K e t a k u t a n
PULANG dari mengunjungi pameran otomotif, lewat di depan rumah mertuaku, dan melihat bapak mertuaku sedang duduk merokok di teras, kalau aku lewat begitu saja rasanya aku kurang menghargai ayah dari istriku itu, lalu aku menghentikan sepeda motorku.
“Pulang kerja ya, No?” sapa bapak mertuaku saat aku memarkir sepada motorku di halaman.
“Hari Sabtu Pak, libur. Tarno dari tempat pameran, Pak.” jawabku naik ke teras menyalami beliau.
“Netty, Faris sehat?”
“Alhamdulilah sehat, Pak. Bapak dan Ibu apa juga sehat?”
Bapak mertuaku mengisap rokok kreteknya sehisapan, lalu mengepulkan asapnya ke udara. “Ibumu dari kemarin siang pulang dari rumah temennya, terus baring saja di tempat tidur. Katanya, dadanya sakit.”
“Kalau gitu, Tarno melihat Ibu dulu ya, Pak..”
“Iya sana, Ibumu ada di kamar,”
Aku melepaskan sandalku di depan pintu rumah, lalu melangkah menuju ke kamar tidur yang pintunya terbuka.
Di depan pintu kamar, aku melihat ibu mertuaku sedang berbaring terlentang di tempat tidur mengenakan kaos dan celana pendek longgar selutut. Matanya terpenjam. Aku memanggil beliau.
“Bu…”
Mata ibu mertuaku terbuka. Aku masuk ke kamar mengambil tangannya, lalu kucium.
“Ibu kenapa…?” tanyaku. “Kurang enak badan, ya?”
“Bagaimana sih… mmm… No, tanda-tandanya orang sakit kanker payudara…?”
Nggak ada angin, nggak ada mendung kenapa ibu mertuaku bisa bertanya aku begitu, tanyaku dalam hati. Aku sedikit panik juga.
“Apakah Ibu merasa ada yang nggak beres… mmm… mmm… di payudara Ibu?” tanyaku agak canggung menyebut ‘payudara‘.
Kemudian Ibu bangun dari tempat tidurnya. Aku tidak berani langsung menatap tubuhnya, karena ia tidak memakai BH dan puting payudaranya yang tampak jelas di kaosnya yang berbahan lembut itu seperti mencolok mataku.
Payudara Ibu masih termasuk indah. Lumayan besar, walaupun sudah menggantung, tapi masih membulat.
“Nggak sih…”
“Ibumu ini ketakutan, No!” langsung menyambar bapak mertuaku dari belakang.
“Kemarin Ibumu pergi ke rumah temannya, baru sekitar sebulan nggak ketemu, tau-tau payudara teman Ibumu itu sudah kena kanker payudara stadium dua dan harus diangkat dua-duanya…” jelas Bapak.
“O… gitu, kalau Ibu mau tau jelas ya harus ke dokter, Bu… bukan ketakutan, lalu sembunyi di kamar….” kataku.
“Ibumu itu penakut No, hanya suaranya yang besar!” jawab Bapak.
“Lha, seharusnya Bapak juga yang menyarankan, kalau perlu Bapak temani Ibu ke dokter…” tegurku.
“Kamu aja No, coba lihat dulu bagaimana, biar Ibumu tenang.” kata Bapak.
Aku kaget dalam hati. Aku, diserahkan untuk melihat payudara Ibu?
Mending Bapak menemani kami, ehh… Bapak malah meninggalkan aku dan Ibu di kamar. Bapak lebih telaten dan sabar mengurusi burung-burungnya yang bersangkar-sangkar dan ayam bangkoknya daripada istrinya.
“Bapak kamu…” kata Ibu ngedumel.
“Sudahlah, Bu… nggak usah diterusin…” kataku. “Ngurusin Ibu sendiri saja, nanti Tarno bantu. Biaya pergi ke dokter biar Tarno yang tanggung, Ibu tenang saja…”
“Ya bagaimanalah nanti…” jawab Ibu.
“Lha… kok bagaimana nanti… Ibu ini gimana to?” kataku agak sedikit jengkel. “Ketakutan kok dipelihara? Begini aja deh… kalau Ibu mengizinkan, bolehkah Tarno melihat payudara Ibu sebentar, paling tidak Ibu bisa tenang…” kataku dengan jantung berdebar-debar.
Kepala Ibu menunduk. Lalu kedua tangan Ibu mulai mengangkat kaosnya. Sedikit… sedikit… sedikit… kedua gunung berjejer itupun terhidang di depan mataku.
Aku tidak mau segan-segan dan canggung dengan ibu mertuaku lagi. Tanganku segera maju ke payudaranya. Payudaranya kupegang, kuremas-remas semauku, dan putingnya kujumput dengan jari, lalu kutarik.
Wajah ibu mertuaku tampak meringis… ah, biarlah…
Puting mancung berwarna coklat itu jadi tegang, dan payudaranya juga terasa agak keras.
“Bagaimana, No?” tiba-tiba bapak mertuaku muncul di depan pintu dalam keadaan istrinya masih bertelanjang dada di depanku.
“Nggak apa-apa, Pak! Payudara Ibu sehat dan putingnya juga masih seger… masih bisa bangun… Ibu ketakutan saja…” jawabku memandang Bapak.
“Apa Bapak bilang, Nooo…”
Apa Bapak bilang? Coba saja, kalau tadi aku bermaksud kurang baik, sudah kujejali kontolku ke memek istrimu, Bapak…!!
Pulang ke rumah, semalaman aku tidak bisa tidur. Netty, istriku melepaskan dasternya menagih jatah, biasanya penisku langsung berdiri tegak, tapi malam ini penisku diam saja.
“Ibu, Ma.” kataku pada istriku. “Tadi aku mampir…”
“Kenapa Ibu?”
“Temannya yang kanker payudara, Ibu yang ketakutan, masa…?” kataku.
“Makanya Papa jangan seperti Bapak… Bapak itu lebih tekun mengurusi burung dan ayamnya daripada mengurusi Ibu. Ibu itu kesepian tau nggak! Ibu minta perhatian…”
“Maksudmu, suruh Papa ngusirin kesepian Ibu, gitu?”
“Uughhh… Papa… nih, nanti Mama potong habis nih kontol… kalau Papa berani ganggu Ibu…” kata istriku menarik-narik penisku.
Ibu mertuaku yang sudah berumur 46 tahun, wajahnya biasa-biasa saja, seperti kebanyakan wanita yang dibesarkan di desa, kulitnya berwarna kecoklatan.
Aku nekat datang ke rumahnya lagi 2 hari kemudian.
“Mari masuk, No…” suruh Ibu yang sedang menyapu halaman.
“Bapak pergi, Bu?”
“Iya… ke bengkel… nah, itu cepet deh Bapakmu, kalau Ibu…”
“Jadi, Ibu ke dokter?” tanyaku.
“Gak usah!!!” bentaknya. “Biarin aja dada Ibu nggak ada payudaranya…”
“Ibu tenang aja, nggak usah marah-marah… Tarno bawa krem, ayo… payudara Ibu Tarno urut…” kataku terus terang pada ibu mertuaku setelah tau rahasia beliau dari istriku.
“Ibu belum mandi, No…”
“Nggak apa-apa, selesai diurut baru mandi…” jawabku.
Ibu menyandarkan gagang sapunya di batang pohon jambu bangkok yang ditanam di halaman rumah.
Aku membayangkan payudaranya yang akan aku pegang dan yang akan aku remas nanti dengan krem.
Aku mengikuti Ibu ke kamar. Ibu langsung melepaskan kaosnya lalu naik ke atas tempat tidur.
Setelah Ibu berbaring di tempat tidur dengan dada telanjang, saya menjepit thermometer ke ketiaknya yang sudah saya siapkan dari rumah. Hanya basa basi.
Lalu saya mulai mengurut payudara Ibu dengan krem. Sebenarnya bukan diurut, melainkan diremas.
“Payudara Ibu masih bagus, lebih bagus dari payudara Netty.!” kataku. “Apalagi Ibu masih rajin berhubungan sama Bapak…”
“Ahh… Bapak lagi… Bapak lagi… bosen…!” Ibu ngedumel.
Payudara ibu mertuaku setelah aku urut sekitar 15 menit, mulai terasa kencang. Lalu aku jumput putingnya dengan jari, kemudian aku tarik. Karena jariku licin, puting Ibu seperti kubetot.
“Nooo…” desah Ibu memejamkan mata.
“Kenapa, Bu? Enak ya Bu, puting Ibu ditarik-tarik begini sama Tarno?”
“Ibu gak tahan…”
Aku tersenyum tipis. “Kalau Ibu mau telanjang, boleh… nanti Tarno urut semuanya,” kataku.
Aku menunggu jawaban itu dengan jantung lebih berdebar dari pertama kali melihat payudara Ibu.
“Nanti Bapakmu pulang, bagaimana?”
“Biarin aja…” jawabku enteng sambil membersihkan payudara Ibu yang berkrem dengan tissu. “Bapak sudah gak mau memperhatikan Ibu, Ibu jadi kepunyaan Tarno aja…”
Aku memperhatikan tangan Ibu mulai bergerak ke celana yang dipakainya. Jantungku berdegup-degup tak tenang, sebentar lagi aku akan menikmati tubuh ibu mertuaku, batinku.
Ibu memakai celana dalam berwarna merah, model celana dalam untuk wanita paruh baya, tinggi sepinggang.
Aku ambil krem mengurut pahanya yang mulus, sementara kakinya yang sering tidak tertutup pakaian nampak noda-noda coklat seperti bekas koreng. Kuku jempolnya gundul dan tumit kakinya retak-retak hitam.
(Wanita yang begini ini yang sering tampak di mata kita sehari-hari, bukan? Atau lebih banyak yang mulus-mulus dan cantik-cantik?)
Setelah pahanya selesai kuurut, kusibak bagian pinggir celana dalamnya. “Tarno, kenapa disitu..?!!” tanya Ibu mertuaku agak sedikit berteriak.
“Ibu tenang saja,” kataku. “Nggak diapa-apain, hanya diurut…”
“Ooo… Noooooo… Tarnoooo…” rintih Ibu saat jari telunjukku masuk ke lubang vaginanya berputar-putar melumas dinding vaginanya dengan krim licin.
“NOOOOO….!!”
Aku tidak menggubris jeritan Ibu. Jari jempolku mengurut-urut kelentitnya yang timbul di bagian atas belahan vaginanya, sementara jari telunjukku berada di dalam lubang.
Rambut kemaluan Ibu hanya sedikit menghias di gundukan vaginanya.
“Oooo… oooo… Noo… Tarnooo… Ibu gak tahan… lepaskan… hhoo… yeahhh…. Noooo… ooohh… Nooooo…” rintih Ibu meracau karena sudah sangat terangsang.
Aku segera melepaskan celana panjang dan celana dalamku, lalu aku seret pantat Ibu ke tepi ranjang.
“Oooohhh….” desah Ibu saat kuhujamkan penisku yang tegang ke lubang vagina Ibu yang licin basah tanpa melepaskan celana dalamnya.
“Noooo… oo… Noo… kenapa kamu begituin Ibu, No….” tanya Ibu.
“Karna Bapak sudah gak perhatiin Ibu…”
“Ya sih No, Ibu setiap malam menyediakan sangkar biar burung Bapak masuk, tapi Bapakmu lebih suka dengan burung yang berada di dalam sangkar… Ibu didiemin…”
“Jadi istri Tarno ajalah, Bu. Ya…?” kataku sambil menggenjot lubang vagina Ibu.
Plokk.. plokk… plokk… legit sekali memek Ibu, racauku.
“Ohh… Nooo… peluk Ibu, Nooo…”
Aku mencabut penisku, menarik Ibu ke tengah ranjang, memasukkan penisku lagi.
Ibu memelukku saat kugenjot lubangnya dan kedua kakinya merangkul pantatku.
“Kalau udah keluar, jangan buru-buru cabut ya, Noooo…”
“Kelamaan dicabut nanti Ibu melahirkan bayi yang gosong.” jawabku.
Ibu mencubit pinggangku. Semuanya jadi indah, semuanya jadi mesra. Kami bergulingan di kasur dengan penisku menancap di lubang sanggama Ibu. Kadang Ibu di atas menggenjot penisku, kadang aku di bawah.
“Hampir mau keluar, Buuu…”
Oooohhh… yeaahh… oooo…. rintihku kemudian mengejang di vagina Ibu. Creettt… crroottt… crrroott…. aaahhh…. hhmmm….
Crroottt… crrroott… crroottt… crrroott… crroottt… crrroott…
“Pengen bayi laki-laki apa pengen bayi perempuan, Bu?” tanyaku.
“Pergi sana sebelum Bapakmu pulang!” usir Ibu. “Beraninya kamu, Ibumu kamu cabuli… mantu kurang ajar…!” marahnya setelah semuanya normal.
Aku cuek saja….
Tapi beberapa hari kemudian kuajak, Ibu mau lagi tuh…
Begitulah wanita…
Ibu tidak minum obat, ibu tidak pasang spiral. Beberapa bulan kemudian bukan payudaranya yang timbul benjolan, tetapi perutnya yang mengandung anakku…