Ibunya Yang Menggantikan
SUDAH menjadi kebiasaan ibu mertua saya, setiap kali ia datang ke rumah saya, pasti ia menyuruh istri saya mengerik.
Begitulah yang terjadi siang itu…
Mertua saya datang ke rumah saya diantar oleh suaminya, tetapi suaminya langsung pergi.
Wah, pasti minta kerokan lagi nih, batin saya, tetapi istri saya tidak ada di rumah. Istri saya keluar kota urusan kantor baru tadi pagi ia berangkat.
“Mike kemana, Mas?”
Nama saya Kiemas. Umur saya 30 tahun, sedangkan istri saya berumur 24 tahun. Kami menikah sudah berjalan setahun, tetapi istri saya belum kelihatan tanda-tandanya akan hamil.
“Pergi Mah, baru tadi pagi berangkat,” jawab saya.
“Pergi kemana? Jalan-jalan apa urusan kantor?”
“Urusan kantor.”
“Kapan pulang?”
“Katanya sih lusa, tapi pernah seminggu baru pulang. Mamah mau kerokan, ya?” saya nembak langsung ibu mertua saya.
“Iya…”
“Mike nggak ada bagaimana…? Saya panggilkan orang ngerikin Mamah ya,” kata saya. “Di dekat sini ada orang tua yang bisa dipanggil kerokan atau ngurut.” kata saya lagi.
“Nggak ah, kamu aja.” jawab ibu mertua saya. “Mama lebih percaya sama kamu daripada dikerik orang lain…”
“Yaudah kalau Mama mau saya yang kerik… Mama mau kerok di sini atau di kamar?” tanya saya.
“Di kamar saja,” jawabnya.
Lalu saya pergi mengambil alat-alat kerokan yang biasa dipakai oleh istri saya.
Saya belum pernah mengerik ibu mertua saya. Ini baru pertama kali. Saya juga tidak pernah tau bagaimana istri saya mengerik ibunya. Saya belum pernah melihat. Istri saya juga tidak pernah bercerita pada saya, atau saya bertanya pada istri saya.
Saya membawa peralatan mengerik masuk ke kamar. Ternyata ibu mertua saya sudah duduk di tempat tidur dengan punggung telanjang siap untuk dikerik.
BH-nya tidak ia buka semuanya, hanya di bagian belakang saja. Sedangkan dadanya ia tutup dengan kaos yang dilepaskannya.
Saya risih dengan ibu mertua saya, karena selama saya menikah dengan anaknya baru siang ini saya sedekat ini dengan tubuhnya. Bisa saya lihat langsung dari dekat… bisa saya raba… bisa saya pegang…
“Biasanya Mama sama Mike, dipijit dulu nggak sebelum dikerik?” tanya saya dari belakang.
“Nggak…”
“Mamah mau saya pijit dulu?”
“Iya…” jawabnya. “Punggung saja, atau semuanya…?”
“Punggung saja dulu. Kalau Mamah mau pijit semuanya nanti setelah dikerik…” jawab saya memegang punggungnya yang telanjang dan masih mulus, kecuali di tempat ia mengaitkan BH terlihat sedikit memerah. “Panas, Mah…”
“Iya, semalam Mama sempat demam…” jawabnya.
Beberapa kali ia bertahak, uugg… uugg… uuggg… saat saya memijit punggungnya.
“Mamah masuk angin nih…” kata saya mengajak ia bicara untuk mencairkan suasana, supaya tidak menjadi tegang.
“Iya, padahal Mama sudah menghindar dari kamar ber-AC… kamar ber-AC ditiduri sama papamu dan sama Yulia kalau pulang dari kost, Mama tidur di kamar sebelah yang nggak ada AC-nya.”
Kata-kata ibu mertua saya mengindikasikan ia pisah kamar dengan suaminya.
Apakah ia sudah tidak berhubungan intim dengan suaminya? Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari pikiran saya.
Wajar saja. Saya kira tidak hanya saya, karena umur ibu mertua saya masih umur produksif, baru 45 tahun, sedangkan bapak mertua saya umur 48 tahun.
Lalu kenapa Yulia tidur sekamar dengan papanya, padahal Yulia sudah mahasiswa, umur Yulia sudah 21 tahun.
Bisakah mereka… o.. o.. oo…
Saya ambil minyak lalu mengoles di pundak ibu mertua saya, meskipun di pundaknya masih ada tali BH, saya tidak berani menyingkirkan.
Sewaktu saya melihat BH-nya yang besar yang ia letakkan di samping duduknya bersama kaosnya, saya bergidik. Darah saya berdesir. Saya terangsang. Saya tidak ingin munafik.
Lalu saya mencoba mengintip payudara ibu mertua saya yang telanjang dari bagian atas pundaknya.
Wawww… seru saya dalam hati.
Kalau saja saya tidak bisa menahan diri, bisa saja saya pegang payudaranya itu, karena kedua payudaranya masih lumayan bulat dan kencang, meskipun sudah menggantung. Putingnya mancung berwarna coklat, dan kulit payudara mulus bening sampai kelihatan urat-urat kecil berwarna kebiru-biruan seperti mengambang dipermukaan payudara ibu mertua saya.
“Kalau Mamah merasa terlalu kuat saya ngeriknya, ngomong ya, Mah…” kata saya.
“Nggak, cukup… malahan kuat Mike…” jawabnya. “Merah nggak, Mas…?”
“Nggak gitu… jangan sedikit-sedikit dikerik, Mah.”
“Sekarang sudah berkurang… dulu sampai dada juga harus dikerik…” jawabnya.
Mendengar ibu mertua saya ngomong terbuka begitu dengan saya, sebagai laki-laki normal, saya tidak mungkin tidak konslet, apalagi payudaranya dibiarkan telanjang, berdua pula di kamar.
Sayapun berani mengelus punggungnya. “Kulit Mama mulus begini, ya…” kata saya.
“He.. he…” ibu mertua saya tertawa kecil.
Pastilah ia senang saya puji. Pastilah ia terbang tinggi seperti seekor burung walet yang mengembangkan sayapnya menyongsong angin.
“Nggak merah nih, Mah… apa tidak sebaiknya Mama saya pijit saja?” kata saya.
“Ya, pijit saja… Mama baring, ya…” jawabnya.
Ibu mertua saya tidak malu atau risih dengan saya saat ia melakukan tengkurap di kasur, saya bisa melihat teteknya bebas menggelantung di dadanya.
Wowww…
Setelah ia tengkurap, kedua payudaranya gepeng tertindih kasur, sehingga sebagian keluar dari pinggir dadanya.
Lalu saya menekan-nekan kedua telapak tangan saya ke punggungnya. Ibu mertua saya bertahak lagi… uugg… uugg… uuggg…
Saya tekan-tekan sampai ke pinggangnya, lalu saya balik lagi ke atas, turun ke bawah.
Setelah itu saya menunduk mencium punggung mulus ibu mertua saya sekaligus kedua tangan saya menyusup masuk ke dadanya meraup kedua payudaranya dari belakang.
“Saya nggak tahan, Mah…” kata saya. “Kalau Mamah mau marah, silahkan… saya siap…”
Jantung saya berdebar-debar.
“Aaagghh… mmmmh…” desah ibu mertua saya. “Kamu bikin Mama jantungan aja… Mama mau nolak kalau kamu mau ngajak Mama gitu… ” kata ibu mertua saya sambil telapak tangan saya masih menggenggam payudaranya. “Mama sudah gak bisa, sakit kalau dimasukin… maka itu Mama pisah kamar sama papamu…”
Saya melepaskan ibu mertua saya. Ibu mertua saya balik terlentang dengan dada telanjang. Saya mencium payudaranya. Satu tangannya memegang punggung saya, sedangkan satu tangannya mengusap rambut saya.
“Ohhh… Mas…” desahnya.
“Mama mau coba dengan saya…?” tanya saya. “…siapa tau Mana nggak sakit…” kata saya. “Mau Mah…?”
Saya melepaskan celana tigaperempat ibu mertua saya tanpa menunggu jawabannya. Di tubuhnya sekarang hanya melekat selembar celana dalam.
Tubuh ibu mertua saya putih mulus sampai ke ujung kaki. Sebagai seorang wanita yang umurnya tergolong sudah paruh baya tubuh ibu mertua saya termasuk masih bagus, sedangkan wajahnya biasa-biasa saja.
Saya melepaskan kaos saya, celana pendek dan celana dalam saya. Penis saya tampak tegang di depan ibu mertua saya.
Ibu mertua saya menggenggam batang penis saya. “Mau, Mah…?” tanya saya menyodorkan batang penis ke mulutnya seperti menyodorkan sebatang es mambo.
Saya jadi berani kurang ajar dengan ibu mertua saya, tidak menghormatinya lagi, karena tubuhnya sudah hampir telanjang, tinggal selangkah lagi jika celana dalamnya dilepaskan, ia sama saja dengan istri saya. Apalagi ia mau mengulum penis saya di dalam mulutnya.
“Sssstth… aahhh…” desis saya nikmat.
Saya mencium perutnya yang datar. Saya menjilat lubang pusernya. Ah…
Kemudian, saya melepaskan celana dalamnya, sehingga ibu mertua saya telanjang bulat di depan saya.
Saya mencium bulu kemaluannya yang ikal, hitam dan kasar itu. “Ahhh…” desah ibu mertua saya. “Masa itu dicium-cium sih, Mas…” kata ibu mertua saya memegang kepala saya. “Jangan ah, Mama malu…”
“Itu yang membuat vagina Mama jadi sakit kalau dimasukin penis.” kata saya. “Saya jilat ya, Mah… biar basah…”
“Mmmmh… nggak, ah…” jawab ibu mertua saya.
Tetapi tetap saya membuka lebar pahanya. Saya tidak peduli ia menolak saya menjilat vaginanya, vaginanya tetap saya jilat.