Kisahku Melalui Dating Apps dan On the Spot Hunting
Cerita ini dibuat berdasarkan kisah nyata dalam kehidupanku, dimulai tahun 2009-2010 ketika aku mulai bermain dating site dan setelah android berkuasa ada versi apps-nya, meskipun versi web-nya juga tetap ada.
Kisah hidup sebelumnya tidak kutuangkan dalam cerita ini. Tentu nama yang kusebutkan bukanlah nama aslinya. Mengenai lokasi kota ataupun killing fields, tempat kejadian perkara diusahakan sesuai dengan kondisi sebenarnya, meskipun ada juga yang aku samarkan dengan inisial.
Pertama kali aku mengenal dating site setelah masuk bergabung dengan forum dewasa yang sekarang sudah almarhum, ketika berdomisili di sebuah kota kabupaten di Kalimantan, usiaku pada saat itu 30-an akhir, status married. Dating site yang terkenal pada waktu itu adalah tagged.com, hampir semua FR yang kubaca TO nya dari tagged dan beberapa dari MIRC. Aku bergabung di tagged sekitar 2009 akhir dengan nick name Anto, dan nama ini yang akan aku pakai untuk selanjutnya.
Seperti pemula pada umumnya, pertama aku merasa kaku dan canggung untuk menyapa female member di tagged. Maklum namanya juga masih belajar. Lokasi target yang aku cari adalah di Jakarta dan kota P, karena meski bekerja di pedalaman Kalimantan, aku sering ke kota P maupun ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Untuk mencari target di area atau kota yang berdekatan tentu sangat riskan dan juga female membernya sangat terbatas.
Setelah browsing dan mengirim inbox ke beberapa member wanita, ada beberapa yang direspon dan lebih banyak yang dicuekin. Salah satu nilai plus di tagged bisa berkirim inbox tanpa menunggu match. Aku sendiri sadar bahwa mukaku tidaklah fotogenik, meskipun aslinya tidak jelek-jelek amat, setidaknya itu pengakuan dari wanita yang pernah berhubungan dengan aku. Yaaahh mungkin bisa dapat nilai 7,5-8 lah……
Dari sekian banyak yang merespon inbox ada satu yang cukup enak untuk ngobrol di inbox, talkative dan tidak jaim. Tidak berapa lama kami sudah bertukar nomor hp. Aplikasi Pesan Beri Hitam sudah ada dan mulai populer pada saat itu, tapi aku yang belum punya.
Female member tagged sebut saja Suci, seorang PNS pahlawan tanpa tanda jasa dengan status married, umur di bawahku sedikit, berdomisili di kota P. Aku juga tidak menyembunyikan statusku yang juga married. Dalam chat di inbox, kami sepakat untuk ketemu di kota P. Melalui pesan-pesan yang dikirim tercium ada bau-bau peluang untuk lanjut bertukar keringat dan lendir.
Akhirnya setelah melalui sedikit drama sampai disebut bohong akibat re-scheduling tugas ke kota P, maka awal 2010 sampailah aku di kota P untuk urusan kantor. Sebelumnya sudah ada kontak via telepon untuk bertemu.
”Mas jadi ke kota P kah? Jangan-jangan bohong lagi nih,” kata Suci.
”Ini udah otw, pagi besok dan sampai di kota P kok,” jawabku.
”Kabari kalau sudah mau sampai yaaa”.
“Siippp, besok pagi cari sarapan dulu baru ke mess, supaya ga bolak-balik”.
”Biasanya sarapan di mana?”
“Biasanya sih di jalan H, tempat yang rame orang2 yang cari sarapan”.
“OK…., Aku tau tempatnya”.
“Mau ketemu dan sarapan barengan?” Tanyaku
“Ga lah, paling nanti aku ke situ, kita ketemu sebentar, hanya untuk melihat secara langsung saja”.
“Hehehe…. Ga yakin yaaa. Baiklah ga apa-apa, paham kok. Aku juga lebih suka begitu. Artinya kalau salah satu ga cocok ya selesai urusan, atau paling hanya makan saja, ga lebih”.
“Hmmm bukan begitu say, kalau pagi susah waktunya. Aku harus bersiap untuk mengajar, menyiapkan sarapan orang rumah dll”.
“Suamimu gimana?”
“Udah tar aja dibahasnya”.
Sekitar jam 5.30 aku sudah memasuki kota P dan memberitahukan ke Suci melalui SMS. Jam 6 kurang sedikit aku sudah sampai di Jalan H, tempat biasanya aku sarapan kalau tugas ke P. Aku memesan segelas teh panas dan mie goreng. HP ku berdering dan kulihat Suci yang memanggil.
“Halooo, Sudah di jalan H, Mas?” Tanyanya
“Udah, lagi pesan makanannya. Bener ga mau makan disini?”
“Ga, makasih. Aku di seberang jalan. Kamu pakai kaus abu-abu khan, coba tengok ke kiri”.
Akupun menengok ke kiri dan kulihat seorang wanita mengenakan kerudung -bukan jilbab- duduk di atas sepeda motor bebek sambil menelepon. Ia melambaikan tangannya ketika tatapan mata kami bertemu. Aku menghampirinya, menyalaminya dan mengusap pipinya. Wajah dan tubuhnya tidak berbeda jauh dengan foto-fotonya di tagged. Ia memegangi tanganku yang masih berada di pipinya.
“Gimana?” tanyaku
“Lebih gagah dan ganteng aslinya,” katanya sambil melepaskan tanganku. “Kayak bintang film,” lanjutnya.
“Hahahaha….binatang film kaleee,” kataku lagi.
“Serius, benerannnnn,” sergahnya.
“Ya udah kalau ga sarapan aku balik ke mejaku dulu, kayaknya udah siap pesananku”.
“Ok deh, nanti kabari kalau udah selesai kerjaan kantor. Aku pulang ngajar jam 14”.
“Siiaaappp….”.
Aku kembali ke mejaku dan Sucipun bergerak meninggalkan tempatnya.
Hari itu waktu rasanya berjalan dengan lambat. Ketika waktu istirahat siang ada sms masuk, ternyata dari Suci.
“Haiii sayangku, dah makan siang?”
“Ini baru mau makan di RM depan kantor”.
“Ya udah, makan yang banyak biar kuat….hihihi”.
“Hmmmm…maksudnya gmna”.
“Pokoknya makan yang banyak saja. Ya udah selamat makan”.
“Ok…ok”.
“Ehhh… di kantor sampai jam berapa sayang?”
“Sekitar jam 14 udah selesai kerjaan”.
“Ok deh, aku prepare jam segitu. Kebetulan selesai di sekolah juga sekitar jam 14 an”.
“Okayyy…deal”.
***
Jam 13,45 pekerjaanku selesai. Kukirimkan SMS ke Suci.
“Dah selesai kerjaanku nih”.
“Siippp, aku berangkat sekarang, aku tunggu depan kantormu yaa. Aku naik ojek kesana”.
“Ehhhh jangan, ga enak kliatan satpam atau teman kantor”.
“Agak geser kiri dikit ada warung kecil, sayang tunggu disitu sekalian beli permen mint atau rokok”.
“Aku ga merokok”.
“Hmmmm, padahal aku suka cowok yang merokok, tapi aku sendiri ga merokok. Ya udah, 15 menit lagi sampai yaaa”.
“Siaapppp….”.
Beberapa menit kemudian Suci memberitahukan sudah di tempat kami berjanji untuk ketemu. Aku baru mulai merasa lelah dan sedikit ngantuk akibat berkendara setengah malam dan lanjut menyelesaikan pekerjaanku. Tadi tidak terasa karena sibuk dengan kerjaan. Kuregangkan lenganku dan kujalankan mobilku perlahan. Keluar dari gerbang kantor kulihat ke arah kiri Suci sudah menunggu. Sampai di depannya kuhentikan mobilku dan kubuka pintu depan. Ia masih mengenakan seragam khaki ditutup dengan jaket biru, tanpa kerudung. Ia naik dan duduk di sebelahku, menyalamiku dan mencium tanganku kemudian spontan mengecup pipiku. Aku agak terkejut juga dengan sikapnya. Kembali mobil kujalankan.
“Kemana kita?” tanyanya.
“Hmmm…. No idea. Mau makan masih kenyang. Sekarang mata terasa ngantuk deh,” jawabku.
Ia menatapku sambil tersenyum menggoda. Kuputuskan saja untuk mengambil kendali, toh selama ini dalam chat kami terselip pesan-pesan nakal.
“Open room aja yukk. Bisa rebahan dan ngobrol lebih santai”.
Ia tidak menjawab dan memainkan ujung jaketnya.
“Gimana?” tanyaku lagi.
“Ya terserah sayang saja,” jawabnya.
Hmmmm …… betina ini sepertinya banyak pengalaman dalam menghadapi pejantan, tapi pura-pura menjadi korban. Baiklah siapapun pemangsa dan korbannya yang jelas bakal terjadi sesuatu yang indah.
“Ke arah mana nih? Jangan bilang terserah lagi. Gak lucu kalau tiba-tiba aku ambil ke jalur arah rumahmu”.
“Ke arah bandara,” katanya pelan.
Seingatku tidak ada hotel berbintang ke arah bandara. Kutatap matanya,”Emang ada hotel arah ke sana?”.
“Ikuti saja petunjukku, aku yang jadi penunjuk jalan,” jawabnya sambil tersenyum.
Ternyata benar, betina ini sudah punya jam terbang dalam hal perselangkangan. Kuikuti saja petunjuk arah yang diberikannya. Beberapa menit kemudian kami sampai ke sebuah hotel S, sebuah hotel melati yang agak tersamar tidak begitu nampak dari jalan. Berkali-kali lewat jalur sini aku malah ga pernah tahu ada hotel ini.
“Yakin aman disini?” tanyaku
“Ga tau juga sih. Kalau siang sih mestinya aman,” katanya. Jawaban yang sangat-sangat normatif. Kelihatannya ia menyadari kebodohan pertamanya tadi. Kami masuk ke halamannya, terlihat beberapa mobil dan motor yang parkir disana. Ada petugas yang mengarahkan dimana kami memarkirkan kendaraan. Suci turun dan langsung melangkahkan kaki ke kamar yang ada di dekat mobil. Satu bukti lagi dari pengalaman jam terbangnya.
Aku turun dan melangkah ke arah resepsionis.
“Yang, langsung ke kamar saja?” katanya pelan. Hmmm transit mode rupanya…
Aku mengikutinya dari belakang. Petugas parkir tadi mempersilakan kami masuk ke kamar.
“Tunggu sebentar ya pak. Saya ambilkan handuk dan sabun dulu,” katanya ramah.
“Baik pak, terima kasih,” jawabku.
Kami masuk ke kamar dan duduk di atas ranjang.
Tak berapa lama petugas tadi kembali dengan membawa dua handuk dan dua sabun mandi kecil, khas hotel.
“Ini pak,” katanya sambil mengulurkan handuk dan sabun. Di atasnya ada nota pembayarannya, kuambil dan kuserahkan sejumlah uang sesuai yang tertera di nota, plus sedikit tip.
“Terima kasih pak, mari saya permisi,” katanya sambil meninggalkan kamar.
Kututup dan kukunci pintu kamar, kuperiksa jendela dan kordennya kemudian berbaring di ranjang. Lumayan empuk ranjangnya. Overall kamar sesuai dengan harganya. Suci duduk di sampingku bersandar ke kepala ranjang.
“Kok disini sih, kenapa ga cari yang agak bagus sedikit?” tanyaku sedikit protes.
“Disini jauh dari rumah dan jauh dari orang-orang. Kemungkinan bertemu dengan orang yang kenal lebih kecil. Apalagi kan ga melalui resepsionis. Kalaupun ada yang ketemu di luar, artinya tujuan diapun sama dengan kita… hehehe”.
“Sering kesini yaa?”
Sebuah pertanyaan bodoh yang kemudian harus kusesali.
“Kenapa, kamu menyesal dan mau membatalkan pertemuan ini?” Katanya tajam. “Apakah penting sekali aku harus jawab pertanyaanmu, Yang?” katanya melunak kembali. “Nanti kamu akan tahu kenapa semua ini terjadi”.
“Uupps…sorry pertanyaanku tadi. Lupakan saja,” jawabku.
Ia membuka jaket dan memainkannya di pangkuannya. Keheningan memenuhi ruangan ini. Aku memutuskan mandi dulu supaya segar.
“Aku mandi dulu yaa’, kataku padanya.
Keheningan memenuhi ruangan ini. Aku memutuskan mandi dulu supaya segar.
“Aku mandi dulu yaa’, kataku padanya.
………………………….
Ia hanya memandangiku sambil tersenyum. Kami berdiri berhadapan dalam jarak dua puluh senti. Kutarik tubuhnya dan kukecup keningnya. Ia menatapku sayu dan membuka bibirnya. Tanpa menunggu lagi aku kecup bibirnya dan berlanjut menjadi deep kisses.
“Eegghhhh…..hmmmmm,” desahku ketika bibir kami terlepas. Kulepaskan tubuhnya dari pelukanku.
Aku melepas baju dan celanaku, menggantungkan pada kapstok dan hanya menyisakan celana dalam sebelum masuk ke kamar mandi. Sekilas kulihat ia memandangiku sambil tersenyum simpul. Badanku memang overweight, tapi tidak kelihatan buncit. Kebugaran tubuhku prima karena di masa mudaku dulu berlatih olah nafas pada sebuah perguruan bela diri. Kuambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Kubuka shower dan segarnya air dingin menerpa tubuhku. Ketika aku mulai menyabuni tubuhku, pintu kamar mandi terbuka dan kulihat Suci berbalut handuk masuk ke dalam kamar mandi. Ia menggantungkan handuknya dan kemudian mengambil sabun dari tanganku kemudian menggosok punggung, pantat dan kemudian ke depan menyabuni penisku. Ia terus menyabuni tubuhku sampai selesai kemudian membilasnya sampai bersih.
Kutarik tubuhnya berhadap-hadapan dan kamipun mulai berciuman. Kucium aroma mint dari larutan mouthwash. Awalnya hanya berupa kecupan ringan dan semakin lama menjadi ciuman yang ganas. Kutarik rambutnya ke belakang sehingga wajahnya mendongak dan lehernya terbuka di hadapanku. Sedari bertemu tadi, baru sekarang aku memperhatikan tubuhnya, tinggi sekitar 165 cm atau hanya beberapa cm di bawahku, dadanya ukuran sedang, 34 C, rambutnya panjang bergelombang sampai punggung, kulitnya tidak terlalu putih tapi bersih. Kukecup lehernya kemudian kutarik lidahku menyusuri leher ke arah pelipisnya kemudian berhenti menjilati daun telinganya.
“Aaahhhh…sayang… Gelii…,” desahnya.
Tangannya mengusap dadaku yang berbulu,”Aku suka laki-laki yang berbulu dada. Romantis dan hot di atas ranjang”.
Tangan kiriku menggerayangi buah dada kanannya, sementara tangan kananku memeluk lehernya. Tangan kanan Suci bergerak ke bawah mencari penisku. Diusap-usapnya penisku sampai mengeras kemudian gerakannya berubah mengocok penis. Ia melepaskan diri dari pelukanku dan berlutut di depanku. Aku tahu apa yang akan dilakukannya. Perlahan ia menjilati kepala penisku sampai beberapa saat dan selanjutnya lidahnya menjalar ke batang penis dan buah zakarku. Disedotnya sampai masuk ke dalam mulutnya dan digelitik dengan ujung lidahnya. Aku mulai dialiri rasa nikmat ketika Suci bermain di area penisku. Kini dilepaskan buah zakarku dan lidahnya kembali ke kepala penis, selanjutnya mulutnya segera mengulum penisku masuk sampai setengah batangnya. Lidahnya kembali menggelitik kepala penisku di rongga mulutnya.
“Sudah sayanggg….. kita lanjukan di kamar,” desisku.
Ia masih melanjutkan aktivitas blow job sampai beberapa saat lagi dan menyudahinya. Suci berdiri dan memberikan kecupan ringan di bibirku.
“Ya sudah, sayang tunggu di kamar saja. Aku malah belum sempat mandi nih”.
Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk, membalutkan di pinggang dan keluar kamar mandi. Sekilas terlihat Suci sedang membersihkan area kewanitaannya dengan cairan pembersih vagina. Aku berbaring di ranjang sambil berbalutkan handuk. Kulihat di atas meja ada larutan untuk kumur, kuambil secukupnya dan berkumur.
Aku baru selesai berkumur ketika Suci keluar telanjang dari kamar mandi. Rambutnya diikat dengan jepitan di atas kepalanya. Ia membuka tasnya mencari-cari sesuatu. Ternyata ia mengambil baju tidur tipis dari dalam tasnya dan kemudian memakainya. Aku kembali berbaring dan Suci menyusul berbaring di sampingku. Ia menarik tangan kananku menjadikan lenganku sebagai bantal, otomatis tanganku merengkuh bahunya.
Ia memiringkan tubuh ke arahku, menatapku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kutarik kepalanya dan kukecup kening, pipi, beradu hidung dan kemudian memberikan kecupan di bibirnya.
“Ehmmmmm……eehhhhh,” ia mulai mendesah.
Tubuhnya naik ke tubuhku, sikunya dilipat di samping kepalaku. Perlahan bibirnya mulai melumat bibirku. Kubuka handuk yang membalut pinggangku dan kuletakkan di atas meja di samping ranjang. Ciuman kami yang tadinya lembut mulai memanas. Suara kecipak bibir yang beradu memenuhi kamar. Kubuka bibirnya dan kususupkan lidahku masuk menjelajahi rongga mulutnya.
“Ennghhhhh…..eeeggghhhhh…huffffff,” ia menarik nafas panjang ketika bibir kami berpisah.
“Kamu pandai sekali, enak sekali kissingnya…”.
Kembali ia melumat bibirku, lidah kami saling bermain di dalam mulutku. Tangannya mulai memeluk erat leherku. Beberapa lama kami masih berciuman dengan ganas. Bibirnya kemudian menyelusuri leherku, memberikan gigitan lembut, terus bergerak ke dadaku. Lidahnya menjilati dadaku, menyusuri bulu dadaku kemudian, menjilati putingku dengan lembut. Kubuka jepitan rambutnya dan kutekan kepalanya ke dadaku. Kuacak-acak rambutnya dan kusapukan di leher dan dadaku.
“Harder ….honey, please!” Kataku.
Ia meruncingkan ujung lidahnya dan menjilati putingku. Sesekali memberikan gigitan kecil. Gairahku mulai terbakar. Kubiarkan ia menguasai arena terlebih dahulu. Kucoba meraba vaginanya, terasa basah sekali, lebih basah dari perempuan lainnya yang pernah bercinta denganku.
“Basah …Sayang…. Vaginaku memang sangat basah,” desahnya.
Bibirnya terus menyusuri dada, perut dan terus ke bawah sampai di pahaku. Ia menciumi paha bagian dalamku. Aku merasa kegelian sekaligus juga gairahku semakin berkobar. Penisku yang sudah berdiri mengeras diusapnya memutar. Lidahnya menjilati ujung penisku, dilahapnya penisku pada bagian kepalanya saja.
“Oohhhh…Suci, nikmat sekali isapanmu,” desisku menahan nikmat.
Lidahnya terus menari2 di kepala penisku yang ada di dalam mulutnya.
“Ploopppp!”
Ia melepaskan kuluman pada penisku dan mulai menyusuri batang penisku sampai ke buah zakarku. Tangannya bergerak mengocok penisku perlahan sampai beberapa lama. Kembali ia melahap penisku dan memainkan dalam rongga mulutnya. Aku sangat menikmati permainannya dan membiarkan saja apa yang dilakukannya. Akhirnya ia melepaskan kuluman pada penisku dan bergerak naik sejajar tubuhku.
Kutarik baju tidurnya sampai bahunya terbuka. Ketika akan kulepas ia menahannya.
“Jangan dibuka semua sayang,” Katanya sambil memegang tanganku.
“Kenapa?” tanyaku
“Aku merasa lebih sexy ketika bercinta pakai baju, tidak dalam kondisi telanjang”.
Ia tidak menolak ketika kuturunkan baju tidurnya dan lepas dari lengannya, tapi tidak kulepaskan dari tubuhnya.
Ia mengarahkan buah dadanya ke mulutku dan langsung kusambut dengan jilatan pada pangkalnya. Aku terus memainkan lidahku menyusuri area buah dadanya tanpa menyentuh putingnya. Nafasnya mulai tersengal, digerakkannya buah dadanya supaya jilatan lidahku mengenai putingnya . Aku tetap menghindari putingnya.
“Heehhhhmmmm…… sayang. Isep pentilnya,” tangan kanannya memencet buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulutku. Akhirnya kujilat putingnya, kugelitik dengan ujung lidahku. Suci tersentak ketika kuisap putingnya kuat-kuat.
“Oooooowwhhhhhh…….,” ia mulai mendesah.
Dadanya semakin ditekan ke wajahku. Kulumanku semakin kuat, aku berusaha memasukkan sejauh mungkin buah dadanya ke dalam mulutku. Ada sampai sepertiga ujung buah dadanya masuk ke dalam mulutku.
Kulepas kulumanku dan kuberikan gigitan di atas buah dada kanannya.
“Janghhannnn dicupang sayang…,” katanya sambil mendorong kepalaku.
Tanda kemerahan tipis sudah muncul di dadanya.
Tangannya meraih penisku yang sudah mengeras maksimal, pinggulnya bergerak-gerak dan tidak lama kemudian kurasakan ujung penisku merasakan area lembab dan hangat. Ia menurunkan pinggulnya dan …. slebbbbbbb …..blesshhhh penisku masuk ke dalam lubang kenikmatannya tanpa kesulitan. Kurasakan lubangnya begitu becek berair dan longgar.
Suci duduk di pinggulku dan mulai bergerak naik turun mencari titik kenikmatannya. Aku mengimbanginya dengan gerakan pinggul serta meremas payudaranya.
“Ooohhh massshhhh….sayanggg”.
“Hemmmmm…..”.
Gerakannya berubah menjadi maju mundur dan berputar. Dari segi pengalaman sepertinya ia sangat mahir menciptakan kenikmatan. Satu saja kelemahannya, vaginanya terlalu berair sehingga mengurangi kenikmatan.
Bunyi paha beradu semakin keras dan sering seirama hentakan pinggulnya. Aku mengimbangi hentakan pinggulnya dengan dorongan ke atas. Kurasakan vaginanya semakin licin, membuatku harus fokus dan mengencangkan otot-otot panggulku. Suci merebahkan tubuhnya ke arahku dan mencari bibirku. Kami masih terus bergerak menimba kenikmatan. Beberapa saat kemudian kudorong tubuhnya ke samping hingga telentang. Kuraih tissue di atas meja kecil dan kuseka vaginanya.
“Hhmmmmm…..,” ia menunjukkan raut muka tidak suka ketika kuseka lendir di vaginanya.
“Sorry sayang, terlalu licin,” kataku.
“Iyaa, ga papa,” katanya lemah.
Ia membuka kedua pahanya dan tanpa menunggu lama aku naik ke atas tubuhnya dan memasukkan penisku kembali ke dalam vaginanya. Kami segera melanjutkan aktivitas seksual kami. Kuayunkan pinggulku perlahan. Kenikmatan meningkat setelah lendir vaginanya aku seka. Meskipun vaginanya terasa agak longgar, tapi dengan variasi gerakan pinggulku gesekan kulit kelamin kami masih menimbulkan kenikmatan. Kucium bibir, leher dan payudaranya. Ia tersentak ketika puting payudaranya kuisap dengan kuat.
“Oouuhhhh sayanggg….. sakitttt…. pelan-pelan”.
Ronde pertama ini akan kuselesaikan dengan cepat, karena memang seminggu ini aku tidak melakukan hubungan sex.
“Sayang, aku keluarkan yaa….,” kataku sambil mempercepat gerakanku.
“Hhmmm…..oouuhhh tahan dulu, aku sebentar lagi sayang…”.
“Di dalam?” tanyaku.
“Hheehhhhh,” jawabku.
Terlambat, desakan aliran lahar kenikmatanku sudah sampai di ujung.
“Suciiiihhhhh…. Aku keeellllhhhuarrrr,” kataku sambil menekan pinggulku ke bawah, sampai seluruh batang penisku tertelan ke dalam vaginanya. Nafasku berat terengah-engah. Penisku berdenyut-denyut dan kakiku mengejang.
“Huuuuuhhhhh…..aku belum keluar,” katanya sedikit kecewa, namun kedua betisnya membelit kakiku dan ikut mengejang mengimbangi kakiku.
Beberapa saat aku masih membiarkan penisku di dalam vaginanya sampai denyutannya mereda, mengecil dan terlepas dengan sendirinya. Spermaku meleleh keluar dari vaginanya, sebagian membasahi baju tidurnya. Aku berguling ke sampingnya.
“Maaf sayang, aku udah ga tahan. Udah seminggu ga dikeluarin…,” kataku sambil mengecup bibirnya.
“Iya, musuhnya lagi berhalangan yaa…. Hihihi,” jawabnya sambil tertawa.
Kupeluk tubuhnya dan kubisikkan “Sorry ya sayang…”.
“Iyaa, aku memang agak susah untuk mencapai orgasme, bahkan dengan durasi cukup lamapun sulit. Selama penetrasi aku merasakan nikmat tapi sulit untuk bisa sampai ke puncaknya. Sebenarnya ini tadi sudah hampir mencapai klimaks, kalau sayang bisa menahan beberapa menit lagi sepertinya aku bisa klimaks”.
Aku tidak menjawabnya, hanya memeluk dan mengusap-usap rambutnya.
Ia merapatkan tubuhnya dan berbisik,”Sekarang bantuin aku, mumpung belum turun gairahku”.
Kujawab,”Tunggu sebentar, aku perlu istirahat beberapa saat. Pasti kita ulangi lagi”.
“Bukan itu, bantu aku dengan caraku”.
“Bagaimana caranya?”
Ia menciumiku dan mengarahkan tanganku untuk memainkan payudaranya.
“Bantu aku sayang. Hampir selalu aku menyelesaikan hubungan sex dengan cara ini. Sementara ini belum ada cara lain lagi”.
“Cuci memekmu, kubantu dengan lidahku”.
“Jangan, biar saja. Aku merasa sexy dan bergairah dengan sperma masih ada di dalam memekku”.
Tanganku mulai menggerayangi selangkangannya. Ia menahan tanganku dan berkata,”Biar aku sendiri yang lakukan. Cium aku dan mainin susuku saja, sayang”.
Aku mencium bibir, leher dan menjilati telinganya. Suci mulai mendesah perlahan. Aku terus bermain di area atas tubuhnya. Kulihat ia memainkan klitoris dengan jarinya, sesekali dimasukkan jari tengahnya ke dalam lubang vaginanya. Ketika aku mencium, menjilati dan mengisap payudaranya maka desahannya berubah menjadi erangan.
“Errrgggghhhh…. Sayang…..aahhhhh”.
Tangannya semakin cepat bergerak di vaginanya, tubuhnya menggelinjang kesana kemari. Aku juga bergerak menyesuaikan gerakan tubuhnya.
“Cium aku sayang…..,” ia memohon.
Segera aku mencari posisi yang nyaman untuk berciuman supaya tidak mengganggu aktivitas tangannya di bawah. Ia menciumiku dengan ganasnya, dan tak lama kemudian ia memekik tertahan,”Oouuhhhhhh…..aahhhhhhh… sayanghhhhh”.
Dilepasnya ciumanku dan bibirnya mencari dadaku. Digigitnya dadaku sampai aku merasa kesakitan. Spontan kudorong kepalanya,”Sakittttt ….Suciiii!”.
Nafasnya tersengal-sengal dan perlahan mereda.
“Terima kasih sayang. Sakit ya kugigit dadamu?” katanya sambil memeriksa bekas gigitan. Kulihat ada bekas gigi, tapi tidak sampai menimbulkan noda kemerahan
“Hihihi….nanti aku kasih yang lebih enak deh,” katanya.
Kami masih berpelukan dan kemudian bersama-sama membersihkan diri di kamar mandi.
“Bajumu kena pejuhku tuh,” kataku
“Ga apa-apa, biarin saja. Aku suka kok”.
Selesai membersihkan diri kami berbaring di ranjang tanpa mengenakan pakaian.
“Hmmmm tadi main pakai baju, ini ga main malah telanjang. Gimana sih?” aku menggodanya.
“Aku ga pede dengan tubuhku, terutama paha dan pantatku. Apalagi kalau tadi doggy kan kamu pasti lihat pantat dan pahaku”.
“Ga ada yang aneh dengan paha dan pantatmu kok. Biasa saja,” kataku sambil mengangkat kepala melihat ke arah pahanya.
“Iya sih, ga tau juga yaa. Aku aja yang ngerasa ga pede gitu. Makanya aku selalu pakai daster atau baju tidur kalau berhubungan, apalagi kalau posisi doggy”.
Kami bercerita sambil berpelukan. Suaminya umurnya seputuh tahun di atasnya, kerjanya serabutan, kadang menyewakan mobilnya, kadang mengerjakan perbaikan rumah atau hal lainnya. Ia menikah dengan suaminya karena balas budi orang tua. Sebenarnya penghasilan suami dari kerja serabutan masih terbilang cukup dibanding penghidupan orang pada umumnya. Mungkin karena tidak didasari cinta maka hubungan di ranjang dingin. Penis suaminya hampir satu setengah ukuran penisku. Ketika ia menceritakan hal itu sempat membuatku minder juga. Pantesan longgar, batinku. Tapi ia tidak bisa menikmati hubungan intim dengan suaminya. Suaminya bukan tipe pria yang romantis, yang mengawali hubungan intim dengan foreplay yang cukup. Begitu nafsunya timbul dan penisnya ereksi, maka langsung masuk ke dalam vagina Suci. Akibatnya sering Suci merasakan nyeri ketika berhubungan, jadi Suci sama sekali tidak berharap untuk mencapai orgasme. Dengan kondisi seperti itu maka tidak heran kalau hubungan ranjangnya terasa dingin. Hanya sekedar kewajiban melayani suami saja. Keinginan untuk bercerai ada, tapi banyak hal yang jadi pertimbangan, salah satunya dua anak dari pernikahan mereka. Suci tidak menceritakan dengan siapa saja ia berselingkuh, tapi aku yakin dan pasti ia sudah melakukannya. Darimana ia tadi bisa bercerita merasakan nikmat ketika penetrasi, sedangkan dengan suaminya ia malah merasa kesakitan. Aku tidak bertanya atau memancingnya, suatu saat kalau ia ingin cerita pasti akan diceritakannya. Selesai bercerita Suci meraba dan mengusap penisku yang sudah cukup beristirahat dan akan melanjutkan pelayaran di samudera kenikmatan.
“Hmmm udah mulai berdiri tuh…,” katanya sambil terus mengusap penisku.
“Hehehe…. Lanjutt yuk,” jawabku.
“Gimana mainnya? Kasihan kalau kamu ga bisa keluar lagi,” kataku.
“Ahh sudah biasa, masih ada jari yang menyelesaikan masalah,” katanya sambil menciumku.
Kutelentangkan tubuhnya, kepalaku langsung mengarah ke bagian selangkangannya. Ia menahan kepalaku,”Jangan sayang, ga usah”.
“Kenapa,” tanyaku.
“Jangan, setidaknya bukan sekarang”.
“Ga adil dong, kamu kasih oral sex ke aku tapi aku ga boleh oralin kamu”.
“Sudahlah, ga sekarang sayang”.
Kepalaku kembali naik sambil menyusuri perut, bermain di dadanya.
“Aku kasih tanda yaa,” kataku.