Panggilnya Teteh Aja, Jangan Tante..

Perkenalkan Namaku Reggie, biasa dpanggilnya Egi. Dulu aku ini anak baik-baik. Paling bandel cuma nonton bokep. Pacaran ga berani ga ada nyali. Main game kesukaanku. Tapi hobiku sebenarnya adalah belajar. Aneh ga? Itulah yang sebenarnya. Sampai pada kisah ini, pada waktu aku telah lulus SMA waktu umur 17 tahun.

Kisah ini bermula ketika aku hendak daftar ulang kuliah di Universitas M kota besar B. Karena aku masih belum berpengalaman pergi-pergi sendirian dan karena Mamah Papahku sibuk, mereka meminta Pamanku yang mengantar aku. Pas nya lagi, ternyata Pamanku memang sedang berada disana di kota B, sedang bertugas untuk LSM besar tempat dia bernaung. Maka ia menelpon menyuruhku naik bus sampai terminal di kota B, nanti bakal dia jemput.

Karena berbagai hal, sesampainya aku di kota B hari sudah gelap. Aku menelpon Pamanku untuk meminta jemputan di terminal. Rencananya aku menginap di kosan Pamanku saja, besok baru mendaftar ulangnya.

Kami bertemu di sebuah warung di terminal, rupanya ia sudah semenjak sore menunggu disitu. Ia tidak sendirian pula. Ada gadis yang menarik mata pria disebelahnya. Pamanku mengenalkanku padanya.

Tangan lentik gadis cantik itu mengulur padaku.

“Reggie..”, kataku kaku.

Perempuan berkulit putih dengan rambut hitam lurus sebahu itu tersenyum ramah, ia tidak menyebutkan namanya.

“Ini temen Mamang Gi..’, kata Pamanku. “Esih namanya.. Tante Esih lah kalo kamu manggilnya”

“Ih.. masa Tante.. emang aku udah tua..”, ia tersenyum. “Panggilnya Teteh aja..’, sambungnya lagi.

Aku mengangguk mengiyakan saja. Dalam hati aku masih bingung, siapakah dia ini?. Apa Pamanku punya istri lagi? menjijikan.., bi Nur istri Paman Cahya yang sah kemana.. pikirku.

Tapi tak mau kupikirkan lagi. Ditawari makan aku langsung memesan soto. Bodo amat ah, aku tak mau campuri urusan, kataku dalam hati sambil makan.

Setelah aku makan, pamanku berbisik padaku.

“Mana ada ga titipan si Bapak buat Mamang?”

Aku termenung dulu, mengingat ingat.

“Oh iya.. lupa Egi..”

Aku mengeluarkan amplop dari tasku. Pamanku merebut begitu saja. Dibukanya isinya, ia menghitung. Lalu setengah diberikannya pada Esih.

“Yeuh.. eta jeung ongkosna sakalian nya ? (Nih.. itu sama ongkosnya ya sekalian?}

Teteh Esih tersenyum mengangguk.

“Nuhun.. (makasih)”, jawabnya.

Aku melihat setidaknya 500 ribu dipegang perempuan itu lalu masuk kedalam saku celana jeannya, sementara sisanya 500 ribu masuk ke kantung saku seragam LSM milik pamanku.

“Hayu Gi.. kita cao…”,sahut Pamanku bersemangat.

Didalam mobil sedan butut tahun jebot milik pamanku mereka mengobrol seru didepan. Aku menghabiskan waktu dengan melihat-lihat sekitar, mencoba mengingat-ingat jalan yang kami lalui. Biar hafal nanti kalau kesini sendirian.

“Oh.. jadi ini teh anak dokter Linda..’, teteh Esih menoleh padaku.

‘Iyaah..”, jawab pamanku.

Aku mengangguk ramah.

“Kunaon memangnaa..(kenapa emangnya)?”, tanya mang Cahya.

“Gapapa.. hihi kasep..(ganteng).. hahahaha..”, teh Esih tertawa sambil menutup mulutnya.

“Mirip Mamangnya ya?”

“Ih.. ini mah mirip Mamahnya atuh putih.., si Akang mah mirip Papahnya.. item hahaha”

“Enya da lanceuk atuh.. (iya kan memang Kakak saya).

Mereka membicarakan Papahku yang kakaknya Mang Cahya. Papahku juga Dokter sama dengan Mamahku. Pada saat itu Papahku menjabat sebagai Kepala di RSUD di kota kami.

“Si Mamah teh orang Tionghoa bukan A Egi?”, tanya teh Esih.

“Iya setengah..”, jawabku, “Dari si Kakek yang Tionghoa mah, nenek asli urang sunda..”

“Ooooh sama atuh yah sama Teteh.. Teteh juga kan Papah Teteh orang Tionghoa..”

“Ngan (cuma) beda nasiib..,” sela Pamanku.

Hahaha.. kami semua tertawa bersama.

“Ko Teteh bisa kenal sama Mamah sayah.. emang orang mana aslinya?”, tanyaku penasaran.

Teteh dan Pamanku tertawa.

“Iya sama.. orang kota S juga Egi.. tadi baru datang juga pake bis.. cuma dia mah sore, kalo kamu janjina sore, datang-datang udah Isya.. huuuh..” jawab Pamanku. Aku cengengesan, Teh Esih tertawa, kini tak lagi sambil menutup mulutnya. Ia membalik untuk melihat wajahku. Dimatanya terlihat pula senyumnya padaku. Aku ge-er dan malu ditatap seperti itu. Setelah ia menatap kedepan lagi baru aku berani memperhatikannya.

Dia cantik, pake kaos u can see ketat, dimasukin kedalam celana jean yang menampilkan lekuk pantat, membentuk bodi ramping, ukuran dadanya pas. Rambutnya digerai sebahu lebih dikit. pakai poni untuk tirai wajahnya. ‘Haduuuh.., lumayan buat bahan coli nih..’, kataku dalam hati.
‘Dimana Pamanku yang begajulan bisa menemukan perempuan seperti ini’, pikirku

Mobil memasuki pelataran sebuah cafe yang didekorasi dengan batang bambu.

“Mau kemana kita Mang?”, tanyaku.

“Sebentar Gi ketemu temen.., cuma sebentar.., kamu makan lagi atuh.. atau nyanyi-nyanyi karaoke tuh sambil nunggu, si Esih seneng tah nyanyi.., kalo ke kosan dulu jauh Gi muter..”

Aku sedang tak tertarik untuk bernyanyi, padahal aku ini vokalis band kacangan, aku lelah sebenernya pengen tidur. Tapi malas untuk protes sama mang Cahya.

Aku memilih memisah menjauh dari meja mereka. Segera saja teman-teman pamanku berdatangan. Mereka memesan minuman beralkohol dan kacang-kacangan. Mereka mulai mengambil mic dan bernyanyi. Aku memesan kopi susu, dan mengambil hapeku mengabari orang tuaku bahwa aku sudah samapai dan bertemu mang Cahya, kubalasi pesan-pesan kawan-kawanku pada hapeku.

Malam semakin larut, pesta di meja pamanku sudah mulai berkurang. Kini tinggal teh Esih yang sedang bernyanyi. Pamanku yang sudah setengah teler tengah berbisik-bisik dengan rekannya. Ia kelihatannya sudah lupa kalau aku sekarang ini ikut bersamanya. Teh Esih melirik ke arahku, kelihatannya kasihan dengan keadaanku yang kelihatan bosan, ia mengangkat 1 botol bir yang masih penuh bermaksud menawarkan padaku. Aku mengangguk. Teh Esih berjalan menaruh botol bir itu dimejaku. Ia kembali ke mejanya, mang Cahya tertawa melihat aku mencoba-coba minuman beralkohol. ‘Iya abis lama sih..’, cetusku dalam hati.

Ternyata efek bir sebotol itu lumayan buatku. Aku terlelap di mejaku. Bukan tak sadarkan diri. Cuma hawa alkohol memang berhasil menambah kantukku. Pamanku membangunkanku ketika mereka semua bersiap untuk bubar. Di mobil aku lanjut tidur. Sesampai di kosanpun aku langsung menggoler tiduran lagi diatas karpet, aku memilih diatas karpet karena kulihat kasur cuma ada satu. Sebelum tertidur, aku melihat teh Esih menyelimutiku dengan selimut dan kemudian memadamkan lampu. Mereka berdua masih berbincang ketika aku terlelap.

Aku terbangun sesaat di gelap malam, terganggu oleh suara yang konstan berulang, aku sayup mendengar suara kain bergesek berulang-ulang suara pria yang sedang ngos-ngosan, dan suara perempuan yang sedang merintih seperti menahan sakit. Mataku mencari-cari, masih buram karena belum terbiasa dengan gelapnya ruangan. Setelah jelas barulah aku melihat tubuh pamanku yang telanjang tengah menindih tubuh teh Esih yang bersuara lirih. Tidak terlihat seluruh tubuh bawahnya, karena terhalang pantat paman yang aktif naik turun memompa. Mata Teh Esih terpejam, ia kelihatan berusaha menahan suaranya sepelan mungkin. Desahannya terdngar, ‘aang..aang..aang’. Kedua tangan yang lentik dan putih itu ada diatas pantat pamanku. Aku kaget, jantungku berhenti sejenak. Aku segera menyimpulkan bahwa itu sih suara keenakan bukan orang menahan sakit.

Seumur hidupku baru dua kali memergoki orang sedang bersetubuh, kedua orangtuaku sewaktu aku kecil, sekarang pamanku dan teh Esih yang entah siapanya. Kejadiannya hampir sama, terbangun seperti ini.

“Aw.. aw”, tiba-tiba teh Esih mengaduh. Aku buru-buru menutup mataku lagi.

“Aduh jangan neken kesitu atuh Kang, kena tulang ih.. sakit..”.

“Oh enya maap atuh..”

Pompaan itu kembali terdengar. Aku mengintip lagi. Kini kulihat teh Esih tak lagi memejamkan mata, tak lagi mendesah kenikmatan, wajahnya bolak balik menatap ke arah sana sini. Ia seperti sedang melayani pamanku saja, menunggu selesai.

Tiba-tiba pandangan matanya beradu dengan intipan mataku. Aku terkejut, sontak kututup buru-buru. Teh Esih kelihatannya masih memperhatikanku untuk memastikan

“Kang.. eh eh Kang.. itu s Egi bangun kali..?”

Pamanku berhenti sejenak, ia berpaling menatap ke arahku. Aku tegang, berusaha sebaiknya diluar kemampuanku berakting pura-pura tidur. ‘Mampus.. jangan sampe ketawan..’. Nafasku kuatur semirip orang yang tidur. Sampai kukeluarkan sedikit suara kerongkongan orang tidur.

Terdengar kembali suara kain bergesekan, walau perlahan. Lagi enak kayaknya si Paman, tanggung kalau mau lepas.

“Bukan ah.. tidur dia sih.. ngga.. ga apa-apa..”

Pamanku melanjut ijut lagi teh Esih, lebih semangat kedngrannya sekarang. Suara plak plak kulit beradu pun terdengar.

“Aaaach..”, teh Esih menjerit kecil. Akupun penasaran, kubuka lagi mataku.

Pamanku menahan badannya dengan tangannya, hentakan pada tubuh bawahnya jadi lebih kencang. Plak plak.. teh Esih memejamkan kembali matanya. Kedua tangnnya ada di dada mang Cahya.

“Sssshhh…. aaah… Tong kaluar di jero.. (jangan keluar didalam)”, seru teh Esih.

“Enyaaa.. (iyaaa) aaaaaaarghh..”, Pamanku mencabut kontolnya pas ketika spermanya muncrat di perut teh Esih.

“aaaaaaargh.. ah hah hah hah..”

Teh Esih memperhatikan tiap crotnya yang keluar. Tak terlalu banyak seperti yang di film bokep. Cepat ia mengambil celana pendek pamanku dan mengelapnya seketika. Sempat ia melirik ke arahku. Pandangan kami beradu lagi sekilas. Terkejut lagi aku, otomatis pula kututup matak.u.

“Aaahh..”, pamanku terdengar menggelesoh ke sebelah teh Esih.

Deg!. Inilah kesempatanku melihat memeknya. Sebelum ditutup yang punya. Aku membuka mataku lagi.

‘Wew..! Kusaksikan teh Esih menutupi tubuhnya dan memeknya yang ditumbuhi bulu hitam itu perlahan dengan selimut. Aku terpana. Selimut itu terus ditariknya sampai dada yang masih memakai u can see tadi. Kutangkap matanya menatap kepadaku, bibirnya agak mengulum senyum. Aku langsung terkena sihir, terutama si tititku yang perjaka, si titit tegang luarbiasa.

Tapi ku tak berani apa-apa, setidaknya harus menunggu mandi pagi agar bisa kucolikan ketegangan ini.

Pamanku langsung mengorok. Teh Esih beranjak duduk sambil berselimut rapat . Aku membalikan badanku. Akupun berusaha tidur.

Sebelum tertidur kudengar teh Esih pergi kekamar mandi cukup lama.

Udara dingin menerpa wajahku. Aku masih bisa bertahan, tapi kemudian suara bising mobil sedan butut dan bau knalpot membangunkanku. Setelah sepenuhnya sadar, barulah aku tahu, pamanku sudah berada dalam mobil hendak memacunya pergi. Kulihat teh Esih berdiri dekat jendela mobil berbicara dengan pamanku. Ia masih berselimut rapat. Lalu berangkatlah pamanku keluar dari halaman kosan dan beranjak ke jalan, padahal hari masih gelap.

Aku duduk kebingungan menatap teh Esih yang masuk kembali ke kamar sambil menutup pintu.

“Apa A, hehe udah bangun?”, tanyanya duduk diatas kasur sambil menyulut sebatang rokok.

“Itu si Mamang dipanggil ketua Kota B, disuruhnya mah kemarin setelah dari café itu. Tapi malah ketiduran dianya..”

Ia duduk mencari-cari sesuatu. Mataku pun ikut mencari. Sama-sama kami tertumbuk pada sesuatu, celana dalam perempuan teh Esih. Ditariknya kain kecil berenda tersebut kedalam selimutnya. Ia tiduran sebentar sambil berusaha memakainya, masih didalam selimut rapat.

“Eh maap ya A, pakai ini dulu.. hihi males mau ke kamar mandi..”

Barulah disitu aku ingat kejadian semalam. Terbayang kembali keseruannya. Kontolku bergerak sedikt demi sedikit.

‘Aduh.. aku coliin dulu aja apa ya?’, pikirku dalam hati.

“Mau ngopi A?”, tanya teh Esih.

Ia kini setengah menelungkup menghadapku, bertumpu pada siku sambil merokok.

“Teteh mau?”

“Eh,, malah balik nanya, Teteh bikin satu gelas untuk berdua aja ya?”.

Aku mengangguk. Ia berdiri mengikatkan selimut pada pinggangnya, diatasnya ia tetap memakai U can see, tapi tanpa beha kulihat.

Sambil memperhatikannya menyeduh kopi, aku bertanya,

“Teh? maaf ini.. Teteh tuh siapanya mang Cahya? Istri muda? atau masih pacarnya? atau… siapanya Teh? maaf ini mah..”

“Ah haha.. bukan siapa2nya A’.. cuma temen.. biasa..”

Kopipun tersuguhkan.

“Udah lama kenalnya?’

“Udaah.. dari kecil Teteh udah kenal sama kang Cahya..”

“Kenal dimana?”

“Dikampung..”

“Ooooh teman main?”

Si Teteh menyeruput kopi panasnya, lalu mengisap kembali rokoknya.

“Bukan atuh Kang Cahya mah beda jauh diatas Teteh..”

“Emang Teteh maaf umurnya berapa sekarang?”

“euuuh… 29 yah taun ini.. bntar lagi”

Aku membelalak. “Wow.. Teteh masih kayak baru lulus SMA.. awet muda ya?”

“Iiiiih bisa aja si Aa mah ngegombal..’

“Bener Teh..”

“Ah masa?, udah tua ginih..”, ia tersenyum senang.. ia mematikan rokoknya dan kemudian berbaring, menutupi seluruh tubuhnya lagi dengan selimut.

Aku tercenung, tidak enak mau bertanya pertanyaan krusial yang berhubungan dengan peristiwa ngentotnya mereka tadi malam.

“Teteh mau tidur lagi?”, tanyaku kecewa.

“Iyah.. masih ngantuk.. baru tidur sebentar,,”

“Yaah..”, Akupun mau tak mau kembali berbaring diatas karpet keras itu. Tapi mataku tak lepas dari gerak gerik si Teteh. Ia bulak balik posisi dalam usaha untuk tidurnya. Sampai ia menatap padaku tersenyum.

“Aa ga dingin disitu A?”

“Iya dingin atuh.. mana keras lagi..”, jawabku setengah merengek.

Teh Esih berpikir sebentar.

“Iya sinih atuh A, sebelah Teteh..”. Ditawari itu, aku seperti meloncat cepat bergerak ke sisinya.

Teh Esih tertawa sedikit

“Selimutnya mah ga usah ya?”

“Walah Egi kedinginan atuh Teh,,?”

“Atuh masa mau berdua..?”

“Kalo peluk boleh?”

Teh Esih tertawa lagi.

“Ya udah atuh nih sok selimut berdua..”

Hatiku melompat girang.

“Tapi dibatesin sama guling ya?”

Ia menaruh guling diantara kami berdua. Kontolku sudah ngaceng sejak tadi. Aku sangat berharap, siapa tahu dapet seoles dua oles kalau diusahakan. Posisi dia membalik ke arah dindng sekarang. Aku mengintip kedalam selimut. Pantatnya yang ranum tertutup ketat CD putih berenda tadi. Pahanya putih mulus luarbiasa. Nafasku jadi tak beraturan, otomatis aku menekankan kontolku ke arah guling ditengah kita, pasti terasa olehnya, karena tiba-tiba dia membalik melihat kepalaku yang berada di bawah selimut.

“Hehe ayoo ngapain..?”. Dia menutup selimutnya sehingga pandanganku terbatas. Akupun keluar dari selimut. Agak malu sih, tapi cuek ah..

“Teh..”

“Iya..”

“Teteh ko mau ngewe sama si Mamang? kan Si Mamang bukan siapa-siapanya Teteh?”, akhirnya tercetus juga pertanyaan yang kutahan sejak tadi. Agak iri terdengarnya.

Teh Esih tersenyum. Kemudian ia menatapku, terlihat memikirkan jawaban.

“Iya gapapa sama Kang Cahya mah A.. Udah lama kenal, udah sering ngasih bantuan..”, Ia membalik sekarang menghadapku. “Tadi mah, Teteh lagi butuh, jadi weh nelp Kang Cahya.. dia mah suka ada aja ngasih A”.

“Cuma memang terakhirnya suka ada maunya dia mah.. hehihi”, lanjutnya sambl cekikikan.

Ia menatapku lama seakan mengagumi tiap detil wajahku.

“Enak ya si Mamang..”, kataku iri. Teteh tersenyum genit.

“Hahaha, iya memang enak A’ ngewe.. semua juga suka.. ahahaha”

Ia terdiam seperti menunggu sesuatu. Kemudian balik lagi menatapku.

“Emang kenapa gitu A?”, suaranya agak tinggi sedkit. Aku terkejut dengan perubahan nadanya, agak takut sih tapi si Otongku dibawah meminta kesempatan ini.

“Egi juga mau atuh Teh.. Ngewe sama Teteh..”,

Tanganku bergerak menuju paha mulusnya, mengelusnya sambil berharap.
“Nanti juga Egi kasih bantuan kayak s Mamang, cuma yaa semampunya Egi.. kan Egi masih kuliah belum kerja, nanti kalau udah kerja..”

Teh Esih tak menjawab, aku menatap wajahnya takut dia marah, tapi dia tersenyum.

“Iya sok (silakan)atuh kalo Aa mau mah..”

Ia membuka selimut memperlihatkan tubuhnya yang ramping putih menggiurkan hanya memakai u can see dan CD berenda saja. Mempersilakanku untuk menikmatinya. Jantungku bersorak berdetak kencang.

Tapi aku hanya terpana. Perlahan tanganku mulai berani meraba susunya.

‘Uuuh sedap..’ kataku dalam hati.

Melihat pergerakanku yang tidak impresif sama sekali, tangan teh Esih bergerak meremas-remas kontolku, masih dari luar celana. Ia tertawa kecil.

“Eh hehe, bilang dong dari tadi pengen ngewe gitu.. kirain teh anak orang kaya ganteng ga napsu sama Teteh..”

Mataku terpejam merasakan kenikmatan dari rabaan si Teteh.

Terus terang baru kali inilah aku dipegang-pegang cewe, ciuman saja aku belum pernah. Pacaran pernah baru dua minggu putus. Dia pindah ke kota lain.

Ternyata lain rasanya sama pegang-pegang sendiri, diginiian aja udah enak banget.

Bibir te Esih menciumi leherku terus naik ke kuping.

“Bener ya A? nanti ga lupa ngasih bantuan ke Teteh..”, bisiknya sexi di kupingku.

Aku mengangguk. Tangan te Esih naik ke perut terus ke dadaku. Menarik ke atas kaosku.

“Buka A..”, perintahnya halus.

Aku masih berusaha menangkap bibirnya dengan bibirku, tapi dia melengos.

“Jangan di bibir..” desahnya.

Aku duduk membuka kausku buru-buru, sekalian dengan celana panjangku, dan tak lupa CDku kulempar kesamping.

Kontolku yang sudah berdiri menantang kini terbebas dari belenggunya.

Aku duduk menghadapi hidangan tubuh yang mempesona ini.

Tangan halus the Esih kembali hinggap mengelus dan mengocok kontolku.

“Aaaah enak..,” erangku terpesona akan kenikmatan colian si teteh Esih.

Aku ingin sekali melihat kembali memek dengan jembut hitam miliknya itu. Maka aku berusaha membuka CD rendanya. The Esih tersnyum lagi

“Mau cepet aja ?”, tanyanya. Aku bingung dengan pertanyaan itu.

‘Mau cepet aja maksudnya langsung masukin aja mungkin begitu..?’, cetusku dalam hati.

“Iya sok atuh..”, katanya sambil menarik kontol ku supaya aku berada diatas tubuhnya. Aku bergerak mengikuti arahannya. Kini kontolku berada diatas memeknya.

Aku membuka kaus te Esih keatas, ingin liat susunya. Dan wooow, luar biasa indah menawan. Besarnya lebih besar dari kepalan tanganku, pentilnya imut coklat agak kemerahan. Kulumat dengan bibir dan tanganku.

“Aaaaah.. enak A’”, bibir te Esih mendesah lirih. Pandang matanya menyipit.

Puas dengan tete, aku memperhatikan memek the Esih. Ku elus elus dengan tanganku. Sudah ada cairan sedikit yang keluar. Pelumas kelihatannya.

Aku menatap te Esih meminta tuntunan cara memasukan kontolku. The Esih yang sudah setengah terpejam hanya mengangkangkan pahanya saja, memperlihatkan keindahan kemaluannya. AKu bingung, kucoba saja menusuk-nusukan kontolku kearah celah yang ada disitu.

“Angh.., bukan disitu A’..”. Salah sasaran ternyata aku.

Tangan te Esih menggapai kontolku menuntunnya ke arah kenikmatan yang benar.

Aku dengan cepat menekan, ‘Ugh..’ masih meleset. Malah menjadi gesekan nikmat memek te Esih pada kontolku.

“Aduh digesek disini aja udah enak..”, kataku.

Kini kontolku sudah diarahkan lagi. aku menekan lagi. Hampir terkuak itu bibir kemaluannya oleh kontolku, tapi ko malah melenting ke atas lagi kontolku.

“Belum terlalu basah sih A.. bentar..”.

Te Esih mengambil ludah mliknya dan dioleskan pada memeknya, kemudian dia meludah ke tangannya lagi, kini agak banyak. Dia balurkan ke kontolku, sambil dia kocok-kocok cepat, agar tersebar rata mungkin pelumasnya.

Tapi..

Kocokan itu malah membuat kontolku berdenyut-denyut keenakan. Gilee.. enak bener.. dan terjadilah hal yang aku sesali.. si Otong tidak mampu bertahan, staminanya anjlok, dia muntah sperma..

Crot..crot.. crot banyak banget ke atas perut dan tangan si Teteh.

“Aaaaaaaauuuuhh…”, lenguhku nikmat tapi juga aku sesali.

“Yaaaah Teh.. maaaaf..?”, kataku lemas.

Si Teteh malah tertawa, sekali lagi seperti tadi ia mengambil celana pendek s Mamang, mengelap dengan cekatan.

“Yaaaah si Aa kasiaaaaan… hahaha”. Katanya.

Aku berbaring di samping si Teteh. Masih memperhatikan memeknya yang kurindu. Tapi apa lacur, s Otong masih belum mau bangkit lagi.

Teh Esih berdiri berjalan ke kamar mandi sambil membetulkan kausnya.

“Eh kemana Teh..? belum.. The”, tegurku putus asa.

“Iya Aa tenang aja.. haha, ini mau bersih-bersih aja..”.

Sekian Dulu Suhu.. Capek niih..