Kumpulan Cerita Pendek
1. Kecil Dan Pendek
BEBERAPA hari ini, aku bingung, sedih dan tertekan. Masalahnya adalah ketika kami kemping beberapa hari yang lalu, kami mandi di sungai dan beberapa temanku membanding-bandingkan penis mereka siapa yang paling panjang dan paling besar dalam keadaan sedang menciut dan waktu sedang tegang.
Ternyata penisku paling kecil dan paling pendek dibandingkan penis Badrun, Ijul, Pendi, Nanok dan Khaled. Khaled yang keturunan Arab – India, penisnya paling besar dan paling panjang.
Aku malu sekali ditertawakan teman-temanku. Aku harus ngomong dengan Mama, kataku dalam hati, karena Mama yang melahirkan aku, pasti Mama yang paling tahu kenapa penisku kecil dan pendek.
“Miko, beberapa hari ini Mama melihat kamu cemberut melulu. Kenapa sih?” tanya Mama sebelum aku ngomong dengannya.
“Masalah besar, Ma!”
“Masalah besar? Masalah apa?” tanya Mama heran.
“Beberapa hari yang lalu, waktu kami kemping itu, kami mandi di sungai, beberapa temanku mengajak membanding-bandingkan alat kelamin…. kontol, Ma… “ kataku terus terang.
“Walaahhh…. kayak nggak ada kerjaan aja kalian ini…”
“Justru itu, Ma… kontol aku jadi bahan ketawaan teman-temanku, soalnya kontolku paling kecil dan paling pendek!”
“Buat apa kontol…. ee…ee… Mama ikut latah… besar dan panjang kalau nanti kamu punya istri nggak bisa menghasilkan keturunan, sayang? Apa kamu anggap semua wanita suka kontol yang besar dan panjang? Sakit tau nggak, masuk ke memek!” jawab Mama.
“Tapi aku kan malu Ma, diketawain sama teman-temanku? Aku dibilang mereka, bencong!”
“Buktikan sama teman-temanmu, bahwa kamu bukan banci!” kata Mama sewot.
“Maka itu Ma, kalau boleh… tolong lihat kontol aku ini supaya nanti aku nggak merasa rendah diri sama cewek-cewek,” kataku.
“Kalau kamu nggak malu sama Mama, ya sudah… mana, Mama lihat!” jawab Mama.
Mama mengajak aku duduk di sofa, sambil nonton televisi, lalu aku mengeluarkan penisku dari dalam celana pendekku untuk Mama lihat. “Alllaaaahhh… segitu sih nggak kecil dan pendek, sayang! Kalau tegang, bisa 14 atau 15 senti tuh!” kata Mama. “Coba kamu bikin tegang, Mama mau lihat!” suruh Mama.
“Malu ah Ma, Mama aja! Hitung-hitung bisa ngrasain dipegang sama cewek…” jawabku.
“Uuuhhh…. dasar!!” Mama mendorong jidatku dengan telunjuknya. “Ngomong aja pengen dipegang! Kunci pintu dulu sana!”
Aku bangun dari tempat dudukku pergi mengunci pintu rumah, lalu kembali ke tempat duduk Mama. “Lepaskan celana kamu, baring sini!” suruh Mama.
Aku melepaskan celana pendekku, kemudian membaringkan tubuhku di sofa dan kepalaku kutaruh di paha Mama.
Mama menjulurkan tangan kirinya mulai membelai penisku yang masih lembek sambil tangan kanannya memegang remote control untuk mengganti-ganti chanel televisi.
Karena malu, aku tidak berani mengajak Mama ngomong. Aku hanya memejamkan mata saja menikmati elusan tangan Mama pada kontolku. Setelah beberapa saat dielus dan diremas Mama, penisku pun mengacung tegang.
“Tuh, coba lihat berapa panjang. Ngukur pakai penggaris!” kata Mama mengomentari penisku.
“Teman-teman aku sih yang bilang pendek! Kalau Mama bilang cukup segitu ya sudah, aku percaya sama Mama.” jawabku.
“Bangun, pakai kembali celanamu!” perintah Mama kemudian.
“Ahh… Mama, pegang lagi dong… enak!” kataku.
“Tuh lihat sudah jam berapa? Adikmu sebentar lagi pulang les. Kapan-kapan lagi aja, Mama nggak pergi kemana-mana ini…” kata Mama.
“Sebentar aja, Ma!”
Mama tidak bisa menolak permintaanku. Tangan Mama menggenggam batang kontolku, lalu dikocok pelan-pelan. Kocokan Mama yang ringan pada kontolku seperti dibelai dan dielus membuat aku keenakan.
“Ee.. ee.. Mama… enak sekaliii… “ rintihku dengan napas terengah-engah. “Kocok terus, sampai maninya keluarr… Ma…”
Mama berganti posisi. Mama bangun dari tempat duduknya dan meletakkan bantal sofa di bawah kepalaku supaya aku bisa berbaring dengan nyaman.
Mama mengocok penisku lagi dengan irama yang lebih cepat sambil berdiri membungkuk di samping sofa tempat aku berbaring.
“Ooo… Mama, enak sekali kocokannya. Terima kasih, Mama….” desahku.
“Spermamu pasti keluarnya banyak nih, Mik! Burungmu tegang sekali. Ayo, keluarkan, Mama pengen lihat…” ujar Mama. Suaranya menunjukkan ia sepertinya terasang dengan penisku.
Batang penisku di arahkan Mama ke perutku. Genggaman dan kocokannya semakin cepat. “Uuughhhh….. ooooogghhh….” erangku ketika air maniku menyembur di perutku.
Crroottt…. crroottt…. crrooottt… crroottt…
Mama terus mengocok penisku. “Teruss… keluarkan lagii… lagii… uugghhh…. “ desah Mama, sampai air maniku berhenti menyembur, Mama baru menghentikan kocoknya.
Mama tersenyum memandangku. Entah apa air senyuman Mama. Mulut Mama kemudian mengecup kepala penisku yang masih tersisa air maninya. (*)(*)
2. Kawah Nikmat Ibuku
SELESAI ujian, secepatnya aku keluar dari ruang ujian menuju ke tempat parkir sepeda motor. Aku ingin pulang cepat. Perutku lapar sekali karena tadi pagi sebelum berangkat ke kampus aku hanya sarapan sedikit.
Kupacu sepeda motorku di jalan raya yang tidak macet siang itu. Karena aku bukan tinggal di daerah yang merupakan sumber kemacetan. Aku tinggal di desa yang aman tentram dan udaranya sejuk.
Tak lama kemudian akupun sampai di rumahku. Kulihat di depan pintu rumahku berjejer sepasang sandal jepit berwarna hitam. Sepertinya ada tamu di rumahku…
Sebelum masuk ke rumahku kucopot sepatuku terlebih dahulu. Saat itu kudengar Ibu sedang ngobrol dengan seseorang di kamar. “Buu..uukk…” panggilku supaya Ibu tidak kaget sewaktu aku menemuinya di kamar nanti.
“Iyaaa… Mas, Ibuk disini, lagi diurut…” jawab Ibu dari kamar.
Ada apa Ibu diurut, tanyaku dalam hati. Apakah selama ini aku tidak tahu kalau Ibu sering ngurut, karena aku sering kuliah sampai sore?
“Kok sesiang ini sudah pulang, Mas?” tanya Ibu sewaktu kusibak kain yang menutupi pintu kamar.
Aku tidak tahu kalau Ibu sedang bertelanjang dada tengkurap di tempat tidur. Tetek Ibu yang besar tampak gepeng tertindih di kasur, dan punggung Ibu sedang diurut Mbak Ninih, seorang waria pemilik salon di desaku.
Mbak Ninik yang berusia sekitar 40 tahun ini dibilang waria, ia akan marah besar. Mbak Ninik tidak mau disebut waria, karena postur tubuhnya bukan postur tubuh laki-laki, kekar, bukan. Tetapi lembut, mulus dan Mbak Ninih punya tetek yang montok di dadanya. Namun suaranya tidak bisa membohongi khalayak ramai.
Aku tertegun sejenak di depan pintu, baru kemudian kujawab Ibu. “Ujiannya cepat, Bu…”
“O… waktu gak terasa ya, Bu.” Aku sudah mau pergi dari kamar Ibu karena takut Ibu risih denganku, tetapi Mbak Ninih merespon jawabanku. “Wilya sudah kuliah… dulu masih SMP suka mandi telanjang di sungai dengan teman-temannya. Masih ingat gak, Wil…?” kata Mbak Ninih memandangku.
Cantik memang Mbak Ninih. Parasnya licin dan mulus bak pualam. Mbak Ninih pernah menikah, tapi sekarang sudah pisah. Aku tidak bisa membayangkan dulu Mbak Ninih bercumbu dengan pasangannya dimana. Di lubang anuskah…???
“Sekarang besar juga masih…” sambung Ibu.
“Ah Ibuk… Ibuk buka rahasia aku saja…” kataku. “Laper, Buk…”
“Makan, Ibuk sudah siapkan di meja.” jawab Ibu. “Nanti sesudah makan, bawain air minum untuk Mbak Ninih ya, Mas…”
Aku pergi ke kamarku dulu untuk menaruh tas kuliahku dan menukar pakaianku. Aku hanya pakai celana boxer dan kaos tanpa lengan.
Setelah itu aku pergi ke kamar mandi untuk kencing dan membasuh wajahku. Kemudian aku pergi ke dapur untuk makan.
Aku makan tak lebih dari 15 menit. Lalu aku ambil air kemasan biar gampang diminum oleh Mbak Ninih dengan sedotan. Tetapi sewaktu aku menyibak kain yang menutupi pintu kamar Ibuk, uu..uwaa..aahhh…. Ibu masih tengkurap di tempat tidur, tetapi sudah berbeda dengan yang tadi. Ibu sekarang diurut tubuhnya oleh Mbak Ninih dengan telanjang bulat, ohhh…
Aku bukan terkejut lagi melihatnya, tetapi sekujur tubuhku gemetaran, urat syarafku tegang dari ujung rambut sampai telapak kaki hingga tidak kuat untuk menginjak lantai.
“Bu..uukk…” suaraku sampai gemetar saat memanggil Ibu. “Air minum untuk Mbak Ninih mau taruh dimana?”
“Taruh di meja disini…” jawab Ibu.
Aku mau tidak mau harus masuk ke kamar Ibu, tidak bisa tidak. Saat aku menaruh air minum di meja, mungkin Mbak Ninih juga sengaja supaya aku bisa melihat vagina ibuku, Mbak Ninih membuka lebar kaki ibuku.
Vagina ibuku terlihat berwarna gelap dibandingkan dengan warna di sekitar pahanya. Bulu-bulu hitam mengelilingi bibir vaginanya yang telihat sudah layu dan tertutup rapat.
“Sudah semester berapa kamu kuliah, Wil…?” tanya Mbak Ninih membuat aku tidak bisa segera pergi dari kamar Ibu.
“Masih lama Mbak, baru semester 2…”
“Kalau keluar main terus ya lama…” sambung Ibu tidak resah gelisah dengan tubuhnya yang telanjang dilihat olehku. “Perhatikan dong bagaimana caranya Mbak Ninih ngurut, kapan-kapan kan kamu bisa ngurut Ibuk…” kata Ibu, membuat aku bertambah tidak bisa pergi dari kamar Ibu.
“Nggak susah, dilihat sebentar juga bisa…” jawab Mbak Ninih mengurut bagian dalam paha ibu dan kulihat bibir vagina Ibu juga ikut diurutnya.
Urat syaraf di sekujur tubuhku tambah menegang melihatnya, apalagi kemudian Mbak Ninih menyuruh Ibu balik terlentang, hufff…
Tok… tok… tok…
“Buk… Buk Yana…. assalamualaikum, Buuu…”
“Coba keluar sebentar lihat siapa yang manggil Ibuk…” kata Ibu padaku.
Aku tidak kenal dengan wanita yang berdiri di depan pintu rumahku. “Mau tanya, Dek…” kata perempuan berkerudung itu.
“Iya, Bu…” jawabku.
“Mbak Ninih lagi ngurut Bu Yana, ya…”
“Iya…”
“Tolong ngomong sama Mbak Ninih, lagi dicari saudaranya…. assalamualaikum…”
Wanita itu pergi, aku tidak segera masuk ke kamar memberitahukan pada Mbak Ninih, karena sesampai aku di depan kamar, aku melihat Mbak Ninih lagi meremas-remas tetek Ibu.
Dari tetek, Mbak Ninih mengurut perut Ibu. Hanya sebentar Mbak Ninih mengurut perut Ibu, karena Mbak Ninih lebih mengutamakan selangkangan Ibu. Sebentar diurut saja, Ibu sudah meliuk-liukkan pinggulnya nggak karuan-karuan…
“Mbak Ninih…”
“Iya…”
“Di suruh pulang, tuh… lagi ditungguin saudara Mbak Ninih…” kataku berdiri di depan pintu kamar.
“Pulang aja…” suruh Ibu. Napas Ibu terasa berat, mungkin tidak tuntas pelampiasannya saat kelentitnya diurut Mbak Ninih.
Mbak Ninih segera membersihan tangannya yang berminyak dengan handuk kecil, lalu mengemasi barang-barangnya dan dimasukkan ke dalam tas.
Ibu yang sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur memegang kain yang menutupi tubuh telanjangnya memanggil aku. “Tolong ambilin tas Ibuk di meja, Mas…”
Saat aku memberikan tas pada Ibu, Ibu melepaskan kain yang dipegangnya untuk mengambil duit di tasnya. Akhirnya terbuka telanjang juga dada Ibu dengan tetek besarnya yang sudah melorot menggantung, tetapi putingnya yang berwarna coklat dan dilingkari oleh bulatan berwarna coklat pula, nampak masih sangat menjanjikan. Tegang!
Aku tidak menemani Mbak Ninih keluar dari kamar Ibu, karena takut Ibu keburu berpakaian. “Aku mau, Buk.” kataku pada Ibu.
Ibu tidak menjawabku. Ibu mengambil bantal kepala dan merebahkan tubuhnya ke kasur dengan posisi kedua kakinya menggantung di tepi tempat tidur.
Diam.
Sunyi senyap.
Itulah sebabnya aku berani membuka kain yang menutupi tubuh telanjang Ibu dan menunduk mencium bulu-bulu hitam di gundukan selangkangannya. Ibu membiarkan.
Keberanianku bertambah. Aku membuka lebar paha Ibu dan Ibu tetap diam, ia malah mendesah, “Sshhee… ahhh…” saat kujilat permukaan vaginanya dengan lidah. “Dasar cah gemblung…” kata Ibu. “Ngentot Ibuk…”
“Ibuk juga suka kan..?” jawabku sembari kulepaskan pakaianku. Semuanya, bertelanjang bulat bersama Ibu.
Takut Ibu berubah pikiran, segera kuposisikan ujung penisku yang tegang di depan lubang vagina Ibu. Tak bisa aku mundur lagi saat kudorong penisku masuk mencucuk lubang vagina Ibu.
Sreettttt… lancar sekali dan lurus seperti jalan tol kawah Ibu itu. Aku menyetubuhi ibuku. Kutarik-dorong penisku di lubang vagina Ibu yang basah dan licin. “Lain kali sudah gak usah diurut lagi mpek Ibu,” kataku sambil menyetubuhi Ibu. “Sudah ada kontolku…”
Ibu tidak menjawab, tapi ia menikmatan setiap tikaman batanf penisku yang menghujam ke lubang vaginanya. Kujilat leher Ibu. Kucium bibirnya. Kuremas teteknya yang lembut sampai air maniku terasa mau keluar.
Aku percepat tikamanku, karena lubang vagina Ibu sudah sangat licin banyak lendirnya dan disamping itu saking semangatnya aku menyetubuhi ibu, sampai-sampai batang penisku terpeleset keluar dari lubang vagina Ibu dan Ibu memasukkannya lagi dengan tangannya.
Beberapa detik kemudian sudah tak terbendung lagi air maniku yang ingin terdesak keluar dari penisku. Segera kuperdalam tusukanku pada lubang vagina Ibu.
“Akhh… akkhh… akhh…akhh… akkhh…” teriak Ibu merasa rahimnya tertikam penisku.
Ibu menarik napas dalam-dalam saat kutembak rahimnya dengan air mani. Thessss… crrooottttt…. crroootttt…. crroooottt…. bukan sembarang air mani. Air mani yang keluar dari penis anak lelakinya sendiri. Crrooottttt…. crroootttt…. crroooottt…. crrooottttt…. crroootttt…. crroooottt…. masih keluar saja.
“Huhhh… Massss…. enak bangettt….” kata Ibu tersenyum memandangku dengan mata berbinar-binar. Ibu lalu mencium bibirku dan memeluk aku erat-erat membiarkan penisku tetap berada di dalam vaginanya.
Bukan hari ini saja, tetapi setiap hari. Kian hari vagina Ibu semakin legit saja. Ibu juga menyuruh Mbak Ninih mencukur bersih bulu zembutnya supaya vaginanya yang diberikan untuk anaknya itu tampak lebih cantik dan menggairahkan birahi anaknya…3. Kekasih STW-ku
PAMANKU menyuruh aku tinggal di rumahnya, daripada rumahnya rusak lama tidak ditinggali. Mau dijual tidak laku karena harganya terlalu tinggi, sedangkan pamanku pindah ke rumah barunya. Tetapi aku punya tanggung jawab harus membersihkan dan merawat rumahnya.
Pagi itu aku hendak pergi kuliah. Baru saja kubuka pintu pagar, seorang tante-tante menghampiriku. “Dek, mau tanya, di rumah ini pakai air PAM atau pakai air pompa?”
“Pakai air pompa, Tante.”
“Tante minta air boleh, Dek… soalnya air PAM di rumah Tante gak ngalir.”
“O… boleh… boleh, Tante… silahkan. Coba aku cari selang dulu, Tante…” kataku segera pergi membuka pintu rumah dengan kunci yang kubawa untuk mencari selang air.
Si Tante beruntung, tidak perlu lama aku mencari sudah kudapatkan selang air di gudang dan tinggal dipasang di kran air yang terdapat di depan rumah untuk mengalirkan air ke rumah si Tante.
Si Tante senang bukan main dan dari situ aku tahu bahwa suaminya sudah susah berjalan karena stroke dan mereka hanya tinggal berdua di sebelah rumah pamanku.
©© ® ©©
Sejak pagi itu hidupku berubah total. Aku suka mendapat jatah makanan dari Tante Sofiani ditambah dengan suaminya senang nonton bola sama dengan aku, maka aku tidak segan-segan datang ke rumahnya nonton televisi ngambil ngobrol politik dengan suaminya.
Kadang-kadang Tante Sofiani ikut nimbrung, kadang-kadang tidak. Om Sukotjo, suami dari Tante Sofiani dulunya seorang pegawai bank. Karena beliau sakit, beliau diberhentikan dengan hormat. Mereka sudah punya cucu 2 orang dari anak tunggalnya. Anaknya tidak tinggal di sini, tetapi di Singapura, karena anaknya bekerja di sana.
Malam itu hampir jam 10 malam aku sudah mau angkat kaki dari rumah Om Sukotjo, tetapi tiba-tiba Tante Sofiani bangun tidur keluar dari kamarnya dengan rambut kusut memakai daster tipis tanpa lengan.
Mau menatap aku takut Om Sukotjo memelototi aku, tidak menatap membuat aku tidak tahan melihat bayangan indah yang terpancar dari daster berwarna pink milik Tante Sofiani.
Payudaranya yang bergoyang-goyang menggantung begitu jelas kelihatan dan bisa jadi Tante Sofiani tidak memakai celana dalam karena tercipta bayangan hitam di sekitar pangkal pahanya.
Bayangan erotis dari wanita berusia 55 tahun ini kubawa sampai aku mimpi basah malam itu karena Tante Sofiani bagaikan magnit bagiku. Ia awet muda, kulitnya juga bersih dan mulus.
Lewat beberapa hari kemudian, pagi itu ia datang ke rumahku membawakan aku sepiring nasi goreng untukku sarapan pagi.
“Kamu betah amat ya Priyo sendirian di rumah?” katanya sudah memanggil namaku, bukan Dek lagi.
“Habis… Tante nggak mau temani aku sih…” jawabku berani.
“Maksud Tante anak muda gitu lho… masa Tante yang sudah tua begini sudah keriput dan sudah alot nemani kamu…?”
“Tua tapi kan Tante sudah berpengalaman… siapa tau pengalaman Tante bisa Tante transfer ke aku…”
“Berpengalaman apa?”
“Pengalaman bercinta dong… Tante mau nggak bercinta dengan aku…?” tanyaku.
“Tante masih bau dapur begini…” gumamnya.
Aku datang memeluknya dari samping dan kucium pipinya. “Jangan gitu ah, nanti ketahuan warga gak enak…”
Tapi kucium bibirnya ia tidak menolak aku. Bahkan ia berani melumat bibirku, akupun membalas melumatnya sehingga bibir kami saling berputar ke kiri saling berputar ke kanan. Tanganku tidak bisa tinggal diam lagi. Tanganku masuk belakang celana dalamnya dan kuremas-remas pantatnya yang montok itu.
“Ah, jangan di sini melepaskan celana dalam Tante, di kamar aja.” katanya.
Apa yang mau kutunggu lagi? Aku segera membawa Tante Sopiani ke kamarku.
Di kamarku Tante Sopiani melepaskan dasternya. Ia melepaskan BH-nya aku tidak sabar lagi melihat kedua teteknya. Kedua teteknya mulai kujadikan sasaran sentuhan dan remasan tanganku. Memang buah dadanya itu sudah tidak kencang, tetapi karena ukurannya yang tergolong besar masih membuatku bernapsu untuk meremas-remasnya.
Puas meremas-remas, aku mulai menjilati pentilnya secara bergantian dan dilanjutkan dengan mengulumnya dengan mulutku.
Rupanya perlakuanku itu membuat gairah Tante Sopiani menjadi naik. “Seessshh… ooohh, Priyooo… sshh…ssh… akhhh…”
Dengan mulut masih mengenyoti susunya secara bergantian kiri dan kanan, tanganku mulai menyelusur ke bawah ke perutnya. Setelah itu turun ke pusernya, lalu kuketemukan busungan membukit di selangkangannya.
Aku segera mencopot celana dalam Tante Sopiani yang masih tersisa di tubuhnya. Kini tubuh Tante Sopiani yang kubayangkan sampai keluar air mani itu terhampar di hadapanku. Kemaluannya yang hanya sedikit ditumbuhi rambut itu terasa hangat ketika aku mulai mengusapnya.
Rupanya ia keenakan. Ia mulai menggelinjang. Kakinya dibukanya lebar-lebar memberi keleluasaan padaku untuk melakukan segala yang yang kuiinginkan.Terlebih ketika jari telunjukku mulai menerobos ke celahnya. Lubang vaginanya sangat hangat.
Aku jadi makin bernapsu untuk mencolok-coloknya. Tidak hanya satu jari yang masuk tetapi jari tengahku juga ikut bicara. Ikut menerobos masuk ke lubang kenikmatan Tante Sopiani, tetangga yang baru kukenal sekitar 2 bulan itu.
“Ah,.. Priyo, Tante sudah tidak kuat…” rengeknya manja. “Masukin Priyo batangmu ke memek Tante…”
Maka tubuhku ditarik dan menindihnya. Dasar belum punya pengalaman sedikitpun dengan wanita. Kendati telah menindihnya, aku lupa melepaskan celana pendekku. Mana penisku bisa menerobos lubang kenikmatan Tante Sopiani?
Huff… malunya aku sewaktu Tante Sopiani yang memperosotkan celana pendekku lalu membimbing penisku dan diarahkannya tepat di lubang vaginanya.
“Sudah, dorong masuk tetapi pelan-pelan. Soalnya Tante sudah lama tidak melakukan seperti ini,” bisiknya di telingaku.
Untung Tante Sopiani cukup sabar menunggu aku memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Srettt… sreettt… srettt… aku harus mendorong beberapa kali, akhirnya aku yang tidak sabar karena sudah terlanjur naik ke ubun-ubun gairahku. Dengan sekali sentak, bleessss….
“Auuuhhh…. pe..pelan-pelan Priyo, shhh.ssh ..ah..ah…” jerit Tante Sopiani.
“Ma ma.. maaf Tante…”
“Iya…iya. Soalnya besar sekali punyamu Priyo…”
“He.. he..”
“Ughhh… ketawa lagi…” kata Tante Sopiani mencolek pipiku. “Tante sudah bisa jadi nenekmu tapi masih mau dientot juga. Masih enak gak memek Tante?”
“Enak sangat, Tante.” jawabku merasakan nikmatnya denyutan vagina Tante Sopiani pada penisku yang amblas tertancap di lubang vaginanya.
Lalu aku mulai memaju-mundurkan penisku ke lubang vagina Tante Sopiani sambil kuremasi kedua payudaranya bergantian.
Desah nafas Tante Sopiani semakin melaju kencang dan ia mulai menggoyang-goyangkan pantatnya mengimbangi tusukan penisku yang bertubi-tubi ke lubang kenikmatannya itu. Akibatnya baru beberapa menit permainan berlangsung aku sudah tak tahan.
Betapa tidak, penisku yang berada di liang vaginanya yang terasa dijepit oleh dinding-dinding kemaluannya itu terasa seperti diayun-ayun, diombang-ambingkan, diremas-remas, dipelintir-pelintir dan diurut-urut.
“Aduhh.. ah.. aku tidak tahan, Tante… ah,..ah..ah.. aaaaaahhh…”
“Biarin… rasain…” katanya menggodaku.
Akan tetapi ketika kuhentakkan penisku dengan kuat, mata Tante Sopiani segera terbelalak lebar merasakan semprotan air maniku yang hangat ke rahimnya yang membeku kedinginan sekian tahun itu, crooottt… croottt… crroott… croottt… croottt… crooottt… croottt…
Indah dan melayang tinggi perasaanku saat itu. Setelah itu aku terkapar di atas tubuh Tante Sopiani. Cukup lama aku menindihnya dan ia memelukku erat.
Inilah pengalaman persetubuhan pertamaku yang sungguh nikmat dan menggairahkan meskipun melakukannya dengan seorang wanita STW yang lubang vaginanya sudah seret, tapi kulihat Tante Sopiani sangat bahagia.
“Maaf Tante… cepat sekali,” kataku.
“Tidak apa-apa cuma sebentar.” jawabnya menghiburku yang berbaring di sisinya sambil menenangkan gemuruh di dadaku. “Kalau nanti dilatih terus pasti bisa bertahan lebih lama.”
“Apa Tante mau menyediakan lahan untukku berlatih?” tanyaku.
Tante Sofiani memelukku dan menciumku mesra.
©©®©©
Lewat beberapa hari aku melihat Om Suko dibawa pergi oleh seorang wanita bermobil mewah. Kususul ke rumah Tante Sopiani setelah mobil mewah itu pergi.
“O… itu adiknya,” kata Tante Sopiani yang baru mau pergi mandi dan tubuhnya dibalut handuk.
“Om Suko mau dibawa ke mana, Tan?” tanyaku.
“Mau dibawa terapi…”
“O… kayaknya aku juga mau diterapi nih, Tante…”
“Selesai mandi dulu.” jawabnya.
Tetapi aku menariknya ke kamar ia mengikutiku tanpa menolak, hanya mulutnya saja yang ngedumel. “Ahh… kamu, gak sabaran ya…”
Ia melepaskan handuknya naik ke atas ranjang. Tante Sofiani tidur sendirian di kamar ini, sedangkan Om Suro berada di luar tidur di dipan yang lebih rendah. Penisku langsung melenting tegak saat kuturunkan celana pendekku melihat posisi paha Tante Sopiani yang mengangkang, dan segera kudekati bagian bawah tubuhnya tepat di antara kedua pahanya.
Ah, liang sanggamanya sudah banyak kerutan terutama di bagian bibir kemaluannya. Warnanya coklat kehitaman. Bahkan ada bagian dagingnya yang menggelambir keluar.
“Malu ah memekku yang sudah jelek dipelototi begitu sama kamu…” katanya menutupi kemaluannya dengan tangannya.
Tetapi segera kusingkirkan tangannya lalu kusambut vaginanya dengan mulutku. “Arggh… jorok kamu!!” jeritnya mencoba menolak kepalaku. Aku tetap nekat, mulut dan lidahku tambah liar menggeremusi dengan gemas liang sanggamanya.
Bau vaginanya tidak membuatku jijik. Baunya sangat menyengat, entah mirip bau apa, sulit kucarikan padanannya.
Hidungku semakin kudekatkan untuk lebih membauinya dan lidahku kugunakan untuk menyapu bagian luar bibir vaginanya. Akibatnya ia menggelinjang dan mendesah. “Shhh… akhhh… shhh,. shhhh… akhhhh…”
Mulutnya mendesis seperti orang kepedesan. Mulut dan lidahku yang meliar ke bagian dalam vaginanya menimbulkan sensasi nikmat tersendiri untuknya. Berkali-kali ia mengangkat pantatnya dan membuat lidah dan mulutku semakin menekan dan menekan ke kedalamannya. Ludahku yang membanjiri lubang vaginanya menjadikan lubang nikmatnya sangat basah.
Kemudian kumasukkan kedua jariku mengorek-oreknya rahimnya sambil lidahku mulai melakukan sapuan ke lubang duburnya hingga ia kian menggelepar dan menggelinjang, tetapi sempat ia mengedumel juga.
“Apa-apaan ini, Priyo… itu untuk ngeluarin kotoran, masa dijilat dengan lidah sih, hiii… uhhh… ahhh… shhh..shhh… ahh, Priyoooo…”
Dan hanya perlu beberapa menit sapuan yang kulakukan, tubuhnya telah mengejang. Kedua pahanya menjepit kencang kepalaku disusul dengan mengejutnya dubur dan lubang vaginanya.
“Ohhh… ooohh… oohhh… ooohhh… Tante enak, Priyo… Tante enak…”
Tiba-tiba, cuusss… entah kenapa aku tidak menghindar justru secara refleks aku membuka mulut menampung air kencing Tante Sopiani yang hangat dan gurih itu meskipun harus membuat kain sepreinya sedikit basah karena tidak semua air kencingnya tepat nyemprot ke mulutku.
Kubiarkan ia sejenak beristirahat untuk meredakan nafasnya yang memburu sambil aku menelan air kencingnya secara perlahan-lahan untuk merasakan sensasinya yang bagaikan air soda beraroma blueberry yang nikmat dan menyegarkan. Setelah itu alu aku mulai menindih tubuhnya ketika ia menyatakan siap untuk melakukan kegiatan persetubuhan denganku.
Kali ini penisku gampang menerobos masuk ke lubang intim kekasih STW-ku itu dan mulai kunaik-turun keluar-masuk di liang sanggamanya. Bunyinya khas kcepak-kcepok membuatku tambah bergairah. Sementara tanganku tak henti-hentinya meremasi susu-susunya. Pentil susunya yang besar dan mengeras kusedot-sedot dengan mulutku. Itu membuatnya keenakan dan kembali mendesah.
Ia tak mau kalah. Pinggulnya mulai digoyang. Pantat besarnya dijadikan landasan untuk memacu. Jadilah benda keras panjang milikku yang berada di dalamnya kembali diombang-ambing, diserut, diurut, dipelintir oleh gesekan dinding vaginanya.
Goyangan pinggul dan naik-turunnya tubuhku di bagian atas sepertinya seirama. Terasa syuur, dan ah, nikmat sekali.Tak lupa, sesekali bibirnya kucium. Ia membalasnya lebih hangat. Lidahku disedotnya nikmat. Jadilah kami bak sepasang kekasih yang tengah melayari samudera cinta. Saling berpacu dan saling memberi kenikmatan.
Aku tak peduli lagi bahwa yang tengah kusetubuhi adalah wanita yang masih punya suami dan wanita yang layak kupanggil nenek.
Selama ini aku menghormatinya karena penampilannya yang selalu nampak santun. Tak kusangka ia menyimpan bara yang siap melelehkan. Liang nikmatnya mulai berdenyut-denyut kembali. Mungkin ia akan kembali orgasme untuk yang kedua kalinya.
Goyangan pinggulnya semakin kencang dan tidak teratur. Maka sodokan penisku ke lubang nikmatnya juga semakin garang. Menghujam dan menukik seolah hendak membelah bagian bawah tubuhnya.
Puncaknya, ketika ia mulai merintih dan kian mendesah, tanganku mulai menyelinap ke pinggulnya dan menyelusup ke pantatnya. Di sana aku meremas dan mencari celah agar dapat menyentuh duburnya. Dan setelah terpegang, jari telunjukku menyelusup ke lubang anusnya.
Akibatnya matanya seperti membelalak dan hanya menampakkan warna putihnya saja. Dirangsang di dua lubangnya sekaligus membuatnya seperti cacing kepanasan.
Maka ketika tubuhnya semakin mengejang, dan tubuhku dipeluknya erat jari telunjukku kutusuk semakin dalam ke lubang duburnya. Sedangkan penisku kubenamkan sekuatnya di vaginanya.
Jadilah pertahanan wanita itu ambrol, vaginanya kian berdenyut dan menjepit sementara erangannya semakin kencang dan bahkan berteriak. Saat itulah penisku menyalak menembakkan peluru andalanku ke rahimnya sebanyak-sebanyaknya.
Crooottt… croottt… crroott… croottt… croottt… crooottt… croottt… crroott… croottt… croottt… crooottt… croottt…
Karena saking banyaknya spermaku mengguyur, saat kulepaskan penisku kulihat air maniku meleleh keluar dari mulut kemaluannya yang terbuka menganga.
“Terima kasih ya, Priyo… Tante puas banget deh…” katanya.
Siang itu 4 ronde permainan kuhabiskan sampai kami terkapar kelelahan di ranjang. Ada rasa ngilu dan tulang-tulangku seperti mau lolos dari persendiannya, tapi kami sama-sama puas dan bahagia.
Tidak ada tetangga yang tau jika aku menjadi brondongnya Tante Sopiani sampai aku lulus S1 lalu meninggalkan rumah pamanku yang telah memberikanku kenangan dan pengalaman yang paling indah melayari samudera cinta bersama Tante Sofiani.
Empat tahun bukan waktu yang pendak dan entah berapa banyak air maniku kulepaskan ke lubang vagina Tante Sopiani, tetapi aku sangat mujur karena setelah aku menikah istriku bisa melahirkan dengan sempurna seorang bayi yang sehat dan lucu.
4. Pagar Makan Tanaman
MA’RUF adalah sahabat baik Amir di sebuah klub sepak bola. Berhubung sekarang ini sedang heboh Piala Dunia U-20, maka sampai di kampung-kampung pun demam sepak bola. Dan pada sore itu klub sepak bola Ma’ruf sedang bertanding melawan kesebelasan dari kampung lain. Di tengah pertandingan terjadi kecelakaan… kaki Amir terkilir.
Terpaksa Ma’ruf dan Amir harus keluar dari lapangan, dan Ma’ruf segera melarikan Amir ke rumahnya, karena kata Ma’ruf ibunya bisa mengurut kaki Amir yang terkilir.
Memang sehari-hari pekerjaan ibu Ma’ruf adalah tukang urut, tetapi tukang urut spesialis perempuan, bukan tukang urut laki-laki, tetapi taunya Ma’ruf, ibunya bisa mengurut. Titik.
Ibu Ma’ruf, atau biasa dipanggil Bu Hartati mau saja mengurut kaki Amir, karena Amir bukan orang lain bagi Bu Hartini. Amir adalah teman baik anaknya, dan Bu Hartati juga sudah kenal baik dengan Amir.
Masa hanya kaki terkilir saja tidak mau ditolong, karena kaki terkilir bukan masalah besar seperti tulang retak atau tulang patah. Bu Hartati yang mau pergi ke acara arisan pun membatalkan acaranya.
“Mandi dulu sana, Bro…” suruh Ma’ruf pada teman baiknya itu sebelum kaki Amir diurut sambil menyerahkan kaos, sarung, dan handuk pada Amir. “Lo gak usah malu sama nyokap gua, lo kan sudah sering ke sini.” kata Ma’ruf.
Amir segera pergi ke kamar mandi membawa kaos, sarung, dan handuk. Masuk ke kamar mandi Amir langsung merasa kakinya yang terkilir tidak sakit begitu dilihatnya BH berwarna hitam di ember dan satu lagi BH berwarna coklat tergantung di belakang pintu kamar mandi.
BH di ember diyakini oleh Amir adalah milik kakaknya Ma’ruf karena lebih kecil cup BH-nya dibandingkan dengan cup BH yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. Sedangkan BH yang tergantung di belakang pintu kamar mandi adalah BH milik Bu Hartati karena bentuknya yang besar sesuai dengan badan dan payudara Bu Hartati yang juga besar.
Baunya juga beda ketika dicium oleh Amir. BH yang kecil berbau parfum, sedangkan BH yang besar bau keringat. Selain itu Amir juga menemukan celana dalam.
Amir merasa sangat beruntung sore itu karena sudah lama ia memendam cinta pada kakak Ma’ruf yang cantik putih berkaca mata minus itu. Sekarang ia tidak hanya menemukan BH-nya saja di kamar mandi, tetapi juga celana dalamnya dan Amir bisa menikmati bau memek Mawarni yang menempel di celana dalam mininya itu.
Sambil mengocok penisnya yang tegang Amir mencium-cium dan menyedot-nyedot celana dalam Bu Hartati yang berbau kencing dan bau keringat, sedangkan celana dalam Mawarni, berbau amis, karena terdapat lendirnya.
“Ugghhh….” Amir mengeluh. Crooottt…. crrooottt… crrooottt….
Amir sebenarnya bukan anak muda yang baik-baik saja seperti yang dikenal Ma’ruf selama ini. Amir adalah anak yang terbuang dari keluarganya yang tercerai-berai.
Untung Amir bisa menamatkan SMA-nya lalu ia kabur dari kampung halamannya, dan sekali lagi Amir beruntung. Ia cepat mendapat pekerjaan di sebuah pabrik konveksi rumahan yang pada waktu itu membutuhkan seorang penjaga pabrik.
Di pabrik itu juga tinggal Mas Lukman dan istrinya, Mbak Ajeng serta 1 anak mereka yang berumur 5 tahun. Status Mas Lukman dan istrinya bukan pemilik pabrik, melainkan sama dengan Amir, sebagai penjaga pabrik sekaligus Mas Lukman sebagai driver mobil box.
Dan dari Mas Lukmanlah kemudian Amir kenal dengan Ma’ruf, karena Mas Lukman sering main bola dengan Ma’ruf dan Ma’ruf merasa cocok dengan Amir meskipun Ma’ruf adalah seorang anak kuliahan.
Kemudian…
Tidak lama Amir bekerja di pabrik konveksi itu Amir terlibat affair dengan Mbak Ajeng, karena Mas Lukman kalau keluar kota membawa pesanan barang ke pelanggan, biasanya tidak pernah sebentar sudah pulang ke rumah, melainkan kadang-kadang sampai 2 minggu baru pulang.
Tinggal Amir dan Mbak Ajeng serta anaknya saja yang di rumah kalau karyawan semua sudah pulang. Amir ngobrol berdua dengan Mbak Ajeng, makan berdua dengan Mbak Ajeng, nonton televisi bareng dengan Mbak Ajeng dan Amir juga suka membeli makanan untuk Mbak Ajeng.
Malam itu terjadilah…
Mbak Ajeng membalas jasa pada Amir dengan memberikan tubuhnya untuk dinikmati Amir. Mbak Ajeng memuaskan penis Amir dengan teteknya yang montok. Mbak Ajeng menjepit penis Amir di teteknya lalu dikocok dan dijilat. Mbak Ajeng menggoyang penis Amir yang terbenam di dalam memeknya dengan pantatnya yang bahenol, mana Amir tidak ketagihan?
Hampir setiap malam rahim Mbak Ajeng direndam oleh hangatnya air mani Amir. Lama-lama rahim Mbak Ajeng dihangatkan, Mbak Ajengpun hamil!
Supaya aibnya tidak terbongkar dan menjadi sangat memalukan nantinya terpaksa Mbak Ajeng dan Mas Lukman keluar dari pekerjaannya. Biarlah aib perselingkuhan istrinya menjadi rahasia mereka berdua saja tanpa melibatkan Amir.
Tentu saja Ma’ruf sama sekali tidak tahu peristiwa ini karena Mas Lukman tidak berani mengupload ke peristiwa ini ke media sosial miliknya, tetapi sejak saat itu kelakuan Amir tidak berubah.
Amir kehilangan Mbak Ajeng sehingga membuat ia sering pergi mencari memek wanita tuna susila yang menjajakan seks di pinggir rel kereta api. Pernah sekali penisnya mengeluarkan nanah kena penyakit kotor dari cewek murahan yang disetubuhinya. Amir tidak kapok.
Amir mengeluarkan air maninya di BH Mawarni. Puas ia mencurahkan cairan nikmatnya di BH kakak Ma’ruf, ia segera mandi. Selesai mandi, ia diantar oleh Ma’ruf ke kamar.
Bu Hartini membawa minyak urut masuk ke kamar Ma’ruf. “Mah, jangan diurut kuat-kuat, ya…” kata Ma’ruf pada ibunya kasihan Amir kesakitan.
“Iya sayang, Mama juga tau. Mama akan ngurut pelan-pelan, yang penting besok atau lusa kalian sudah bisa main bola lagi.” kata Bu Hartati.
“Aku merepotkan lo Ruf, sama Tante…” balas Amir.
“Gitu aja mereporkan Mir,” jawab Bu Hartati. “Pernah terpikir oleh Tante pengen memperbaiki kamar di belakang buat kamu tinggal di sini, daripada kamu kost.”
“Amir tinggal di sini, nanti ia gak bisa pacaran, Mah…” kata Ma’ruf.
“Nggak Tante…! Nggak…! Aku belum punya pacar!” balas Amir cepat.
Ma’ruf keluar dari kamar karena hapenya berbunyi. Saat itulah Amir berani berbicara bebas dengan Bu Hartati. “Tante bisa ngurut dulu belajar di mana?” tanya Amir.
“Ibunya Tante sebelum meninggal kan tukang urut sama dukun bayi….” jawab Bu Hartati.
“Biasanya nih… maaf ya, Tante….” kata Amir. “….. wanita yang secantik Tante… nggak mau tuh jadi tukang urut, maunya duduk di kantor jadi sekretarisnya bos…”
“Ha.. ha..” Bu Hartati tertawa lebar merasa tersanjung oleh seorang anak muda yang bernama Amir. Ia sudah menikah hampir 27 tahun, belum pernah sekalipun ia mendengar suaminya berkata ia cantik. Apakah aku ini benar cantik, padahal tubuhku ini gemuk hampir 70 kilogram ditimbang di puskesmas kemarin.
“Tante ini SMA saja nggak lulus, Mir.” jawab Bu Hartati sambil mengurut kaki Amir. “Tante umur 20 tahun sudah gendong anak dan jarang merawat tubuh, mana Tante bisa cantik, Mir…”
“Menurut aku, Tante cantik…” balas Amir terus memancing di air keruh.
“He.. he.. terima kasih untuk pujianmu, Mir…” jawab Bu Hartati. “….sedangkan suami Tante sendiri malah nggak pernah memuji Tante lho, Mir…. setelah di-PHK malah sekarang pulang kampung mengharap bapaknya membagi warisan… sekarang di kampung sudah hampir sebulan nggak kasih duit sama Tante… coba kalau Tante gak ngurut, makan apa? Untung Mawarni sudah kerja, sedikit-sedikit bisalah ia bantu Ma’ruf kuliah…”
“Maaf Tante… gaji aku nggak seberapa, tetapi kalau Tante sudi menerima bantuanku nih, ya…” kata Amir. “…biarlah aku bantu sedikit sama Tante…”
“He… he…” Bu Hartati tertawa senang. “Nggak usah, terima kasih Mir, nanti ketahuan sama suami Tante malah jadi masalah… biarlah Tante seperti sekarang ini saja. Dari hasil ngurut, cukup kok buat Tante pakai sehari-hari…”
Ma’ruf masuk ke kamar. “Sudah selesai, Mah…?”
“Hampir…”
“Bisa kan nyokap gua ngurut, Bro…?” kata Ma’ruf membanggakan ibunya. “Masih merasa sakit nggak kaki lo…?”
“Sudah sore… nggak beli makan? Mama nggak masak lho…” kata Bu Hartati pada Ma’ruf.
“Jangan Tante… jangan Ruf, biar nanti aku saja yang beli….” kata Amir mencegah.
Ma’ruf segera pergi dari kamar pura-pura tidak mendengar kata-kata Amir.
“Maaf ya Mir, tadi Tante curhat…” kata Bu Hartati,
Aku harus pakai kesempatan ini apapun yang terjadi, kata Amir yang sudah tidak tahan sejak tadi melihat bibir Bu Hartati yang bergincu merah merangsang dan tubuhnya yang wangi parfum.
Amir menjulurkan tangannya memegang tangan Bu Hartati dan segera mendapat respon dari Bu Hartati, “Kamu pengen apa, Mir?”
Tidak sungkan-sungkan lagi Amir bangun dari tempat tidur, menjulurkan tangannya memegang tetek Bu Hartati dari luar baju yang dipakai Bu Hartati. “He.. he..” Bu Hartati tidak menolak malah tertawa renyah. “Sudah jelek Mir, nggak pernah Tante rawat….” kata Bu Hartati.
“Nggak apa-apa kok Tante, semua yang ada pada Tante, Amir suka. Boleh dibuka nggak, Tante…?”
Bu Hartati yang sudah termakan bujuk rayu Amir menurut saja apa yang diminta Amir seperti ia dipelet oleh Amir. Bu Hartati membuka kancing bajunya satu persatu hingga terbuka semuanya lalu Bu Hartati menaikkan BH-nya. Tetek milik Bu Hartati yang besar meluncur keluar seketika dari balik BH-nya dan terpampang di depan Amir.
Melihatnya Amir menelan ludah berkali-kali. Putingnya besar berwarna hitam dan di sekeliling putingnya terdapat lingkaran bulat yang melebar berwarna serupa dengan putingnya.
Oh… Amir segera mendekatkan mulutnya mengenyot puting susu Bu Hartati sampai berbunyi… cot… cot… cot… cot… cot… seperti bayi kelaparan yang menghisap susu ibunya.
“Baring saja yuk, sayang…” ajak Bu Hartati. “Biar kamu lebih gampang ngisapnya….”
Untung mereka belum berbaring, karena tiba-tiba Ma’ruf masuk ke kamar. “Jadi, mau beli apa, Mah…?” tanya Ma’ruf.
Dan untung pula tetek Bu Hartati yang telanjang tidak kelihatan oleh Ma’ruf, karena Bu Hartati berlutut di kasur membelakangi Ma’ruf, tapi membuat suara Bu Hartati bergetar saat ia menjawab Ma’ruf. “Te… te… terserah kamu, Ruf…. sudah, pergi sana cepat…”
Sebenarnya Bu Hartati mengusir Ma’ruf, tetapi tidak disadari oleh Ma’ruf, karena mana terpikir oleh Ma’ruf, temannya sendiri makan ibunya? Ma’ruf pergi dari kamar, Bu Hartati melepaskan baju dan BH-nya.
“Mah…” panggil Amir manja.
“Ya sayang, ayo baring… netek sepuasmu, sayang…” balas Bu Hartati.
Bu Hartati mengelus-elus rambut Amir saat Amir berbaring menetek di sebelahnya. Dari satu tetek berpindah ke tetek yang lain Amir mengenyot puting susu Bu Hartati dan Amirpun menuntun tangan Bu Hartati ke batang penisnya yang tegang.
“Mmmmh… besar sekali burungmu, sayang….” kata Bu Hartati memegang kontol Amir.
“Masukin ke memek Mamah, ya…” ujar Amir.
Amir segera bangun melepasan celana Bu Hartati. “Nggak boleh sayang, Mama lagi haid…” tapi Bu Hartati memberikan juga celananya dilepaskan oleh Amir, hanya celana luarnya saja.
Amir bertekat harus menundukkan Bu Hartati sore ini juga meskipun ia sedang haid. Amir mendengus-dengus di paha Bu Hartati yang besar dan menjilat-jilatnya paha Bu Hartati, lalu Amir menyibak celana dalam Bu Hartati. Di celana dalam Bu Hartati memang merekat pembalut dan pembalut itu kelihatan berwarna coklat.
“Benar kan Mama haid?” kata Bu Hartati.
Tapi mana dipedulikan oleh Amir lagi? Masa burung punai sudah ditangan, dilepaskan lagi? Amir segera menjulurkan lidahnya menjilat kelentit Bu Hartati.
Bu Hartati bergidik sejenak. “Aohhh… sayang….” desah Bu Hartati dan Bu Hartati sudah tidak mampu menolak lagi ketika mulut Amir tenggelam di memeknya. Amir menyedot… Amir menjilat, bahkan jarinya ikut mencucuk lubang memek Bu Hartati, lalu dikocok-kocok Amir.
“Ahhh… ahhh… ahh…. sayang…. ooohh… ahhhh… aahhh… ahhh….” rintih Bu Hartati nikmat.
Dengan gampang Amir meloloskan celana dalam Bu Hartati dari kedua kaki Bu Hartati, ganti penis Amir yang bertindak sekarang ketika selangkangan Bu Hartati sudah telanjang.
Amir mendorong masuk batang penisnya ke lubang memek Bu Hartati sambil berlutut di antara kedua paha Bu Hartati yang terbuka lebar. “Ahhh… ahhh… ahh…. Mir…. Mir…. Amir, sayang….” rintih Bu Hartati sambil meringis menahan ngilu di memeknya.
Bleesssss…..
“Ahhhhh….” jerit Bu Hartati.
Batang penis Amir yang keras masuk semua ke lubang memek Bu Hartati yang terasa sempit itu. Lalu Amir yang sudah berhasil memasukkan penisnya tidak peduli lagi Bu Hartati meringis. Sambil menindih Bu Hartati segera digenjotnya lubang memek Bu Hartati keluar-masuk, naik-turun, maju-mundur.
Amir mempercepat tempo gerakan batang penisnya di lubang memek Bu Hartati sewaktu air maninya terasa mau keluar. Bu Hartati hanya berbaring pasrah. Sekali-sekali ia menjerit ngilu sewaktu rahimnya tertusuk ujung kontol Amir.
“Ohhhh… enak memek Mamaaaa…. aku kluar, Maaa…ammm….” keluh Amir menghentakkan kontolnya sedalam mungkin ke lubang memek Bu Hartati sambil memeluk Bu Hartati erat-erat, lalu Amir…..
Crrooottttt…… crrrooootttt….. crrrroootttttt…. crrroooottttt…. crrrooottttt…. crrrooottttt…..
Bu Hartati menangis malu, ia baru sadar. “Kamu jahat Mir, masa Tante kamu setubuhi…?”
“Aku kan tadi bilang, Tante cantik…. aku sayang sama Tante…. aku cinta sama Tante…. maaf ya, Tante…. aku nggak akan ngomong sama siapa-siapa….”
Bu Hartati memeluk Amir.
Malam itu Amir menginap di rumah Ma’ruf dan ronde demi ronde Amir habiskan malam itu dengan Bu Hartati ketika Ma’ruf sudah tidur nyenyak di kamarnya, Amir yang tidur di sofa menyelinap masuk ke kamar Bu Hartati di tengah malam.
Paginya Bu Hartati sampai harus pergi ke puskesmas, karena memeknya sangat perih mungkin bibir memeknya robek karena dikeluar-masukkan oleh penis Amir berkali-kali.
Tetapi Ma’ruf senang, kaki temannya sudah baik dan bisa bermain bola dengannya lagi, tetapi Ma’ruf tidak pernah tau bagaimana hubungan ibunya dengan Amir yang mendapat previlege khusus dari ibunya.
PIKO merasa otaknya tidak mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. “Kalau keputusan itu yang kamu ambil ya sudah, kamu sudah besar, Papa dan Mama tidak bisa memaksa.” kata mamanya ketika Piko berkata pada mamanya bahwa ia mau bekerja saja, tidak mau kuliah padahal kedua orangtuanya mengharapkan Piko menjadi seorang sarjana.
Sarjana apa kek, yang penting sarjana. Tapi Piko sudah mengambil keputusan, ia mau melamar pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kerja meskipun ia harus menjadi seorang office boy, atau seorang clearning service. Pekerjaan tersebut bukan pekerjaan yang hina baginya asalkan menghasilkan duit yang halal, bukan dari hasil mencuri atau korupsi.
Ternyata untuk mewujudkan impiannya tidaklah mudah. Di daerah tempat tinggal Piko tidak ada lowongan pekerjaan, karena daerah tempat tinggal Piko memang bukan daerah industri atau daerah perkantoran.
Sinar mentari yang cerah pagi itu masih menolong Piko. Saat ia duduk termenung di depan rumah dengan segelas kopi yang sudah dingin, ia dikejutkan oleh suara sepeda motor yang berhenti di depan rumahnya.
Ternyata Pak Pos. Pak Pos mengantar surat balasan dari surat lamaran yang dikirim oleh Piko beberapa hari yang lalu.
O… Piko senang bukan main, meskipun belum tentu ia diterima bekerja, ia sudah berteriak-teriak duluan sehingga membuat gaduh seisi rumah.
Lina, mamanya Piko yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi mendengar Piko berteriak-teriak mendapat panggilan pekerjaan, langsung menyambar handuknya di belakang pintu kamar mandi. Entah handuknya sudah terpasang dengan benar atau belum ke tubuhnya yang telanjang bulat, Lina langsung keluar dari kamar mandi.
“Ahh… Mama…” kata Piko melihat tetek mamanya hanya tertutup handuk separuh.
“Biarinlah, di dalam rumah ini.” jawab Lina. “Yang penting Mama senang kamu sudah dapat pekerjaan.”
“Senang sih ya, senang…” ujar Piko. “Piko mendapat panggilan pekerjaan di tempat yang jauh, Ma.”
“Di mana?” Lina mengambil surat panggilan yang dipegang Piko, lalu menarik Piko duduk di kursi.
Sambil Lina duduk di kursi membaca surat panggilan untuk Piko dari sebuah pusat perbelanjaan, Piko yang duduk di samping Lina tidak habis-habisnya mengagumi tetek Lina yang masih bagus.
“Sudah jelek, sayang…” kata Lina tersenyum ketika mendapati Piko memandangi teteknya.
Mendapat sambutan dari mamanya, Tiko menjulurkan tangannya ke dada Lina. “Ahh… masa nggak percaya sih Mama ngomong sudah jelek?” kata Lina menggenggam erat ikatan handuknya. “Jangan dibuka ah, Mama malu…”
Piko tidak memaksa mamanya. “Piko kan mau pergi jauh nih, Ma… Piko akan sulit ketemu dengan Mama kalau Piko sudah sibuk,” kata Piko.
Lina sedih mendengar Piko berkata begitu. Lusa Lina sudah harus merelakan anaknya yang telah hidup selama 19 tahun dengannya ini pergi merantau ke daerah orang lain. Lina memeluk Piko. Umpan yang dipasang Piko dimakan oleh Lina. Piko mengambil kesempatan itu mencium bibir mamanya.
Piko membuat Lina lupa diri. Lina menyambut ciuman anaknya dengan antusias sehingga dengan mudah Piko melepaskan ikatan handuk yang membebat tubuh Lina yang telanjang.
Piko merobohkan mamanya yang sudah telanjang bulat di atas kursi tanpa perlawanan oleh mamanya. Sambil berciuman dengan berbaring, Piko meremas tetek Lina yang mengkal dan padat bernas itu sementara tangan Piko yang lain menurunkan celana pendeknya untuk mengeluarkan penisnya yang sedang meradang.
Urat yang keras dan liat itu langsung ditikam oleh Piko ke memek Lina. Hanya asal tikam, karena Piko juga tidak tahu di mana letak lubang sanggama mamanya. “Oufffff….” Lina berseru kaget. “Ini mamamu, Piko… jangan, Piko…!” tapi penis Piko yang keras sudah memenuhi lubang memek Lina.
Ohh… nikmatnya, desah Piko merasakan lubang memek mamanya yang seret dan hangat itu menggencet batang penisnya. Lina juga merasa nikmat, tapi sebagai seorang ibu, Lina harus melarang anaknya untuk tidak berbuat mesum pada dirinya.
“Kalau Mama tidak mengizinkan ya sudah, tapi Mama jangan berharap Piko pulang ke rumah!” ancam Piko.
Lina seperti telur berdiri di ujung tanduk. Ia gamang. Kalau Piko sampai melepaskan penisnya, kenikmatan yang sedang dirasakannya akan terbuang percuma, namun kalau dilanjutkan… malunya Lina.
Tapi Lina sudah tidak mampu melepaskan diri dari tusukan batang Piko yang keras itu bertubi-tubi pada lubang memeknya. Gesekan demi gesekan penis Piko pada dinding memek Lina yang mulai basah dan licin itu menimbulkan sensasi niknat yang tak terkatakan oleh Lina.
Ciuman bibir Lina dengan Piko pun dilanjutkan, rasa malunya disingkirkannya jauh-jauh. Demi Piko, Lina menggoyang penis Piko dari kursi yang sempit mereka pindah ke ranjang yang luas.
Keduanya bergelut di atas ranjang, kadang Lina yang di atas memompa kontol Piko, kadang Piko yang di atas menggenjot lubang memek Lina.
Suara desahan dan rintihan yang saling bersahutan, indah dan merdu untuk didengar seperti suara burung kenari. Sehingga kenikmatan yang dirasakan oleh Lina semakin menerjang memeknya ketika Piko menyemburkan air maninya di kedalaman sumur cinta mamanya itu, Lina ikut orgasme!
Ahh… sungguh nikmat, batin Lina menerima cairan cinta yang hangat dari anaknya itu. Tapi Lina tetap mengingatkan Piko supaya jangan berbuat tindak kriminal di daerah orang lain, khususnya masalah seks. “Pulang saja ke rumah kalau kamu pengen, atau Mama yang ke sana nanti.” kata Lina.
****0****
Untuk sementara, Lina minta tolong pada kakak sepupunya untuk memberikan tempat tinggal pada Piko selama 2 atau 3 hari. “Tantemu itu cerewet, hati-hati, ya?” kata Lina mewanti-wanti Piko. “Tantemu itu nggak kenal saudara, nggak kenal teman.”
Apa yang dikatakan mamanya terbukti. “Kamu ini orang utan apa? Ngepel aja gak becus, bagaimana mau kerja sama orang?” omel Nunung, sang tante.
Piko sangat sedih. Ia teringat mamanya. Ia teringat dengan kenikmatan kemaluan mamanya, tapi Piko tidak mungkin membatalkan keputusannya, ia harus terus berjuang tidak boleh putus asa.
Meskipun ia diomeli oleh Nunung dengan sumpah serapah sampai nama-nama binatang di kebun binatang keluar semua, Piko terima saja. Yang penting ia sudah membantu keluarga Om Riwan dengan sebaik-baiknya dan tulus, bukan terpaksa.
“Sabar ya Ko,” kata Om Riwan suatu hari pada Piko ketika istrinya pergi senam. “Tantemu memang begitu, nggak hanya kamu, Om juga diomeli kayak binatang. Kamu tetap saja di sini, jangan pindah.”
Ihhh… Piko bergidik jijik membayangkan wajah Nunung yang sadis tanpa senyum itu, meskipun cantik, tubuhnya semok dan teteknya gede, apalah artinya. Jangankan jin, kuntilanak pun tidak mau dekat, batin Piko.
Keberuntungan menghampiri Piko ketika ia masuk ke kamar mandi hendak mandi pada sore harinya.
Barangkali Nunung kecapean sehabis senam sehingga pakaian senamnya beserta seperangkat pakaian dalamnya berupa kutang dan celana dalamnya tidak direndam atau dicuci, tetapi digantungkan begitu saja di belakang pintu kamar mandi.
Piko mendapat mainan baru. Piko jadi tahu bagaimana bau tubuh Nunung, bau teteknya, bau memeknya dan bahkan rasa lendir memek Nunung. Piko jadi sering menyemburkan air maninya di kutang atau di celana dalam Nunung jika mendapat kesempatan.
Dan ada satu kebiasaan Nunung setiap pagi yang diperhatikan oleh Piko, yaitu kopi Nunung yang diletakkan di atas meja. Kopi susu instan itu ditunggu dingin dulu baru di minum oleh Nunung. Biasanya Nunung akan mencuci pakaian atau belanja sayur di luar sambil menunggu kopinya dingin.
Nah, saat itulah Piko merendam kontolnya di kopi Nunung atau Piko menyemburkan air maninya. Piko senang melihat kopi tersebut diminum oleh Nunung dengan nikmat.
Pada suatu sore, Piko mau berangkat bekerja, ia mendengar Nunung memanggilnya dengan suara kencang dari halaman. “Pikooo…. Pikooo… cepat ke sini, Pikooo… kaki Tanteee….”
Piko segera mengambil langkah seribu berlari ke halaman dan didapatinya tantenya sedang duduk di pinggir teras sambil memegang jempol kakinya. “Kenapa, Tante?”
“Jempol kaki Tante berdarah, Piko… keinjek paku…”
O… Piko panik! Ia harus mengambil tindakan cepat, kalau tidak, kaki Tante Nunung bisa infeksi.
Piko segera kembali ke dalam rumah mengambil kain bersih dan air. Kaki Tante Nunung kemudian dibersihkan Piko dengan air dan darah kotor di jempol kaki Tante Nunung dipencetnya keluar. Setelah itu jempol kaki Tante Nunung dihisap oleh Piko dengan mulutnya.
Melihatnya Nunung merasa bersalah. Kenapa ia marah-marah pada Piko? Belum tentu anakku sendiri mau menghisap jempol kakiku, tapi Piko… ia bukan siapa-siapa! Hubungan darah saja tidak kalau aku tidak menikah dengan Riwan, kata Nunung dalam hati.
“Piko, Tante mau pergi nih. Kalo hujan, tolong baju Tante dijemuran diambilin, ya?” kata Nunung berubah total, suaranya menjadi lembut.
Tidak hanya jemuran, tetapi pakaian kotor tantenya juga dicuci oleh Piko, bahkan tempat tidur Tante Nunung dibersihkan dan dirapikan. Nunung semakin jatuh hati pada Piko. Ia tidak segan-segan mengajak Pinto pergi belanja.
Dipepetkan teteknya yang gede ke lengan Piko sewaktu berjalan dengan Piko di mall, Nunung ingin melihat bagaimana reaksi Piko. Merasakan teteknya tergesek-gesek bahkan digencet lengan Piko, Nunung merasakan memeknya gatel dan keluar air seperti kencing. Celana dalamnya basah setiap kali ia pergi dengan Piko dan harus diganti.
Tapi Nunung menganggap Piko masih hijau, masih polos belum kenal dengan seks. Nunung tidak tahu kalau Piko sudah pernah bersetubuh dengan mamanya sebanyak 3 kali.
Nah, berhubung Piko sudah bisa menyetir mobil, Nunung mengajak Piko piknik ke pantai. Nunung memakai pakaian yang sangat sexy. Celana pendeknya memamerkan sepasang pahanya yang mulus dipadu dengan kaos tanpa lengan yang ketat menampilkan teteknya yang besar dan membakar napsu Piko.
Piko berkali-kali menelan ludah sambil menyetir Daihatsu Zenia milik tantenya. Ohh… memek si Nunung, Piko membayangkan, kalo bisa kuentot seperti memek mamaku, pasti memek si Nunung ini lebih tebal dan lebih legit.
Sebelum sampai di pantai Nunung mengajak Piko mampir ke restoran seafood. Nunung memesan ikan panggang dan udang bakar untuk mengenyangkan perut Piko.
Hampir satu jam mereka makan dan ngobrol di restoran sambil menikmati indahnya pemandangan di tepi pantai, kemudian mereka melanjutkan perjalanan kira-kira 30 menitan lagi, sampailah mereka di tepi pantai yang dituju.
Berhubung bukan hari libur, pantai kelihatan sepi kecuali mereka yang datang untuk berpacaran seperti Nunung dan Piko. Turun dari mobil, Nunung langsung menggandeng tangan Piko berjalan menelusuri pantai yang berpasir putih.
Sekali-sekali kaki Nunung yang berjalan dengan bertelanjang kaki itu meloncat menghindar dari gelombang air laut yang mengalun pelan ke tepi pantai. Piko menunggu kesempatan yang tepat. Ketika dilihatnya tempat yang sepi, hanya tinggal mereka berdua saja yang berjalan di tepi pantai, ia menarik Nunung masuk ke dalam air. Ia menceburkan Nunung.
“Awww…. Pikoooo….” teriak Nunung.
Tapi Nunung tidak bisa memperpanjang teriakannya karena mulutnya langsung diterkam oleh Piko. Piko melumat bibir Nunung, demikian juga dengan Nunung, lidahnya yang hangat menyambar-nyambar lidah Piko, sehingga memberikan kesempatan pada Piko untuk mencopot celana pendek Nunung.
Nunung sudah membiarkan celana pendek dan celana dalamnya mengapung-apung di air laut, karena ia merasakan cairan memeknya menyembur-nyembur ketika jari Piko mencolok lubang memeknya. Jari Piko tidak hanya masuk satu ke dalam lubang memek Nunung, tapi masuk tiga sekaligus.
Nunung merasa memeknya bergulung-gulung seperti gelombang air laut ketika rahimnya dikorek oleh jari-jari Piko, akibatnya cairan memeknya menyembur semakin banyak.
Piko tahu bahwa Nunung siap untuk disetubuhi. Piko menarik Nunung ke semak-semak. Mereka tidak berani telanjang, tetapi setengah telanjang. Nunung nungging di bawah pohon batang pinus.
Inilah pengalaman pertama Nunung disetubuhi secara nungging di alam terbuka sepanjang ia menikah dengan Riwan hampir 20 tahun dan dari memeknya telah melahirkan 3 orang anak. Pito mencucukkan kontolnya yang mengacung tegang di lubang memek Nunung dari arah belakang.
BLESSSSSSS…..
“Oohhhh…. Pikoooo….. mmmmhhhh…” jerit Nunung merasa rahimnya tertusuk kontol Piko yang besar yang panjang.
Nikmatnya luar biasa!
Nunung merasa menyesal, kenapa tidak dari dulu. Malahan waktunya habis dipakai untuk mengomeli Piko, padahal Piko telah melakukan pekerjaannya dengan benar.
Piko menghujam-hujamkan kontolnya dengan cepat, tidak hanya membuat tubuh Nunung bergoyang, tetapi juga membuat cabang dan ranting pohon pinus ikut bergoyang-goyang.
Memek Nunung kenyal dan nikmat meskipun lubangnya sudah diperbesar oleh Piko tadi dengan mengorek menggunakan 3 jari tangannya. Jari tangan Piko sampai sekarang masih berbau amis meskipun sudah dicuci dengan air laut.
Tapi Piko senang saja. Ia tidak membayangkan Lina, mamanya. Memek tantenya lebih nikmat. Plakk… plokk… plakk… plokk… suara alat kelamin Piko dan Nunung terdengar saling berbenturan.
“Shhhttt… yeess… Pikooo… tusuk yang dalam… aku sudah mau keluarrr…” teriak Nunung memecah kesunyian semak-semak.
“Iya… Nung, istriku…. terimalah air maniku…. crottt… croottt…. crooottt…..” Pito menyemburkan air maninya di rahim Nunung.
Ahhhh… Nunung merasa memeknya sangat nikmat ketika rahimnya menyerap cairan mani Piko yang hangat dan kental itu. Tubuhnya lunglai seperti tak bertulang. “Kamu benar-benar suamiku yang sejati, sayang…” kata Nunung memuji kehebatan Piko bercinta.
Sore itu Nunung dan Piko tidak langsung pulang ke rumah. Nunung sudah minta izin dengan Riwan bahwa ia akan mengajak Piko jalan-jalan biar Piko nggak merasa sumpek di rumah, pas Piko mendapat cuti juga. Nunung menyewa sebuah villa kecil di tepi pantai cukup untuk mereka berdua.
Nunung dan Piko mandi bertelanjang bulat sambil menyiram air. Alangkah nikmatnya ketika teteknya diremas-remas oleh Piko dengan busa sabun mandi. Nunung belum pernah mandi seperti ini dengan Riwan. Riwan orangnya memang kaku dan Nunung merasa sangat tersanjung ketika anusnya dijilat oleh Piko.
Tempat yang kotor begitu Piko masih sangat menyenanginya. Sambil nungging di depan dinding kamar mandi, Nunung menggelinjang-gelinjang nikmat, sehingga meskipun anusnya perih ditusuk oleh kontol Piko, Nunung memberikan juga anusnya untuk disetubuhi Piko.
Kontol Piko memompa lubang anus Nunung perlahan-lahan sembari kedua tangannya meremas-remas tetek Nunung yang menggelantung seperti buah kelapa itu dan bergoyang-goyang.
“Ooww… owww… Pikooo… suamiku…. ooooww…. oowww….” seru Nunung merasa cairan memeknya meleleh keluar dari lubang memeknya.
Nunung tidak tahan, Nunung merasa nikmat, lalu jarinya ikut masuk ke lubang memeknya dan mengocok lubang memeknya. Sebentar kemudian, air mani Piko pun menyembur-nyembur di dalam anus Nunung. Nunung segera mendorong Pito pergi, lalu Nunung segera duduk di toilet.
Protttt…. protttt…. proottt…. segala isi perut Nunung keluar bersama air mani Piko.
Gila… batin Nunung menarik napas dalam-dalam. Pengalaman bercinta yang paling eksotis yang pernah dialaminya, sampai ia terberak-berak!
Puas bersetubuh dan selesai mandi, Nunung dan Piko memesan makanan di restoran untuk makan malam. Makanan diantar ke villa, Nunung dan Piko makan dengan telanjang di teras villa yang sepi sambil ditemani oleh deburan ombak yang menerpa pantai.
Angin malam terasa sejuk. Selesai makan malam Nunung dan Tiko bercinta lagi di teras. Tak terasa mereka harus pulang.
Namun begitu, Nunung tidak bosan-bosannya bercinta dengan Piko dan Piko sangat dimanja oleh Nunung.
Sebenarnya tanpa bekerja pun Piko bisa hidup dari pemberian Nunung karena Nunung memelihara Piko sebagai suaminya yang kedua.