KUCUMBU TUBUH INDAHMU
Suara kumandang adzan berseru membangunkan penghuni desa sumbermani. Humaira baru saja selesai shalat subuh, ia belum melihat adanya Alif keluar dari dalam kamarnya. Sembari mendesah pelan ia menghampiri kamar anak semata wayangnya itu. Sudah menjadi rutinitasnya membangunkan anaknya setiap pagi, sehingga ia menjadi terbiasa marah-marah setiap pagi.
Tok… Tok… Tok…
“alif… Bangun.” Panggilnya, tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Lagi ia mencoba menggedor dan memanggil anaknya, menyuruh anaknya untuk segera melaksanakan shalat subuh, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar anaknya. Humaira segera membuka pintu kamar Alif yang tidak terkunci, di dalam kamar Alif tampak masih mendengkur sembari memeluk bantal gulingnya.
“Astaghfirullah Alif.” Ucap Humaira menggelengkan kepalanya.
Ia menghampiri Alif, mengguncang-guncang tubuh Alif, tetapi tetap tidak ada respon, hingga akhirnya ia menjewer kuping Alif hingga pemuda itu meringis kesakitan.
“Aduh… Aduh… Aduh…” Rutuk Alif sembari memegang jemari halus Humaira yang tengah menjewer kupingnya.
Dengan mata melotot Humaira menatap anaknya. “Bangun, shalat subuh dulu.” Omel Humaira, dengan tatapan bengis kearah Alif.
“Iya, sebentar lagi ummi.”
“Astaghfirullah alif! Kenapa kamu ini susah sekali di bangunkan! Ingat shalat itu kewajiban, lawan kantuk kamu.” Nasehat Humaira, sembari menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Alif.
Kemudian Humaira menuju jendela kamar anaknya, membuka jendela kamar Alif, agar udara segar masuk ke dalam kamar anaknya. Tidak sampai di situ saja, ia juga mulai membereskan kamar anaknya yang berantakan, dari menyusun buku-buku yang berserakan di lantai, hingga memunguti bekas makanan ringan dan tissu. Diam-diam Alif memandangi umminya yang tengah menungging, memunguti bekas sampah yang ada di bawah lemari pakaiannya. Matanya bagaikan elang menatap bulatan pantat Humaira yang berbentuk membulat sempurna di balik mukenna berwarna putih yang di kenakan Humaira, bahkan samar-samar ia bisa melihat siluet dalaman Humaira yang berwarna hitam.
“Kamu bisa gak sih nak, habis makan itu di bereskan.” Rutuk Humaira kembali.
“I-iya ummi.” Jawab Alif agak gugup.
Diam-diam ia menyusupkan tangannya ke dalam celana pendek miliknya, mengurut kejantanannya yang terasa hangat dan keras. Humaira menoleh kebelakang, dengan cepat Alif menarik kembali tangannya sembari berpura-pura kembali tidur. Humaira yang melihat Alif masih tiduran langsung menegurnya kembali.
“Masih belum mau bangun juga? Mau ummi jewer lagi.” Ancam Humaira geregetan dengan kelakuan Alif.
“I-iya ummi.” Jawab Alif cepat, ia menyingkap selimutnya, lalu turun dari tempat tidurnya.
Sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, ia menatap wajah cantik Humaira yang rasanya tidak pernah membosankan untuk di pandang. Sejenak suasana mendadak hening, Humaira menutup mulutnya yang mengangah dengan telapak tangannya, dan mata Humaira yang tadinya melotot kini terlihat sayu memandangi sebuah tonjolan yang cukup besar di celana anaknya. Saking ketatnya celana yang di kenakan Alif, Humaira dapat melihat jelas garis cetakan kontol Alif di celananya. Di tambah lagi, Humaira melihat ada bekas bercak sperma di celana pendek yang di kenakan Alif.
Sebagai wanita normal sudah sewajarnya kalau ia kaget melihat tonjolan besar di celana Alif, bahkan ia meyakini kalau milik anaknya jauh lebih besar ketimbang milik mantan Suaminya.
“Ya Allah itu kontol anakku? Astaghfirullah….” Bisik hati Humaira.
Buru-buru Humaira menyingkirkan pikiran liarnya, ia segera bangun tanpa melihat langsung kearah Anaknya. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau Humaira sangat gugup setelah melihat terpedo milik anaknya.
“Astaghfirullah… Ya Allah maafkan hambamu.”
“Aku ambil wudhu dulu ya ummi.” Ujar Alif membuyarkan lamunan Humaira.
“Tu-tunggu dulu nak…” Cegah Humaira.
Alif mengangkat satu alisnya dengan pandangan bingung. “Kenapa ummi?” Tanya Alif.
“Mandi wajib dulu.” Ujar Humaira cepat, yang kemudian menunjuk selangkangan Alif dengan dagunya. Reflek Alif menutup selangkangannya dengan kedua tangannya.
“Eh i-iya ummi.”
“Mimpi basah lagi ya kamu nak?”
Alif mengangguk malu.
Humaira menggelengkan kepalanya. “Mimpi basah kok hampir setiap hari si nak.” Ujar Humaira tidak habis pikir dengan kebiasaan Alif yang suka sekali mimpi basah. Tapi anehnya, walaupun sudah sering melihat kondisi Alif seperti saat ini, tetap saja Humaira selalu terperangah dan salah tingkah. Seakan-akan ia tidak percaya kalau Alif memiliki terpedo yang sangat besar. Setelah sedikit menceramahi Alif, Humaira pergi meninggalkan anaknya.
Dengan langkah gontai Alif berjalan menuju kamar mandi untuk mandi wajib dan mengambil wudhu. Banyangan kemolekan tubuh umminya seakan tidak mau menghilang dari pikiran nya. Saat berada di dalam kamar mandi, ia mendengar suara gemericik air yang menandakan kalau ada seseorang di dalam toilet.
Alif yang tadinya terlihat lesu, kini berubah menjadi bugar. Matanya menatap tegang kearah pintu toilet kamar mandinya.
Perlahan Alif mengambil bangku kecil, dan memposisikan bangku tersebut di depan toilet. Ia menjadikan bangku itu sebagai pijakan agar bisa mengintip ke dalam toilet. Perlahan dengan nafas memburu, ia mengintip melalui ventilasi kamar mandi.
Tampak di dalam kamar mandi humaira umminya sedang duduk di closet.
Seeeeeeeerrrr….
“Ughk…” Alif mendesah pelan mendengar gemericik air kencing Umminya.
Sembari mengintip Umminya yang sedang buang air kecil, Alif mengurut-ngurut burungnya. Matanya tidak berkedip memandang lekat kemaluan Umminya yang di tumbuhi rambut halus. Sekitar lima menit Alif mengintip Umminya kencing, saat Humaira hendak mencuci kemaluannya Alif buru-buru turun dan bersembunyi. Saat Humaira keluar dari toilet, ekor mata Alif memandangi Umminya yang sedang meletakan celana dalamnya kedalam mesin cuci.
Selepas kepergian Humaira, didalam kamar mandi bukannya segera mandi wajib, alif kembali onani sembari membayangkan sosok Humaira umminya.
Di ruang makan tampak alif bersama humaira tengah sarapan. Setelah sarapan humaira bangkit dari duduknya lalu mengambil tasnya untuk berangkat kerja.
“ummi berangkat dulu ya sayang…jangan lupa cuci piringnya” perintah humaira
“iya umi….beres” jawab alif
“ya sudah ummi berangkat dulu…assalammualaikum…”
“walaikumsalam…”
Humaira seorang janda yang saat ini berusia 41 tahun dan bekerja sebagai pengajar di pesantren. Sedangkan alif berusia 23 tahun dan baru saja lulus kuliah dan sekarang menganggur.
***********
Fania putri aisyah seorang gadis bercadar, putri tunggal dari pasangan bambang dan laras. Terlahir dari keluarga yang sederhana. Fania bersekolah disebuah pondok pesantren ternama semenjak smp. Fania dari kecil memang terkenal dengan tubuhnya yang kurus dan berkulit sawo matang. Ditambah bekas cacar air diwaktu usinya 10 tahun, membuat kulitnya sangat tidak sedap dipandang. Keadaannya waktu kecil yang sudah terkenal buruk, sudah menyebar dilingkungan sekitarnya. Bambang dan laras tahu, putrinya selalu menjadi gunjingan tetangga. Namun, bambang tak peduli. Berbeda dengan laras yang mulai tak terima. Rasanya laras ingin sekali melabrak mereka. Seperti saat ini, laras yang baru saja pulang dari mengajar, langsung duduk dihadapan bambang dengan ekspresi wajah cemberut.
“ada apa sih, ummi, pulang2 kok cemberut?” tanya bambang sembari tersenyum. Bambang sebenarnya sudah mengerti mengapa istrinya seperti itu.
“biasa itu emak2 sedang ngomongin fania. Ummi tadi lewat dan nggak sengaja mendengar mereka. Saking asyiknya ghibah, mereka nggak ada yang lihat ummi.” Jawab laras kesal.
“sudah, ummi, biarkan saja mereka membicarakan fania. Biar pahala fania terkumpul. Ummi yang sabar, jangan dengarkan omongan mereka.” Fania sedang duduk tak jauh dari mereka. Dia segera mendekat dan duduk disamping umminya.
“kamu itu sama abimu sama saja. Lama2 ummi nggak bisa disuruh sabar terus. Ummi kasihan sama kamu nak, ummi nggak terima.”
“terus kalo ummi melabrak mereka, apa ummi bisa jamin mereka akan diam dan nggak ngomongin fania lagi?” tanya bambang.
“ya, nggak juga sih, abi. Tapi setidaknya ummi lega. Sebagai orang tua bisa membela anaknya.” Jawab laras tak mau kalah.
“daripada ummi mempermalukan diri sendiri, lebih baik ngomel dirumah, anggap saja abi sama fania orang2 yang sedang gibah. Sekarang ummi bisa labrak kami, biar ummi lega.” Laras berdecak kesal mendengar saran bambang.
“abi ini, mesti lho.”
“ummi, maaf abi benar. Tolong jangan dengarkan omongan mereka, ummi. Fania nggak apa2 kok dijadikan bahan gunjingan. Nanti diakhirat, fania akan mendapatkan transferan pahala dari mereka yang sudah menggunjing fania.” Dengan lembut, fania mencoba menenangkan umminya.
“Sabar, ummi, berarti mereka itu sayang sama kita, selalu perhatian. Ayo, ummi, sholat dulu, baru lanjut kerjaan rumahnya. Abi mau ke depan, bersih-bersih halaman.”
“abi, kenapa bukan Fania saja yang menyapu halaman?” tanya Fania seraya berjalan mendekat.
“Sudah, Nduk, kamu bantu umimu saja di dalam rumah. Urusan halaman biar abi yang bersihkan. Kamu tahu ‘kan alasannya?” Fania mengangguk dan menuruti perintah bapaknya.
“Baik, abi.”
“Ya sudah, sambil nunggu ibumu sholat, lanjutkan saja ngajimu. Meskipun kamu sudah nggak di pondok lagi, kebiasaan di pondok harus tetap dijalankan, jangan dilupakan.”
“Insyaa Allah, abi,” balas Fania.
“Bagaimana usahamu minggu ini, lancar?” tanya bambang.
Fania sudah mempunyai usaha sendiri sebelum lulus kuliah. Sebuah toko busana muslim yang letaknya tak jauh dari tempat kerja Bambang. Sementara Bambang bekerja sebagai karyawan produksi di sebuah pabrik sepatu yang cukup besar.
“Alhamdulillah lancar, abi. Kalau diijinkan, Senin besok mau ke toko. Sudah dua minggu Fania nggak ngecek ke sana. Sekalian lihat barang-barang yang datang.”
“Biar abi antar, sekalian abi berangkat ke pabrik.”
“Terima kasih, abi.”
Bambang pun beranjak pergi ke depan rumahnya dan mulai menyapu halaman. Begitulah kegiatan Bambang di hari libur seperti ini. Dia membersihkan halaman dan menyiram tanaman. Bambang seorang suami tetapi dia tidak malu melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan Bambang pun pandai memasak. Halaman rumah Bambang hanya berpagar bambu buatannya sendiri. Rumah yang sederhana, tetapi sangat bersih, asri, dan rindang. Halamannya penuh dengan pepohonan dan juga tanaman bunga. Bambang dan Laras sama-sama pencinta tanaman.
Orang-orang yang melewati rumah Bambang menyapanya. Beberapa orang mulai berbisik-bisik tentang keberadaan Fania. Mereka berpikir kalau Bambang dan Laras selalu memanjakan Fania. Meskipun Bambang mendengar percakapan mereka, dia hanya menggelengkan kepala dan mengelus dada. “Sabar,” gumamnya. Sementara di dalam rumah, Fania dengan cekatan membantu ibunya memasak. Selesai memasak, Fania melanjutkan mencuci pakaian. Semua pakaian dicucinya termasuk pakaian abi dan umminya. Mereka bertiga selalu bekerja sama dalam urusan pekerjaan rumah.
Adzan maghrib pun berkumandang, Bambang segera membersihkan badan lalu berangkat ke musholla. Begitu juga Laras dan Fania, mereka melaksanakan sholat berjamaah dirumah, Fania sebagai imamnya. Laras sangat bangga dengan putri satu-satunya itu. Malam pun tiba, setelah makan, bambang, laras dan fania berkumpul seperti biasanya. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk berbincang santai di ruang keluarga.
“ummi, senin besok Fania berangkat sama bapak ke toko. Mungkin sore pulangnya. Barusan wina kirim pesan, dia mau resign karena harus pulang kampung untuk menikah.” Fania memulai percakapan.
“terus gimana urusan tokomu? Cari pegawai juga gak gampang. Apalagi jaman sekarang, harus hati2.” Sahut laras cemas.
“untuk sementara fania yang handle. Jadi fania minta ijin sama abi dan ummi. Fania harus ke toko tiap hari” Balas fania terus terang.
“nanti biar diantar abi saja, pulangnya abi jemput.” Bambang langsung mengambil keputusan
“iya abi, maksud fania juga gitu. Terima kasih abi. Kalo nanti tabungan fania sudah terkumpul, fania mau beli motor juga, biar nggak merepotkan abi dan ummi.”
“oalah nak, mumpung abimu ini masih sehat jasmani dan Rohani, abi Ikhlas, nggak merasa direpotkan. Apalagi kamu itu anak gadis, satu-satunya lagi, sebaiknya bapak yang antar jemput biar gak kepikiran.
“terima kasih abi”
“kalo begitu, kita semua istirahat, sudah malam.” Ujar laras.
Bambang dan laras pun masuk kedalam kamar. Sementara fania membereskan cangkir bekas minum mereka kemudian mencucinya. Setelah mencuci fania beranjak ke kamarnya.
********
Baru juga memejamkan mata, laras merasa ada sesuatu yang menggerayangi tubuhnya. Terutama di pangkal pahanya. Sedikit laras mencoba membuka mata.
“Abi,,,,,,, nggak tidur??? ” Ternyata pelaku penggrayangannya adalah suaminya.
“Aku pengen sayang. Maaf ya jika mengganggu tidurmu. Kamu diam saja, biar aku yang bekerja. Kamu tinggal menikmati enaknya saja. ” Ujar Bambang.
Tanpa mereka berdua sadari ada sepasang mata mengintip mereka dari luar jendela. Dan orang tersebut adalah seorang pemuda Bernama alif. Melalui celah jendela tersebut, suasana kamar Laras terlihat jelas terutama ranjang tempat tidur Laras dan suaminya. Di ranjang tersebut, Alif melihat Laras dan suaminya telanjang bulat tanpa selembar pakaianpun menutupi tubuh mereka berdua. Alif sempat tertegun melihat Laras dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Tubuh laras berkulit kuning langsat yang telah punya anak usia 23 tahun tersebut ternyata masih kencang dan terlihat montok dengan sepasang buah dada besar yang menggelayut di dadanya. Kemaluan Laras juga nampak bersih dari bulu-bulu.
Laras terlihat bernafsu menciumi sekujur tubuh suaminya hingga akhirnya terhenti di bagian kontol Bambang. Tubuh Alif gemetar ketika matanya melihat laras mengulum kontol Bambang yang tegak mengeras. Kontol suami Laras itu besar dan panjang dengan otot-ototnya yang terlihat menonjol, dan terlihat sangat kontras dengan tubuh Bambang yang kerempeng. Laras terlihat sangat bernafsu menjilati dan menciumi kontol suaminya tersebut hingga beberapa lama, laras ini asyik dengan batang kontol suaminya tersebut. Alif yang melihat keasyikan Laras hanya mampu terengah membayangkan dirinya juga ikut dikulum kontolnya oleh laras.
Bambang terlihat tersenyum-senyum dan terkadang melenguh keenakan menikmati perbuatan istrinya tersebut. Ketika Laras kemudian menggenggam kontol suaminya dan diarahkan ke liang kemaluannya, Bambang segera membalikkan tubuh montok Laras sehingga Bambang kini berposisi menindih istrinya. Laras terpekik manja namun beberapa saat kemudian wanita ini mendesah ketika kontol besar suaminya mulai menembus liang kemaluannya dan beberapa saat kemudian perempuan yang sudah berusia sepantaran ibu alif ini merintih-rintih jalang ketika suaminya menyetubuhinya.
Alif yang melihat adegan tersebut melalui celah jendela hanya terengah-engah dengan tubuh panas dingin ketika kontol besar Bambang menyodok kemaluan Laras berulangkali. Alif melihat lubang kemaluan Laras yang tampak lebar itu seakan tidak muat dimasuki kontol suaminya. Tubuh montok Laras tampak terguncang-guncang oleh gerakan kontol suaminya sementara kedua payudara laras dengan puting susu yang tegak kecoklatan ini tampak dikunyah-kunyah oleh Bambang dengan penuh nafsu.
Adegan-adegan di ranjang Laras ini membuat Alif terangsang, jauh lebih terangsang dibanding waktu melihat film porno di internet sehingga pemuda itu kemudian mengocok-ngocok kemaluannya sendiri. Alif membayangkan kontolnya juga menyodok kemaluan laras. Laras merintih-rintih kenikmatan dengan tubuh yang terguncang-guncang.
“Ohh…ohhh…ssshh….terusss….enaaaaaak..ahhh”
“Sst…jangan keras-keras …nanti kedengaran Fania……kasihan dia belum nikah” bisik suaminya membuat Laras tertawa manja. Wajah Alif memerah mendengar obrolan diantara suara-suara persetubuhan suami istri ini yang membicarakan fania gadis yang disukainya. Mendadak ada rasa bersalah yang menyergap Alif yang tengah mengintip aktivitas suami istri ini di kamar sehingga membuat Alif berniat kembali. Namun niat itu buyar ketika Alif melihat tubuh Laras mengejang dan memeluk suaminya erta-erat. Pemuda itu melihat Laras rupanya telah sampai di puncak kenikmatannya.
“Ahhhhh Abiii……Ummi keluarrrr..aaahhhhh..ssshhhh” pekik Laras sambil memeluk erat suaminya dan melingkarkan kedua pahanya membelit tubuh suaminya dengan pantat yang terangkat tinggi.
Alif melihat ekspresi wajah Laras terlihat merasakan kenikmatan yang luar biasa. Beberapa saat kemudian Alif melihat tubuh ibu fania itu lemas.
“Aku belum keluar, sayang” desis Bambang yang disambut dengan senyuman lemah istrinya. Alif melihat cukup jelas cairan kenikmatan Laras keluar dari liang kemaluan yang masih dimasuki kontol suaminya.
“Tuntasin aja bi,” desis Laras kelelahan.
Tubuh lemas Laras kemudian kembali terguncang-guncang oleh gerakan kontol suaminya. Cukup lama tubuh montok laras terguncang-guncang sebelum akhirnya suami Laras menggeram lantas memeluk istrinya erat. Laki-laki bertubuh kurus namun berkontol besar itu membenamkan kontolnya dalam-dalam. Tubuh Laras tersentak ketika suaminya juga mengeluarkan mani dengan bergelombang di dasar kemaluannya. Laras pun balas memeluk suaminya dengan erat. Kamar yang semula riuh oleh bunyi beradunya dua tubuh yang bersenggama mendadak sunyi. Hanya terdengar dengus nafas keduanya yang masih berpelukan dengan kontol Bambang masih tertanam di kemaluan istrinya. Mata Laras tampak terpejam dengan senyum tersungging di bibirnya. Tak lama alif meninggalkan kamar laras dan Bambang menuju jendela kamar fania.
Sedangkan Di dalam kamar fania. Fania sedang mengganti baju dengan baju tidurnya. Dilepasnya cadar, jilbab dan hanya menyisakan gamisnya. fania berdiri didepan kaca melihat tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang dulu kurus, dekil dan tak terawatt sekarang sudah berubah sepenuhnya. Tubuh fania tampang langsing, kulitnya putih bersih dan dibalik gamisnya ada payudara yang berukuran besar. Saat akan tidur fania mendengar suara berisik tepat di luar jendela kamar.
“suara berisik apa itu? Hmm, aku harus melihatnya.”
Fania menuju jendela kamarnya dengan perlahan. Dia terkejut melihat bayangan wajah seseorang pria yang terpampang di balik jendela. Dia langsung mundur beberapa Langkah karena terkejut ada orang yang mengintip. Apalagi fania saat ini tidak memakai cadar yang biasa menutupi wajahnya. Namun dalam sekejab bayangan itu menghilang.
“astagaaa….si….siapa kamu? abiiiiii!!”
“Husstt … tolong jangan berteriak, Fania. Ini aku Alif ….”
“Alif … Alif siapa? Alif anaknya Tante humaira?” tanya Fania tak percaya.
“Iya…” Alif belum selesai bicara, Bambang sudah berteriak dan mengetuk pintu kamar putrinya.
“Ada apa Fania? Kenapa kamu berteriak?”
“Itu, Abi, ada orang di jendela!” Fania membuka pintu kamar kemudian menunjuk ke arah jendela. Ternyata Alif sudah lari meninggalkan halaman rumah Bambang.
“Mana orangnya? Biar Abi cari di sekitar rumah.”
“I… iya, Abi.”
Bambang bergegas keluar kamar dan berlari menuju halaman. Terlihat olehnya bayangan seorang pria yang berlari melewati pagar rumahnya. Bambang pun berusaha mengejarnya tapi sampai di ujung gang, dia kehilangan jejak.
“Ngapain Alif ke sini? Apa dia nggak bisa bertamu baik-baik? Astaghfirullah, mana aku tadi nggak pakai cadar lagi. Semoga saja dia nggak lihat wajahku. Alhamdulillah lampu kamar sudah aku matikan,” gumam Fania penasaran.
Fania pun keluar kamar mendengar suara ummi dan abinya di teras rumah.
“Anaknya sudah lari, nggak terkejar. Sudahlah, yang penting Fania baik-baik saja. Besok Abi akan suruh orang memasang teralis jendela kamarmu, Nduk, biar aman!” Bambang khawatir kejadian malam ini akan terulang lagi.
“Iya, Abi,” balas Fania.
“Ada-ada saja, apa jangan-jangan itu orang yang kepo pengen lihat wajahmu, Fania? Selama ini kampung kita aman-aman saja. Ummi rasa kalau maling nggak mungkin,” ucap Laras.
“Nggak tahu juga, Bu, mungkin saja. Semoga nggak terulang lagi. Fania juga takut, Bu,” sahut Fania yang tiba-tiba takut dengan kenekatan Alif.
“Besok Abi akan menghubungi teman Abi yang punya usaha bikin pagar dan teralis. Bila perlu kita ganti saja pagar bambunya dengan pagar besi, biar aman. Abi masih ada tabungan.” Laras dan Fania mengangguk setuju.
“Kalau masih kurang, pakai saja uang tabungan Fania, Abi.”
“Gampang itu. Ya sudah, kita istirahat lagi. Kalau ada suara-suara di luar jendela, jangan dummika, Nduk. Lapor saja sama Abi.”
“Iya, Abi.”
Fania pun masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pikirannya tertuju pada wajah pria yang baru saja dilihatnya. Dia segera mengucap istighfar berulang kali. Rasa malu dan penasaran membuat Fania tidak bisa tenang. Malu karena pria itu melihat wajahnya tanpa cadar. Penasaran dengan alasan Alif sampai menyelinap masuk ke halaman rumahnya dan berdiri tepat di luar jendela kamarnya.
“Apa maksudnya Alif tadi ke sini? Sebaiknya aku besok bilang terus terang sama Abi dan Ummi.”
Fania berusaha memejamkan mata. Bibirnya tak berhenti mengucap istighfar. Beberapa saat kemudian dia pun terlelap.
*****
“Dari mana kamu, alif? Malam-malam keluyuran, kamu itu sudah besar. Sudah waktunya mandiri. Buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya nggak mau kerja!” Hardik Humaira, ibu Alif sembari berkacak pinggang
“Belum ada yang cocok, ummi!” jawab Alif santai, dia sudah terbiasa melihat ibunya seperti itu.
“Dasarnya saja kamu yang malas!” Pandangan mata Humaira yang tajam, tidak membuat Alif takut.
“Alif juga sudah melamar kerja di mana-mana. Mereka rata-rata butuh yang sudah berpengalaman, Pa,” sahut Alif.
“Kapan kamu melamar kerja? ummi lihat kamu di kamar terus. Kalau nggak di kamar, kerjaanmu nongkrong di warkop sama teman-temanmu yang nggak jelas itu!”
“Ya, Ummi, jaman sekarang cari kerja kan nggak harus pergi ke sana ke mari seperti jaman Ummi dulu. Sekarang kalau melamar kerja bisa online. Tinggal cari loker yang cocok, kita kirim CV ke perusahaan lewat email.” Mendengar jawaban putranya, Humaira pun melunak. Bahkan sekarang dia duduk di samping Alif.
“Ooh, canggih juga, ya.”
“Ya iyalah, jangan Ummi kira Alif nggak ngapa-ngapain, ummi. Alif juga sudah usaha,” jelas Alif.
“Baguslah kalau begitu. Sudah tidur sana, jangan begadang.” Namun alif tak masuk kekamarnya tapi justru mengikuti umminya.
“kamu ngapain ngikutin ummi?”
“aku pengen tidur sama ummi” ucap alif
“tapi kamu kan sudah besar” sedikit keras
“maaf ya ummi tapi aaaaakuu” belum selesai ucapannya, alif langsung membalik tubuh umminya dan berusaha mencium bibirnya. Nafsu menumpuk yang tak tersalurkan pada ustadzah laras tadi terpaksa dia lampiaskan pada ibunya.
“lepasin ummi lif…ayo lepasin… buruan…” sambil tangannya berusaha menjauhkan alif dari tubuhnya tapi semua itu sia-sia karna tenaga alif memang jauh lebih kuat darinya.
Alif memegangi umminya dengan 1 tangan sementara tangan yang lain berusaha membuka celananya. Setelah berhasil kontol alif sudah terlihat begitu tegang dan keras. Setelah berhasil melepaskan celana kini alif mencoba mencium umminya Kembali, berhubung selalu gagal akhirnya tangan alif meraih cdnya dan dia tarik paksa dari tempatnya.
“alif.. lepasin..liiifff..lepasin” ucap umminya yang semakin keras
“jangan teriak-teriak ummi nanti ada yang denger bisa bahaya” ucap alif berbisik lalu dia menarik kaki umminya agar mendekat ke arahnya.
“ummi.. ga perduli pokoknya kamu lepasin ummi sekarang” ucap umminya sambil memukul-mukul dada alif
Alif Langsung menindih tubuh umminya dengan salah satu tangannya mengarahkan kontolnya pada memek umminya. Tapi setiap kali kontolnya berusaha masuk umminya menggeser pantatnya jadi kontol alif selalu meleset di buatnya. Alif Langsung mengangkat kedua kaki umminya dan meletakannya di pundaknya lalu alif menyodokan lagi kontolnya. Baru saja kepala kontolnya yang masuk alif sudah merasakan betapa menjepitnya memek umminya ini meskipun alif belum melihat jelas bentuknya tapi jepitannya begitu terasa di bawah sana.
Alif mendorong sedikit masuk kontolnya kali ini memek itu semakin terasa mencengkram dan memijat kontolnya didalam sana, lalu dia dorong lagi sampai kontolnya masuk seutuhnya. “blesss” saat kontol alif masuk seutuhnya dia bergumam “pantas saja enak banget ternyata memek ummi benar-benar menjepit dan mencengkram selain itu otot-otot yang ada didalam sana seolah memiliki lidah yang menjilati dari dalam”.
Setelah alif mendiamkan selama 5 menit kontolnya di dalam memek umminya dan menikmati setiap pijatan yang di berikan oleh memeknya. Alif mulai menariknya dan memasukannya lagi. Kali ini kontolnya benar di buat kualahan oleh memek umminya bagaimana tidak setiap kali dia menarik kontolnya alif merasa seolah memek itu ikut tercabut dan ketika alif memasukannya lubangnya terasa begitu dalam dan mencengkram.
“oohhh… enak banget ummi…” ucap alif begitu saja
Tapi umminya tidak menjawabnya, jujur saja bagi alif memek umminya terasa nikmat sekali bahkan sedikit lebih enak dari memek ustadzah laras sekalipun.
“splooookk…. splooookk…… splooookk…… splooookk…..” suara itu semakin terdengar jelas saat alif mulai mempercepat gerakannya.
Tapi alif heran kenapa umminya tidak mendesah sama sekali apa dia berusaha menyembunyikannya darinya. Bahkan saat tubuhnya bergetar karna dia mendapat orgasme dia tetap saja tidak mendesah. Tapi alif tidak perduli baru sekitar 15 menit alif menyodok memek umminya, alif merasa akan keluar diapun heran kenapa aku secepat ini keluar. Tapi memang tak alif pungkiri memek umminya memang begitu nikmat menurutnya.
Kemudian “Crooottt…crrooott…crooot..Crooottt…crrooott…crooot..” alif merasa pejunya keluar banyak sekali karna memang sudah hampir 4 hari alif menahannya setelah terakhir kali dia semprotkan di memek ustadzah laras saat memperkosanya.
Saat kontolnya mengecil, alif mencabut kontolnya dari memek umminya “plop” suara itu keluar saat alif mengeluarkan kontolnya dari memek umminya.
“anak brengsek… plaaaaakk” suara tamparan humaira saat dia bangun dari tempat tidur.
*******
Pagi harinya, setelah selasai mandi Saat alif hendak kembali kekamar tiba-tiba ada suara yang menghentikan langkahnya
“alif..” panggil Humaira dengan keras
“iya ummi” jawab alif pelan
“Ummi mau ngomong sama kamu” ucapnya sedikit keras
“iya ummi” ucapku lagi pelan
“duduk situ” sambil menunjuk sofa di ruang tamu
“kamu ini kenapa kemaren memperkosa ummi?” ucapnya dengan nada keras
“maafin aku ya ummi” ucap alif memohon
“ma..af kata kamu?” ucap humaira mulai serius
“iya ummi” jawab alif pelan
“sekarang kamu jawab dengan jujur pertanyaan ummi dengan jujur” ucapnya yang mulai keras
“bab,,baabbaa..baik ummi” alif gugup
“pasti perkosaan kemaren bukan pertama kalinya kan?” selidiknya
“itu beneran yang pertama ummi” alif segera menjawabnya
“bohong!!!!” ucapnya keras
“bukankah tadi ummi sudah bilang kamu harus jujur, mau kamu ummi tampar lagi?” ucapnya makin keras
“jangan ummi sakit” alif langsung mengiba
“kalo gitu sekarang jawab dengan jujur” ucap humaira masih keras
“iya ummi sebenernya itu bukan yang pertama” ucap alif menunduk
“kenapa tadi kamu bohong sama ummi” humaira kembali bertanya
“aku takut ummi marah” alif masih tertunduk
“kalo kamu jawab dengan jujur semua yang ummi tanya kekamu ummi janji ummi ga bakal marah tapi kalo kamu bohong ummi akan tampar kamu” ucapnya sinis
“ampun ummi jangan” ucap alif memohon
“kalo gitu ikutin apa yang ummi perintah” ucap humaira lagi
“ba..bbaabb…bbaik ummi…” ucap alif makin pelan
“siapa orang yang kamu perkosa sebelum ummi?” humaira mulai menyelidik
“ga ada ummi, cuma ummi yang aku perkosa kalo yang sebelum ummi emang mau sendiri” ucap alif jujur sesuai dengan perintah umminya
“siapa?” tanya Humaira
“ustadzah Haifa ummi” jawab alif pelan
Alif pun menceritakan semua kejadian saat itu dengan ustadzah haifa.
Flashback on
Sore itu alif mengendari motornya sehabis pulang dari kuliah. Saat melewati pematang sawah alif melihat ustadzah Haifa salah satu tetangganya berjalan sendirian. Alif pun berinisiatif memberikan tumpangan.
“assalammualaikum ustadzah”
“walaikumsalam….ehh alif” jawab ustadzah haifa
“ustadzah yuk bareng saya, saya antar pulang” ajak alif
“ga usah alif nanti ngrepotin” tolak ustadzah Haifa
“gak ngrepotin kok ustadzah, lagian cuacanya mendung sebentar lagi hujan” tawar alif lagi
Ustadzah Haifa diam sejenak menimbang tawaran alif
“ya udah yuk, ustadzah numpang ya” jawab ustadzah Haifa menerima tawaran alif
Dalam perjalan mereka lebih banyak diam. Beberapa puluh meter sebelum sampe rumah tujuan hujan gerimis mulai turun, saat sampai rumah tiba-tiba hujan turun deras.
“alhamdulillah akhirnya sampai juga” ucap ustadzah haifa saat mereka sampai dirumah. Alif hanya diam merasakan dingin ditubuhnya. Mereka berdua segera masuk dalam rumah. Ustadzah haifa langsung pergi kebelakang rumah untuk mengambil jemuran yang belum diangkat dan membawanya masuk.
“Untung ada kamu lif.” Ujar utadzah haifa lega.
Alif tersipu malu mendapat pujian dari ustadzah Haifa. “Eh iya ustadzah.” Ujar Alif seraya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Saya pulang dulu ya ustadzah !”
“Loh mau kemana? Ini masih hujan lif! Sudah di sini saja berteduh dulu.” Cegah Ustadzah haifa, membuat Alif sedikit kegirangan, karena itulah yang dia mau.
“Pak ustad belum pulang… ustadzah ?” Tanya Alif berbasa-basi.
“Belum, suami ustadzah lagi keluar kota selama seminggu.” Pak ustad Suami Ustadzah haifa memang sering bepergian keluar kota mengurus pengajian. Sedangkan 2 orang anaknya yang berumur 15 dan 12 tahun berada dipesantren. Saat ini ustadzah haifa berumur 35 tahun. Mendengar Pak ustad belum pulang, membuat Alif semakin bersemangat, bahkan di dalam hati ia berharap hujan tidak cepat reda.
“Ustadzah ganti baju dulu ya basah ni.” Ujar Ustadzah haifa.
Alif mengangguk, di dalam hatinya ia kecewa karena dengan gamis yang agak basah, ia bisa melihat lekuk tubuh Ustadzah haifa.
Tetapi kekecewaan alif sirna ketika melihat Ustadzah haifa yang telah berganti pakaian keluar dari dalam kamarnya. Saking kagetnya alif sampai melongok melihat Ustadzah haifa yang mengenakan kebaya berwarna putih semi transparan yang di padu kain kemben yang panjangnya hanya satu jengkal dari selangkangan Ustadzah haifa. Kemudian Ustadzah haifa duduk lesehan di dekat Alif dengan posisi kaki yang ia lipat ke belakang, membuat kain kembennya ketarik makin keatas, memperlihatkan kulit pahanya yang mulus. Sembari memperhatikan Ustadzah haifa melipat pakaian, diam-diam Alif mengintip belahan payudara Ustadzah haifa dari sela-sela kerah leher kebaya yang di kenakan Ustadzah haifa. Ketika lagi sedang asyik-asyiknya mengintip, aksinya malah ketahuan Ustadzah haifa.
“Hayo liat apa kamu?” Tegur Ustadzah haifa.
Alif buru-buru memalingkan wajahnya. “Eh… Maaf ustadzah! Hehehe…” Tawa Alif salting setelah aksinya ke pergok oleh tetangga yang juga seorang ustadzah itu
“Nanti Ustadzah aduin sama Pak Ustad loh?”
“Ya Allah Ustadzah kejam banget!” Sungut Alif, sembari memandang Ustadzah haifa yang tengah tersenyum manis kearahnya.
“Makanya jangan macem-macem!”
“Hehehe… Iya deh Ustadzah.”
Ustadzah haifa mengubah kembali posisi duduknya dengan menyamping, membuat kainnya tersingkap semakin tinggi. Walaupun tidak begitu jelas, Alif dapat melihat selangkangan Ustadzah haifa yang di balut kain segitiga berwarna putih yang membungkus vaginanya. Pemandangan tersebut membuat terpedo Alif kian memberontak di balik celananya.
“Kok bengong?” Sindir Ustadzah haifa.
Alif langsung salah tingkah. “Maaf Ustadzah, habisnya Ustadzah haifa cantik banget jadi pangling.” Gombal Alif, sembari mencuri pandang kearah selangkangan Ustadzah haifa.
“Apanya yang cantik, Ustadzah in ikan udah tua, gak ada cantik-cantiknya.”
“ustadzah masih cantik kok, cantiknya natural, kayak masih umur 20 tahunan.” Ujar Alif sedikit berbisik membuat Ustadzah haifa tersipu malu mendengarnya.
“Hihihi… Sudah pintar ngegombal ya sekarang kamu.” Ujar Ustadzah haifa sembari menyentil hidung Alif.
Mereka berdua pun tertawa bersamaan, dan tanpa mereka sadari hujan sudah sedari tadi berhenti. Sembari membantu melipat jemuran Ustadzah haifa, mata Alif berulang kali melirik kearah payudara dan selangkangan Ustadzah haifa secara bergantian. Walaupun Ustadzah haifa tau kelakuan nakal Alif, tetapi ia mendiamkannya dan pura-pura tidak menyadari kenakalan Alif. Karena pada dasarnya sebagai seorang wanita, Ustadzah haifa merasa bangga kalau ada seorang pria mengagumi kecantikan tubuhnya, di tambah lagi Alif adalah sosok pria yang terlihat jantan di mata Ustadzah haifa. Perlahan ia menggerakkan kakinya yang sedari tadi di tekuk ke samping, ia meluruskan kakinya sebentar lalu melipatnya dengan posisi duduk bersila, alhasil kain kemben yang di kenakan Ustadzah haifa semakin tersingkap, memamerkan sepasang paha mulusnya dan gundukan tebal yang terbungkus kain segitiga berwarna putih. Alif sampai menelan air liurnya yang hambar saat melihat celana dalam Ustadzah haifa yang sudah terlihat lecek karena memeknya yang mulai basah.
“Gimana kuliahmu lif?” Tanya Ustadzah haifa hanya sekedar berbasa-basi.
“Begitulah Ustadzah, kurang semangat…”
Ustadzah haifa tampak menghela nafas. “Kok gitu, gak boleh males-malesan, kasihan loh sama orang tua kamu.” Nasehat Ustadzah haifa.
Alif hanya manggut-manggut, ia tidak begitu mendengarkan ucapan Ustadzah haifa, karena matanya fokus memandangi selangkangan Ustadzah haifa yang terlalu menggairahkan, membuat darah mudanya bergejolak liar dan hampir tidak mampu ia tahan. Ustadzah haifa yang menyadari nasehatnya tidak di gubris Alif, hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum memakluminya.
“Bentuknya lucu ya Ustadzah?” Tutur Alif, sembari memegangi jemuran celana dalam milik Ustadzah haifa berwarna merah.
“Lucu gimana?”
“Di depannya ada renda-rendanya.” Ujar Alif mendiskriminasikan bentuk celana dalam yang ia pegang saat ini.
Ustadzah haifa tertawa renyah. “Kamu suka?” Goda Ustadzah haifa, sembari menatap Alif dengan tatapan yang menggoda iman kelakuan Alif. Merasa tertantang Alif pun memberanikan diri berterus terang.
“Suka! Keliatan lebih seksi.” Jawab Alif, sembari menatap gundukan di selangkangan Ustadzah haifa.
Seakan tidak mau kalah Ustadzah haifa menekuk lututnya keatas, sembari menaruh tangannya ke belakang, menjadi penyanggah tubuhnya. “Lebih suka warna merah apa warna putih?” Pancing Ustadzah haifa.
Alif tidak langsung menjawab, ia memandangi Ustadzah haifa dari dadanya yang membusung ke depan, hingga turun menatap nanar selangkangan Ustadzah haifa yang dibungkus celana dalam berwarna putih yang terlihat semakin basah. Ustadzah haifa dengan sengaja membuka lututnya lebih lebar, hingga Alif dapat melihat lipatan di selangkangannya, dan tampak rambut-rambut hitam menyembul keluar dari sela-sela pinggiran celana dalam yang di kenakannya.
“Ehmmm…” Alif pura-pura berfikir, kemudian dengan terang-terangan ia menatap selangkangan Ustadzah haifa. “Lebih suka warna putih.” Jawab Alif.
Ustadzah haifa kembali tersenyum, dan sedetik kemudian ia kembali merubah posisi duduknya sembari menarik kebawah kain kembennya, menutup akses pemandangan indah yang memanjakan mata si pemuda yang ada depannya saat ini. Alif tampak menghela nafas kecewa, membuat Ustadzah haifa terkikik.
“Hihihi… Kayaknya ada yang kecewa.” Sindir Ustadzah haifa.
“Sangat kecewa.” Jawab Alif pelan.
“Hihihi… Astaghfirullah…” Tawa Ustadzah haifa makin kencang. “Udah ah, Ustadzah ke kamar mandi dulu ya, gak tahan.” Kata Ustadzah haifa sembari mengedipkan matanya kearah Alif.
Alif melongok dengan mulut terbuka sembari memandangi Ustadzah haifa dari belakang, hingga akhirnya menghilang dari pandangannya. Selama menunggu Ustadzah haifa, Alif terlihat tidak tenang, beberapa kali ia terlihat memperbaiki celananya yang terasa sempit dan sesak. Sepuluh menit kemudian, akhirnya Ustadzah haifa kembali menemui Alif dengan raut wajah tegang.
“Kamu sudah punya pacar belum lif?” Tanya Ustadzah Haifa membuyarkan lamunan Alif.
“Belum Ustadzah!” Jawab Alif sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Masak si kamu belum punya pacar? Ustadzah yakin pasti banyak cewek yang suka sama kamu.” Puji nya, membuat Alif makin salah tingkah.
“Ustadzah bisa aja.”
Ustadzah Haifa menatap serius Alif. “Sebelum menikah, tidak ada salahnya pacaran dulu Lif.” Nasehat Ustadzah Haifa, kali ini obrolan mereka terlihat lebih serius.
“Dulu Ustadzah sama Pak ustad pacaran berapa lama?”
“Ustadzah gak pacaran dulu! Kami berdua di jodohkan, dan hasilnya Ustadzah merasa kecewa.” kata Ustadzah Haifa.
Alif terdiam sejenak, ia tidak menyangkah kalau rumah tangganya Ustadzah Haifa dengan Pak ustad bermasalah, karena selama ini yang Alif lihat mereka sepertinya baik-baik saja, bahkan Alif tidak pernah mendengar mereka meributkan sesuatu.
“Emangnya pak ustad tidak sebaik yang terlihat ya Ustadzah?” Tebak Alif yang di selingi dengan pertanyaannya.
Ustadzah Haifa menggelengkan kepalanya. “Bukan itu masalahnya Lif! Suami Ustadzah itu orangnya sangat baik banget, dan perhatian juga sama Ustadzah.” Jawab Ustadzah Haifa, membuat Alif makin bingung.
“Jadi masalahnya apa dong Ustadzah?”
“Menikah itu bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan lahir aja, tapi juga kebutuhan batin, khususnya kebutuhan biologis, atau sex. Kamu mengerti kan maksud Ustadzah?” Ujar Ustadzah Haifa, Alif menganggukkan kepalanya.
“Suami Ustadzah mungkin memang pria yang baik, tapi sayangnya dia tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis Ustadzah.” Sambungnya lagi.
“Aku gak begitu paham Ustadzah! Emang bagaimana cara memenuhi kebutuhan biologis wanita Ustadzah.” Tanya Alif yang tampak antusias.
Sebagai seorang pria yang nantinya akan memiliki seorang Istri, rasanya sudah sewajarnya kalau Alif menganggap obrolannya saat ini sangat penting, selain itu obrolan mereka yang semakin panas, membuat Alif makin bergairah.
“Itulah gunanya pacaran lif! Selain agar bisa saling mengenal, pacaran juga bisa mengasah kemampuan kamu dalam memuaskan wanita.” Jawab Ustadzah Haifa seraya mengedipkan matanya.
“Ustadzah bisa aja, hehehe…”
Ustadzah Haifa ikut tertawa, obrolan mereka berlanjut, dan semakin dalam membahas tentang hubungan pria dan wanita. Tentu saja Alif dengan senang hati menanggapi obrolan saru tersebut. Ustadzah Haifa menjelaskan detail tentang apa saja yang di inginkan wanita terhadap seorang pria, terutama masalah ranjang. Ustadzah Haifa juga menasehati Alif agar tidak mengecewakan pasangannya, agar pasangannya bisa setia kepada Alif, dan Ustadzah Haifa juga memberitahu Alif resiko kalau Alif tidak mampu memberikan kebutuhan biologis seorang wanita.
“Jangan salahkan pasanganmu mencari kepuasan di luar sana, jikalau seandainya kamu gak bisa memberikan kepuasan biologis kepadanya Lif.” Ujar Ustadzah Haifa.
“…..” Alif terdiam menyimaknya.
“Tapi Ustadzah yakin kok, kamu pasti bisa memuaskan pasanganmu nanti! Hanya saja kamu harus banyak belajar, dan mencari pengalaman.” Ustadzah Haifa menyentil hidung Alif.
Ngomong-ngomong kamu mau gak belajar sama Ustadzah jadi pria idaman.” Kata Ustadzah Haifa sembari menatap Alif, membuat Alif salah tingkah.
“Ustadzah serius mau ngajarin?”
Ustadzah Haifa hanya tersenyum
“Serius Ustadzah?” Tanya Alif bersemangat.
Ustadzah Haifa mengangguk. “Duarius.” Katanya seraya tersenyum manis.
“kamu pernah ngentot atau ML atau bersetubuh dengan lawan jenis.?”
Deg…
Alif tampak shock dengan pertanyaan tersebut. “Belum pernah Ustadzah!” Jawab Alif jujur.
“Kamu mau menyerahkan keperjakaan kamu sama Ustadzah?”
Lagi-lagi Alif terdiam. “Ma-maksud Ustadzah, kita begituan?” Tanya Alif terlihat sangat terkejut mendengar permintaan Ustadzah Haifa.
“Bukannya tadi kamu bilang ingin belajar cara memuaskan perempuan.”
“Iya bener Ustadzah, tapi aku pikir itu belajar cara merayu perempuan, hehehe…” Jawab Alif salah tingkah, membuat Ustadzah Haifa yang juga ternyata salah paham ikut tertawa renyah.
“Ya Allah lif! Ustadzah kira kamu tuh cowok playboy, gak taunya masih anak kemarin sore juga. Hihihi…” Tawa Ustadzah Haifa tidak menyangka, melihat kelakuan Alif yang begitu berani menggodanya tetapi ternyata masih sangat polos.
“Jadi gimana Ustadzah? Tawaran ngentot nya?”
“Kamu ihklas?”
“Ihklas Ustadzah, sangat ihklas…” Jawab Alif semangat.
Ustadzah Haifa memulai pelajaran pertama bagaimana cara menaklukan wanita. Mula-mula Ustadzah Haifa mengajarkan Alif cara menatap mata wanita, yaitu dengan cara memandangi matanya selama beberapa detik sembari tersenyum, saat wanita itu menyadarinya Alif harus segera menundukkan wajahnya. Ustadzah Haifa juga memberitahu Alif cara menjawab kalau seandainya wanita tersebut bertanya kenapa Alif melihatnya. Tidak hanya itu saja, Ustadzah Haifa juga mengajarkan Alif bagaimana cara menyentuh wanita, hingga wanita itu mau berciuman dengannya. Alif mendengarnya dengan seksama dengan tatapan antusias.
“Kita peraktek ya.” Ajak Ustadzah Haifa, Alif menganngguk setuju. “Sekarang kamu tatap mata Ustadzah.” Suruhnya.
Alif mulai menatap mata Ustadzah Haifa selama beberapa detik, kemudian ia memalingkan wajahnya ketika Ustadzah Haifa melihatnya.
“Kenapa kamu ngeliatin Ustadzah kayak gitu?” Tanya Ustadzah Haifa berpura-pura.
Alif mengangkat wajahnya, memandang lawan bicaranya seraya tersenyum. “Ustadzah cantik… Tapi itu di mata ada beleknya.” Jawab Alif seraya tersenyum, kemudian Alif menjulurkan tangannya, membersihkan mata Ustadzah Haifa yang sama sekali tidak ada beleknya.
“Pinter…” Puji Ustadzah Haifa. “Ini salah satu contoh, mungkin kamu bisa melakukan improvisasi sendiri.” Jelas Ustadzah Haifa. “Yuk lanjut.” Suruh Ustadzah Haifa lagi.
Kemudian Alif memegang tangan Ustadzah Haifa, seraya menatap mata indahnya. Dengan perlahan Alif mendekatkan wajahnya ke wajah Ustadzah Haifa, hingga Ustadzah Haifa memejamkan matanya. Dan pada saat itulah Alif mencium lembut bibir Ustadzah Haifa. Ia mengecupnya dengan perlahan, tanpa melepaskan pegangan tangannya selama beberapa detik.
“alif? Kenapa kamu mencium Ustadzah?”
Alif kembali tersenyum. “Karena aku ingin, dan Ustadzah pantas mendapatkannya.” Jawab Alif seraya kembali mendekatkan bibirnya kearah bibir Ustadzah Haifa, kemudian kembali menciumnya.
Kali ini Alif tidak hanya mengecup tapi juga melumat sembari menunggu reaksi Ustadzah Haifa. Ketika Ustadzah Haifa mulai bereaksi, Alif menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Ustadzah Haifa, mencari lidah Ustadzah Haifa lalu membelitnya dengan mesrah.
Ustadzah Haifa menuntun tangan Alif kearah payudaranya. “Jangan lupa sentuhan.” Ingat Ustadzah Haifa di sela-sela ciuman mereka.
Alif meremas pelan payudara Ustadzah Haifa, hingga mentornya mulai terbawa suasana yang membuat nafas Ustadzah Haifa tersengal-sengal. Ia tidak menyangkah kalau Alif akan sangat cepat belajar. Cukup lama mereka berciuman, hingga akhirnya Alif melepaskan kembali ciumannya.
“Astaghfirullah… Apa yang kamu lakukan? Ini dosa…” Ujar Ustadzah Haifa berpura-pura.
Alif tersenyum, sembari membelai pipi Ustadzah Haifa yang merona merah. “Biar dosa itu aku tanggung sendiri.” Jawab Alif, yang kemudian kembali melumat bibir Ustadzah Haifa dengan perlahan. Telapak tangan Alif kembali menjamah payudara Ustadzah Haifa, kemudian turun membelai paha Ustadzah Haifa. Elusan tersebut semakin lama semakin naik keatas, ketika Alif hendak mengelus paha bagian dalamnya, Ustadzah Haifa menahan pergelangan tangan Alif agar tidak menyentuh kemaluannya.
Hmmmpssss…. Hmmmppssss… Hmmmppssss…
Alif semakin intens mencium bibir Ustadzah Haifa, sembari memijit pahanya. Ketika pegangan Ustadzah Haifa merenggang, jemari Alif kembali naik keatas menuju selangkangan Ustadzah Haifa, ia memijit memek Ustadzah Haifa dari luar gamis yang ia kenakan dengan perlahan, mengurut dan menggosok-gosok memek Ustadzah Haifa. Ustadzah Haifa terlihat semakin hanyut akan permainan Alif yang begitu rapi. Sentuhan Alif kembali naik keatas, meremas-remas payudara Ustadzah Haifa dengan perlahan. Kemudian kedua jarinya mulai membuka kancing gamis Ustadzah Haifa, hingga kancing terakhirnya. Alif melepas ciumannya, memberikan kesempatan bagi Ustadzah Haifa mengatur nafasnya yang tampak ngos-ngosan.
“Ustadzah cantik banget…” Puji Alif.
Kemudian Alif menurunkan pakaian Ustadzah Haifa hingga sebatas pinggangnya.
Kemudian Alif merangkul, memeluk mesrah Ustadzah Haifa sembari mencium wajahnya. “Behanya aku buka ya?” Pinta Alif.
“Jangan lif, aku malu.”
Alif tetap melanjutkan aksinya, ia membuka kancing belakang bh Ustadzah Haifa, lalu menyingkirkan beha tersebut dari tubuh Ustadzah Haifa.
“Cukup lif!” Pinta Ustadzah Haifa, Alifpun menghentikan aksinya.
“Gimana Ustadzah?”
“Sempurna…” Puji Ustadzah Haifa. “Intinya jangan terburu-buru, lakukan dengan perlahan. Oh ya satu lagi, cobalah untuk memuji pasangan kamu sesering mungkin saat kamu mencumbunya.” Jelas Ustadzah Haifa
“Siap Ustadzah.”
Ustadzah Haifa berdiri, lalu menggandeng tangan Alif, mengajak pemuda itu masuk ke dalam kamarnya. Kemudian Ustadzah Ine menanggalkan pakaiannya hingga ia telanjang. Lalu Ustadzah Haifa berbaring diatas tempat tidurnya seraya menatap Alif.
“Cumbu Ustadzah dengan perlahan! Gunakan nalurimu.” Perintah Ustadzah Haifa.
Alif menindih tubuh Ustadzah Haifa, ia menatap mata indah Ustadzah Haifa. Kemudian ia mulai mencium kening Ustadzah Haifa, turun ke hidung, kedua pipi nya, lalu berhenti di bibir manisnya. Alif melumatnya perlahan, dan semakin lama semakin ganas. Sementara tangan kirinya mendekap kepala Ustadzah Haifa dan tangan kanannya meremas dan memilin puting Alif. Dengus nafas mereka kian memburu, menandakan api birahi mereka semakin berkobar.
“Bibir Ustadzah manis…” Puji Alif jujur.
Ustadzah Haifa tersenyum kecil. “Hisap tetek Ustadzah lif! Hati-hati jangan sampai tergigit putingnya.” Pinta Ustadzah Haifa.
“Iya Ustadzah.”
Mata Alif turun kebawah, memandangi payudara Ustadzah Haifa yang besar berukuran 36D, berbentu oval seperti buah pepaya. Alif mendekatkan bibirnya, mengecup puting Ustadzah Haifa yang berwarna hitam, dengan ujung lidahnya ia menggelitik puting Ustadzah Haifa, membuat wajah Ustadzah Haifa meringis nikmat. Mulut Alif terbuka, melahap payudara Ustadzah Haifa dengan rakus. Ia menghisap nya dari perlahan hingga kuat, menggigit putingnya pelan, membuat Ustadzah Haifa makin belingsattan.
“Oughk… Ya Tuhan! Enak banget sayang…” Racau Ustadzah Haifa.
Kedua tangan Ustadzah Haifa mendekap kepala Alif, mengelus-elus rambutnya, hingga punggung Alif yang tampak berkeringat. Secara bergantian Alif memanjakan payudara Ustadzah Haifa, kiri dan kanan. Seraya menikmati payudara Ustadzah Haifa, tangan kanan Alif turun kebawah, merabahi paha Ustadzah Haifa, terus naik hingga ke selangkangannya. Alif mengusap-usap lembah becek milik Ustadzah Haifa.
“Masukan jari kamu sayang.” Pinta Ustadzah Haifa.
Alif menyelipkan kedua jarinya, menjelajahi lobang memek Ustadzah Haifa yang terasa begitu seret dan basah. Sembari menyusu di payudara Ustadzah Haifa, Alif menggerakan kedua jarinya dengan cepat, mengobok-obok lobang memek Ustadzah Haifa yang semakin basah oleh lendir kewanitaannya. Kemudian ciuman Alif turun keperut Ustadzah Haifa, terus turun menuju selangkangan Ustadzah Haifa. Wanita berusia 35 tahun itu merenggangkan kedua kakinya selebar mungkin, memberi akses bagi si pemuda untuk memandangi kemaluannya yang menjanjikan sejuta kenikmatan bagi kamu pria. Alif terpaku memandangi memek Ustadzah Haifa yang di tumbuhi rambut lebat, tetapi tidak menutupi bagian dalam memek Ustadzah Haifa yang berwarna kemerah-merahan.
“Jilat sayang…” Suruh Ustadzah Haifa.
Alif membenamkan wajahnya di selangkangan Ustadzah Haifa, mencium aroma khas wanita yang memabukkan. Kemudian ia menjulurkan lidahnya, menjilati memek Ustadzah Haifa naik turun, naik turun, menghisap clitorisnya, kemudian menusuk-nusuk lobang memek Ustadzah Haifa dengan lidahnya. Kedua paha gemuk Ustadzah Haifa memeluk erat leher Alif, membuat pemuda itu tampak gelagapan. Tetapi walaupun begitu Alif tetap menjilati memek Ustadzah Haifa. Alif terlihat sangat menikmatinya, begitu pun dengan Ustadzah Haifa.
“alif… Ustadzah keluar…” Jerit Ustadzah Haifa.
Kedua tungkai kaki Ustadzah Haifa semakin erat memeluk kepala Alif. Tubuhnya menggeliat, merasakan orgasme yang luar biasa.
Creeettss… Creeettss… Creeettss…
Perlahan dekapan kedua kaki Ustadzah Haifa merenggang, membuat Alif akhir bisa kembali bernafas legah.
“Tadi itu enak banget! Kamu pintar sayang…”
Alif tersenyum senang mendengarnya. “Jadi apakah aku boleh ngentotin Ustadzah sekarang?” Ucap Alif tidak sabar.
“Sini Ustadzah kulum dulu kontol kamu.”
Buru-buru Alif menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat. Ustadzah Haifa tampak kegirangan melihat ukuran kontol Alif yang besar dan panjang, sesuai prediksinya. Dan karena itulah Ustadzah Haifa mau mengajarkan Alif bercinta.
“Besar sekali kontol kamu Lif.” Puji Ustadzah Haifa
Telapak tangannya seakan tidak mampu menggenggam penuh kontol Alif, saking gemuknya. Kemudian Ustadzah Haifa mulai mencium kepala kontol Alif, menjulurkan lidahnya, menjilati kepala kontol Alif dengan perlahan. Wajah Alif tampak meringis, ini adalah kali pertama Alif merasakan oral sex, dan rasanya jangan di tanya sangat nikmat. Ustadzah Haifa harus membuka selebar mungkin mulutnya agar bisa menghisap kontol Alif, dan itupun hanya seperempat dari kontol Alif yang bisa ia hisap sanking panjangnya. Wajahnya maju mundur mengulum kontol Alif yang terasa hangat di dalam mulutnya.
“Ougk… Ustadzah enak banget…” Racau Alif.
Sembari mengulum kontol Alif, telapak tangan Ustadzah Haifa mengocok batang kemaluannya, membelai kantung testis Alif. Segala teknik oral sex di lakukan Ustadzah Haifa, membuat Alif belingsattan.
“Sudah Ustadzah! Nanti saya keluar.”
Fuaaaah….
Air liur Ustadzah Haifa tampak menetes ketika ia melepas kontol Alif dari dalam mulutnya.
“Masukan sekarang sayang.” Ujar Ustadzah Haifa.
Alif menindih tubuh Ustadzah Haifa, sembari mengarahkan terpedonya kearah lipatan bibir kemaluan Ustadzah Haifa. Beberapakali Alif mencoba, tetapi selalu gagal membuat Alif frustasi.
“Susah sekali Ustadzah.” Rutuk Alif.
Ustadzah Haifa menggenggam kontol Alif. “Kamu harus tenang, jangan buru-buru.” Nasehat Ustadzah Haifa kepada murid sexnya.
Kemudian Ustadzah Haifa menuntun kontol Alif ke cela bibir kemaluannya. “Dorong lif.” Suruhnya
Dengan semangat empat lima, Alif mendorong kontolnya, membela bibir kemaluan tetangganya, menyeruak masuk ke dalam goa milik istri orang. Ustadzah Haifa memejamkan matanya, sedikit perih tapi nikmatnya luar biasa. Tanpa di suruh, dengan menggebu-gebu Alif menggoyangkan pinggulnya maju mundur maju mundur dengan menggebu-gebu.
“Kamu harus tenang lif.” Pinta Ustadzah Haifa.
Sayang Alif mengabaikan peringatan Ustadzah Haifa, jiwa mudanya bergelora, apa lagi ini pengalaman pertamanya, sehingga Alif merasa tidak ingin melewatkan nya. Dan yang di khawatirkan pun terjadi…
“Ustadzaahh… Aaahkk…”
Tubuhnya bergetar hebat, seiring dengan spermanya yang masuk ke dalam rahim Ustadzah Haifa.
Croootss… Croootss… Croootss…
Ustadzah Haifa menatap kecewa kearah Alif, karena ia berharap lebih dari sang perjaga. Tetapi sedetik kemudian ia tersenyum, setelah melihat raut wajah Alif yang tampak frustasi.
Jujur mental Alif langsung kena, padahal sebelumnya ia sangat percaya diri.
“Ma… Maaf Ustadzah.”
Ustadzah Haifa beranjak, kemudian mencium bibir Alif. “Gak apa-apa sayang! Ini pengalaman pertama kamu jadi wajar.” Nasehat Ustadzah Haifa.
“Iya Ustadzah! Ehmm… Apa Ustadzah Haifa masih mau melakukannya lagi?” Tanya Alif ragu.
“Tentu saja! Ustadzah akan mengajarkan kamu sampai bisa menjadi pejantan.” Ujar Ustadzah Haifa sembari mengedipkan matanya.
Wajah murung Alif kembali sumringah. “Terimakasih banyak ya ustadzah.” Kata Alif merasa senang.
“Sekarang kamu istirahat dulu nanti kita lanjut lagi.” Suruh Ustadzah Haifa.
“Iya Ustadzah.”
Alif lalu tertidur dipelukan ustadzah Haifa. Sekitar 2 jam kemudian alif bangun namun ustadzah Haifa sudah tak ada disampingnya. Alif memakai bajunya dan pergi keluar kamar.
“Ustadzah…” Panggil Alif.
Tiba-tiba dari arah dapur Ustadzah Haifa keluar seraya tersenyum manis. “Lama banget kamu lif tidurnya.” Rutuk Ustadzah Haifa, sembari berjalan mendekati Alif.
Dari sudut matanya, tampak mata Ustadzah Haifa memancarkan birahi yang seakan sudah tidak terbendung lagi, apa lagi setelah melihat sosok Alif yang terlihat menggoda dengan seragam sekolahnya. Mereka berpelukan sangat erat sembari bertukar air liur. Tangan kiri Alif mendekap kepala Ustadzah Haifa, agar leluasa mengemut bibir merah tetangganya itu, sementara tangan kanannya membelai dan meremas bongkahan pantat Ustadzah Haifa yang semok itu. Wanita berusia 35 tahun itu hanya pasrah mengikuti permainan muridnya. Sesekali ia membalas, dengan mengait lidah Alif yang tengah menjamah langit-langit mulutnya.
Dengan satu tarikan cepat Alif menggendong tubuh sintal Ustadzah Haifa. Reflek ustadzah haifa melingkarkan kedua tangannya di leher Alif. Sejenak mereka saling pandang, membuat hati Ustadzah Haifa bergetar. Alif segera membawa Ustadzah Haifa ke dalam kamarnya. Ia membaringkannya dengan perlahan.
“Ustadzah cantik sekali!” Goda Alif. Ia ikut berbaring di samping Ustadzah Haifa dengan posisi miring menghadap kearah tetangganya itu.
Haifa tersipu malu. “Gombal!” Ujarnya sambil mencubit hidung Alif.
Alif membelai kepala Ustadzah Haifa yang tertutup hijab syiria berwarna putih dengan motif bunga anggrek. “Suer, Ustadzah memang sangat cantik.” Tegas Alif, dia mengecup kening Ustadzah Haifa dengan mesrah.
Wanita berparas cantik itu hanya diam seraya tersenyum senang. Hatinya di buat berbunga-bunga oleh pujian dan sentuhan Alif kepada dirinya. Ciuman Alif turun kebawah menuju sepasang kelopak mata indah Ustadzah Haifa, terus hidung, kedua pipinya, lalu kemudian kembali melumat bibir merah tetangganya itu selama beberapa detik. Sembari menikmati bibir Ustadzah Haifa, Alif membelai lembut payudaranya.
“Eenghkk…” Desah Ustadzah Haifa.
Dia membiarkan pemuda tanggung itu menanggalkan kancing gamisnya. Dia dapat merasakan telapak tangan Alif yang hangat menyusup masuk ke dalam bra yang di kenakannya. Matanya terpejam ketika jemari Alif mulai meremasi payudaranya yang ranum. Dan rasa itu kian nikmat tatkalah Alif memencet putingnya, memilin dan memelintir putingnya yang telah menegang.
“alif! Aaahk… Aahkk…” Erang Ustadzah Haifa.
Kedua tangan Alif melepas gamis yang di kenakan Ustadzah Haifa, hingga yang tersisa hanya jilbab putih dengan motif bunga anggrek dan pakaian dalamnya yang berwarna cream. Alif menyingkap keatas beha Haifa, dia kembali menjamah payudaranya.
“Oughkk… alif! Enak sekali!” Erang Ustadzah Haifa.
Dia menunduk dan mulai mencucupi payudara Ustadzah Haifa, dia menghisap putingnya secara bergantian, membuat wanita cantik itu menggelinjang nikmat, dan tampak celana dalamnya semakin basah, membentuk peta dunia. Tangan Alif turun ke bawah, ia membelai vagina Ustadzah Haifa dari luar celana dalam.
“Basah!” Bisik Alif.
Ustadzah Haifa mentoel hidung Alif. “Gara-gara kamu.” Omel Ustadzah Haifa. “Kamu harus bertanggung jawab sayang.” Lanjutnya lagi.
Alif mengangkat satu alisnya. “Apa yang harus hamba lakukan wahai bidadari surga.” Ujar Alif sok puitis, tapi cukup ampuh untuk membuat wanita cantik yang ada di hadapannya saat ini tersipu malu
“Puaskan Ustadzah sayang” Lirih Ustadzah Haifa.
Alif melanjutkan aksinya dengan menelanjangi tetangganya itu. Ia melepas beha yang di kenakan Ustadzah Haifa, lalu kedua tangannya beralih ke sisi kiri dan kanan celana dalamnya. Dengan perlahan ia menarik celana dalam yang di kenakan Ustadzah Haifa. Alif mengambil posisi bersujud, dia mengangkangi kedua kaki Ustadzah Haifa.
“Ini sungguh indah!” Gumam Alif.
“Jilat sayang.”
Alif tersenyum tipis. Lalu dia membenamkan wajahnya diantara kedua kaki tetangganya itu. Lidahnya terjulur menyapu permukaan vagina Ustadzah Haifa, menyentil clitorisnya dengan gemas. Sementara tangan kanannya membelai pubik vaginanya yang di tumbuhi rambut yang cukup lebat. Kali ini permainan Alif terasa lebih nikmat dari sebelumnya. Setidaknya itulah yang di rasakan Ustadzah Haifa saat ini. Lendir kewanitaannya keluar semakin banyak, dan Alif tanpa merasa jijik menyeruput lendir kewanitaan milik tetangganya itu, membuat Ustadzah Haifa menggelinjang kegelian.
Sluuuppss…. Sluuuppss… Sluuuppss….
Alif kembali menghisap clitoris Ustadzah Haifa, sementara kedua jarinya menusuk lobang vaginanya. Dia menggerakkan tangan kanannya, menusuk vagina tetangganya itu. Sesekali jari tengah berputar, mengorek dan menusuknya kembali dengan gerakan yang berubah-rubah. Alhasil tubuh Ustadzah Haifa menggelinjang tak beraturan, sementara di bawah sana terasa semakin basah.
“alif! Ustadzah KELUAAAR…” Teriak Ustadzah Haifa.
Punggungnya terangkat cukup tinggi, dan tampak semburan cairan cintanya keluar cukup deras. Dengan mata terpejam, Ustadzah Haifa menikmati orgasmenya. Alif segera menanggalkan seragam sekolahnya, hingga ia telanjang bulat. Kedua kaki Ustadzah Haifa ia letakan diatas pundaknya, sementara batang kemaluannya, ia arahkan tepat di depan bibir kemaluan Ustadzah Haifa yang telah basah.
“Masukan sekarang sayang!!” Pinta Ustadzah Haifa.
Alif tersenyum tipis, dia membekap kepala tetangganya itu dan bibirnya kembali melumat bibir merah Ustadzah Haifa. Perlahan kepala penis Alif membelai bibir vagina Ustadzah Haifa.
“Bleeess…” Dengan satu dorongan, penis Alif bersemayam di dalam vagina Ustadzah Haifa.
“Eehmmppss…” Erang Ustadzah Haifa.
Dengan gerakan perlahan Alif menggoyangkan pinggulnya maju mundur menusuk lobang memek seorang ustadzah. Alif melepas ciumannya, tanpa menghentikan genjotannya. Dia menatap dalam wajah cantik Ustadzah Haifa yang merah padam, sementara telapak tangannya meremas payudaranya.
SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPlooookss… SPlooookss…
SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPlooookss… SPlooookss…
“Aahkk… Aahkk… Aaahk…” Erang Ustadzah Haifa.
Alif meningkatkan ritme permainannya, sementara jarinya sibuk menstimulasi puting Ustadzah Haifa. Tubuh Alif mulai bersimbah keringat, otot-otot pinggulnya mengeras, dengan wajah menadah keatas ia menikmati setiap gesekan batang kemaluannya dengan dinding vagina Ustadzah Haifa yang seakan balik menghisap penisnya. Rasa nikmat itu sulit untuk di gambarkan dengan sebuah kalimat. Hal yang sama juga di rasakan Ustadzah Haifa, wanita paruh baya yang masih mengenakan hijab itu sangat menikmati hentakan batang kemaluan Alif di dalam liang surgawinya. Ustadzah Haifa merasa Alif sangat pintar menjaga ritme permainan, tidak menoton dan terlalu terburu-buru seperti beberapa hari yang lalu.
“alif! Aaahk… Ustadzah keluar sayang!” Jeritnya.
Tubuh sintal bermandikan keringat itu menggeletar menyambut badai orgasme. Alif mendiamkan sejenak batang kemaluannya di dalam rahim Ustadzah Haifa, hingga orgasme tetangganya itu mulai mereda, barulah Alif mencabut penisnya. Pemuda itu berbaring di samping Ustadzah Haifa lengan kekarnya mengangkat satu kaki kanan Ustadzah Haifa hingga menggantung, sementara satu kakinya tetap terjulur.
“Aku masukan ya Ustadzah” Bisik Alif di dekat telinga Ustadzah Haifa yang tertutup hijab yang mulai berantakan.
Ustadzah Haifa mengangguk lemah, dia meraih batang kemaluan Alif dan mengarahkannya ke lobang vaginanya yang telah menganga, sehingga memudahkan penis Alif untuk kembali menjamah dinding vaginanya.
“Oughkk…” Lenguh Ustadzah Haifa ketika penis Alif kembali memasuki liang senggamanya.
Dengan gerakan menghentak tapi teratur Alif menyetubuhi Ustadzah Haifa. Dia mencium dan menjilati pundak telanjangnya. Sementara kedua tangannya kembali menjamah payudara tetangganya itu yang terasa kenyal di telapak tangannya. Ia menjepit puting Ustadzah Haifa, membuat wanita berhijab itu makin menggelinjang nikmat.
“Enak ya Ustadzah?” Tanya Alif di sela-sela menyetubuhi tetangganya.
“Iya lif! Aahkk… Enak sekali, kontol kamu sangat besar, Ustadzah suka.” Jawabnya terengah-engah.
Tangan kanan Alif turun kebawah, ia menyibak libiya majora Ustadzah Haifa, dengan jari telunjuknya ia menggesek clitorisnya. Sementara pinggulnya semakin kuat menghujami vagina Ustadzah Haifa dengan kontolnya.
“alif! Ustadzah keluaaar lagiiii!” Tubuhnya melejang-lejang walaupun tidak sedahsyat sebelumnya. Alif yang belum puas meminta Ustadzah Haifa untuk menungging, dan dengan patuhnya Ustadzah Haifa menuruti keinginan muridnya. Dari belakang Alif kembali melakukan penetrasi di dalam vagina Ustadzah Haifa yang terasa semakin licin.
“Kamu belum keluar juga lif?” Tanya Ustadzah Haifa kewalahan.
Alif menggelengkan kepalanya. “Belum Ustadzah!” Ujar Alif, sembari meremas kedua bongkahan pantat Haifa yang dulu sering ia pelototi, tapi siapa yang menduga, sekarang ia dengan bebas menyentuhnya.
Bagi Ustadzah Haifa penis Alif memang sangat nikmat, tapi kalau pemuda itu terus-menerus menyetubuhinya ia juga merasa tidak akan sanggup, bagaimanapun juga usia tidak bisa bohong walaupun birahinya masih menginginkan Alif mengaduk vaginanya lebih lama lagi. Sepintas Ustadzah Haifa memiliki sebuah ide berlian, agar Alif cepat menuntaskan hasrat birahinya. Walaupun ia belum pernah melakukannya, tapi tidak ada salahnya kalau ia mencobanya. Dia melihat kearah Alif yang masih bersemangat menggenjot vaginanya, padahal tubuhnya sudah tidak sanggup lagi kalau harus kembali orgasme.
“alif, istirahat sebentar.” Pinta Ustadzah Haifa.
Alif menghentikan genjotannya. “Kenapa Ustadzah? saya belum keluar.” Protes Alif.
“Sebentar saja sayang.” Ulang Ustadza Dewi.
Dengan sangat terpaksa Alif mencabut batang kemaluannya dari lobang vaginanya. Saat penis Alif terlepas, Ustadzah Haifa merasa vaginanya begitu plong tidak seperti sebelumnya yang terasa begitu penuh saat penis Alif berada di dalam vaginanya. Ustadzah Haifa turun dari atas tempat tidurnya, lalu dia mengambil sebuah lotion yang berada diatas meja riasnya. Kemudian ia kembali menghampiri Alif yang tengah duduk di tepian tempat tidurnya sembari mengocok kemaluannya. Mata Ustadzah Haifa membeliak ngeri melihat kemaluan Alif yang berukuran sangat besar.
“Kamu mau gak anal sex?” Tanya Ustadzah Haifa.
Alif menganggukan kepalanya. “Mau Ustadzah, apa Ustadzah mau mencobanya?” Tebak Alif penuh tanda tanya kepada tetangganya.
“Kalau kamu mau!” Ujar Ustadzah Haifa malu.
Alif tersenyum tipis. “Tentu saja aku mau Ustadzah! Pasti sangat menyenangkan bisa menjebol perawan pantat Istrinya pak ustad.” Kelakar Alif.
“Dasar kamu.” Ustadzah Haifa kembali naik keatas tempat tidur dengan posisi menungging.
“Pake lotion itu, biar lebih muda.” Suruh Ustadzah Haifa sembari membuka pipi pantatnya selebar mungkin.
Alif meneguk air liurnya yang terasa hambar melihat anus Ustadzah Haifa yang kemerah-merahan, merucut seperti bunga mawar yang hendak mekar. Segera Alif menuangkan isi body lotion ke lobang anus Ustadzah Haifa. Dengan jarinya ia meratakan lotion tersebut. Setelah cukup rata Alif segera mengambil posisi yang pas untuk merobek anus Ustadzah Haifa. Mula-mula ia menggesek batang kemaluannya di lobang anus Ustadzah Haifa.
“Aku masukan sekarang ya Ustadzah.” Izin Alif.
Ustadzah Haifa menganggukan kepalanya. “Pelan-pelan lif! Anus Ustadzah masih perawan.” Ujar Ustadzah Haifa mengingatkan Alif.
“Tahan sedikit.” Bisik Alif.
Dia mendorong penisnya untuk membuka lobang anus Ustadzah Haifa, tapi percobaan pertamanya ia mengalami kegagalan, karena kepala penisnya meleset berulang kali setiap kali ia ingin mencobanya. Tidak kehabisan akal, Alif meludahi penisnya agar menjadi lebih licin. Tangan kanan Alif memegangi batang kemaluannya, sembari mendorong pinggulnya. Kini usahanya mulai membuahkan hasil, karena kepala penisnya berhasil membuka lobang anus tetangganya itu. Dan pada saat bersamaan wajah Ustadzah Haifa meringis menahan rasa sakit di lobang anusnya.
“Eenghkk… alif! Teruuuus.” Perintah Ustadzah Haifa.
Alif membelai pantat Ustadzah Haifa, dia kembali menekan kemaluannya hingga kepala penisnya benar-benar masuk ke dalam lobang anus Ustadzah Haifa.
“Oughkk… Sempit sekali Ustadzah! Ini enak.” Desah Alif, ia tidak menyangka kalau akan senikmat ini.
“Aduh lif! Kontol kamu besar sekali… Aahkk…”
Plaaakk…
Alif menampar pantat Ustadzah Haifa. “Tapi enakkan Ustadzah, hehehe… Aahkk… Tuhan.” Lenguh Alif ketika batang kemaluannya juga ikut masuk ke dalam lobang anus Ustadzah Haifa hingga mentok.
“Yeaaaaa…” Jerit kecil Ustadzah Haifa.
Pinggulnya tersentak-sentak ketika Alif menarik penisnya hingga kepala penisnya berada di bibir anusnya. Lalu dengan dorongan pelan Alif kembali membenamkan penisnya ke dalam anus Ustadzah Haifa. Secara konsisten Alif melakukan gerakan tersebut dengan perlahan. Ustadzah Haifa setengah mati menahan pedih di lobang anusnya, tetspi ia tidak meminta Alif untuk berhenti, karena ia percaya rasa sakit itu tidak akan lama. Dan benar saja, seiring dengan waktu Ustadzah Haifa mulai menikmati penetrasi penis Alif di dalam lobang anusnya, seiring dengan anusnya yang mulai bisa beradaptasi dengan ukuran penis Alif yang sangat besar itu.
“Aahkk… Aahkk… Terus sayang! Oughkk… Sodok anus Ustadzah lif. Aaahk…” Jerit Ustadzah Haifa.
SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPlooookss… SPlooookss…
SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPloookkksss…. SPlooookss…SPlooookss…
Alif semakin cepat menyodok lobang Anus Ustadzah Haifa, jepitan anus Ustadzah Haifa di batang kemaluamnya membuat Alif merasa sudah hampir berada di puncaknya.
“Ustadzah saya mau keluar.” Ujar Alif, ia meremas kuat bongkahan pantat Ustadzah Haifa.
Tidak mau kalah dari murid didiknya, Ustadzah Haifa ikut menggerakkan pantatnya, sementara jarinya menggosok clitorisnya dari bawah. “Bareng sayang… Ustadzah Haifa juga mau KELUAAAR.” Jerit Ustadzah Haifa.
Beberapa detik kemudian, dengan cara bersamaan mereka berdua menumpahkan hasrat birahi mereka.
Alif membenamkan penisnya semakin dalam di lobang anus Ustadzah Haifa. Giginya menggeratak sembari memuntahkan spermanya ke dalam lobang anus Ustadzah Haifa.
“Croooottss… Croooottss… Croooottss…” Pinggul Alif tersentak-sentak memuntahkan spermanya.
Seeeeeeeeeeeerrrrrrrr….
Kali ini Ustadzah Haifa tidak hanya orgasme, tapi ia juga sampai terkencing-kencing. Hingga air urinnya menggenang diatas tempat tidurnya. Perlahan penis Alif mulai mengecil dan terlepas dari lobang anus Ustadzah Haifa. Saat penis itu terlepas, tampak lelehan sperma Alif yang tak tertampung keluar meleleh mengaliri paha Ustadzah Haifa yang gemetar.
“Nikmat sekali Ustadzah” Lirih Alif.
Ia rebahan di samping Ustadzah Haifa yang langsung memeluk tubuh kekarnya. “Kamu puas sayang, dengan lobang anus Ustadzah?” Goda Ustadzah Haifa yang kembali merasakan linu di lobang anusnya.
“Iya sangat puas.” Jawab Alif pelan sembari mencium kening Ustadzah Haifa. “Terimakasih ya Ustadzah, sudah mau menjadi guru sex aku.” Sambung Alif.
“Gak gratis Lo?” Goda Ustadzah Haifa.
“Aku harus bayar berapa Ustadzah?”
Ustadzah Haifa tersenyum sembari mengurut kontol Alif. “Bayar dengan kontol kamu.” Jawab Ustadzah Haifa, lalu mengecup lembut bibir Alif.
Alif merangkul tubuh Ustadzah Haifa, sembari mengecup keningnya.
Ustadza haifa memejamkan matanya, dan perlahan rasa kantuk mulai menguasai dirinya dan iapun tertidur lelap di dalam pelukan muridnya
Flashback end
Huamaira cukup kaget mendengar cerita anaknya, dia juga tak menyangka anaknya akan bercinta dengan ustadzah Haifa rekan kerjanya dipesantren. Memang benar kontol alif yang besar bisa membuat Wanita manapun melayang. Itu juga yang sempat dirasakan Humaira kemaren walau dia bisa menahannya untuk tidak terlihat menikmati.
“hebat juga kamu bisa bikin ustadzah haifa yang terkenal alim sampai seperti itu” ucapnya lagi
Alif yang mendengar itu sedikit bahagia karna secara ga langsung uminya telah memujinya.
“kenapa kamu juga memperkosa ummi, padahal kamu kan bisa menyalurkan nafsu bersama ustadzah haifa?” ucapnya sedikit melemah
“kemaren malam aku ingin menyalurkannya pada ustadzah haifa tapi tak bisa. sebenarnya sejak lama aku pengen sama ummi tapi aku ga brani ngomongnya, mangkannya setelah ada kesempatan aku langsung buru-buru nyerobot ummi” ucap alif panjang lebar
“apa yang membuat kamu begitu tertarik sama ummi” ucapnya mulai tenang
“semuanya ummi tanpa terkecuali” ucap alif lagi
“kenapa kamu suka pada ummimu sendiri”
“karna ummi memang cantik dan sexy menurutku selain itu badan ibupun bersih dan terawat” puji alif apa adanya
“jadi cuma itu yang bikin kamu suka sama ummi?” tanyanya lagi
“lebih dari itu ummi, aku suka mulut,hidung,mata dan semua yang ada di tubuh ummi” ucap alif yang mengalir begitu saja
“baiklah jawaban itu sudah cukup buat ummi” ucapnya tenang
“jadi ummi udah maafin aku ummi?” alif mulai ceria Kembali
Humaira diam saja dan meninggalkan alif kekamarnya. Meskipun ucapan humaira terdengar dia sudah biasa tapi alif masih khawatir.
******
“Bagaimana pekerjaanmu di toko tadi, Fania?” tanya Laras setelah mereka selesai makan malam.
“Alhamdulillah, Ummi, semua berjalan lancar. Setiap hari ada saja orderan yang masuk. Alhamdulillah masih ada Mawar yang bantu-bantu di sana,” jawab Fania dengan suaranya yang lembut.
“Alhamdulillah, semoga saja usahamu semakin maju, ya. Bisa berkembang seperti pengusaha-pengusaha itu. Punya cabang di mana-mana.” Kedua mata Laras berbinar, bangga pada putri tunggalnya.
“Aamiin Allahumma Aamiin.”
Bambang yang baru saja menerima telepon, duduk kembali di hadapan istri dan putrinya. Dia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Segelas air putih diminumnya sampai tandas.
“Teralis dan pagarnya baru bisa dipasang minggu depan. Abi rasanya sudah nggak sabar. Takut malam ini kejadian lagi seperti kemarin.” Bambang sangat mencemaskan putrinya. Fania akhirnya bicara terus terang. Dia tidak mau kedua orang tuanya terlalu khawatir.
“Abi, Ummi, sebenarnya yang kemarin datang ke jendela kamar Fania itu … Alif!”
“Alif?” seru Laras.
“Alif anaknya Humaira?” tanya Bambang tak percaya.
“Iya, Abi. Dia mengaku sendiri kalau namanya Alif, anaknya Tante Humaira. Selama ini
‘kan Fania nggak pernah keluar, jadi nggak tahu bagaimana wajahnya Alif sekarang.” Jawaban Fania membuat kedua orang tuanya menggelengkan kepala. Mereka tak menduga Alif bisa berbuat seperti itu.
“Astaghfirullah … Ngapain anak itu pakai menyelinap ke kamar kamu seperti maling?” tanya Laras penasaran.
“Fania sendiri nggak tahu, Ummi. Setelah mendengar suara Abi, dia langsung kabur,” jawab Fania apa adanya.
“Kita lihat saja, kalau sampai anak itu nanti malam datang lagi, biar Abi ajak bicara,” balas Bambang.
“Kenapa kok nggak sekarang saja mumpung belum terlalu malam? Kita datang ke rumahnya Humaira, biar dia tahu kelakuan anak kesayangannya!” Laras mulai emosi.
“Ummi ini, kok sukanya model bar-bar gitu. Nggak baik, Ummi.” Bambang berusaha menenangkan istrinya yang marah, membuat Laras berdecak kesal.
“Abi itu yang terlalu baik jadi orang.”
“Bukan begitu, Ummi. Kita harus sabar menghadapi anak seperti Alif. Dia pasti tidak bermaksud jahat, buktinya dia jujur sama Fania kalau namanya Alif. Kalau Alif memang ada maksud jahat, pasti dia nggak mungkin terus terang menyebut namanya.” Bambang mencoba memberi pengertian pada istrinya.
“Terserah Abi saja, pokoknya kalau anak itu sampai berani datang lagi ke sini, Ummi Jjewer telinganya.”
“Ummi, anak orang main jewer saja,” sahut Bambang tak setuju.
“Dari pada Ummi teriak maling, dia malah digebukin sama warga.”
Bambang hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan Laras. Selama ini Laras memang selalu seperti itu kalau kesal, apalagi masalah ini menyangkut putri mereka satu-satunya. Bambang pun tak lagi membantah, dari pada berdebat dan membuat istrinya semakin emosi.
Malam hari pun tiba, sesuai rencana Alif, dia pun nekat datang ke rumah Fania lagi. Namun kali ini, Alif memakai strategi baru. Dia bersuara seperti kucing untuk menarik perhatian Fania.
“Meong… meong… meong….”
“Kok ada kucing di luar jendela kamar? Itu kucing beneran apa cuma akal-akalan si Alif, ya? Sebaiknya aku bilangin Abi dulu.”
Fania tidak percaya begitu saja mendengar suara kucing di luar jendela kamarnya. Dia segera berjalan ke kamar Bambang dengan langkah perlahan. Pintu kamar Bambang masih terbuka, memudahkan Fania masuk dan mendekati abinya.
“Abi, sepertinya Alif datang lagi,” bisik Fania.
Bambang mengangguk dan segera berjalan ke luar rumah dengan langkah perlahan karena takut terdengar Alif. Laras hanya diam memperhatikan gerakan suaminya, mencoba menahan keinginannya untuk ikut keluar rumah, meskipun emosi mulai menguasai hati.
Fania kembali ke kamarnya. Suara kucing itu pun masih terdengar. Fania tersenyum dan berniat membuat aksi Alif terbongkar. “Biasanya cara ini berhasil,” gumamnya.
“Meong … meong… meong….”
“Kasihan sekali, kok ada kucing malam-malam begini. Itu orang apa kucing?” Fania sengaja mengeraskan suaranya dan setengah berteriak agar Alif mendengarnya.
“Kucing….”
Alif langsung sadar dengan jawabannya dan segera membekap mulutnya sendiri. Bertepatan dengan kedatangan Bambang yang langsung menarik tangan Alif dan membawanya masuk ke dalam ruang tamu. Alif sangat terkejut dan terpaksa menurut. Sementara Fania tertawa geli mendengar jawaban Alif tadi.
“Duduk!” perintah Bambang. Alif pun duduk dengan kepala yang tertunduk.
Laras langsung keluar kamar dan mendekati pemuda tampan itu. Sesuai ucapannya, dia langsung menjewer telinga Alif.
“Ampun, Tante, ampun … Alif minta maaf. Alif salah, lepasin Tante, sakit….”
“Ummi, tolong lepasin. Ingat, itu anak orang!” Ucapan Bambang tidak dipedulikan oleh Laras yang sudah emosi.
“Kamu itu apa-apaan menyelinap ke jendela kamar Fania? Mau maling? ? Apa yang mau kamu curi, hah?!” teriak Laras.
“Mau mencuri hati, eh!” Jawaban Alif membuat Laras geram. Bambang dan Fania hanya menggelengkan kepala mereka dan tersenyum geli. Di saat seperti ini, Alif masih bisa mengatakan sesuatu yang lucu.
“Kerja dulu, baru mencuri hati anak orang. Kerja sana, baru datang lagi ke sini, lamar yang benar! Jangan seperti maling!”
“Sudah, Ummi. Ini sudah malam, nanti didengar tetangga.” Bambang mencoba menarik tangan Laras yang masih menjewer telinga Alif. Akhirnya Laras melepaskan tangannya. Alif meringis sambil mengusap telinganya yang terasa panas.
“Biarkan saja didengar tetangga. Biar anak ini digebukin warga sekalian. Ummi sudah gregetan,” ucap Laras yang masih marah.
“Maaf, Tante. Alif cuma penasaran, pengen lihat wajah Fania sekarang,” balas Alif dengan jujur.
“Nggak kamu, nggak mamamu, sama saja! Kepo!” sahut Laras kesal.
Bambang pun duduk di samping Alif. Dia menepuk pundak pemuda tampan itu dengan perlahan.
“Alif, apa yang kamu lakukan ini sama sekali nggak pantas. Apalagi malam-malam menyelinap di jendela kamar anak prawan. Kalau memang kamu ingin melihat wajahnya Fania, boleh saja, tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apa, Om?” tanya Alif dengan semangat.
“Kamu kerja dulu, kerja apa saja yang penting halal. Sholat tepat waktu dan berjamaah di masjid. Belajar mengaji. Belajar jadi imam yang baik. Kalau sudah, silakan datang melamar Fania dan di saat itu, kamu baru boleh melihat wajahnya,” jawab Bambang sambil tersenyum.
“Hemm … berat sekali syaratnya, Om. Alif nggak bisa mengaji.” Alif Kembali menundukkan kepala, malu.
“Alif, Fania adalah anak gadis Om satu-satunya. Om hanya ingin suami Fania nanti bisa menjadi imam yang baik. Yang penting dua point, tidak pernah lalai dalam menjalankan kewajibannya pada Allah dan setia.” Bambang memberi pengertian pada Alif dengan sabar.
“Baik, Om, Alif akan berusaha.”
“Bagus, begitu dong jadi anak muda. Semangat! Jangan langsung menyerah.”
“Kalau begitu Alif permisi dulu, ya, Om. Tolong jangan kasih tahu mama sama papa soal kejadian ini. Tolong, ya, Tante,” pinta Alif.
“Tante nggak janji!” balas Laras dengan nada ketus.
“Insyaa Allah, Om dan Tante bisa menjaga rahasia,” sahut Bambang meyakinkan Alif.
“Terima kasih, Om, Tante. Fania, maafin Alif, ya. Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalaam ….”
Setelah kepergian Alif, Fania kembali tertawa. Bambang dan Laras hanya memandang putrinya dengan heran.
“Astaghfirullah … maafin Fania, Abi, Ummi. Astaghfirullah … habisnya tadi itu lucu sekali. Waktu Fania tanya itu orang apa kucing, masak Alif langsung jawab kucing. Ternyata benar-benar sesuai dengan cerita yang sering kita dengar itu, ya, Ummi. Astaghfirullah … Fania sampai sakit perut.”
Akhirnya mereka bertiga pun tertawa setelah mendengar cerita Fania. Bambang dan Laras bahagia, sudah lama mereka tidak melihat Fania tertawa seperti sekarang.
“Tapi Alif sekarang badannya tinggi tegap gitu, ya? Padahal dulu kan kecil. Wajahnya juga lumayan tampan. Dia juga sarjana ‘kan? Jurusan apa, Abi?” Fania baru pertama kali ini melihat wajah Alif dari jarak dekat, setelah mereka sama-sama dewasa.
“Setahu Abi, dia dulu kuliah jurusan IT.”
“Oh, coba nanti Fania tanya sama teman-teman, barangkali ada lowongan kerja.”
“Nduk, kamu suka sama Alif?”
“Astaghfirullah … nggak kok, Ummi. Fania hanya ingin membantu Alif saja. Alif itu dulu selalu membela Fania waktu diejek dan di-bully sama teman-teman. Alif itu sebenarnya anak yang baik, Ummi. Fania murni hanya membantu, bukan karena suka.”
Fania menjawab pertanyaan Laras dengan tersenyum. Dia benar-benar tulus ingin membantu Alif mendapatkan pekerjaan. Beberapa teman kuliahnya ada yang membuka usaha sendiri dan sebagian lagi meneruskan usaha orang tuanya. Fania berharap salah satu temannya ada yang mau menerima Alif bekerja.
“Syukurlah … Ummi tidak setuju kalau kamu sama Alif!” Laras merasa lega mendengar jawaban putrinya.
“Ummi, nggak boleh bilang begitu. Jodoh, mati, rizqi, semua rahasia Illahi. Semua sudah diatur sama Allah. Jangan membenci seseorang terlalu mendalam, nggak baik, Ummi!” Bambang mengingatkan.
“Astaghfirullah … maafkan Ummi, Abi. Ummi nggak benci, Ummi hanya kesal saja sama Alif.”
“Minta ampun sama Allah, istighfar. Lebih baik sekarang kita istirahat, sudah malam.” Bambang merangkul pundak istrinya kemudian mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka. Fania tersenyum melihat kedua orang tuanya yang selalu rukun, meskipun sifat mereka berbeda. Umminya yang cerewet dan mudah terpancing emosi, selalu patuh pada ucapan dan perintah abinya yang sabar.
Fania segera berjalan ke kamar mandi, mencuci tangan dan kaki, menggosok gigi, kemudian berwudhu. Kebiasaan rutin yang selalu dikerjakan sebelum tidur.
Alif pulang dengan langkah gontai dan wajah yang lesu. Dia sama sekali tidak bersemangat setelah mendengar syarat yang diberikan Bambang. “Apa bisa aku melakukan yang dikatakan Om Bambang tadi?” gumamnya.
Alif berjalan sambil melamun. Sesekali kakinya menendang kerikil-kerikil di jalan yang dia lewati. Suara Fania yang lemah lembut, membuat Alif tertarik. Dia pun semakin yakin, Fania memiliki wajah yang cantik, tak seperti yang digosipkan orang-orang di kampungnya.