Karya Tulis Orisinil
↓
Disclaimer
↓
Segala karakter, kejadian, dan dialog dalam cerita ini adalah hasil imajinasi penulis dan bersifat fiktif.
Kesamaan dengan orang, tempat, atau kejadian nyata adalah kebetulan semata.
Penulis tidak bermaksud untuk menyakiti atau merugikan pihak manapun dengan cerita ini.
Interpretasi dan pandangan yang dihasilkan dari pembaca terhadap cerita ini adalah sepenuhnya tanggung jawab mereka sendiri.
Disarankan untuk menggunakan kebijaksanaan dalam menentukan apakah cerita ini sesuai untuk pembacaan Anda.
Penulis berupaya untuk memastikan keakuratan informasi, namun tidak menjamin keabsahan atau ketepatan dari semua detail yang disajikan.
***
“Membuka Kunci Batin Yang Rusak”
↓
Kebetulan, seluruh anggota keluargaku sedang pergi ke kota Lampung untuk menghadiri acara pernikahan salah satu kerabat jauh. Anak dari kakaknya ibuku mengalami nasib sial, yaitu hamil diluar nikah dan harus segera menikah demi menutupi aibnya tersebut. Entah apa yang mempengaruhi otaknya ketika berpacaran sehingga tidak memikirkan lagi untung rugi bagi dirinya sendiri maupun keluarga.
“Andai saja telat cabut… Pasti tidak akan kejadian seperti ini. Sinta, Sinta…” ucapku dalam hati sambil memandangi gumpalan awan di langit.
Ketika sedang asyik-asyiknya bersantai, tiba-tiba tetangga sebelah rumahku datang dan memanggil.
“Bang, Bang Denata!” ucapnya memanggil sambil berjalan mendekatiku.
Aku berdiri dari tempat duduk dan segera menjawab panggilannya, “Iya, ada apa, Te?”
“Bang, Tante bisa minta tolong sebentar?” tanya Tante dengan sedikit tersengal-sengal karena berjalan terburu-buru.
“Minta tolong apa, Te?” tanyaku balik.
“Kamar mandi di rumah Tante terkunci dari dalam. Bisa tidak diakali biar terbuka, Bang?” ujarnya menjelaskan masalah yang terjadi di rumahnya.
“Kenapa bisa terkunci dari dalam, Te?” tanyaku dengan penasaran.
Kemudian, Tante Yunita mulai menjelaskan kejadian awal kenapa pintu tersebut bisa terkunci dari dalam. Semuanya bermula karena kecerobohan anak perempuannya yang bernama Nadin. Ketika selesai mandi, dia dengan sengaja menekan tombol kunci pada gagang pintu lalu menutupnya. Lebih parahnya lagi, kunci beserta cadangannya berada di dalam dan masih tertanam di gagang pintu.
“O…” jawabku sambil mengangguk ketika mengetahui penyebabnya.
“Bisa tidak, Bang?” tanya Tante Yunita dengan raut wajah yang gelisah.
“Dicoba dulu, Te!” jawabku.
Kemudian, Tante Yunita mengajakku ke rumahnya untuk mengecek langsung pintu tersebut. Rumahnya berada di samping rumahku dan hanya terbatas oleh pagar setinggi 1,4 meter serta memiliki pintu samping. Aku berjalan mengikutinya dari belakang sambil memikirkan cara untuk membukanya.
Tibalah aku di dalam rumahnya. Rumah yang terlihat sedikit berantakan namun bersih karena belum dirapikan oleh sang pemilik rumah. Tante Yunita pun segera mengajakku masuk ke kamar anaknya dan menunjukkan pintu kamar mandi yang terkunci tersebut.
“Ini Bang, pintunya!” ucapnya sambil menunjuk pintu kamar mandi yang bermasalah.
“Iya, Te, Aku coba dulu!” jawabku, kemudian segera mengecek pintu tersebut.
Aku mengotak-atik pintu tersebut dengan berbagai cara, namun tidak berhasil untuk terbuka. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku menemukan solusi terbaik tanpa harus merusaknya. Pintu tersebut terkunci dari dalam dengan keadaan kunci beserta cadangannya berada di gagang pintu. Oleh karena itu, aku harus mencari cara untuk melepaskan kuncinya terlebih dahulu.
“Bisa, Bang?” tanya Tante Yunita sambil duduk di tepian tempat tidur anaknya.
“Bisa, Te! Tapi…” ucapku terhenti karena melihat sesuatu.
Sekilas, aku melihat bentuk payudaranya yang terlihat menonjol dan tidak tertutupi oleh BH. Nampak begitu lembut dan sangat menggiurkan. Bahkan aku dibuat merasa gelisah karena sangat menggoda dan mempesona. Oleh karena itu, terbesit dalam pikiranku untuk segera meremas serta menghisapnya.
“…Harus dilepas dulu kuncinya!” lanjutku. Sepertinya Tante Yunita tidak menyadari atau memang tidak peduli atas pandangan mataku yang sekilas melirik keindahan payudaranya tanpa tertutupi oleh BH dengan bernafsu.
Terlintas dalam pikiranku bahwa kamar mandi tersebut memiliki ventilasi udara di luar. Segera aku keluar rumah dan mencari sebilah bambu atau kayu untuk mengailnya agar terlepas.
“Bagaimana, Te?” tanyaku ketika hendak merusak kawat nyamuk pada ventilasi udara kamar mandi tersebut.
“Iya, Bang, tidak apa-apa,” jawabnya sambil mengangguk, pertanda setuju.
Segera aku mendorong bambu masuk ke dalam ventilasi sambil mengarahkannya ke posisi kunci berada. Setelah posisinya sudah tepat, aku segera mengail dan menarik kunci tersebut hingga terlepas dari gagang pintu.
“Akhirnya, lepas juga!” ucapku dalam hati, merasa lega.
Setelah kunci terlepas, aku segera menarik bambu dengan sangat hati-hati agar kunci tidak terjatuh ke lantai. Jika jatuh ke lantai, maka akan sulit untuk mengambilnya kembali.
“Sudah dapat, Te!” ucapku dengan senyum sambil menunjukkan kunci kamar mandi yang berhasil didapatkan.
“Syukurlah!” ucap Tante Yunita merasa lega sambil mengusap-usap dadanya.
Setelah itu, kami segera kembali ke dalam dan membuka pintu kamar mandi tersebut. Akhirnya, pintu tersebut segera terbuka. Tante Yunita merasa tenang dan lega setelah masalahnya berhasil teratasi. Dia sesekali membuka tutup pintu kamar mandi untuk memastikan agar tidak ada masalah tambahan lainnya.
“Syukurlah ya, Bang!” ujarnya dengan sedikit senyum sambil menghela nafas.
“Iya, Te,” jawabku dengan ramah dan diselingi tawa kecil.
“Jadi basah oleh keringat bajunya Abang,” ucapnya dengan senyum dan diselingi tawa kecil.
“Iya, iyalah! Habis olahraga langsung jadi tukang. Otomatis jadi basah semua oleh keringat,” ucapku dalam hati.
Kembali aku teringat akan pikiran kotorku sebelumnya. Keinginan untuk merasakan kehangatan tubuh seksi Tante Yunita tanpa balutan busana. Segera nafsuku kembali memuncak hingga mulai mempengaruhi akal dan pikiran. Mengingat hal itu membuat kemaluanku menjadi tegang dan menonjol. Terlebih lagi aku tidak memakai celana dalam sama sekali saat ini sehingga kemaluanku sangat terekspos keluar.
Kepalaku menjadi terasa pusing karena memperdebatkan antara memilih nafsu atau akal sehat. Di satu sisi aku sangat ingin memperkosanya dan menjadikannya tunduk kepadaku. Namun, pada sisi yang berbeda aku sangat menolaknya.
Setelah mengalami pergulatan batin yang cukup hebat. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti hawa nafsu dibanding akal sehat. Segera aku menatap Tante Yunita dengan buas dan penuh nafsu seakan ingin segera menerkamnya. Tidak ingin berlama-lama dan kehilangan kesempatan, aku segera mendorongnya ke kasur.
“Abang! Abang mau apa?!” tanya Tante Yunita dengan panik di atas kasur.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku segera menindih tubuhnya lalu mencium bibirnya dengan sangat rakus. Tante Yunita mulai meronta-meronta dan memohon kepadaku untuk segera berhenti. Namun karena tenaganya lebih lemah dariku, akhirnya dia hanya bisa pasrah sambil menangis, merelakan tubuhnya dinikmati olehku yang bukan suaminya.
“Hhhh… Tante! Aku suka sama Tante! Aku ingin Tante menjadi milikku!” ucapku dengan nafsu yang tinggi sambil meremas payudaranya.
“Bang! Lepasin Tante, Bang?!” ucapnya memohon sambil menangis.
“Maaf, Tan! Aku sudah terlanjur…” ucapku yang tidak mampu lagi menahan diri.
Aku segera merobek baju dasternya hingga payudaranya terlihat dengan jelas tanpa tertutupi BH. Payudara yang terlihat sangat indah dengan areola berwarna gelap menghiasinya. Tidak ingin berlama-lama, aku mulai menikmati payudaranya seperti menjilat, menghisap, serta menggigitnya dengan geram.
“Ahhh… Mmmmhhh…” ucapnya mendesah namun berusaha ditahan dengan tangan.
Tante Yunita mulai mendesah pertanda dirinya menerima dan sangat menikmati permainanku pada kedua payudaranya. Bahkan yang awalnya memohon untuk segera dilepaskan kini berubah dengan mendorong kepalaku agar terus menghisap putingnya.
“Ahhh… B-Bang! Enghhh… Ahhh…” ucapnya merintih keenakan dengan mata terpejam sambil meremas rambutku.
Tidak ingin bagian bawah tubuhnya terus menganggur. Aku dengan rasa penasaran mulai memasukkan tangan kananku dan menyentuh vaginanya yang terasa hangat, lembab, dan basah. Sensasi yang sangat luar biasa dan mengesankan. Perlahan aku memasukkan jari tengahku dan mulai mengocok liang vaginanya.
“Ahhh… Ja-jangan! Enghhh… Ahhh… B-Bang… Terus! Ahhh…”
Sekarang Tante Yunita sudah dikuasai oleh nafsu yang menggebu-gebu. Sudah tidak ada lagi penghalang bagi dirinya untuk menolak kenikmatan ini. Dia sungguh sangat menikmati dan ingin merasakan sensasi yang lebih. Tampak jelas dari cairan vaginanya yang terus mengalir dan merembes keluar.
“Ahhh… Ahhh… Su-sudah… S-stop, B-bang! Nghhh… Ahhh…”
Desahan demi desahan yang keluar dari mulutnya ketika menikmati permainan jariku di liang vaginanya yang terasa semakin basah dan ketat.
Hingga pada akhirnya, Tante Yunita mengerang cukup panjang dan mengalami orgasme yang pertama. Cairan lendir cintanya pun mengalir keluar hingga membasahi tanganku. Terdengar nafasnya yang terengah-engah seperti habis lari maraton. Begitu juga dengan tubuhnya yang bergetar bagaikan ikan hidup yang terdampar di daratan.
Melihat tubuh Tante Yunita yang masih lemas sehabis orgasme, aku segera berdiri lalu melucuti pakaianku dan melepaskan celana dalamnya yang berwarna merah hati. Segera kuarahkan kemaluanku untuk masuk ke dalam vaginanya yang sudah sangat basah oleh lendir cintanya.
“Ahhh…” ucapku mengerang ketika berhasil memasukkan kemaluanku hingga menyentuh dasarnya.
Vagina Tante Yunita terasa begitu sempit, basah, dan hangat. Otot-otot vaginanya terus bergerak seakan memijat lembut kemaluanku di dalamnya. Aku dibuat terdiam sejenak dengan mata terpejam ketika merasakan hal tersebut. Perlahan aku mulai menggerakkan pinggulku ke depan dan belakang.
“Ahhh… Ja-jangan, Bang! Ehmmm…”
Aku kembali mencium bibirnya sambil terus memompa liang vaginanya. Semakin lama aku menyodoknya vaginanya, maka akan terasa semakin basah dan ketat. Sungguh kenikmatan yang tiada duanya.
Kini Tante Yunita sudah mulai menerimaku dan menikmati permainan ini, terlihat jelas dari sikapnya yang tidak mau melepaskan ciumanku serta mengunci erat pinggulku dengan menyilangkan kakinya.
8 menit kemudian, Tante Yunita mulai mendekati orgasmenya kembali. Dia kembali mengerang dan memohon untuk berhenti.
“B-bang… Le-lepas dulu! Ahhh… Ta-tante mau pipis,” ucapnya merintih keenakan sambil memohon.
Tidak mengindahkan perkataannya, aku terus memompa vaginanya dengan cepat karena sudah mendekati tanda ejakulasi. Kurasakan sperma yang tengah berkumpul dan mendesak hendak segera dikeluarkan.
“Te… Ab-bang mau keluar!” pekikku tersendat karena berpacu dengan birahi yang sudah sampai ubun-ubun.
“Ja-jangan di dalam, B-bang! Di-di lu-luar… Ahhh…” rengeknya.
Hingga pada akhirnya, Tante Yunita mengalami orgasme yang kedua kalinya dan disusul ejakulasiku yang mengeluarkan benih-benih segar dan kental ke dalam rahimnya. Tubuh kami sama-sama terkulai lemas dan tidak berdaya akibat permainan yang begitu nikmat. Terdengar suara nafasnya yang terengah-engah serta detak jantung yang berdetak cukup kencang. Kurasakan juga pijatan-pijatan lembut otot vaginanya yang sedang berkontraksi dengan diselingi cairan cintanya yang keluar membasahi dan menghangatkan kemaluanku. Setelah tenagaku kembali pulih, kutatap wajahnya dan menciumnya beberapa kali hingga dia terbangun.
“Abang jahat! Kenapa Abang buang di dalam? Kalau Tante hamil, bagaimana?” ucapnya dengan wajah panik dan khawatir sambil meneteskan air mata.
Aku hanya diam sambil menatap matanya. Kemudian mencium kembali bibirnya meskipun berusaha ditolaknya. Namun, akhirnya dia membalas ciumanku dan membelitkan lidahnya.
“Ahhh…”
“Aku akan tanggung jawab, Te, kalau hamil,” ucapku lalu menciumnya kembali.
Kemudian berbisik di telinga kirinya, “Aku sayang Tante!”
Beberapa saat kemudian, nafsuku kembali naik. Kemaluanku yang semula tertidur dan masih bersarang di dalam liang vaginanya yang dipenuhi lendir cintanya yang telah bercampur dengan spermaku, kini bangun kembali dan ingin melanjutkan ronde kedua.
“Tante sayang, sekali lagi ya?” pintaku dengan lembut sambil tersenyum penuh nafsu.
Tante Yunita hanya mengangguk dengan tatapan yang sayu. Dia sadar kalau dirinya tidak bisa menghentikanku yang tengah dimabuk birahi ini. Di satu sisi dia takut spermaku membuahi sel telurnya hingga terjadi pembuahan. Namun, pada sisi yang berbeda, dia sangat menikmati dan ingin merasakan sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari suaminya.
Kemudian aku memintanya untuk segera berganti posisi. Aku ingin melakukan posisi doggy-style dan menusuknya dari belakang. Tante Yunita segera mengikuti permintaanku tanpa perlawanan. Semuanya murni atas kemauannya sendiri. Kini Tante Yunita kembali mengerang dan menikmati setiap sodokanku pada liang vaginanya yang telah mekar.
“Ahhh… Terus, Bang! Nghhh… Terus…” ucapnya meracau.
Sesekali aku menampar pantatnya dengan pelan sekaligus meremas-remasnya. Pantat yang nampak bulat, padat serta montok membuatku semakin bergairah.
“Aaahhh…”
Setelah ronde kedua berakhir, Tante Yunita tertidur pulas karena kehabisan tenaga. Begitu juga denganku yang tidur sambil memeluknya. Kutumpahkan spermaku ke dalam rahimnya tanpa peduli kalau dia akan hamil nantinya. Semuanya hanya demi meraih kepuasan dan kenikmatan.
↓
Namaku Yunita Setiawati, seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak, dan memiliki suami yang bekerja di salah satu instansi milik pemerintahan. Anak pertamaku, setelah lulus SMA, pergi merantau ke Surabaya ikut kerabat untuk bekerja di salah satu pabrik. Sedangkan dua lainnya masih bersekolah, satu baru masuk SMA dan satunya lagi masih duduk di kelas 4 SD.
Selama menjalin hubungan rumah tangga, hubunganku dengan suami terbilang cukup harmonis dan sesekali terlibat konflik kecil karena masalah sepele. Namun, itu adalah hal yang biasa dalam berumah tangga.
Setelah melahirkan anak ketiga, suamiku menjadi kurang bergairah dan jarang sekali menyentuhku. Bahkan saat ini dirinya lebih sering dinas di luar kota dan menghabiskan waktunya di tempat lain. Oleh karena itu, aku mulai menyibukkan diri sendiri dengan berbagai macam kegiatan positif agar tidak stres akibat tidak terpenuhinya kebutuhan batin.
Namun, semua itu telah berakhir. Saat ini aku tergeletak lemas tidak berdaya tanpa busana di tempat tidur anak bungsuku. Laki-laki lain yang bukan suamiku telah menodai dan menikmati tubuhku. Aku merasa begitu hancur dan sangat menyesali atas kejadian ini. Namun, pada sisi yang berbeda, aku sangat menikmati dan merasa terpuaskan setelah lama tidak disentuh oleh suami.
“Maafkan Mama, Pa… Mama sudah mengkhianati cinta tulusnya Papa. Mama telah dinodai oleh laki-laki lain selain Papa. Tapi… Mama sangat butuh. Dan laki-laki ini mampu mengobati batin Mama yang sangat tertekan, Pa,” ucapku dalam hati sambil menangis.
Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 11.36 siang. Aku harus bergegas untuk menjemput anak bungsuku di sekolahnya karena sebentar lagi mendekati jam pulang.
“Bang, Bang Denata, bangun bang,” ucapku sambil melepaskan pelukannya di perutku.
Setelah lepas dari pelukannya, aku segera beranjak dari tempat tidur dan berdiri. Kurasakan lelehan sperma yang bercampur dengan lendir cintaku, merembes keluar dan membasahi sepasang pahaku. Jika tidak segera dikeluarkan, maka besar kemungkinan aku akan segera hamil dari benihnya. Terlebih saat ini adalah masa suburku.
Beberapa saat kemudian, dia terbangun dan menatapku dengan setengah sadar. Kulihat kemaluannya masih berdiri dengan tegak meski sudah dua kali mengeluarkan benihnya.
“Apa yang aku pikirkan? Tidak… Tidak… Tidak…” batinku bergejolak.
“Tan…” ucapnya terhenti.
“Sudah, Bang, Pulang…” ucapku sambil menutupi tubuhku dengan potongan kain daster yang terkoyak.
Tidak mengindahkan perkataanku, Bang Denata segera beranjak dari tempat tidur lalu memelukku. Kembali dia menciumku sambil memberikan rangsangan hingga nafsuku kembali naik.
“Ahhh… Bang, cukup!” ucapku dengan lirih sambil duduk di tepian tempat tidur dan berusaha menghindari ciumannya.
Bang Denata kembali memainkan putingku seperti memilin serta menariknya dengan lembut menggunakan jarinya. Dia begitu pandai dan ahli dalam merangsang tubuhku hingga membuatku luluh kepadanya.
“Tan… Ke kamar mandi yuk!?” pintanya dengan lembut.
Dia menarik tanganku dan mengajakku masuk ke dalam kamar mandi anakku. Entah mengapa aku hanya mengangguk dan menuruti permintaannya tersebut tanpa penolakan, bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya. Kemudian kami melakukannya sekali lagi di dalam kamar mandi hingga meraih kepuasan dan kenikmatan bersama.
“Bang, sudah cukup ya. Cukup kali ini saja kita berbuat seperti itu. Tante tidak mau kejadian ini terulang kembali,” ucapku sedikit tegas, namun bimbang.
Kemudian, dia segera mendekati aku yang masih terlilit handuk, lalu memelukku erat, dan berbisik, “Aku tidak janji ya, Te… Tante adalah pengalaman pertamaku. Jadi, aku sangat cinta dan sayang sama Tante.”
Mendengar hal itu, entah kenapa timbul gejolak perasaan yang aneh di dalam hati ini. Aku merasa tersanjung serta bangga karena telah menjadi yang pertama baginya. Mungkin ini yang dinamakan perasaan jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Namun, aku masih menyayangi dan mencintai suami serta keluargaku.
Aku tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Jujur, aku masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seorang kekasih. Seseorang yang mampu untuk menghibur dan memenuhi semua kebutuhan batinku yang saat ini sangat menggebu-gebu. Mungkin suamiku sudah jarang sekali memberikan hal tersebut kepadaku seperti disaat kita baru awal-awal menikah dulu.
Terlebih lagi, saat ini permainannya terkesan begitu hambar dan terlalu cepat. Suamiku hanya mampu bertahan tidak lebih dari 3 menit dan itupun sudah dimaksimalkan. Bahkan setelah kami melakukan hubungan badan, suamiku akan segera tertidur dan melupakan aku dalam mimpinya.
Mungkin biarlah semuanya berjalan bagaikan air yang mengalir di sungai. Aku hanya perlu bersikap biasa-biasa saja dan menutupi semuanya.
Kemudian, Bang Denata segera pulang ke rumahnya setelah meninggalkan sebuah tanda bekas cupangan di leherku. Entah kenapa, aku tidak marah sama sekali dan terkesan merasa bangga ketika melihat tanda bekas cupangan itu dari pantulan cermin. Setelah membersihkan sisa-sisa permainan nikmat tadi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, aku segera menjemput anak bungsuku di sekolahnya.
(POV Penulis)
↓
Saat itu, suami Tante Yunita pulang dari dinas luar kota. Ketika malam telah tiba, mereka berdua mengobrol dan membahas tentang hubungan ranjang mereka yang terkesan terasa begitu hambar. Suaminya merasa bersalah karena sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Sudah berbagai cara dilakukannya agar mampu mengimbangi nafsu istrinya, namun hasilnya gagal.
Akhirnya, setelah menimbang untung dan rugi bagi hubungan mereka secara matang, suami Tante Yunita mengusulkan sebuah ide. Dia ingin istrinya mencari laki-laki lain yang mampu memenuhi kebutuhan biologisnya dengan beberapa persyaratan. Semuanya demi membahagiakan istri yang sangat dicintainya.
Awalnya, Tante Yunita cukup kaget seakan tidak percaya dengan keputusan suaminya. Namun, dia juga merasa tenang dan lega dengan keputusan tersebut. Pada akhirnya, karena merasa bersalah telah mengkhianati suaminya, Tante Yunita berkata jujur bahwa dirinya sudah memiliki laki-laki lain.
“Sebenarnya, Mama… Sudah berselingkuh, Pa,” ucap Tante Yunita dengan berat hati, kemudian mulai menangis.
Marah, kesal, benci, dan berbagai emosi negatif lainnya bercampur aduk menjadi satu di dalam kepala suaminya. Namun, suaminya segera sadar karena semua ini adalah murni kesalahannya.
Setelah mengatur nafas dan menenangkan pikirannya, suami Tante Yunita mulai membuka pembicaraan, “Sudahlah, Ma… Papa mengerti… Semua ini karena salah Papa yang sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan Mama. Kita jalani semua ini bersama-sama ya, Ma?!”
Kemudian, mereka berdua berpelukan hingga tangis Tante Yunita reda. Lalu, mereka mulai membahas hal lain dan memperbaiki suasana.
Jangan lupa untuk kembali pada dunia yang nyata!