Kisah Tengah Malam:

Pesugihan Tuyul (1)​
Pikir Ajeng, kamar praktik dukun itu biasa lekat dengan hiasan dinding berkesan mistis, pencahayaan temaram, aroma apek debu bercampur kemenyan, dan tikar dengan satu-dua kendi di atasnya. Dugaannya salah, kecuali cahaya temaram dari lampu petromak yang tersemat di dinding. Ruang ini tidak kotor, tidak pula diisi pajangan aneh-aneh, atau kendi berisi bakaran menyan. Hanya ruang petak biasa, yang berada di kamar terakhir sebelum dapur, pada kontrakan tiga petak di ujung gang. Matanya mengelilingi ruangan. Mengamati dengan rinci. Kamar ini ga mencerminkan kamar dukun, apa kakek ini ternyata dukun palsu? ucapnya dalam hati. Suara berat dari Mbah Darwis seketika membuyarkan pengamatannya, juga prasangka. “Lagi susah duit, ya, Nduk?” tanya Mbah Darwis, sembari menyulut sebatang rokok kretek. Respon tanpa suara Ajeng sampai membuat suara tembakau kering yang terbakar pun terdengar nyaring. Dia tahu aku lagi kesusahan. Memang dukun betulan kakek ini. Setelah mengatasi kekagetannya, Ajeng mengangguk. “Iya, Mbah. Udah seret banget dompet saya, sampe bingung besok makan apa,” jawab Ajeng. Suaranya pun dibuat memelas. Mbah Darwis menghembuskan asap rokok ke udara. Asap mengepul di depan Ajeng. “Mau cari pesugihan yang bagaimana, Nduk?” tanyanya lagi. “Kok Mbah tahu saya cari pesugihan?” “Yo tahu, Nduk. Semua yang kemari carinya sama seperti kamu.” Mbah Darwis pun memberi secarik kertas kepada Ajeng. Sebuah kartu nama. Ajeng merasa percuma melihat kartu nama itu, karena temaramnya cahaya menyulitkannya. “Itu nama Mbah, Darwis Dwiadi. Siapa tahu ada yang butuh nanti. Ada nomornya di situ, jadi ndak usah lewat Asep lagi nanti.” “Mbah tahu saya kenal Mbah lewat Asep?” Lagi-lagi, Ajeng terkejut dengan kemampuan Mbah Darwis dalam menebak. Hatinya semakin yakin, bahwa Mbah Darwis adalah dukun yang sakti. “Yo, tahu. Tamu yang pertama datang ke sini, semuanya dari Asep. Wong si Asep itu calo Mbah. Tapi komisinya mahal, jadi lain kali langsung ke Mbah saja, ya? Lumayan duitnya buat beli selopan rokok, daripada buat Asep.” Mbah Darwis tertawa terbahak-bahak, hanya untuk batuk heboh akibat tersedak asap. Kelimpungan, pria uzur itu meraba sekitarnya. “Banyuku, mana banyuku. Nah, ini dia.” Ajeng garuk-garuk kepala. Agaknya, dia mengerti maksud si Mbah, karena sebelum Asep mengantarnya ke kontrakan ini, pria pengangguran yang suka nongkrong di terminal itu juga meminta komisi jasa. Karena tidak punya uang untuk mengupah Asep, maka Ajeng menawarkan jasa goyang lidah plus sedot vacuum untuk kejantanannya. Untungnya Asep mau. Jadilah mereka bertransaksi di bilik WC umum. Setelahnya, Ajeng pun diantar ke Mbah Darwis. “Mbah bisa kenalkan ke beberapa jenis pesugihan. Tapi semua tergantung maharnya,” ucap Mbah Darwis. “Iya, Mbah. Saya ngerti.” Ajeng cepat-cepat membuka kancing kemejanya. Baru sampai pada kancing ketiga, Mbah Darwis sigap memegang lengannya. Gerakan Ajeng sempat terhenti, tapi dia mulai preteli kancingnya lagi. “Woeee… berhenti, Nduk!” sentak si Mbah, “Kamu mau apa, to?” Penuh keheranan, Ajeng pun menuruti. Alisnya naik, seraya dia berkata, “Bayar mahar, Mbah?” “Lhooo… aku ini lagi puasa syahwat, Nduk! Harus sepuluh purnama. Ini kamu selesai buka baju, tongkat pusaka Mbah naik! Batal nanti puasanya.” Setelah selesai bersungut-sungut, Mbah Darwis melanjutkan, “Lagian kamu kenapa maharinnya pakai badan? Kamu ndak punya uang sama sekali?” “Loh, saya pikir Mbah udah tahu saya mau bayar mahar pakai apa,” jawab Ajeng, “Lagian kan tadi pas Mbah nanya saya lagi susah duit, saya iyain tuh kirain Mbah ngerti kalau saya bisa bayar maharnya pakai cara lain.” “Woooeee… cah gendeng! Sudah, sudah… pakai lagi kancingnya.” Mbah Darwis pun menunduk saat Ajeng mengancingkan kemeja. Dibantu pendar cahaya petromak, sesekali Mbah Darwis curi-curi pandang ke Ajeng. Wuaduh, susune guede, cok! Coba kalau aku ndak lagi puasa, ucapnya dalam hati, lalu dia menggeleng sendiri. Setelah Ajeng selesai dengan salah pahamnya, Mbah Darwis pergi ke dapur, lalu kembali sambil menenteng kantong kresek. Bunyi denting kaca terdengar dari dalamnya. Ajeng berasumsi, itu adalah bunyi denting botol yang beradu. Mbah Darwis kembali duduk bersila di peraduannya, lalu mengeluarkan tiga buah botol sirup kosong. “Wis, pilih, Nduk,” ucap si Mbah, memberi intruksi. “Ini apa, Mbah?” “Ini pesugihan paling gampang buat kamu. Isinya tuyul. Soal mahar, nanti saja kalau kamu sudah sukses.” Mbah Darwis mengacungkan dua jari ke Ajeng, dan memastikan perempuan itu melihatnya. “Dua puluh juta, yo, Nduk. Ojo lali, lho.” Ajeng menelan ludah saat Mbah Darwis menyebut harga. Seumur hidupnya saja, dia belum pernah pegang uang sebanyak itu. Apalagi memikirkan harus memberinya ke orang lain. Tapi karena sedang kepepet, Ajeng tak ambil pusing. Lagipula, belum tentu juga dia dikasih tuyul betulan. Tapi kalaupun iya, Ajeng bisa kabur saja dan melupakan kewajiban membayarnya. “Baiknya… saya pilih yang mana, Mbah?” tanya Ajeng. Dia sedang tertegun, memandangi tiga botol sirup kosong di hadapannya. Mbah Darwis tampak berpikir. Pria uzur itu memainkan janggutnya. Lama. Setelah memandangi dengan mata memicing pada botol kaca di tengah, dia pun menyodorkan botol itu ke Ajeng. “Ini yang paling susah diatur, tapi paling mantul kerjanya, Nduk,” jawabnya. “Mantul?” Sambil mengacungkan jempol, si Mbah membalas, “Mantap betul, Nduk. Wilayah operasionalnya luas, jam kerjanya lama. Kalau kamu bisa bikin dia nurut, cepet sugihnya kamu, Nduk! Cepet juga bayar mahar ke Mbah, nanti.” “I-iya, deh. Saya ambil ini aja.” Ajeng pun mengambil botol yang disodorkan padanya. Lalu, Mbah Darwis memberi beberapa wejangan seputar pesugihan tuyul. Perempuan itu mendengarkan dengan seksama. Dari keterangan Mbah Darwis, tuyul itu enggan memberitahu nama aslinya, jadi dia meminta dipanggil Ades saja. Umurnya sudah empat puluh tahun, tapi jika disamakan dengan hitungan umur manusia, Ades masih anak-anak. Jam terbangnya tinggi. Sudah tak terhitung banyaknya tokoh terkenal yang pernah memakai jasanya. Tapi sebagai jin kecil, egonya terlalu tinggi. Ini membuat Ades jadi susah diatur, karena semakin lama dia semakin ngelunjak. Mintanya jadi macam-macam. Rata-rata, alasan majikan-majikan sebelumnya ketika mengembalikan Ades adalah karena sudah tidak mampu menuruti permintaan tuyul itu. “Makanya, Nduk. Kamu yang telaten sama dia.” Mbah Darwis lalu menatap Ajeng, lama. Pria tua itu pun mencondongkan badannya. Ia berbisik ke Ajeng, “Dan jangan beri dia apapun melebihi yang Mbah syaratkan untuk kamu kasih. Jangan! Kalau kamu bisa sanggup, nanti dia nurut sendiri. Ngerti, Nduk?” Ajeng mengangguk. Setelah komat-kamit sambil usap-usap botol, Mbah Darwis pun meniup tutup botol itu. Dalam satu ayunan tangan, si Mbah meminta Ajeng pergi. Setelah salim, perempuan itu pamit, keluar dari kontrakan Mbah Darwis. Setelah keluar gang, Ajeng kembali melongok ke kontrakan itu. Dirinya masih takjub akan nuansa mistis yang tercipta di ruang praktik Mbah Darwis, terlebih hanya karena cahaya temaram dari lampu petromak. Sementara itu, sepeninggal Ajeng, Mbah Darwis menggerutu. Bukan hanya karena tidak dapat pemasukan, tapi juga karena lagi-lagi harus ganti bohlam di ruang praktiknya. Bohlam ruang itu tiba-tiba konslet tepat sebelum Ajeng datang ke kontrakannya. Mbah Darwis terkekeh saat melihat lampu petromak yang masih menyala. “Untung ada ini,” ucapnya.
———​
Ajeng gembira bukan kepalang saat tahu kalau botol pemberian Mbah Darwis berisi tuyul betulan. Begitu sampai rumah, di meja makannya sudah menghampar belasan lembar campuran uang seratus ribu dan lima puluh ribu. Sementara sesosok bocah berkulit pucat sedang duduk di kursi samping meja. Tentu saja Ajeng tidak pernah melihat bocah itu sebelumnya, karena bahkan tidak ada bocah manusia yang mempunyai dua benjolan menyerupai tanduk di kepala gundulnya. Dua benjolan itu terletak di sisi kiri dan kanan kepala, tepatnya di atas telinga. Baru dibawa pulang saja sudah kerja. Boleh juga ini tuyul. Ajeng langsung meraup lembaran uang di atas meja, lalu memasukkannya ke tas selempang yang dia bawa. Setelahnya, didorong spontanitas akibat euforia, perempuan itu mengusap kepala si tuyul. Tapi tidak lama, karena begitu Ajeng sadar kalau dia sedang berinteraksi dengan jin, dia langsung menarik tangannya. “Ih, lagi dong, Mah!” ucap tuyul itu. Ternyata dia menikmati usapan tangan Ajeng pada kepalanya. “Mah? Kamu manggil aku ‘mamah’?” tanya Ajeng, keheranan. “Iya. Mamah. Kan Ades sekarang ikut Mamah.” Langsung deket gini juga. Aku optimis dia jadi cepat nurut, nih. “Anak pinter! Iya, aku mamah kamu, sekarang. Kita kerja sama, ya. Kamu mau apa sebagai imbalan kerja, Des?” “Mau nenen, Mah!” Ajeng terkesiap. Seperti yang Mbah Darwis bilang, kalau tuyul memang meminta menyusu pada majikannya sebagai salah satu syarat memelihara. Tapi membuktikan secara langsung perkataan si Mbah adalah pengalaman yang berbeda dari bayangannya. Ragu-ragu, Ajeng membuka kancing kemeja. Pelan dan lama. Justru itu membuat Ades merasa tak sabar. Raut marah mulai membentuk di muka pucatnya. Ajeng jadi merasa seperti terancam, jadi dia mempercepat preteli kancingnya. Setelah menyingkap bra, Ajeng lalu menyodorkan payudara kanan ke Ades. Tanpa basa-basi, tuyul itu langsung mencaplok puting payudara Ajeng, lalu menyedotnya dalam tempo yang lambat, tapi membuat nyaman. Jelas Ajeng langsung menggelinjang. Nafsunya serentak bangkit. Belum ada lelaki yang menjamah putingnya selama empat bulan terakhir, dan setelah sekian lama rangsangan itu datang dari… tuyul? Aku pasti sudah gila, pikirnya. Beruntungnya, puting Ajeng masih mengeluarkan ASI. Kondisinya yang secara biologis masih jadi seorang ibu muda jadi faktor utama. Seharusnya, saat ini Ajeng masih menyusui bayinya yang masih berusia sembilan bulan. Empat bulan lalu, Ajeng diceraikan oleh mantan suaminya. Penyebabnya, karena perempuan itu ketahuan selingkuh. Mantan suaminya seorang pelaut, dan itu berdampak pada dia yang jadi jarang pulang. Akibatnya, Ajeng yang punya libido tinggi jadi sering merasa kesepian. Sebenarnya, banyak lelaki yang mengincar Ajeng. Perempuan itu punya badan yang molek, dengan payudara yang semakin mengkal setelah melahirkan. Rupanya juga manis, dengan dandanan khas perempuan Jawa yang sudah terpapar modernisasi kota. Warna kulitnya tidak putih, tapi halus karena sering kena lulur. Kemolekan badannya terlengkapi dengan rambut hitam bergelombangnya yang dipotong seleher, menunjukkan leher mulus yang menggiurkan mata. Justru dengan sumber daya seberkualitas itu, jadi sia-sia jika tidak ada yang mengolahnya. Banyak yang tergiur, tapi hanya satu yang nekat untuk mendekat. Orang itu adalah tetangga Ajeng, seorang pria paruh baya yang selalu merayu dan menggombalinya di setiap ada kesempatan. Setelah sekian tanggal gajian, Ajeng luluh juga. Lalu, di sesi selingkuh kesekian kali, Ajeng digrebek warga bersama dengan mantan suaminya yang pulang diam-diam. Setelah melalui sidang sosial, selingkuhannya dibawa ke kantor polisi, sementara Ajeng ditalak tiga saat itu juga. Setelah cerai, Ajeng tidak punya apa-apa. Harta tidak dibagi, hak asuh anak dimenangkan suami, dia pun diusir dari rumah mantan suaminya. Mau pulang ke rumah, tapi orangtua tidak menerima. Katanya, bikin malu keluarga. Luntang-lantung, Ajeng terpaksa menjual mas kawin yang dia bawa sebelum diusir. Jumlahnya memang lumayan, tapi hanya cukup untuk beberapa bulan. Itupun dengan mengirit pengeluaran, diluar biaya listrik, air, dan kontrakan. Maka, inilah dia. Memutuskan untuk melakukan pesugihan, sebelum uang di dompetnya yang tinggal recehan itu habis tak bersisa. Untung dia dikenalkan Asep ke Mbah Darwis. Lumayan, cuma modal blow job dan janji belaka, Ajeng dapat tuyul hebat sebagai penopang kondisi finansialnya. Jadi, apa salahnya kalau si tuyul mau menyusu padanya? Toh, Ajeng juga menikmati uang yang tuyul itu bawa, juga hisapan pada putingnya saat menyusui. Makanya, Ajeng merubah posisi. Demi alasan kenyamanan, Ajeng memangku si tuyul, sedangkan dia duduk di kursi. Sesekali, Ajeng mendesah keenakan akibat hisapan si tuyul yang tak kunjung usai. “Mmhhh… Ades, pelan-pelan aja, ga apa-apa…” Sedari tadi, mata Ajeng memang tidak lepas dari penis si tuyul yang menggelantung bebas. Berbeda dengan penggambaran di media, tuyul di pangkuannya ini hadir dalam rupa telanjang. Perawakannya seperti manusia mini. Badannya kecil tapi perutnya buncit. Di selangkangannya, menggantung seonggok penis yang dalam kondisi lemasnya saja ukurannya hampir sebesar rata-rata penis orang dewasa. Ajeng menelan ludah. Naluri binalnya perlahan bangkit. Ingin rasanya dia menggenggam penis itu, lalu mengocoknya perlahan. Atau mengulum dan menjilati seluruh permukaannya. Tapi dia masih tahan ide gilanya. Akal warasnya masih bekerja dengan baik. Setelah kira-kira lima menit si tuyul menyusu, akhirnya dia lepas kulumannya. Lalu, tuyul itu merayap ke wajah Ajeng, mencium pipinya dengan lembut. “Makasih, Mah! Ades mau cari uang dulu, ya? Tapi nanti malem nyusu lagi, ya?” ucapnya, sebelum menghilang bagai asap menguar di udara. Ajeng langsung melemas. Badannya gemetar dalam takut bercampur semangat. Sekarang, dia resmi melakukan pesugihan dengan tuyul, sesuatu yang dirinya belum sepenuhnya bisa percaya. Tapi senyum Ajeng melebar ketika melihat lembaran uang di tasnya. Dia yakin, tidak lama lagi dia akan jadi orang kaya.
———​
Sudah dua minggu Ajeng melakoni pesugihan tuyul. Selama itu pula, pundi-pundi uang yang dia dapat dari hasil patroli Ades mencapai puluhan juta rupiah. Benar kata Mbah Darwis, wilayah operasional Ades sangat luas. Tuyul itu bisa berhari-hari pergi entah kemana, lalu pulang pada suatu malam dengan tumpukan uang di kasur Ajeng. Tiap kali pulang, Ades selalu minta menyusu. Awalnya, Ajeng cuma risih terhadap hasratnya sendiri saat sedang menyusui si tuyul. Pikirnya, bisa-bisanya dia terangsang oleh tuyulnya sendiri. Tapi Ajeng tidak bisa berbohong pada dirinya, kalau tiap kali Ades sedang menyusu sambil dia pangku, Ajeng sering curi-curi memperhatikan penis si tuyul. Sesering dirinya menelan liur saat melihat, sesekali, ukuran penis si tuyul jadi membesar. Maka, pada suatu malam Jum’at yang sepi, psikis Ajeng sampai pada batasnya. Dirinya tidak tahan lagi. Setelah memastikan bahwa Ades sedang tidak ada, Ajeng mulai bermasturbasi. Dia merebah pada kasur dan bertelanjang bulat, lalu menggesekkan kemaluannya pakai jari. “Mmmhhh… ooohhh… Ades, kontol kamu gede banget… uuuhhh…” Ajeng Kinanti, perempuan muda yang baru berumur 26, sedang bermasturbasi sambil berfantasi tentang tuyulnya. Dalam benaknya, dia sedang memainkan penis si tuyul, mengocoknya perlahan sembari menikmati hisapan Ades pada putingnya. Di fantasinya, Ajeng tentu punya nyali untuk menggenggam penis Ades. Hal yang belum pernah dia lakukan saat dia terjaga di kehidupan nyata. “Uuuhh… Mamah mau keluar, Mamah udah basah banget… kamu juga, ya? Keluarin aja di tangan Mamah, ga apa-apa…” Ajeng mengerang. Badannya mengangkat dan punggungnya meliuk saat orgasmenya datang. Meski sedang orgasme, tapi dia tidak berhenti menggesek klitorisnya. Berusaha menggapai lebih, dan lebih nikmat lagi. Sedikit lagi, dan orgasme susulannya pun dapat dia sambut dengan… “Aauuuhhh… Mamah pipis, Sayang! Mamah pipis enak, ahhhh…” Air bening yang keluar deras dari lubang kencingnya pun bercipratan ke segala arah. Membasahi sekitar. Ajeng langsung ambruk ke kasur, tapi lantas tidak membuatnya cepat terlelap. Ajeng masih berusaha mengatur napasnya. Tersengal dan memburu. Yang Ajeng tidak tahu adalah, bahwa sebagai jin, Ades punya pilihan untuk tidak menampakkan diri di depan manusia. Saat Ajeng bermasturbasi tadi, sebenarnya Ades ada di ruangan yang sama. Di sudut gelap kamar, Ades sembunyi. Penisnya tegak sempurna karena pertunjukan masturbasi Ajeng membangkitkan nafsunya, dan kini Ades tidak melihat Ajeng sebagai majikan lagi; melainkan sebagai perempuan kesepian yang butuh penis untuk merogoh bagian terdalam pada kemaluannya. Dalam persembunyiannya, tuyul itu terus mengamati Ajeng, bahkan setelah perempuan itu larut dalam lelap. Dia pun mengulas senyum. Sebuah senyum yang jahat dan mengerikan.
Bersambung ke Bagian Dua