebat, dan kami lebih dari sekedar bahagia. Duduk di samping komputer, ketika aku menulis ini, ada gulungan plastik bening yang telah kubuat khusus. Di dalamnya ada satu benda kecil – batang cherry diikat dengan simpul pita. Dan Yanti benar … Aku tidak membutuhkan Viagra, aku punya Yanti TAMAT