Malin Kundang (Versi XXX)

Dahulu kala di tanah Minang di sebuah kampuang ada dua orang gadis yang sedang memperebutkan seorang pria. Gadis pertama baru berusia 15 tahun, Andriani namanya, sementara yang satunya 25 tahun, Mayang namanya. Mereka bersaing untuk memenangkan hati pujaannya, mulai dari mengirimkan masakan ungulan mereka hingga membuatkan pakaian untuknya. Di kampung itu, wanita yang pandai memasak adalah idola para lelaki. Maka tak heran kalau keduanya mengerahkan segenap kekuatan mereka untuk meracik masakan paling lezat sekampung. Sampai-sampai mereka mengemis minta resep rahasia keluarga dari ibu atau nenek mereka. Saking seringnya keduanya membawakan makanan, ibu si pemuda itu sampai sering bertanya kepada anaknya, “He, dua gadis itu apakah akan bawa makanan lagi hari ini, kalau bawa lagi, mubazir ini masakan ibu.” Seiring waktu kompetisi ini menjadi semakin sengit. Pemenangnya pun mulai terlihat. Mayang tampak lebih piawai dalam segala hal dan pemuda itu pun makin kepincut dengan gadis tersebut. Melihat keduanya semakin dekat, Andriani memutuskan untuk menjalankan sebuah rencana yang telah lama ia pikirkan. Ditulislah sepucuk surat dan ia titipkan ke seorang bocah untuk disampaikan kepada pria itu. Keesokan harinya di pagi buta ia pergi ke hutan, berulangkali ia merapikan pakaian dan jilbab merah yang ia kenakan. Ia ingin tampil cantik saat itu. Karena ia sedang menanti pujaan hatinya. Hutan masih gelap, dan udara lembab dan dingin menyergap. Rumput basah oleh embun dan terdengar jangkrik masih mengirik. Sedetik serasa sejam. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Sebelum fajar mulai terbit terdengar daun bergemerisik, ia menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya pun mengembang. “Hai, Andriani ada apa hingga kau ingin kita ketemu di tempat ini?” “Uda, engkau datang…” “Ya apa maksud kau panggil aku kemari?” “Uda, duduk dulu yuk disana.” Pria itu mengikuti langkah Andriani dan duduk di atas batang pohon tua yang tumbang dan agak berlumut. “Uda…” “Ya…” “Aku mau ngomong sama uda…” “Ngomong apa?” “Mmm…anu…mm…gimana sih perasaan uda sama Andriani?” “…….kita teman kan…,” jawab pemuda itu dengan hati-hati. “Gak ada rasa lain gitu…?” “Mmm… rasa apa ya?” “Yang lebih dari sekedar teman….?” “Ngg….” Da…jujur ya sama Andriani…apakah uda suka sama Mayang? “H? apa? Mayang? biasa aja….kami juga teman biasa,” ujarnya. Andriani dapat melihat kalau piiran pria pujaannya itu langsung berada di tempat lain saat nama gadis itu disebut dan itu membakar api cemburunya. “Da…Andriani mau jujur sama uda….” “Jujur apa? Andriani diam sejenak, mempersiapkan diri. Rasanya pipinya menjadi panas. “Andriani…suka sama uda….” Mendapat pengakuan cinta dari dari seorang gadis jadi grogi dia. Ini bukan sesuatu yang biasa di kampung itu. Dimana-mana pria yang menyatakan cinta. “Oo..aa…ya..mm…ya….” Segera ia mengambil nafas panjang untuk mengontrol dirinya. “Ya..mm..uda..uda…terima kasih sebelumnya…kamu dah suka sama uda, tapi….tapi…uda…” Melihat ia akan ditolak, Andriani langsung mencegahnya, “Andriani belum selesai ngomong! dengerin…” “Ah..iyah…” “Andriani tahu, Andriani tak bisa masak seenak Mayang, atau menjahit sebagus Mayang, tetapi ada hal lain yang bisa Mayang lakukan untuk uda…” Andriani merapatkan duduknya ke pemuda itu. Hal itu membuat jantuh si pemuda dag dig dug Ia mendekatkan mulutnya ke telinga si pemuda dan berbisik, “Andriani bersedia lakukan apa saja, yang uda mau….” Pemuda itu langsung duduk menjauh. “Mmm..ah…maksudnya?” Andriani duduk merapat kembali. Lalu ia meraih tangan pujaan hatinya dan meletakkannya di dadanya lalu meraba daerah kemaluan pemuda itu. “A..a…Andriani…?” Pemuda itu sampai gelagapan dibuatnya. Andriani berbisik di telinga pria itu, “Apa pun yang uda inginkan…Andriani akan layani…apa pun” Bagai terkena setrum tegangan tinggi, birahi si pemuda langsung memuncak sampai ke ubun-ubun. “Andriani gak perlu berbuat ini…uda…uda…” “Ya?” potong Andriani seraya meremas batangnya pujaannya perlahan. “Akhh…!” “Gak.***k..boleh..Driii …Aah..:” “Kita sudah sama-sama dewasa, uda” Andriani pun menciumi leher pemuda itu untuk membakar hasratnya. “Uda…sini Andri puasin…” Andriani berdiri dari duduknya dan bersimpuh di depan pemuda itu. “Uda….,” panggilnya lirih.” Andriani merogoh dan mengeluarkan batang pemuda itu dari celananya. Perlahan ia kocok. Pemuda itu pun langsung memejamkan matanya. “Aah..ahh…” Selanjutnya ia hisap penis itu dengan perlahan. “Aaah…Andri..Aaarrs….” Melihat betapa pujaan hatinya begitu menyukai servicenya, ia yakin, bahwa ia telah memenangkan pemuda ini untuk dirinya. Semenjak hari tu mereka berdua melakukan hubungan seks hampir setiap hari di dalam hutan. Apa pun yang diinginkan oleh kekasihnya ia turuti. Vaginanya pun meminum cairan sperma pemuda itu hampir setiap hari. Hingga akhirnya ia hamil. Bunting sebelum menikah adalah suatu aib di tanah Minang. Sementara pemuda itu selalu diajari untuk mencari istri yang baik-baik dan soleha. Akibatnya semakin hari ia semakin menjauhi Andriani, bahkan ia berenacana untuk menikahi Mayang dalam waktu dekat. Putus asa dan sakit hati dengan dengan kenyataan itu, Mayang mengajak pemuda itu bertemu kembali di hutan. “Temui aku di hutan di tempat seperti biasanya besok subuh…” “Andriani…uda….” “Tolong uda….ini yang terakhir….” Diliputi perasaan bersalah pemuda itu menuruti keinginan Mayang dan ia berharap untuk tidak diganggu lagi. Keesokan harinya di lokasi…. “Uda tahu kan Andriani hamil? Apakah uda tega, ninggalin Andriani, ninggalin anak kita? ” Pemuda itu menghela nafas. “Inikah yang ingin kamu bicarakan…?” Ia pun berbalik hendak melangkah pergi. “Tunggu uda! Masih ada lagi” “Apa!” ucapnya dengan agak kesal. Andriani berlari dan berlutut memeluk kaki pemuda itu. “Andriani masih ada satu penawaran lagi. Kalau uda mau ngambil Andriani sebagai istri…Andriani akan izinkan kalau uda nanti mau kawin lagi. Andriani rela dipoligami” “Andriii ….” keluh pemuda itu. “Gak cuma itu….kalau uda…mau…kalau uda perintahin Andri main sama istri uda yang lain, Andri akan turutin.” “Kamu bicara apa sih, Andri?” “Kalau uda ingin lihat Andriani lesbian sama istri udah yang lain, Andriani akan lakukan. Ayolah sayang…,” bujuk Andriani seraya meraih batang pemuda itu dan mengocoknya. “Kalau sama Mayang, sudah pasti uda cuma bisa nikah dengan satu orang. Kalau dengan Andriani, pasti uda bisa merasakan kepuasan seks. Kalau uda pengen, bawalah pelacur pulang ke rumah, kita main bertiga.” “Aah..ahhh…” “Uda sayang….” Andriani mengulum penisnya pemuda itu. Kepalanya maju mundur. Tiba-tiba CROT CROT CROT pemuda itu mencapai klimaks, memuntahkan pejunya di mulut Andriani. Andriani membuang sperma itu ke tanah. “Tuh kan uda sebentar aja langsung keluar, pasti horninya dengan penawaran Andriani?” Memang apa yang diucapkan oleh Andriani tidak pernah terbayangkan oleh pemuda tersebut, dan memang ia jadi sangat horni. Tapi wajah Mayang melintasi benaknya dan juga orang tuanya yang akan kecewa bila ia menikahi wanita yang sudah hamil. “Maafkan uda, Andriani….” Pemuda itu merapikan celananya, berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu. “UDAAA!!!” Jerit Andriani seraya menangis. Tapi ia tak bisa menahan kepergiannya. Andriani merasa hatinya sedang disayat-sayat sembilu. Kesal dan marah ia berlari terus ke tengah hutan. Entah sudah berapa jauh ia melangkahkan kakinya hingga akhirnya ia kehabisan nafas dan jatuh tersungkur di tanah sambil menangis. Tiba-tiba saja di depannya muncul sebuah pondok kayu dan seorang nenek tua datang menghamprinya. “He..he…cucu…ngapain..kamu tiduran di tanah…?” Di setiap bagian dari kulit yang nampak dari nenek tampak sudah berkeriput. Sekeriput kulit pohon. “Ayo, berdiri yuk, masuk ke dalam, nenek buatkan teh dan ada makanan sedikit.” Andriani berdiri dengan susah payah, karena ia merasa lemas kehabisan tenaga. Ia ikuti langkah si nenek tua memasuki pondok kayu tersebut dengan tertatih. Di dalam Andriani duduk di atas tikar yang diletakkan di lantai beralas tanah. Sementara si nenek sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. “Ini cu, diminum dan dimakan biar ada tenaganya. He..he…he…” Si nenek berjalan perlahan dan mengambil posisi duduk tak jauh dari Andriani. Andriani melirik ke arah nenek tersebut, tapi setiap kali ia melirik pasti si nenek juga ikutan melirik, lalu ia terkekeh. Ada sesuatu yang lain dari nenek ini. Pakaiannya serba hitam, jari-jarinya panjang, lebih pajang dari ukuran normal. Ada nuansa magis yang meliputi si nenek ini. “Cucu…lagi sakit hati yah…hehehe…” Andriani mengernyitkan alisnya, “kok nenek tahu?” “He he he…. itu sih mudah…. hehe…” “Apakah kamu mau membalas rasa sakit hatimu?” Andriani terdiam seribu bahasa dan tertunduk. “Nenek ada caranya jika kamu mau balas rasa sakit hatimu.” “Gimana nek?” “He he he…” “Kamu akan nenek kasih kekuatan.” “Aku gak percaya nek sama yang gituan…” “Oh..***k percaya yah….” Lalu si nenek menjentikkan jarinya. Tiba-tiba saja Andriani merasa kemaluannya seperti sedang diisi dengan benda yang sangat besar dan bergerak keluar masuk. “Awh…ahh…” “Nek.. apa yang terjadi denganku….” “Gimana…? dah percaya? Nenek bisa bikin lebih enak loh…” Jari telunjuk dan jempolnya kembali menjentik. Andriani pun mulai merasa kemaluannya ditusuk-tusuk dengan penis dengan sangat cepat. “Aahh..ahh…nek…nek..hentikan..hentikan…aku percaya…aku percaya…” Pof! Tiba-tiba saja sensasi itu menghilang dari lubangnya. Andriani menarik nafas dalam-dalam dan membuangya, “Fuh.” “Kekuatan apa yang nenek maksud?” “Kekuatan kutukan….” “Kutukan…?” “Yah..siapa pun yang kamu benci kamu bisa mengutuknya menjadi batu. He..he…he…” Andriani teringat kepada uda yang telah meninggalkan dirinya dan anaknya demi wanita lain. Sakit rasanya. “Aku mau…” “Eeiitthh….ada syaratnya…setiap sihir selalu ada bayarannya.” “Aku tak ada uang, nek…” “OOo…bukan itu yang nenek maksud, hehe..” “Apa jadinya?” “Kalau kamu menggunakannya, maka kamu juga akan mengalami kutukan juga.” “Seperti apa?” “Kamu dan garis keturunanmu akan melarat, segala usahamu akan kandas, dan jika kamu terus berusaha keluar dari kemelaratanmu, mungkin kamu bisa, tapi….akan ada akibatnya….” “Apa akibatnya…?” “Hehehe…untuk itu nenek tidak bisa kasih tahu. Apakah kamu mau?” Dibakar oleh rasa sakit hati. Andriani pun menerima kekuatan itu dan ia kembali ke kampungya. Tak lama kemudian pesta pernikahan pun antara pemuda itu dan Mayang dilangsungkan. Andriani hanya bisa menggigit jari. Berulangkali ia ingin mengutuk pria yang telah mencampakannya untuk menjadi batu. Tetapi ia tidak bisa, karena ia masih mencintainya. Bulan demi bulan, perut Andriani makin membuncit dan ia menjadi gunjingan orang-orang sekampung. Setiap kali ia berpapasan dengan uda, pemuda itu tampak merasa bersalah. Ketika Andriani sempat terjatuh, karena dilempari batu oleh orang, pemuda itu pun menolongnya berdiri. Ada seberkas kebahagiaan di hati Andriani. Tapi Mayang melhat hal itu dan merasa tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh suaminya. Mayang memutuskan untuk menghadapi persoalan itu. Di suatu malam…. “Andriani…jauhi suamiku….aku tidak suka kamu dekat-dekat dengannya. Apakah kamu hendak menghancurkan rumah tangga kami?” “Mayang, aku tidak pernah mengganggu suamimu.” “Jangan bohong…aku adalah wanita, aku bisa lihat kalau kamu ada rasa dengan uda.” “Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, lebih baik kamu pulang, daripada ditegur kamu oleh suamimu.” “Tidak usah pikirkan aku, mending kamu urus itu anak yang tidak punyak bapak di perutmu itu.” “Diam! Mulutmu itu perlu dicuci.” “Sudah…aku kemari untuk memberikan peringatan untukmu, jangan rusak rumah tangga kami.” Mayang lalu pergi meninggalkan Andriani yang menangis sendiri. Waktu berlalu perut istri pemuda itu pun mulai berisi. Pemuda itu tampak perhatian sekali menjaganya. Itu membuat perasaan iri di dalah hati Andriani. Apalagi setiap ada kesempatan Mayang selalu mengumbar kemesraannya dengan suaminya agar dilihat oleh Andriani. “Dasar perempuan itu…ingin kupukul saja biar tahu rasanya.” Andriani tiba-tiba teringat kembali akan kekuatan yang diberikan oleh nenek di hutan. Cuma ia ragu dengan akibat yang harus dibayarnya. “Ah biarlah aku hidup melarat, tapi perempuan itu tidak akan bisa hidup bahagia dengan uda.” Ia pun berpikir, apakah sebaiknya ia kutuk saja wanita itu jadi batu. Tidak-tidak itu akan terlalu mudah baginya. Aku akan kutuk bayinya hingga jadi batu pada saat ia hendak melahirkan. Maka ia pun menunggu hingga waktunya tiba. Beberapa bulan kemudian kampung pun mulai ribut-ribut, Mayang rupanya hendak melahirkan lebih cepat dari yang seharusnya. “Ini kesempatanku.” Saat Mayang menjalani proses persalinan dengan dukun kampung, Andriani berada tak jauh dari situ. Disitu ia menunjuk ke arah rumah itu dan berkata, “Kukutuk bayimu jadi batu!” Setelah ia mengucapkan itu. Tidak ada satupun yang aneh terjadi. “Ah mungkin aku tidak memiliki kekuatan apa pun.” Tiba-tiba saja terdengar jeritan histeris Mayang membelah malam. Tanpa diketahui oleh Andriani apa yang terjadi di dalam. Alat kelamin Mayang sobek karena ia mengeluarkan sesuatu yang sangat keras dari lubangnya. Orang-orang yang membantu jalannya kelahiran Mayang sampai terbelalak matanya, karena yang keluar dari perutnya adalah batu berbentuk bayi. Mayang kehilangan darah banyak dan ia tidak kuat lagi, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya. Keesokan harinya kampung langsung dibuat heboh dengan apa yang terjadi di rumah pemuda itu. Kabar tersiar, bahwa seorang perempuan melahirkan bayi batu dan mati. Andriani terkejut dengan kematian rivalnya itu. Ia tidak bermaksud untuk membunuhnya. Ia hanya ingin… Di malam yang sama rumah Andriani dirampok orang, seluruh hartanya habis digondol. Keesokannya ladang ayah ibunya terserang hama hingga mereka tidak bisa lagi panen. Setiap kali mereka menanam, pasti ada suatu kejadian yang menghancurkan hasil panennya. Apa pun yang dilakukan kedua orang tuanya untuk menghasilkan uang pasti ludes, ntah ditipu orang, bikin tempe gagal terus, beternak ayam, mati semua, barang jualannya tidak laku, dll. Andriani mulai tersadar ini adalah bayaran dari kutuk yang ia lepaskan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung, agar kedua orang tuanya jangan sampai jatuh melarat. Mungkin kalau ia tidak ada disana, kutukan itu tidak akan mengenai mereka. Dan benar, saat ia pergi, pendapatan orang tuanya kembali normal. Hanya saja mereka sangat bersedih, sebab putri mereka satu-satunya menghilang. Beberapa tahun kemudian di suatu tempat ada hiduplah seorang ibu dan anaknya yang tinggal di dalam kemiskinan yang sangat. Mereka disebut orang sebagai keluarga paling sial. Mereka adalah Andriani dan anaknya Malin Kundang. “Ibu kenapa hidup kita melarat seperti ini? Kenapa segala usaha dan kerja keras kita tidak berbuah?” “Sabar ya nak…nanti pasti berbuah” “Sungguh aneh kejadian-kejadian yang kita alami, seolah kita ini terkena kutukan!” Andriani tersenyum pahit di dalam hati. Namun di luar ia berusaha tersenyum dan menghibur anaknya, “Sudahlah nak, jangan dipikirkan. Setidaknya kita masih bisa makan.” Malin sebagai pria muda tidak bisa begitu saja menerima semua ini. Darah mudanya memberontak ingin mengubah nasibnya. Akhirnya Malin memutuskan untuk meninggalkan tanah Minang ke negeri seberang untuk mencari peruntungan. Awalnya Andriani tidak mengizinkan anaknya pergi, karena ia tahu nasib buruk akan selalu menyertainya. Tetapi Malin bersikukuh untuk tetapi melaksanankan niatnya. Sedih hati Andriani rencana kepergian putranya. Akan tetapi ia tidak dapat mencegahnya tekadnya. “Malin, kalau kamu sudah berhasil, jangan lupa balik ya.” “Iya, bu, Malin akan balik. Malin akan bawa keluarga kita ke keadaan yang lebih baik.” Akhirnya berbekal uang sedikit dan makanan Malin meningglakan ibunya. Berlinangan air mata Andriani melepaskan kepergian putra satu-satunya. Rasa optimis meliputi perasaan Malin. Di negeri seberang pertama-tama ia bekerja untuk seorang tukang keramik. Ia bekerja dengan sangat rajin. Tapi sayangnya segala pekerjaannya selalu saja berujung pada kesalahan. Keramiknya jatuh pecah ke tanah, keramiknya tidak jadi, dan masih banyak lagi. Mau tak mau si pemilik keramik terpaksa memberhentikan Malin. Dengan uang yang tersisa di kantong hanya untuk makan tiga kali lagi, Malin memutuskan untuk berdagang. Ia mencoba membeli kulit. Pedagangnya mengatakan itu barang berkualitas tinggi, kalau dijual bisa untung berlipat. Eh ternyata saat ia membelinya dan hendak menjualnya, ternyata barangnya kualitas murahan. Sehingga ia rugi banyak. Perut lapar dan tanpa pekerjaan maling terpaksa duduk di pinggir jalan untuk mengemis. Penduduk di negri seberang tidaklah ramah dengan pengemis, mereka selalu meludahinya. Setiap hari Malin harus melewati penghinaan ini. Harga dirinya hancur berkeping-keping. Penghasilan dan mengemis hanyalah cukup untuk makan satu kali. Tubuhnya pun semakin kurus. Suatu sore ia menatap ke langit dengan amarah ia mengacung-acungkan tangannya dan ia bersumpah akan menjadi orang paling kaya, dan ia akan hancurkan siapa pun yang akan menghalanginya. Semenjak hari itu Malin pun berubah mejadi seorang kriminal. Bermula dari seorang pencopet yang kerjaanya mencuri kantong uang orang diam-diam. Dari pengalaman lama-kelamaan ia membangun geng pencopet, dan mereka beroperasi di berbagai tempat. Saat gengnya menjadi semakin besar ia berubah menjadi pemeras. Ia menculik anak dan istri pejabat-pejabat kota untuk tebusan. Ia mempersenjatai anggotanya dengan senjata keris dan tombak. Bahkan kini ia seperti menjadi seorang raja kecil dengan pasukan. Akhirnya ia menjadi saudagar yang kaya raya, karena ia seringkali menipu dan tidak jujur dalam transaksinya. Meskipun demikian orang dipaksa untuk bertransaksi dengannya kalau tidak mereka akan membayar dengan nyawa mereka. Ibu Malin yang rindu dengan anaknya ingin bertemu dengan putranya yang tak kunjung pulang. Maka ia pun memutuskan untuk pergi mencarinya. Suatu hari akhirnya ia bisa bertemu dengan Malin. Tetapi Malin tidak mengakui ibunya. “Aku tak punya ibu seperti engkau.” “Malin apa maksudmu, Malin! Ini ibu? Apakah kamu sudah lupa?” “Lupa…? Aku akan menerima ibu, dengan syarat.” “Syarat apa, nak? aku kan ibumu aku yang melahirkanmu.” Malin kundang memberikan isyarat kepada kedua putrinya. Mereka mengerti, dan tangan mereka mulai mengelus-elus daerah selangkangan ayah mereka. Ibu Malin tercenggang melihat perbuatan anak dan cucunya. “A..apa yang kamu …?” “Kalau ibu ngeseks dengan kami, saya akan mengakui, bahwa kamu adalah ibuku di depan orang-orang.” “Kamu gila, Malin!” ucap ibu Malin dengan nada yang tinggi dan marah. “GILA!?” Malin bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati ibunya. Ibu Malin melangkah mundur karena rasa takut terhadap anaknya. “Apakah ibu tahu, apa yang harus aku lalui untuk menjadi kaya raya seperti ini.” “Tidak…ibu tidak tahu…” “Yah, ibu tidak aka pernah tahu sakit yang harus kulalui!” Malin langsung memengang kemaluan ibunya dan mengelusnya dari baju luarnya. “Jangan…jangan nak…” “Shhh….,” Malin menempelkan jari telunjuknya di bibir ibunya. Wajah Malin mendekat, hingga keduanya bisa mendengar nafas masing-masing. “Malin ingin merasakan penis Malin di mulut ini…” Malin menyergap buah dada ibunya dan meremas-remasnya. “Tidak…ahh…Malin…hentikan…” Malin melepaskan satu-satu baju ibunya hingga tidak ada sehelai pakaian menempel di tubuhnya. “Ibu sudah lama kan, gak disentuh laki-laki…” “Malin…hentikan….” Si ibu menangis…sambil menutupi tubuhnya. Tanum dan Simia mendekati nenek mereka dan membelai-belai tubuhnya dan menciumi punggungnya. “Ayo bu kita bercinta,” ujar Malin seraya menarik ibunya ke lantai dan diposisikan menungging. Tanum berada di bawah tubuh sang nenek menghisapi buah dadanya, sementara Simia dari belekang menjilati belahan vagianan neneknya.” “Aahhhh….” Berbagai perasaan berkecamuk di dalam diri ibu Malin. Malin menarik kepala ibunya dan membenanmkan penisnya ke dalam mulutnya. “Owwh…aku gak percaya penis ku ada dimulut ibu…,” ujar Malin. Air mata mengalir di pipi ibu Malin saat garis keturunannya mulai memperkosanya. “Oh nenek, buah dada nenek menggairahkan,” puji Tanum. “Memeknya juga legit ih rasanya,” ucap Simia. Tak berapa lama kemudian Malin menindih ibunya dan memasukan batang kontolnya ke dalam lubang sang Ibu. “Mallin..kenapa kau melakukan ini ke ibu…?” “Karena aku mau…,” ujarnya seraya mulai memompa tubuhnya. Blessssss….. demikian suara kontol Malin menerjang dinding memek ibunya. Sang Ibu terhenyak dan pucat wajahnya saat kontol anaknya menembus memek tempat sang anak dulu berasal. “Ouuuugh” “Ahhhhh” Cuma desahan yang dicobanya ditahan kuat-2 yang terdengar dari mulutnya, namun itupun akhirnya tak mampu lagi ditahannya. Payudara sang ibu pun mulai bergoyang mengikuti hentakan-hentakan pinggul anaknya. Tanum gak mau ketinggalan, “Oh nek…jilat lubang Tanum yah…” Ia pun mengangkangi neneknya dan menempelkan kemaluannya ke mulut neneknya. “Aku juga mau kak,” ucap Simia dan mengarahkan lubangnya ke mulut Tanum. “Oh..kalian…bikin ayah….terangsang…” “Ayah suka ya…lihat kami begini…?” “Oh..ya….aahh ahh…,” Malin makin bertenaga memompa tubuh ibunya. “Tanum juga suka lihat ayah gituin nenek…” Ibu Malin tidak dapat mempercayai apa yang didengarnya dan apa yang dialaminya. Lama-lama suara becek pun mulai terdengar dari lubang ibu Malin. “Ayah hebat…bisa bikin nenek basah…,” puji Tanum. “Simia, Tanum, kalian minggir dulu, ayah mau lihat wajah nenek kalian.” “Baik ayah..” Simi dan Tanum berpindah tempat namun masih di depan ayah mereka, kemudian mereka menyilangkan kaki mereka dan salling menggesekkan alat kelamin mereka, sambil menonotn ayah mereka menikmatik tubuh nenek mereka. Malin mencoba menindih tubuh ibunya, meremas dadanya dan menciumi lehernya. Di telinganya ia berbisik,”Ibu suka kan….Malin giniin…buktinya puting ibu mencuat nih…,” ujar Malin sambil memelintir ujung putingnya. “Aaahhh….Malin…jangan…sudah nak…” “Cium aku ibu….” Malin melahap bibir ibunya, tapi Ibunya menutup bibirnya rapat-rapat. Malin tidak kehabisan akal, dia genjot lebih cepat lagi tubuh ibunya, sampai ibu Malin tidak kuasa untuk menahan jeritannya, “Aahhh…ahhhh…ahh…” Di saat itulah Malin memasukkan lidahnya untuk menautkannya dengan lidah ibunya. “Dik, aku horni banget lihat ayah dan nenek…,” ujar Simia. “Pantes…vagina kakak lebih basah dari biasanya.” “Bagaiman bu, rasanya penis Malin…?” “Hentkan Malin…jangan berkata seperti itu….,” ucapnya dengan linangan air mata. “Shh..ohh…Malin dah mau keluar nih….keluarin di dalam yah.” “Tidak….jangan lakukan itu…,” pinta ibunya, menggeleng-geleng. Malin seperti kesetanan menggoyangkan pinggulnya dan memutar-mutar pantatnya. Sampai-sampai ibu Malin tidak dapat menahan lagi rangsangan di organ reproduksinya. Sampai-sampai ia menjerit, “Ibu KELUAaaAAR Malin!!!” Batang Malin terasa diguyur cairan hangat. Malin terasa sangat beragirah dengan orgasme yang didapat ibunya. “Malin juga…Ahhh…ahhh..ahh..AKHH!!” Lahar panas termuntahkan dari ujung batang Malin, memenuhi rongga senggama ibu kandungnya. Cairan mereka tercampur menjadi satu di lubang itu. Kemudian Malin mencabut batangnya dari gua ibunya dan berdiri. Ia kankangi wajah ibunya. “Ibu bersihin penis Malin.” Malin menahan kepalanya dan memaksa agar penisnya masuk ke mulutnya lagi. Saat sudah berhasil masuk, Malin merasa sedang berada di surga. Ia merasakan lidah ibunya bergerak menyapu batangnya. Setelah selesai ia cabut barangnya. “Ayah…boleh kami…gituin nenek?” Malin memandang ke bawah, “Gimana ibu…cucumu mau ngeseks denganmu.” “Terserah….apa ibu bisa nolak?” Malam itu kedua putri Malin melampiaskan hasrat seks mereka ke nenek mereka, sampai lantai basah dengan cairan kewanitaan mereka dimana-mana.