Kumpulan Cerita Pendek 2
Daripada saya hapus dari file, saya pikir lebih baik saya jadikan KUMPULAN CERPEN.
Jika Anda ingin menyalin atau meng-copy cerita-cerita di bawah ini untuk dibagikan, saya TIDAK BERKEBERATAN.
Saya tidak akan mengambil keuntungan apapun dari cerita yang saya tulis.
♡♡♡♡♡
TANPA pemberitahuan terlebih dahulu, secara tiba-tiba kakak ipar saya datang ke rumah saya. Kami baru beberapa hari pindah rumah, rumah kami masih berantakan.
Kalau hanya berantakan saja sih tidak ada masalah. Ruang tamu yang belum bisa dipakai untuk menaruh kursi atau sofa bisa duduk lesehan dulu di lantai pakai tikar, dapur yang belum bisa dipakai buat masak, bisa diajak makan ke restoran, tetapi tempat tidur?
Saya tentu saja tidak bisa menyuruh istri saya membawa kakaknya tidur di hotel meskipun saya mampu untuk membayarnya.
Itu sama saja dengan saya mengusir kakaknya dari rumah saya, apalagi tujuan kakak ipar saya ke Jakarta dari Lampung untuk bertemu dengan dokter yang pernah merawat suaminya sebab dokter tersebut telah pindah ke Jakarta.
“Nanti, nggak apa-apa ya Mbak, kita tidur bertiga? Kamar mandi juga masih berantakan,” kata istri saya pada kakaknya.
“Ya, nggak apa-apa…” jawab Ayuning. “Sejak kakak iparmu sakit, saya juga nggak pernah tidur nyenyak sekali… sebentar-sebentar ia minta kencing, sebentar-sebentar ia minta makan…”
“Sampai kapan Mbak Yun di sini?”
“Kalau besok siang ketemu dokternya, sore saya pulang.”
Karena ada tamu terpaksa saya harus mengganti lampu yang berada di dekat kamar mandi menjadi yang lebih terang supaya kaki kakak ipar saya tidak terantuk barang-barang yang kami taruh di dekat kamar mandi.
Selain itu saya juga mau menempel lubang di pintu kamar mandi yang sudah rusak karena penghuni sebelum kami, sangat jorok.
Rumah yang ditinggalinya tidak dipelihara. Pikirnya, sewa kali ya? Ngapain rumah sewa dipelihara? Sekarang rumah ini sudah menjadi milik kami. Kami bukan menyewa.
Pada saat saya sedang memasang lampu, datanglah kakak ipar saya ke kamar mandi membawa perlengkapan mandinya. Saya terlambat mencegah ia masuk ke kamar mandi. Ia tidak peduli dengan pintu kamar mandi yang berlubang. Ctek… dikuncinya pintu kamar mandi dari dalam!
Saya tidak bermaksud mengintip kakak ipar saya mandi, meskipun tubuh kakak ipar saya yang berumur 40 tahun itu masih layak untuk dinikmati.
Terdengar bunyi siraman air tidak lama kemudian, bercampur dengan bau dapur istri saya sedang memasak makanan untuk santap malam.
Saya melipat tangga dan mengembalikan ke tempatnya di samping kamar mandi.
Ketika saya mau melangkah pergi dari tempat saya meletakkan tangga, samar-samar saya mendengar suara desahan, “…aahhh… aahhh…” dari arah kamar mandi.
Saya berani memastikan bahwa suara tersebut bukan suara setan, atau suara jin, tapi benar-benar suara desahan dari seorang wanita.
Langkah kaki saya untuk pergi dari tempat saya meletakkan tangga, tidak saya lakukan. Dengan berjalan berjinjit pelan saya pergi ke depan pintu kamar mandi meletakkan sebelah mata saya di lubang.
Oo…
Pantesan terdengar suara desahan, ““…aahhh… aahhh”, ternyata dua jari tangan kakak ipar saya tertancap di lubang vaginanya dan sedang melakukan gerakan mengocok keluar-masuk.
Tubuh telanjangnya yang berdiri dengan posisi menungging hanya terlihat dari belakang. “Sssttt… ooo… mmmhh…” desahnya pelan sekali.
Setelah beberapa kali mengocok, mungkin takut kelamaan di kamar mandi, tidak sampai orgasme kakak ipar saya menyiram kembali tubuh telanjangnya yang masih bahenol dan pantat yang masih montok menantang itu dengan air.
Saya tidak mengintip sampai ia selesai mandi. Dengan jantung berdebar kencang dan penis yang sangat tegang, saya pergi ke ruang tamu duduk menyalakan televisi.
Sekitar 10 menit saya nonton televisi, Mbak Ayuning mendekati saya berbalut handuk. “Ri, sore ini kamu pergi, nggak?” Mbak Ayuning bertanya pada saya.
“O, mau ke dokter ya, Mbak?” sambut saya cepat.
“Iya, bisa antar saya?”
“Bisa… bisa… bisa…” jawab saya cepat.
Apakah ia tahu saya sedang duduk gelisah dan dada saya sedang berkecamuk membayangkan kedua jarinya yang tadi mengorek-orek lubang vaginanya, saya tidak tahu.
Saya segera beranjak bangun dari tempat duduk saya pergi ke kamar mandi.
Saya mandi kilat.
Setelah itu saya memberitahukan pada Angi di dapur yang sedang memasak bahwa saya akan mengantar kakaknya ke dokter. Makannya nanti saja pulang dari dokter. Angi mengiyakan saya.
Saya pergi ke ruang tamu dan dengan hanya memakai handuk, saya membuka pintu kamar tidur hendak mengambil pakaian saya yang bersih. Cetrek… ooo… astaga, ternyata Kak Ayun masih telanjang bulat sedang mengeluarkan pakaiannya dari tas.
Saya kaget, ia juga kaget. “Jangan masuk dulu!” katanya menghadap bagian depan tubuhnya ke dinding kamar.
Saya tidak menghiraukannya karena saya tahu bahwa Angi tidak mungkin akan meninggalkan dapurnya yang masih berantakan untuk hanya sekedar ngomong dengan kami.
Saya masuk ke kamar. “Agusss…!!!” teriak kakak ipar saya.
Saya tidak takut dengan teriakan Mbak Ayuning akan kedengaran oleh Angi.
Saya melepaskan handuk saya, lalu memeluk tubuh telanjang Mbak Ayuning dari belakang.
Mbak Ayuning jelas memberontak. “Agus, berani kurang ajar ya kamu dengan saya, kakak iparmu…!” marahnya.
“Tadi di kamar mandi ngapain jari dimasukin ke memek?” tanya saya. Penis saya yang mengacung tegang sengaja saya selipkan di sela pantatnya.
Rontaan Mbak Ayuning langsung berhenti. “Jangan sekarang Gus, nanti ketahuan sama Angi. Nggak mau kan kamu, gara-gara saya… keluargamu berantakan?” katanya.
Tetapi sejenak saya meraih wajahnya dan mencium bibirnya, ia membalas ciuman saya. “Habis bagaimana Gus, saya butuh!” katanya selesai kami berciuman.
Kami menjadi dekat. Ketika saya mengantarnya ke dokter dengan sepeda motor, selepas dari gang rumah saya, Mbak Ayuning langsung merapatkan tubuhnya ke tubuh saya dengan kedua tangannya merangkul ke perut saya dan memeluk saya dengan erat.
Letak rumah sakit yang jauh, rasanya menjadi dekat.
Ternyata Mbak Ayuning hanya minta resep obat dengan dokter. Keluar dari ruangan dokter, saya mengajak Mbak Ayuning mampir ke cafe rumah sakit minum kopi.
Sambil minum kopi, Mbak Ayuning bercerita pada saya, ketika suaminya kena stroke 2 tahun yang lalu ternyata alat kelaminnya juga ikut loyo.
Sejak saat itu, Mbak Ayuning sudah tidak pernah melakukan hubungan intim.
Biasanya seminggu sekali mereka menikmati seks, sekarang ia harus puasa dan katanya ia hampir menjadi lesbi dengan salah seorang tetangganya, untung ia sadar.
Mbak Ayun frutasi. Lalu ia mulai belajar masturbasi untuk memenuhi hasrat sexualnya.
Pulang ke rumah, kami makan malam dengan masakan Angi. Selesai makan kedua kakak adik itu ngobrol.
Angi, istri saya termasuk anak bungsu. Mbak Ayuning adalah anak pertama dan di bawah Mbak Ayuning, Angi mempunyai 2 kakak lagi.
“Mbak tidur di tengah aja, ya.” kata Angi pada kakaknya ketika sudah mau tidur. “Besok saya bangun pagi mau kerja…”
Saya tidak mau ikut bersuara, biar Angi yang mengatur. Saya nonton televisi sengaja sampai jam 12 tengah malam baru saya masuk ke kamar tidur.
Lampu kamar tidur dimatikan oleh Angi, tapi kamar tidur masih mendapat cahaya dari ruang tamu karena lampunya tidak saya matikan.
Mbak Ayuning terlihat berbaring miring di tempat tidur menghadap belakang Angi yang juga berbaring miring. Tetapi Angi memeluk bantal guling, sedangkan Mbak Ayuning tidak.
Saat saya merebahkan tubuh saya yang hanya terbalut celana pendek dan kaos singlet, ternyata Mbak Ayun belum tidur, ia menengok saya. Saya mencium pipinya, kemudian kami berciuman bibir pelan-pelan.
Bagian bawah dasternya saya singkapkan, ternyata Mbak Ayuning tidak memakai celana dalam.
Tidak mau menunggu lama lagi, dari arah sela pantatnya, saya cucukkan jari saya 2 buah ke lubang vagina Mbak Ayuning yang telah basah kuyup, saya kocok cepat.
Sayup-sayup terdengar suara ceplokk… ceplokk… ceplokk… saya tidak khawatir kedengaran Angi, karena saya tahu sifat tidur Angi.
Kalau sudah tidur, mau bom meledak sekalipun di depan telinganya, ia tidak akan terbangun kalau tubuhnya tidak saya guncang-guncang, atau memeknya tidak saya jilat-jilat sampai keluar ingusnya yang kental.
Setelah lubang vagina Mbak Ayuning merekah, kami ganti posisi melakukan pemanasan sebelum penis saya melakukan penetrasi ke lubang nikmatnya.
Saya hanya melepaskan celana pendek saya, sedangkan Mbak Ayuning tidak melepaskan dasternya, hanya disingsingkan saja bagian bawahnya.
Kemudian saya meletakkan miring kepala saya disalah satu paha Mbak Ayuning untuk menjilat vaginanya.
Saat saya menjilat vagina Kak Ayun, Kak Ayun menghisap penis saya. Vagina yang pernah melahirkan 3 anak itu tentu saja berbeda dengan vagina Angi, apalagi tadi telah saya kocok dengan jari, sehingga seluruh lidah saya dengan mudah saya masukkan, lalu saya menggerakkan untuk menjilat dinding vaginanya.
Paha Mbak Ayuninng menjepit kepala saya dengan erat dan penis saya disedotnya kuat-kuat.
Tentu saja Mbk Ayuning tidak berani mendesah atau merintih seperti tadi di kamar mandi. Dari lubang vaginanya, mulut saya pindah menghisap biji kelentitnya yang keras menonjol.
Saat itulah keluar erangannya yang tertahan sejak tadi. Tubuhnya ikut mengejang dan pahanya kaku menjepit kepala saya.
Saya membuat Mbak Ayuning ORGASME!
Setelah tubuhnya merenggang, saya baru naik menindih Mbak Ayuning. Saya masukkan penis saya ke lubang vaginanya.
Lubang vagina Kak Ayun terasa longgar, tetapi setelah saya tusuk lebih dalam lagi, ternyata di ujung vagina Mbak Ayuning seperti ada magnit yang bisa menghisap penis saya.
Ketika saya menggerakkan penis saya keluar-masuk rasanya sangat nikmat dan Mbak Ayuning ikut mengencangkan otot pinggulnya untuk menggoyang penis saya.
Sehingga tidak sampai 10 menit penis saya menggenjot lubang kenikmatan Mbak Ayuning, rasanya air mani saya sudah mau keluar.
Kami berciuman dan Mbak Ayuning membiarkan saya mengeluarkan air mani di dalam vaginanya.
Setelah itu Mbak Ayuning menyuruh saya tidur, besok baru dilanjutkan lagi.
Pagi jam 5 Angi meninggalkan tempat tidur, saya membangunkan Mbak Ayuning, lalu saya dan Mbak Ayuning kembali bercumbu.
Saya minta penis saya dimasukkan ke duburnya, ia menolak. Saya tidak memaksa. Dengan lidah saya menjilat dubur Mbak Ayuning sampai ia terangsang.
Akhirnya saya berhasil menyemburkan air mani saya di dubur Mbak Ayuning. Mbak Ayuning bilang geli-geli nikmat dan pagi itu ia buang air besar jadi lancar, sebelumnya tidak.
“Mbak Yun jadi pulang nanti sore?” tanya Angi sebelum berangkat kerja.
“Besok sore aja…” jawab Mbak Ayuning.
“Nah, begitu dong. Ngapain buru-buru pulang?” kata Angi.
“Bukannya nggak pengen lama di sini, Ngi… kakak iparmu nggak mau orang lain yang ngurus kencing beraknya…”
Duh… setelah Angi berangkat kerja, kembali saya menggenjot dubur Mbak Ayuning. Hitung-hitung sampai jam 12 siang, air mani saya memancut 4 kali.
— HHHHHH —
Tengah malam, saya kembali menggenjot vagina Mbak Ayuning. Mungkin karena saking hotnya saya menggenjot, Angi terbangun melihat saya menindih tubuh kakaknya, ia berteriak. “Papiiii… lebih baik saya mati saja… Papiiiiii… Papiiiii…..” teriaknya.
Saya kewalahan, Mbak Ayuning apalagi. “Maafkan saya, Ngi… saya yang salah, bukan Agus…” kata Mbak Ayuning.
“Pantesan pulangnya besok, ternyata pengen ngentot dengan suami saya…” Angi menangis.
“Saya kasihan dengan Mbak Ayuning, Ngi. Sejak dua tahun yang lalu kakak iparmu sakit, Mbak Ayun nggak pernah ngentot. Apa salahnya Mbak Ayuning merasakan kontol saya, Ngi. Besok Mbak Ayuning pulang, tidak bawa kontol Papi, kan?”
Angi mencubit paha saya. “Aku pengen…”
Saya mengerdipkan mata saya pada Mbak Ayuning. Mbak Ayuning mendekati Angi, lalu melepaskan daster Angi.
Angi tidak menolak.
Selesai melepaskan daster Angi, Mbak Ayuning juga melepaskan celana dalam Angi. Angi yang sudah telanjang bulat dibaringkan Mbak Ayuning di tempat tidur, lalu membuka lebar pahanya.
Mbak Ayuning menjilat vagina Angi. Kami threesome. Saya mengocok penis saya di lubang dubur Mbak Ayuning yang tadi tertunda.
Angi sangat menikmati rupanya, sehingga ia menyuruh saya melepaskan penis dari dubur Mbak Ayuning. Mbak Ayuning lalu membalik tubuhnya menyerahkan vaginanya untuk dijilat Angi.
Saya membiarkan kakak beradik itu saling menindih dan memuaskan. Lalu saya keluar ke ruang tamu nonton televisi.
Malam yang sudah sepi, sehingga terdengar dengan jelas suara desahan dan lenguhan Angi dan Mbak Ayuning.
Akhirnya saya tertidur di bangku. “Agus, bangun!”
Saya kaget mendengar teriakan Bunda. Saya membuka mata. “Kenapa tuh celanamu basah? Mimpi, ya?”
“Iya, Bun…” jawab saya malu.
“Makanya jangan kebanyakan tidur! Libur bukannya cari kerjaan, malahan tidur…” omel Bunda. “Nih, celana… ganti!” Bunda melemparkan celana pendek pada saya. “Air manimu sudah bau basi!”
2. KEKASIH-KEKASIHKU
TANTEKU kalau suaminya dinas ke luar kota, pasti ia menyuruh aku menginap di rumahnya. Tanteku takut. Ia hanya sendirian di rumah, karena rumahnya pernah dimasuki maling.
Untung hanya tivi yang diangkut, sedangkan perhiasannya di lemari masih utuh dan laptop suaminya juga tidak dibawa kabur.
Memang malingnya kurang beruntung. Kenapa cuma televisi yang diangkut, coba? Kalau dijual, dihargai berapa televisi LCD ukuran 21 inci?
Setiap kali aku menginap di rumah tanteku, memang belum pernah terjadi peristiwa yang menghebohkan. Tapi malam itu aku duduk berdua dengan tanteku nonton televisi, tanteku memegang pahaku, “Soni, besok kan malam minggu, nih? Kalau kamu mau pacaran, gak apa-apa, boleh bawa kesini pacarmu,”
“Pacar apa…?! Ahh… Tante ini… sudah linglung kali ya… kalau nggak salah baru bulan kemarin Tante tanya aku, sekarang tanya lagi…”
“Soalnya ada yang naksir kamu. Tante sebelah itu, Tante Ice, ngomong kamu ganteng lho sama Tante,”
“Ha.. ha… biarin aja…” jawabku tertawa santai.
“Nggak berani?”
“Berani aja… kenapa emang…? Orang belum pengen kok maksa…” jawabku.
Tanteku mencium pipiku. “Emm… sayang…” desahnya lalu tangannya berlari ke atas memegang benda yang terdapat di selangkanganku. “Besar juga ya, sayang…” bisiknya memegang benda itu, karena pada waktu itu aku memang tidak memakai celana dalam.
Tentu saja aku kaget!
Tetapi aku berusaha menahan deburan jantungku. Sebenarnya aku tidak ingin berbuat mesum dengan tanteku, namun begitu aku juga tidak ingin membuat tanteku kecewa.
“Tante keluarkan ya, sayang…” pinta wanita berumur 40 tahun ini, adik dari Mama.
Entah ia yang mandul, atau suaminya yang mandul, mereka sudah menikah 12 tahun tapi belum punya anak.
Aku membiarkan Tante Nety mengeluarkan kontiku dari celana pendekku. “Waww… mantap kali, sayang…” serunya melihat kontiku yang sudah telanjang di depannya.
Aku bisa merasakan Tante Nety begitu bernapsu dengan penisku sampai-sampai napasnya kedengaran memburu.
Sayang sekali kalau aku sia-siakan. Aku membiarkan Tante Nety mengulum penisku di dalam mulutnya yang hangat, lalu setelah penisku menjadi panjang, besar dan keras, dikeluarkannya dari mulut.
“Tante lepaskan celanamu ya, sayang.” katanya.
Aku bangun dari tempat dudukku dan tanpa ragu-ragu aku melepaskan celana pendekku. Penisku yang tegang mengacung itu tampak terangguk-angguk di depan tanteku.
Panjangnya sekitar 14 sentimeter. Lumayan panjang dengan diameter sekitar 3 sentimeter.
Tante Nety menarik aku mendekatinya. Aku berdiri di depan Tante Nety yang sedang duduk di sofa. Kemudian Tante Nety menundukkan kepalanya sembari satu tangannya memegang batang penisku. Batang penisku lalu dijilat dengan lidahnya.
Sseesstt… duuhh… nikmatnya… aku bergelinjangan. Pelirku diremas-remasnya. Aku menggelinjang lagi. Selanjutnya Tante Nety memasukkan penisku ke dalam mulutnya lagi.
Kali ini aku tidak tinggal diam. Aku tahan bagian belakang kepala Tante Nety. Lalu aku setubuhi mulutnya.
Kukocok penisku keluar-masuk di mulut Tante Nety. Wajahnya bersemu merah. Matanya terpejam rapat.
Pengalaman pertama kontolku disepong, semakin lama semakin enak rasanya. Tak tahan lagi dan memang aku juga sengaja.
Ketika kenikmatan menjalari tubuhnya, aku tidak melepaskan penisku yang terasa memenuhi mulut tanteku itu, tetapi aku menyemburkan air maniku di dalam mulut Tante Nety.
Crroott… crrooott…
Crroott… crroott… crroottt…
Crroott…
“Aaaggghhhh…. ” erangku keras.
Ternyata Tante Nety masih saja menghisap penisku. Kemudian, oh… air maniku ditelannya.
Glekk..
Glekk…
Setelah itu penisku dikeluarkan Tante Nety dari mulutnya. Penisku sudah terkulai, tapi masih panjang. Tante Nety menarik aku duduk di sofa.
“Enak nggak tadi?” tanya Tante Nety tersenyum.
“Enn… enak, Tante. Apa Tante gak jijik, minum air mani aku?” tanyaku.
“Gak, enak kok, manis…” jawab Tante Nety.
“Aku boleh nyusu, Tante?” tanyaku.
“Nyusu ini?” kata Tante Nety memegang payudaranya yang besar.
Aku mengangguk.
“Kita ke kamar aja, yuk!” ajak Tante Nety.
Tante Nety mematikan televisi dengan remote control, aku disuruh mengunci pintu rumah, lalu Tante Nety mengajak aku ke kamar tidurnya.
Di kamar tidur, Tante Nety melepaskan dasternya. Aku memandang tubuh Tante Nety yang tertutup BH coklat dan celana dalam merah itu. Perutnya agak besar. Kemudian Tante Nety melepaskan BH-nya.
Uugghh…
Payudaranya besar menggantung, tapi putingnya hanya kecil saja berwarna coklat.
Tante Nety naik ke tempat tidur berbaring, aku juga. Kami saling berbaring miring berhadap-hadapan. Tante Nety menyodorkan putingnya ke mulutku.
Mulailah aku menghisap puting Tante Nety pelan-pelan seperti anak kecil menetek di dada ibunya. Sementara tangan Tante Nety mengelus-elus penisku yang kembali mengacung.
Setelah penisku cukup keras, Tante Nety menarik aku naik ke tubuhnya. Tante Nety membawa penisku ke selangkangannya. Ternyata selangkangan Tante Nety sudah telanjang.
Meskipun aku baru pertama kali ngeseks, aku tahu apa yang dilakukan Tante Nety terhadap penisku. Ia menggesek-gesekan kepala penisku ke itilnya.
Setelah beberapa kali digesek, penisku yang sudah sangat keras itu didorong Tante Nety ke lubang vaginanya. Tapi penisku tidak semudah itu masuk ke lubang vagina Tante Nety. Tante Nety harus bangun mengambil minyak dan diusapkan ke seluruh batang penisku. Lalu Tante Nety meminta aku mendorong penisku ke lubang vaginanya lagi.
Kini, pelan-pelan penisku masuk ke lubang vagina Tante Nety. Lubang vagina Tante Nety sempit sekali, penisku seperti terjepit. Tapi penisku tidak berasa sakit, melainkan geli-geli nikmat.
Pelan-pelan aku mendorong menarik penisku keluar-masuk di lubang vagina Tante Nety, sedangkan Tante Nety menggerakkan pantatnya naik-turun, kadang meliuk. “Mmhhhh… oooogghh…. kontolmu enak, Soni… enak sekali…” desah Tante Nety.
Aku tidak sanggup menjawab Tante Nety. Penisku berkedut-kedut, kenikmatan menyerang tubuhku dan aku menekan penisku dalam-dalam ke lubang vagina Tante Nety. Air manikupun menyembur.
Crroottt… crrroott… crroott…
Crroottt… crroottt…
Crroottt….
Nikmatnya terasa sampai keubun-ubun. Tak heran setelah aku selesai bersetubuh, tubuhku terkapar lemas. Tapi, kami tidak mengakhirinya dengan langsung tidur. Tante Nety menggoda aku hingga penisku bangkit lagi. Kami baru kelelahan setelah melalui 3 kali persetubuhan.
Mulai malam itu, hampir setiap malam aku bersetubuh dengan Tante Nety. Namanya juga sperma anak muda, masih tokcer dan mudah berkembang biak…
Tante Nety hamil, bukan oleh suaminya mdlainkan oleh aku.
Mama marah besar. Pasti Tante Nety bercerita pada Mama karena ia bisa hamil.
Selama 12 tahun penantian, bukan hari-hari yang mudah bagi seorang wanita, kalau ia bisa hamil meskipun dari benih keponakannya sendiri, pasti Tante Nety senang bukan main.
“Kami saling mencintai kok…” jawabku berdiri di belakang Mama yang sedang berdiri berdandan menghadap ke cermin.
“Tapi bagaimana dengan suaminya, sayang? Kalau suaminya melaporkan kamu ke polisi, kamu bisa masuk penjara lho… Mama nggak mau tengokin kamulah, kalau kamu sampai masuk penjara… malu Mama…!!”
“Aku dibuang dari keluarga juga gak masalah kok, Mah… kalau sampai Tante Nety diceraikan misalnya, aku dan Tante Nety siap nikah…” jawabku.
“Astagaaa…aa…. Sonii…ii…!!” keluh Mama panjang. Mama menghadap ke arahku, bibirnya belepotan lipstick. Handuknya juga tidak menutupi payudaranya secara penuh. “Yang mau buang kamu itu siapaa…aa…? Asal ngomong aja ya, kamu…!”
Mama menatap aku tajam. Mau memeluk aku seakan ia tidak berani.
“Nggak najis kan aku, Mah…?” tanyaku kemudian.
Aku melebarkan kedua tanganku memeluk Mama yang berdiri di depanku.
“Ummmhh…” desah Mama. “Awwhh…” jeritnya sejenak saat tanganku meremas bongkahan pantatnya. “Jelek….!”
“Masih menonjol sih….”
“Semoga Tantemu tidak diceraikan, dan suaminya bisa terima bayi yang dikandungnya…” kata Mama. “Nanti Mama bantu ngomong… seandainya ia minta kamu nikahi Tantemu, ya sudah… kamu harus bertanggungjawab, ya… kuliahmu diselesaikan… mau makan apa nanti anakmu kalau kuliahmu nggak selesai…”
Aku peluk Mama lagi. Telapak tanganku berada di pantatnya yang menonjol padat itu kuelus-elus. Sepertinya Mama tidak memakai celana dalam.
“Sudah, jangan lama-lama, Lius sudah tau begituan, Mama pernah melihat ia nonton film begitu di laptopnya… Mama nggak berani negor, takut ia malu… kamu aja, ngomongin pelan-pelan…” kata Mama.
Aku melonggarkan pelukanku. Mama menatapku.
Bibir Mama yang masih belepotan lipstick itu seolah mengundangku untuk mengecupnya.
Lalu… Mama mendorong wajahku yang mendekati wajahnya, “Nggak…!” tolaknya.
“Apa aku bukan milik Mama lagi…?” tanyaku nekat.
“Selama kamu belum nikah, ya milik Mama…”
Satu pelukan, satu ciuman kudaratkan ke bibir Mama. Ah… aku tidak mengharapkan ciumanku dibalas, tetapi Mama membalas ciumanku. Sambil berciuman lembut Mama mengelus tubuhku…
Kuterlentangkan Mama di tempat tidur dengan kedua kakinya menjuntai. Kutindih Mama dan batangku yang tegang menekan tepat di selangkangannya yang masih tertutup handuk.
“Kamu tindih Mama begini, Mama mau pergi gimana?” kata Mama.
Kucium belahan dada Mama, lalu aku mencoba memegang ikatan handuknya.
“Nggak, jangan dibuka… malu, Mama gak punya tetek.” kata Mama. “Bangun… sudah terlambat deh, Mama mau pergi senam…”
Sebelum beranjak bangun, kucium bibir Mama lagi dan pada waktu yang hampir bersamaan bibir Mama membalas.
Tanpa kupikir panjang, kubuka handuk yang menutupi tubuh Mama. Setelah itu, aku lepas kendali sudah….
Kuturunkan celana pendekku, kubawa penisku ke vagina Mama, lalu palkonku kumasukkan ke lubang vagina Mama.
Kusangka usahaku akan ditolak oleh Mama, ternyata Mama mendorong selangkangannya ke depan, “O… Soniii…iii..ihh…”
“Masuk deh, Mah…”
“Yeahh… ayoo… terusss…”
“Aggh… Mama juga pengen…” kataku.
Segera aku menarik pantat Mama ke pinggir tempat tidur, sementara aku berdiri menghadap ke selangkangannya yang terbuka lebar.
Seterusnya aku mulai menyetubuhi Mama dengan menarik dan mendorong batang penisku keluar-masuk di lubang vaginanya berulang-ulang dan berkali-kali secara tidak beraturan, sehingga membuat Mama merintih.
“OOOOHHH…. NNGGHH…. OOOOHHH…. OOOOHHHH…. OOOOHHHHH…. AAHHHH… OOOOHHH…. NGGHHH… OOOOHHH….”
Kedua kakinya aku angkat ke bahuku. Batang penisku masih saja keluar masuk di lubang vaginanya. Mama ternyata binal di ranjang.
Kucabut penisku. Mama turun dari tempat tidur membungkuk menyodorkan pantatnya ke penisku.
Kini kusodok lubang vagina Mama dari belakang. Mama bertiap di tempat tidur.
Setelah beberapa saat lalu kutembakkan air maniku ke rahimnya.
Crrooott… crroottt… crroott..
Crroott… crrooottt…
“Ahhh… memek Mama memang top…. semoga hamil ya, Ma…” kataku.
Kehadiran adikku tidak bisa dicegah Mama. Setelah 1 bulan Tante Nety melahirkan, Mama melahirkan.
Tetapi aku memilih Tante Nety menjadi istriku, karena suaminya meninggal sewaktu musim Covid kemarin.3. There Something About Bu RT
SUDAH dua bulan aku belum membayar iuran sampah dan iuran keamanan, karena setiap kali Pak Bagong ke rumahku, aku tidak ada di rumah.
Supaya tidak merepotkan Pak Bagong lagi, aku lalu mengantarkannya sendiri ke rumah Pak Bagong.
Tetapi aku tidak bertemu dengan Pak Bagong, aku bertemu dengan istrinya, Bu Rahayu. “Kenapa buru-buru pulang, Dik Erick? Duduk dulu!” suruh Bu Rahayu yang pada waktu iþu memakai pakaian sehari-hari, sehingga tampak payudaranya yang montok dan sangat cocok mengimbangi pinggul dan pantatnya yang sedikit tonggeng.
Ibu Rahayu terbilang cantik di antara para ibu-ibu se RT kalau mereka kumpul untuk senam pagi. Umur Ibu Laila 38 atau 39 begitu karena kedua anaknya baru remaja.
Aku duduk di ruang tamu Pak Bagong ditemani ngobrol oleh Ibu Rahayu. “Biasanya Bapak dari kantor sampai di rumah jam berapa, Bu?” tanyaku. “Maaf lho Bu, beberapa kali Bapak ke rumah nggak ketemu dengan saya.” kataku.
“Namanya juga melayani warga, nggak apa-apa, Dik Erick. Sekarang Dik Erick lagi bisnis apa nih?”
“Masih jadi kuli, Bu.”
“Ahk, bisa aja Dik Erick. Rumah sudah punya, mobil sudah punya, jadi kuli bagaimana? Ayo, kapan mau kenalin pacarnya sama Ibu?”
“Hee.. hee.. kapan ya Bu?” jawabku setengah bercanda. “Masih belum punya calon nih.” lanjutku.
“Ah masa sih belom punya calon? Kamu mau calon yang seperti apa, nanti Ibu carikan!”
“Seperti apa ya? Mungkin… ngg… ngg… seperti Ibu kali…?” jawabku sekenanya. Maksudku bercanda.
“Seperti Ibu? Haa.. haa.. kenapa yang seperti Ibu?”
“Cantik…. baik….”
“Welehh… welehh… welehh… Dik Erick, Ibu cantiknya dimana? Bisa aja deh, Dik Erick!” jawab Ibu Rahayu malu-malu, tapi di dalam hatinya merasa senang dan tersanjung.
Pasti…!
Dalam hati aku heran, kapan aku jadi perayu seperti begini.
“Jujur aja Bu, kalo saya melihat Ibu sama Farah, saya sering menganggap Ibu sama Farah itu adik kakak, lho.” lanjutku.
“Masa sih Ibu masih seperti anak gadis, badan Ibu sudah kendor sana-sini begitu…” jawab Ibu Rahayu yang kemudian berdiri dan memperhatikan tubuhnya sendiri.
Dasternya ditarik ke belakang agar melekat ke tubuhnya, hasilnya tubuh aduhainya tercetak. Terlihat jelas lekuk pinggul dan dadanya. Kemudian dia berputar-putar sambil mengamati tubuhnya, tentu saja mataku juga ikut mengamati atau lebih tepatnya menikmati tubuhnya.
“Bener deh, Bu. Ibu sudah membuktikannya sendiri kan? Jujur saja Bu, saya juga sering bayangin Ibu sebelum tidur…”
“Wahhh, haa.. haa.. kalau gitu, Ibu saja deh yang jadi pacar kamu…”
“Boleh saja Bu, kalau Pak Bagong mengizinkan..”
“Duuhh… aduhh… mimpi apa ya Ibu semalam?”
Aku memberanikan diri mengulurkan tanganku memegang tangan Ibu Rahayu dengan agak gugup, karena takut ditolak. Ibu Rahayu tersenyum manis dan dia pindah duduk di samping aku malahan.
Kami berpegangan tangan dan saling berpandangan. “Dik Erick…” desah Ibu Rahayu menyadarkan aku.
Aku pun berani memeluk Ibu Rahayu, lalu menyodorkan bibirku ke bibirnya yang tipis mungil itu.
Sungguh aku tidak menyangka, tujuanku datang ke rumahnya hanya untuk membayar uang sampah dan uang keamanan, kemudian duduk dan ngobrol bercanda dengan Ibu Rahayu, tapi yang terjadi sekarang adalah bibir kami saling melumat.
Napsuku pun menguasai semua pikiranku. Aku mengarahkan tanganku ke payudaranya. Aku meremas daging kenyal itu. Hmm…. benar-benar masih kencang payudara Ibu Rahayu.
Malahan bibirnya menjadi lebih liar dan lidahnya menelusuri rongga mulutku. Ludah Ibu Rahayu sangat gurih rasanya, sehingga aku sedot sebanyak-banyaknya, lalu kutelan. Bersamaan dengan itu pengait BH yang ada di belakang tubuhnya aku buka.
Sampai disini, aku tidak mampu lagi mengontrol pikiranku. Rasanya aku ingin segera menelanjangi Ibu Rahayu dan menyetubuhinya. Tapi masih di ruang tamu begini, bagaimana? Lagi pula pintu rumah juga terbuka lebar.
Untung saja orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam karena pagar rumah Ibu Rahayu ditutup dengan lembaran plastik tidak tembus pandang.
Ibu Rahayu barangkali mengerti dengan kegelisahanku – pastilah Ibu Rahayu sangat mengerti, karena dia sudah napsu banget dengan aku – Ibu Rahayu melepaskan diri dari dekapanku.
“Maaf ya, Bu.“ kataku merapikan rambut Ibu Rahayu yang kubuat acak-acakan.
Ibu Laila justru menatap ke celana pendekku. “Sunat nggak ini, Dik Erick?” tanya Ibu Laila memajukan tangannya ke celana pendekku yang menggelembung besar.
“Kalau nggak, Ibu nggak pengen ya?” tanyaku.
Ibu Laila menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku mencium rambutnya yang wangi. “Pengen Dik Erick, tutup pintu dulu,” jawab Ibu Laila malu-malu.
Aku bangun dari kursi pergi menggembok pintu pagar, sedangkan pintu rumah aku tutup rapat saja.
Di kursi, Ibu Rahayu sudah melepaskan daster dan BH-nya, tapi dadanya yang telanjang ditutupinya dengan daster.
Aku tidak mau tanggung-tanggung lagi. Aku melepaskan semua pakaianku dan dengan bertelanjang bugil, aku menghadap Ibu Rahayu yang duduk di kursi.
Ibu Rahayu menyingkirkan daster yang menutupi dadanya. Payudaranya menggantung montok dan putingnya hitam besar.
Aku membiarkan tangannya mengelus-elus dan meremas-remas penisku yang telanjang. Kemudian ditariknya kulit kulupku ke belakang sehingga kepala penisku menyembul.
Dengan demikian, dia pun mulai menjilat kepala penisku. Aku menikmati saja jilatan Ibu Rahayu sampai ke seluruh batang penisku.
Aku membantu memegangi rambutnya yang terurai supaya tidak menghalangi keasyikannya menjilat. Lalu penisku dimasukkannya ke dalam mulutnya yang hangat. Aku tidak bisa menahan diri lagi saat dia mengulum penisku.
Aku memegang kepalanya, kemudian aku mengocok-ngocokkan penisku di rongga mulutnya. Tidak lama kemudian rasa ngilu mulai menyerang tubuhku, tanda-tanda sebentar lagi air maniku akan keluar.
Aku segera menarik keluar penisku dari dalam mulut Ibu Rahayu. Celana dalamnya aku lepaskan. Ibu cantik ini bertelanjang bulat di depanku. Melihat keberaniannya, aku rasa tidak hanya Pak Bagong dan aku yang menikmati tubuh telanjang Ibu Rahayu, tapi biarlah. Itu urusan pribadinya.
Dia masih duduk di kursi. Aku menaikkan kedua kakinya ke tempat duduk dan membuka lebar pahanya, sekaligus menikmati vaginanya yang berbulu hitam tipis itu.
Belahannya mekar melebar dan lubangnya menganga berwarna merah.
Aku mulai berlutut di lantai menghadap ke paha Ibu Rahayu yang terkangkang. “Akkhh… Dik Erickkk…!” jeritnya dan dia menggeliat saat lidahku menyentuh kelentitnya.
Aku kira vagina wanita ini wangi, tapi sama saja amisnya dengan vagina wanita yang lain. Tapi lubangnya yang mengeluarkan banyak lendir sampai mengalir turun ke anusnya itu, segera kuhisap dengan mulutku. Lendirnya terasa asin-asin gurih.
Aku sedot dan aku telan. Lendir di dalam lubang vaginanya juga aku bersihkan dengan memasukkan lidahku dan aku jilat dinding vagina Ibu Laila.
“Akkhh… aaakhh… aakkhh… Dik Erickkk…. Dik Erickkk… nggak tahan lagi Ibuu…“ rintihnya sambil mencengkeram kuat rambutku.
Rasanya belum puas aku dengan aurat Ibu Rahayu. Gantian lubang anusnya yang aku jilat dan hisap, sedangkan jari telunjuk dan jari tengahku masuk ke dalam lubang vaginanya. Aku meremas-remas lubang vaginanya itu sementara jari jempolku mengurut biji kelentintnya.
“Sshhooohhhh…. ooooohhhh… oohhhh…. Ibu gak tahan… Ibu gak tahannnn…. “ teriaknya menggelinjang hebat disertai dengan kedua pahanya kejang-kejang.
Aku tahu Ibu Rahayu sedang orgasme, tapi aku segera menyeretnya turun ke karpet. Di situ aku menindihnya dan mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Kemudian dengan menekan penisku, srretttt… blleesss… akkkhhhhhhh…. teriak Ibu Rahayu, penisku yang panjang gemuk itu tertelan masuk ke dalam lubang vaginanya.
Aku mulai memaju-mundurkan penisku. “Aghhhhh…. aghhh…. agh…” rintih Ibu Rahayu bergetar menerima pompaanku. Kepalanya terdongak sambil memejamkan matanya.
Kadang aku pompa cepat, kadang aku pompa lambat. Kadang saat pompaanku lambat, tiba-tiba aku dorong keras sambil mulutku menghisap-hisap puting payudaranya.
Ibu Rahayu cuma bisa merintih-rintih keenakan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya kesana kemari.
“Enak ya, Bu?”
“Iyaa… enakk… Dik Erickkk…“ racau Ibu Rahayu.
Aku hanya kasihan dengan Pak Bagong, tubuh istrinya kunikmati. Bahkan aku menyemburkan air maniku di dalam vagina istrinya.
Tubuhku ambruk dalam pelukkan Ibu Rahayu. “Jangan hanya sampai di sini,” kataku. “Saya ingin anak saya lahir dari rahim Ibu…”
Manjanya Ibu Rahayu.
Dia mencium pipiku bertubi-tubi. Kami sangat menikmati hari-hari kami berdua. Kadang-kadang kami jalan-jalan di mall, kadang-kadang kami nonton di bioskop dan Ibu Rahayu bangga dengan perutnya yang besar. Sengaja dipakainya pakaian yang ketat-ketat.
4. Tukang Sapu Taman
SEBAGAI seorang sales, saya selalu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain. Mau cuaca panas atau cuaca hujan, bagi seorang sales sudah lumrah menghadapinya.
Pada suatu siang yang panas terik setelah berkeliling ke beberapa tempat saya mampir di sebuah taman kota bermaksud ingin duduk beristirahat. Saya mencari tempat duduk.
Setelah mendapatkan tempat duduk, saya duduk lalu bersandar di sebuah bangku besi yang catnya sudah ngelotok, saya mengeluarkan roti dan sekotak minuman teh dingin yang saya beli di sebuah mini market.
Sambil saya mengunyah roti datang seorang wanita menyeret keranjang sampah. Wanita ini tukang sapu taman dilihat dari seragam yang dipakainya. Seluruh kepalanya tertutup kain hitam ditambah dengan sebuah topi anyaman yang lebar, sehingga yang terlihat hanya wajahnya saja yang kucel dan hitam sering terbakar sinar matahari.
Tubuhnya agak gemuk dan saya perkirakan umurnya sekitar 40 tahunan. Sejenak dia menatap minuman teh kotak dingin yang saya letakkan di bangku. Teh itu belum saya minum.
Seketika saya teringat di dalam ransel saya, saya membawa minuman, lalu saya mencoba menawarkan teh kotak dingin itu pada si ibu penyapu taman tadi.
“Ibu mau? Ambil saja.” kata saya mengangkat teh kotak tersebut memberikan padanya.
Dia tidak curiga pada saya, karena dari tampang saya pasti dia tahu bahwa saya bukan tukang tipu. Lagi pula apa yang bisa ditipu dari seorang penyapu taman?
Dia menerima minuman yang saya sodorkan padanya. Lalu dia duduk di tepi jalan setapak yang tersusun dari conblok minum miniuman dingin itu.
Rasanya minuman dingin itu begitu segar bagi kerongkongannya, sampai berbunyi kerongkongannya saat dia menelan minuman itu. Glekk… glekk… glekk…
Karena dia duduk tidak jauh dari tempat duduk saya dan saya masih bisa berbicara dengannya, lalu saya bertanya padanya. “Kerja disini ya, Bu?”
“Iya, Dek.” jawabnya.
“Sudah lama Ibu kerjanya di sini, ya?”
“Sudah 3 tahun, Dek. Habis mau kerja apa? Ibu banyak anak…” keluhnya.
Biasa, orang-orang seperti si ibu ini mengeluhnya.
“Ibu sendiri ya yang bekerja di taman seluas ini apa dibantu teman?” tanya saya seperti seorang wartawan. Maklum, sales. He.. he..
“O… nggak, temen saya ada tiga. Di utara sana ada satu, di selatan satu, saya yang bagian tengah. Tamannya luas sekali, Dek…” jelasnya.
“Kalau malam, banyak yang pacaran disini ya, Bu?”
“Iya, kebanyakan anak muda….”
“Itu…. mmm… wanita itu… operasi di sini juga ya, Bu?”
“Kebanyakan waria Dek, di ujung sana.” tunjuknya. “Wanitanya gak ada yang berani, pasti diusir sama bencong-bencong galak itu. Adek mau cari wanita, ya?”
“O… nggak Bu, maaf… saya hanya numpang duduk istirahat di sini… biasanya berapa sih, Bu?” tanyaku iseng.
“Nggak tau, seratus apa dua ratus kali…”
“Rumah Ibu di dekat taman ini?”
“Nggak, Dek. Rumah saya jauh dari sini. Nanti dijemput sama suami kalau sudah selesai kerja…”
“Suami Ibu kerja di sini juga?”
“Nggak, dia jadi tukang parkir di pasar…”
“Anak Ibu sudah ada yang kerja?”
“Belum. Yang besar baru mau lulus dari SMK tahun ini…”
“Bersyukur, anak Ibu masih bisa sekolah, ya…” kata saya.
“Ya Dek…”
“Sudah ya Bu, saya mau jalan…”
“Naik motor atau mobil, Dek?” pertanyaannya seperti menyelidiki saya.
“Motor Bu, pekerjaan saya keliling… sales, nggak bisa naik mobil…”
“He.. he..” si Ibu tertawa menyeringai. “Kalau Adek mau cari wanita… itu… dari sini lurusss… belok ke kiri…”
“Saya mau sama Ibu, bagaimana?” jawab saya langsung tembak.
“Mmmm… Adek mau kasih berapa?” tawar menawarpun terjadi.
“Harga yang tadi…”
“Duaratus?”
“Seratuslimapuluh, bagaimana?” jawab saya mengeluarkan dompet saya.
Tetapi tidak saya berikan sesuai dengan tawaran saya, karena di dalam dompet saya duit saya lebih dari nilai yang saya tawarkan. Maka itu saya memberikan ibu ini lebih.
Si ibu bingung, tadi tawarnya segini, memberinya segitu.
Jujur, saya langsung memperlihatkan isì dompet saya pada si ibu. Dia tertawa dengan kepolosan dan kejujuran saya…
Mungkin, ini adalah tawanya yang paling renyah sepanjang hidupnya. Lepas, polos dan senang tanpa ditahan-tahan.
Saya duduk kembali di bangku dengan jantung berdebar.
Sesiang ini bisa dapat ikan…. tanpa saya mancing dengan susah payah, batin saya.
Si ibu melepaskan topinya dan penutup wajahnya lalu dimasukkannya ke dalam keranjang sampah. Wajahnya tetap sama seperti yang tadi saya lihat. Wajah yang kelelahan. Dan rambutnya dikonde.
Setelah itu si ibu duduk di samping saya menengok ke kiri dan ke kanan.
Setelah dirasakannya aman, dia membuka ritsleting celana panjang saya mengeluarkan penis saya dari celana dalam saya.
Karena penis saya sudah tegang, langsung dia kocok. Sekali-sekali matanya memperhatikan sekeliling.
Memang terasa tidak nikmat yang mengocok tanpa konsentrasi, tetapi di sinilah terletak seninya. Mengocok di alam terbuka, di siang hari panas terik pula.
Saya menjulurkan tangan saya menggenggam tetek si ibu yang besar dari luar baju dinasnya.
Si ibu tau saya kesulitan memegang teteknya. Dia membuka kancing bajunya sebanyak 3 buah, lalu dia mengeluarkan teteknya dari kutangnya yang sudah kumal.
Puting teteknya berwarna hitam dan besar, begitu pula bulatan yang mengelilingi putingnya, atau aerolanya, lebar berwarna hitam.
Saya hisap puting tetek si ibu tidak peduli tubuhnya berbau berkeringat. Sementara itu dia memperhatikan sekeliling.
Lalu dia memasukkan penis saya ke dalam mulutnya. Kemudian hanya dikulumnya saja.
Tanggung….
Sayapun menggerakkan kepalanya naik-turun sampai dia bisa sendiri mengocok penis saya dengan mulutnya, saya baru melepaskannya untuk mengocok sendiri.
“Bu, sudah mau keluar…” kata saya.
Si ibu mengeluarkan penis saya dari mulutnya. “Nggak ada tempat main ya, Bu?” tanya saya.
Si ibu menunjukkan saya tempat di dalam taman. Si ibu menyuruh saya berjalan dulu ke sana.
“Sepeda motor saya nggak apa-apa ditaroh di tepi jalan kan, Bu?” tanya saya.
“Nggak apa-apa sih, disini belum pernah ada orang yang kehilangan motor…” jawabnya.
Saya menulusuri jalan setapak yang tersusun dari conblok. Dari belakang si ibu mengikuti saya sambil menyeret keranjang sampahnya. Dia mendahului saya berjalan, dia masuk ke semak-semak.
Merasa cukup aman, dia membuka sarung yang dia ambil dari keranjang sampahnya, lalu dia menghamparkan di atas rerumputan.
Setelah itu diapun melepaskan celana panjangnya dengan celana dalamnya.
Si ibu ini seperti berprofesi ganda menurut saya. Dia tidak merasa malu memperlihatkan tubuh telanjangnya pada saya dengan berbaring di kain yang dia hamparkan di atas rumput, atau karena pemberian saya lebih dari yang dia minta, sehingga dia bebas dengan saya memberikan semua yang dia miliki?
Saya tidak melepaskan celana panjang saya. Hanya menurunkannya sampai ke paha saja, saya menindih tubuh telanjang si ibu sambil menggenggam batang penis saya yang tegang, saya tekan batang keras itu ke lubang memeknya.
Di awal lubang di selangkangan si ibu ini agak seret dan sempit, akan tetapi sewaktu batang penis itu saya dorong lebih kuat lagi, blleesss…
Batang penis saya langsung terkubur semuanya di dalam lubang memek si ibu. Dan pada saat saya menggerakkan penis saya keluar-masuk, lubang itu terasa licin dan basah.
“Ibu sudah sering begitu di sini, ya?” tanya saya.
“Nggak… berani sumpah, Dek… temen saya, dia sudah nggak punya suami, jadi dia jualan di sini sebelum bencong-bencong itu datang…”
Saya masih terus menggoyang pantat saya naik-turun. Sejurus kemudian saya percepat memompa lubang memek si ibu dengan kecepatan tinggi. Plokkk.. plokkk.. plokkk….
“Oohhh… ahhhh…. aaahhh… ahhhh.. ahhh…” jeritnya dengan suara tertahan-tahan.
Crooottt… crrooottt… crrooott… crroott… nikmat sekali….
Saya tarik penis saya keluar, si ibu segera bangun melap memeknya dengan sarung, sementara saya diberikannya botol air minum untuk membersihkan penis saya yang bau amis memeknya.
“Setiap hari Ibu di sini…?” tanya saya.
“Kalau Adek mau ke sini lagi, jangan pagi, saya sibuk…. sebaiknya siang kayak gini aja, saya sudah nggak ada kerjaan….”
Jadilah saya pelanggan tetap si ibu ini seminggu sekali, kadang dua kali… memang saya harus merogoh saku celana saya lebih dalam. Tetapi berhubung tidak ada penyakit selama saya berhubungan intim dengannya, dan kenikmatan yang si ibu berikan pada saya lebih daripada yang saya berikan padanya dengan tulus saya memberikan padanya.
Saya menikmati tubuh si ibu penyapu taman ini selama 5 bulan.
Kata temannya sewaktu saya bertanya, katanya si ibu itu hamil, suaminya tidak memberikan si ibu ini kerja, takut ia keguguran.
5. Mendayung Kenikmatan Bersama Nenek
NENEK pulang dari taman ngumpul dengan teman-teman sebayanya sebulan sekali.
“Bagaimana tadi ngumpul-ngumpulnya, Nek? Seneng nggak, Nek?” tanyaku.
Taman itu ramai pada hari Sabtu dan Minggu, khususnya di pagi hari para pengunjung berolahraga di sekitar taman atau duduk dengan keluarga kulineran.
Pada hari biasa tidak begitu ramai. Mungkin Nenek dengan teman-temanya sengaja memilih hari yang tidak begitu ramai untuk ngumpul di taman itu supaya bisa ngobrol dengan santai sambil bercerita tentang masa lalu mereka yang kesemuanya adalah wanita berjumlah sekitar 15 orang.
“Nenek harus ke dokter kali, Jal…” jawab Nenek.
“Kenapa Nek, pulang dari taman kok ke dokter? Apa Nenek sakit?” tanyaku bingung.
“Paha Nenek gatel sekali Jal, digigit binatang apa kali… soalnya tadi kita duduk di rumput nggak pakai tikar. Ada 2 temen Nenek yang seperti Nenek juga, Jal… gatel-gatel di paha…”
“Coba Ijal lihat, Nek.” kataku.
“Nenek tukar pakaian dulu ya Jal…” kata Nenek masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian Nenek memanggil aku dari kamarnya. “Sini, Jal.”
Aku pergi ke kamar Nenek membuka pintu kamarnya. Nenek sedang duduk di tempat tidur memakai daster selutut, sedangkan di samping Nenek tergeletak baju yang tadi dipakainya. Kulihat juga BH dan CELANA DALAM Nenek.
Kusimpan di dalam hati apa yang kulihat. Nenek lalu menaikkan dasternya sampai ke ujung pahanya. Darahku berdesir sewaktu melihat paha Nenek yang putih masih mulus belum keriput meskipun Nenek sudah berusia 66 tahun, apalagi aku tahu Nenek sedang tidak memakai celana dalam saat itu.
“Ini, coba kamu lihat digigit binatang… apa bukan?” kata Nenek padaku sambil memegangi dasternya yang berkumpul menjadi satu di daerah selangkangannya yang saya yakin, selangkangan Nenek pasti telanjang. Maka itu ditutupinya rapat-rapat dengan dasternya.
Terlihat olehku di ujung paha Nenek bagian dalam; kulitnya memerah cukup tebal dan meluas.
“Iya kali Nek, digigit serangga…” jawabku dengan jantung berdebar. “Tapi coba Nenek baring deh biar kelihatan lebih jelas.” kataku.
Nenekpun merebahkan tubuhnya berbaring di tempat tidur. “Coba Nenek miring, Ijal mau lihat yang di bagian belakang.” kataku.
Setelah Nenek sudah berbaring miring, aku bebas menaikkan daster Nenek setinggi yang aku mau, sehingga saat itu selain aku bisa memandang seluruh paha Nenek, aku juga bisa memegang-megang pantat Nenek yang telanjang seolah-olah memeriksa pantatnya, padahal bukan, aku memang sengaja ingin memegang pantat Nenek yang masih kencang plus mulus dan putih.
“Naikkan kakinya, Nek.” suruhku membantu Nenek menekuk satu kakinya berdiri di kasur, sehingga dengan demikian, wowww…
Terlihatlah olehku anus Nenek yang berwarna kehitaman berkerut-kerut mengelilingi liang anusnya yang bergerak kembang kempis serta memek Nenek yang sudah layu dan dari memek itu lahir Mami 44 tahun yang lalu, kemudian ketiga adik Mami, yaitu 1 tanteku dan 2 omku.
Sebenarnya aku bukan ingin memeriksa tempat gatal-gatal Nenek, karena tempat gatal Nenek hanya disatu tempat itu saja, tetapi memang aku sengaja ingin melihat memek Nenek. Kesempatan emas, kenapa tidak kumanfaatkan?
Aku senter dengan lampu senter handphoneku dan aku juga memotret selangkangan Nenek yang telanjang itu. Setelah puas, aku baru menurunkan kaki Nenek. “Nggak usah ke dokter ya Nek…” kataku. “Ijal belikan salep untuk gatel-gatel saja di apotik.”
“Ya sudah sana.” jawab Nenek.
Aku usahakan diriku biasa-biasa saja jangan sampai membuat Nenek curiga. Demikian juga setelah aku membelikan salep gatal-gatal untuknya, aku membantu Nenek mengoleskan salep itu pagi dan sore seusai Nenek mandi.
Kadang-kadang Nenek memakai celana dalam, kadang-kadang tidak sehingga aku bisa memuaskan mataku melihat memek Nenek saat aku mengoleskan salep ke tempat gatalnya.
Nenek kulihat sama sekali tidak malu, mungkin karena terpaksa, atau aku ini cucunya yang mengobatinya, tetapi di dalam diriku, jantungku berdebar-debar, dan penisku sangat tegang.
Setelah 3 hari, pagi itu Nenek keluar dari kamar mandi, Nenek berkata padaku, “Jal, merah-merah di paha Nenek sudah lenyap dan sudah nggak gatel lagi.” kata Nenek senang.
Aku juga senang, tetapi birahiku yang bergelora sejak aku mengenal memek Nenek belum terselesaikan, kecuali aku puaskan diriku dengan masturbasi sambil mencium bau celana dalam Nenek atau sambil berkhayal memandang foto-foto memek Nenek di hapeku.
Apakah Nenek tau aku membuang air mani di celana dalamnya sehabis aku masturbasi, aku tidak tahu!
“Coba Ijal lihat, Nek.” kataku.
Seperti biasa aku mengoles salep di tempat gatalnya, Nenek berbaring di tempat tidur menyingkapkan handuknya. Nenek saat itu tidak memakai celana dalam, lalu aku periksa pahanya dengan mengabaikan memeknya yang telanjang.
“Bener Nek, sudah bersih dan mulus.” kataku. “He..he..” aku tertawa senang.
“Selama ini mamimu tau nggak paha Nenek gatel diobati sama kamu?” tanya Nenek.
“Nggak sih, Ijal nggak ngomong kok.” jawabku. Setelah itu dengan berani aku pegang memek Nenek dengan tanganku. “Berhubung paha Nenek sudah sembuh, ini buat Ijal ya, Nek…” kataku.
“Jangan, nggak boleh Jal, ini nenekmu. Nenek yang melahirkan mamimu, dan lagi pula sudah lama itu nggak dipakai, nanti sakit kalo dimasukin… bisa luka, apalagi kamu anak muda, pasti keras…” jawab Nenek.
Aku tidak menyerah begitu saja, aku harus mendapatkannya, tegasku dalam hati.
“Ah… Nenek…! Nenek kan sudah gak bisa hamil… ayolah, Nek…” rayuku sambil mengelus-elus lembut paha Nenek dengan telapak tangan. “Ijal akan masukin pelan-pelan…”
“Jangan Jal, nanti kalau ketahuan sama mamimu, mamimu bisa marah sama Nenek ngajarin kamu yang nggak-nggak…” jawab Nenek.
“Kalau Nenek nggak ngomong, dan Ijal juga nggak ngomong, mana Mami tau sih, Nek?” balasku menunduk mencium memek Nenek dan rambut kemaluannya yang cuma tumbuh sejumput di bagian atas gundukannya.
Wangi sabun mandi di daerah itu.
“Nenek ngomong, jangan ya jangan, Jal. Nanti kualat… Nenek sudah tua…”
Sambil berkata begitu paha Nenek posisinya bukan tetap tertutup, tetapi pelan-pelan dibukanya melebar.
Allaaa…. Nenek, kataku dalam hati. Nenek juga pengen, tapi gengsi mengucapkannya.
Maka itu segera kulepaskan celana pendekku dan Nenek melongo melihat penisku yang ngaceng berdiri keras menunjuk, sehingga Nenek tidak sempat lagi menghentikan kenekatanku naik ke tempat tidur membuka lebar pahanya dan menghunus penisku langsung ke memeknya yang layu tertutup rapat oleh bibir memeknya.
Malahan Nenek memegang batang penisku dan menggosok-gosokkan kepala penisku ke belahan memeknya sebelum dimasukkan ke lubangnya yang sudah kelihatan terbuka menganga.
Setelah itu Nenek menyumbatkan kepala penisku ke lubang memeknya, lalu kudorong pantatku ke depan.
Upss… kepala penisku seperti terbentur sesuatu.
“Susah masuknya, Nek.” kataku.
“Ya kan?” jawab Nenek. “Sudah deh, jangan… nanti malah bikin memek Nenek sakit dan luka, bukannya enak…”
Tidak kuhiraukan kata-kata Nenek. Kusingkirkan penisku dari lubang memek Nenek, lalu kutunduk menjulurkan lidahku menjilat memek Nenek.
“Shiiittss… ohhh, Rijalll… geli setengah matiiii…. tapi enak… uffff… ahhh… ohh, Jaa…all…” seru Nenek.
Lidahku yang basah oleh ludahku kudorong masuk ke lubang memek Nenek. Memek Nenek tercium sedikit berbau amis. Tak kupedulikan, aku ingin menaklukkan Nenek.
Kudorong dalam-dalam lidahku menjilat rahimnya. Nenek menggelinjang, pinggulnya meliuk-liuk sembari mendesah, “Ohhh… Jall… ohh… Rijal….”
Kukeluarkan lidahku dari lubangnya, kemudian kusantap kelentit Nenek yang sebesar kacang tanah. Kujilat kelentit Nenek, kuhisap dan kusedot-sedot biji itu sehingga membuat pinggul Nenek semakin meliuk-liuk tidak teratur. Suara desahan Nenek berubah menjadi jeritan tertahan.
“Sudah Jall… sudd…dahh… sudd..dahh… sudd…dahh… cepat masukin…” kata Nenek tak sabar dengan napas tersengal-sengal.
Sekarang penisku tanpa dipegang oleh Nenek, kudorong sendiri ke lubang memek Nenek yang sudah mekar terbuka akibat Nenek yang sudah terangsang hebat. Srettt… sreettt… srrettt… bleesssssssss….
Nah…. penisku yang panjang dan besar itu tertelan lubang memek Nenek. Aku berhasil. Penisku menyatu dengan lubang memek Nenek.
Entah bagaimana perasaan Nenek memeknya dimasuki penis cucunya sendiri.
“Enak Jal kontolmu, memek Nenek rasanya penuh sekali…” kata Nenek.
“Iyalah, Nek.” jawabku.
Lubang memek Nenek rasanya seret dan sempit sehingga sangat mencengkeram batang penisku. Sewaktu aku menarik penisku, seperti ada daya hisap dari dalam, tapi lama-lama gerakan maju-mundurku menjadi lancar ketika lubang memek Nenek sudah bisa menyesuaikan diri dengan penisku.
Apalagi kemudian Nenek juga ikut menggoyang-goyang pinggulnya sembari meracau. Persetubuhan sedarah kami jadi semakin nikmat saja.
Tidak sampai 15 menit aku menggenjot lubang memek Nenek, rasanya penisku sudah geli-geli gatal ingin mengeluarkan sesuatu.
Kugenjot terus lubang memek Nenek dengan irama lebih cepat, dan akhirnya…
[ sherrrrr…. choootttt…. chootttttttt…. croootttt… crootttt…. croottttt…. croottttt…. ]
Air maniku yang hangat dan kental menembak sangat kuat dan kencang ke rahim Nenek sampai mulut Nenek ternganga dan matanya terbelalak hanya kelihatan putihnya saja.
[ croootttt… crootttt…. croottttt…. croottttt…. croootttt… crootttt…. croottttt…. croottttt…. ]
Kucium bibir Nenek yang pucat. Setelah itu aku terkulai lemas, tapi nikmatnya luar biasa menerobos sampai ke tulang sumsumku.
Pantesan laki-laki menyukainya. Tapi aku sedikit menyesal juga. Kenapa nenekku yang sudah tua ini kucabuli?
“Bagaimana perasaannya, Nek?” tanyaku.
“Jangan sampai mamimu tau, ya. Enak kok, nggak sakit…” jawab Nenek.
Aku jadi berubah pikiran mendengar jawaban Nenek. Dari menyesal, aku kembali nafsu pada Nenek.
“Asyik ya Nek? Kenapa tadi Nenek nolak…” kataku. “Sekarang Nenek jadi kecanduan deh dengan kontolnya Ijal ya kan, hi.. hi…. Ijal mencintai Nenek. Nenek jadi istri Ijal ya, Nek… Nenek cantik… memek Nenek masih kenyal, harus terus dipakai, Nek… biar Nenek awet muda…”
“Iya Jul, Nenek menurut saja apa kata-katamu, asalkan kamu jangan ngomong dengan siapa-siapa ya…”
Karena penisku tadi sudah mau lembek tegang lagi di dalam lubang memek Nenek yang hangat dan basah, aku genjot lagi lubang memek Nenek.
“Ohhh… Jaa..aalll… jangan Jal, sudah… minta ampuu…unn… nih anak, kuat banget….” kata Nenek.
Tidak kupedulikan Nenek. Kubuka handuknya. Tetek Nenek kini terhampar di depan mataku bersama seluruh tubuhnya yang telanjang. Aku juga melepaskan kaosku, telanjang bersama Nenek.
Kami saling berpelukan hanya dibatasi oleh kulit di tubuh kami masing-masing. Kami terbang melayang tinggi bersama-sama merengkuh kenikmatan.
Kulumat bibir Nenek sambil tanganku meremas teteknya yang masih kenyal berisi.
Tak lama kemudian, kubalik Nenek ke atas. “Ohh… Jal, Nenek malu ah…” kata Nenek, tapi didudukinya juga penisku, lalu penisku menikam-nikam lubang memek Nenek dari bawah.
Nenek mulai mengimbangiku. Ia menaik-turunkan tubuh telanjangnya dan pantatnya bergoyang maju-mundur. “Sesstt… oohh… Jalll… nikmat banget, Jalll… ohhh… ohhh…” rintih Nenek memejamkan matanya.
Penisku seperti diurut-urut dan digoyang-goyang oleh lubang memek Nenek. Sekitar 10 menit, kubalik Nenek ke bawah lagi.
Kucabut penisku dan meminta Nenek nungging. Nenek melakukannya untukku, lalu kumasukkan penisku ke lubang memek Nenek dari belakang. Sambil memegang pinggul Nenek, kugenjot lubang memeknya.
Tak berapa lama lantas kucabut penisku dan kuletakkan penisku di depan lubang anus Nenek. “Ohhh… Jalll… shiittss… ohhh… Nenek jadi pengen berak, Jaaa..aallll… oohhh… ohhh… kamu masukin ke situ….”
Kuayunkan penisku perlahan keluar-masuk di lubang anus Nenek yang sempit sembari kutekan-tekan masuk semakin dalam. Ketika sudah lancar, aku kupompa lubang anus Nenek sampai air maniku keluar.
Aku dan Nenek terjerembab jatuh ke kasur dengan penisku masih tertancap di lubang anus Nenek dan peluh yang membasahi tubuh telanjang kami.
Sejak peristiwa itu persetubuhan aku dan Nenek bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi. Nenek sudah tua, aku ingin Nenek menikmati masa tuanya karena cucunya mengingininya dan mencintainya.
Kami melakukan persetubuhan dengan berbagai gaya. Nenek sudah seperti menjadi istriku. Hampir setiap hari kami bercinta. Tubuh kami yang telanjang bukan lagi menjadi masalah.
Kuingin mendayung terus kenikmatan itu bersama nenekku karena nenekku juga sangat menikmati persetubuhan kami ini. Apalagi Papi dan Mami tidak pernah curiga, maupun para tetangga…
6. Pagi Yang Indah
AKU jarang bangun pagi. Biasanya rumahku sudah sepi, sekitar jam 8 pagi aku baru bangun menikmati sarapan yang telah disediakan oleh pembantu kami, Yatmi.
Yatmi pandai memasak masakan yang enak-enak dan menjadi kegemaranku. Jadi aku tidak terlalu memperhatikan wanita berusia 30 tahun ini secara fisik dan sudah bekerja sekitar 7 bulan di rumah kami.
Aku baru menyadari payudaranya yang besar sewaktu kedua orangtuaku tidak berada di rumah dan aku harus bangun pagi mengeluarkan anjing dari kandang yang biasanya dilakukan oleh Mama.
Yatmi belum mandi. Ia sedang membuat sarapan di dapur, dan saat itu ia mengenakan celana ¾ dari bahan kaos berwarna biru muda yang tipis.
Di daerah pantatnya yang ketat dan semok nampak cetakan segitiga celana dalamnya dengan jelas, sedangkan dari bagian depan nampak payudaranya yang tidak tertutup BH itu menjuntai, tapi masih padat dan bulat.
Aku pun tertarik untuk mengganggu Yatmi dan mengurungkan niatku mengeluarkan Tongki dari kandangnya.
“Tumben bangun pagi, Mas Adis?” tanya Yatmi yang sedang berdiri di depan kompor membuat nasi goreng memandang aku dengan tersenyum padaku.
Aku juga baru menyadari bahwa Yatmi itu cantik dan wajahnya yang berkulit coklat sawo matang itu mulus tanpa bintik-bintik jerawat.
“Iya, mau keluarin Tongki dari kandang…”
“Kenapa semalam Mas Adis nggak pesan aku?”
“Kan aku pulang kamu sudah tidur, sayang… masa kamu lagi mimpi indah aku bangunin?”
“Hee.. hee.. lupa…” jawab Yatmi tertawa senang.
“Kalo kamu setahun tinggal di sini, berat badan aku bisa naik 10 kilo deh…” kataku mencoba memeluk Yatmi dari belakang. “Soalnya masakan kamu enak-enak…”
“Haa.. haa… masa iya sih, Mas Adis?” jawabnya tertawa tidak menolak pelukanku.
“Iya sih, kamu pintar masak. Coba saja kamu menjadi istri aku….”
“Haa.. haa.. masa Mas Adis mau sama aku yang badannya gemuk kayak gentong gitu, lagi pula pekerjaanku bukan di kantor, tetapi di dapur…”
“Justru bagus…” jawabku. “Kalau ditindih nggak cepat kempes…”
“Haa.. haa..”
“Mau nggak kamu, aku tindih?”
“Nggak! Kalau nanti ketahuan sama pacarnya Mas Adis, leher aku bisa digorok pakai parang!”
“Kalau aku jawab belum punya pacar, berarti mau dong aku tindih…? Tetekmu ini… waww… besar, aku suka…” kataku menaikkan satu tanganku memegang payudara Yatmi.
“Ihh… Mas Adis, jangan dong…! Aku sudah punya suami, nggak enak kalau ketahuan suami…”
“Suamimu di mana…? Entah suamimu ingat sama kamu apa nggak, kamu ingat sama suamimu. Jadi gimana dong kalau aku suka sama kamu?”
“Nggak…! Mas Adis bohong… Mas Adis main-main…”
“Ya ampun Mi…, masa kamu gak percaya sama aku sih?” kataku.
“Permisi Mas, nasi goreng sudah matang, aku mau ngambil piring…”
“Kamu tunggu di situ saja,” kataku. “Aku yang ambilin…” aku melepaskan Yatmi untuk mengambil piring menaruh nasih goreng yang sudah matang.
Yatmi menyendok nasi goreng yang baunya wangi itu dari kuali ke piring yang aku ambilkan untuknya. Nasi goreng dapat 2 piring, pas untuk aku dan Yatmi. “Makan dulu Mas, aku mau bersih-bersih alat masak dulu. Nanti Tongki biar aku yang keluarkan dari kandang…” kata Yatmi menaruh kedua piring nasi goreng di atas meja makan.
Aku berdiri memperhatikannya.
Setelah itu ia pergi ke tempat cuci piring.
Melihat pantatnya yang berkedut-kedut saat ia berjalan ke tempat cuci piring membuat tensi darahku semakin naik. Ia mau saja aku tindih, cuma ia jual mahal. Biasanya begitu wanita. Maka itu, aku kembali mendekati Yatmi.
Celana luarnya aku tarik turun. “Mas Adis… astaga!” seru Yatmi tidak menyangka tanganku begitu cepat menarik turun celananya.
Saat itu aku benar-benar kehilangan akal sehat dan tidak takut Yatmi berteriak-teriak memanggil tetangga. Aku secepatnya berlutut di lantai mencium belahan pantat Yatmi yang masih tertutup celana dalam kumal berwarna coklat muda. “Awwhh… Mas Adisss… awwhhh… awwhhh… Masss… Masss… aaahhh…” seru Yatmi tidak menolak ciumanku, malahan ia menghentikan pekerjaannya mencuci kuali, lalu nungging membungkukkan tubuhnya di depan tempat cuci piring.
Bau belahan pantat Yatmi justru membuat aku semakin napsu padanya. Aku tidak segan-segan lagi menarik turun celana dalamnya. “Agghh…” teriak Yatmi.
Aku tidak mau tunggu lama-lama lagi setelah pantat Yatmi telanjang. Aku membuka lebar belahan pantatnya, lalu aku menjilat anusnya. “Hessthh… hhhaahh… aaww.. awww… aahhh…“ erang Yatmi.
“Enak bukan, sayang?” kataku.
“Yeaa..ahh…haah…haah…” jawab Yatmi dengan napas tersengal.
Aku memeluk Yatmi. “Aku bukan menyiksa kamu,” kataku. “Tapi aku sayang sama kamu, oke?”
“Jangan di sini, Mas Adis… di kasur saja…” minta Yatmi.
Aku tidak perlu lama-lama membawa Yatmi ke tempat tidur. Jiwa Yatmi sudah hilang separuh saat tadi aku menjilat anusnya.
Di dalam kamar Yatmi, setelah aku melepaskan kaosnya, segera kucium teteknya yang sudah telanjang. Tetek yang masih padat merangsang kuremas-remas. Putingnya kecil, sedangkan areolanya melebar berbentuk bulat mengelilingi putingnya yang berdiri mencuat.
Terpaksa aku menjilat puting itu, karena setiap kali kuhisap puting itu terpeleset keluar dari mulutku.
Sampai ditahap ini, Yatmi sudah menyerahkan semuanya padaku, sehingga aku membaringkannya di kasur dan kulepaskan celananya sampai tubuhnya telanjang bulat tergolek di kasur, ia hanya berbaring pasrah. Dan ia juga sudah tidak peduli lagi aku telanjang bulat dengan batang yang mengacung tegang.
Aku beralih menjilat memeknya. Memek Yatmi berwarna coklat, bibir memeknya tembem dan tebal. Itu tandanya memek yang enak untuk dientot. Wanita sejenis Yatmi, aku nggak yakin kalau ia tidak pandai bergoyang memuaskan laki-laki di tempat tidur. “Massss… aa… aaa..a…” rintihnya.
Mulutku dan wajahku ikut kecipratan bau memek Yatmi, tapi lidahku seperti tidak mau diam dan terus mengolah memek Yatmi. Lubangnya aku tusuk dengan jari, lalu aku korek hingga ia menggelinjang-gelinjang sambil berteriak minta ampun, apalagi itilnya yang sudah membengkak keras itu aku hisap dengan kuat, tubuh Yatmi sampai bergetar hebat.
“Ooohhh….oooohhhh…. oooohhhh….. Masssss….. Massssss…. Maaa… aaaa… aasssszzz….. aaaahhhh…” erangnya orgasme.
Aku memeluk Yatmi. Yatmi memegang batang kontolku dan digesek-gesekkan ke belahan memeknya. Seterusnya aku mendorong pantatku ke depan. Blessss… sluupp… batang kontolku yang panjang dan besar itu menembus lubang memek Yatmi tanpa sisa. Sebelum aku mengocok, Yatmi sudah tidak sabar menggerakkan pantatnya maju-mundur naik-turun. Kontolku seperti menggilas memeknya yang basah itu. Rasanya sungguh nikmat.
“Enak gak, Mas?” tanya Yatmi. “Aku takut gak bisa memuaskan Mas…”
“Enak sekali, sayang… memek kamu rasanya kenyal dan legit, maka itu aku suka sama kamu, kita nikah…”
Yatmi mencubit pinggangku. “Mas Adis genit sih… aku sudah punya suami juga Mas Adis masih pengen…. bagaimana dengan suami aku, Mas…?”
“Justru memek yang masih gadis itu kurang lezat tau?”
“Weehhh…” Yatmi mencibir bibir.
Aku terus melakukan gerakan memompa. Masih pagi tubuhku dan tubuh Yatmi sudah keringatan. Apalagi memek Yatmi semakin lama semakin kuat menggilas kontolku. Aku mulai tidak tahan. Aku sodok lebih dalam lagi kontolku ke dalam memek Yatmi. Lalu, “Oohh… sayang… aku keluar.. aku keluar…”
“Jangan buang di dalam Mas, aku lagi subur…” teriak Yatmi.
Tapi air maniku sudah menyebar di memek Yatmi. Tidak cukup sekali aku menyetubuhi Yatmi pagi itu. Setelah aku rayu-rayu, aku dapat sekali lagi dan hari-hari berikutnya juga.
Kalau kamu ke rumahku melihat seorang anak kecil, itulah hasil hubunganku dengan Yatmi yang sekarang menjadi TKI di Hong Kong. Anak itu diurus oleh Mama.