Fuck Benji

Part 1

Dua tahun berlalu

Aku tak percaya aku kembali ke tempat ini, setelah bertahun-tahun pergi, hari ini aku kembali. Disini lah ceritaku dimulai jadi untuk memulai cerita tempat ini adalah tempat yang tepat. Terlalu puitis, menjijikkan. Baiklah, mari kita coba lagi, aku datang kemari karena beberapa hari yang lalu aku melihat potongan video dari penampilan member baru jeketi, mereka terlihat lucu, karena itulah aku datang kembali ke tempat ini untuk melampiaskan nafsu yang kurasakan saat melihat penampilan mereka. Begitu lebih baik.

Banyak gadis baru di deretan foto member yang di dinding, aku mengenali beberapa dari mereka, walau tak banyak dari mereka adalah gadis-gadis yang pernah ketiduri. Ada beberapa dari mereka yang menarik perhatianku, meski itu artinya aku harus mulai mengenal mereka lagi, seperti dulu saat aku mulai menggemari grup idola ini. Ahh… perjuangan berat yang harus kulakukan untuk memenuhi hasrat ini, dan kau kira hidupku tak penuh dengan perjuangan.

Saat aku sedang asyik memilih siapa yang akan menjadi target pertamaku, sebuah tamparan mendarat di pipiku. Itu menyakitkan, lebih tepatnya itu mengejutkanku. Aku terkejut karena itu datang dengan tiba-tiba, tapi lebih mengejutkan adalah Shani yang berdiri dengan wajah yang memerah, menatapku dengan tajam.

“Ngapain disini! Pergi nggak! Aku panggil security! Pergi sekarang!”

“Lama nggak ketemu shan.” Balasku. Aku pasang senyuman di wajahku mencoba menunjukkan bahwa dia tak perlu takut kepadaku.

Dia kembali menamparku, aku rasa dia mengharapkan reaksi yang lebih dariku, karena dia terlihat sedikit takut dan mengambil langkah mundur.

“Pergi sekarang… atau nggak… “

Rasa takut sekarang tergambar jelas di wajahnya, suaranya juga tak lagi lantang seperti teriakannya beberapa detik yang lalu. Aku mengharapkan perlawanan yang lebih baik darinya, itu menyenangkan. Aku pun maju mendekatinya, itu membuatnya mundur tak sadar akan dinding yang ada di belakangnya sampai dia menabrak dinding yang membuat langkahnya terhenti. Dia mencoba untuk kabur namun aku berhasil menangkap dan mendorong tubuhnya kembali ke dinding.

“Gue dengar lu udah jadi kapten sekarang, selamat ya.”

“Pergi nggak, kalo nggak aku… “

“Kalo gue nggak mau pergi kenapa emang?”

Lidahnya nampak tercekat karena dia hanya memandangku, aku rasa dia lupa siapa aku dan apa yang bisa aku lakukan, aku rasa aku akan mengingatkannya kembali.

Kudekap dia dan kucium dia, dia mencoba mendorongku namun perlawanannya itu tak berarti. Tanganku mulai meremas dadanya yang tertutup oleh kaos tipis yang dipakainya, shani menjadi panik dan mulai memukul-mukul tubuhku mencoba melepaskan dirinya dari dekapanku. Dia mencoba untuk berteriak namun itu terhalangi oleh ciumanku, setelah beberapa saat usaha sia-sianya itu membuat dirinya lemas, membuatku leluasa menikmati tubuhnya.

Kutarik dia dan kudorong tubuhnya ke atas meja yang ada di lorong, sebelum dia bisa lari kembali kudekap dia, dengan tangan kananku kutahan teriakan yang hampir keluar dari mulutnya, dan dengan tangan kiriku kenaikan rok pendek yang dia pakai dan kuturunkan celana dalam berwarna pink yang dia pakai. Aku tahu aku ingin memperkosa Shani di siang hari, di lorong theater, aku tahu aku bisa saja ketahuan, tapi aku tak peduli pada itu semua, aku tak lagi memikirkan konsekuensi dari perbuatanku, tidak setelah semua yang aku lewati. Shani kembali coba melepaskan dirinya saat penisku mulai kudorong masuk ke memeknya, dia tahu apa yang akan terjadi dan kurasa dia tahu tak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah itu terjadi.

“Ahh… “

Rasa hangat dari memeknya yang kurindukan, rasa nikmat yang telah lama tak ku rasakan. Shani masih mencoba memberontak namun sama seperti sebelumnya itu tak berguna, rasa nikmat ini tak mungkin kulepaskan. Kudorong batang kejantananku perlahan lebih dalam, kutarik sebelum kembali ku tenggelamkan ke memeknya yang menyambut kontolku datang. Perlahan ku tusukkan kontol lebih cepat ke memeknya, meja yang menahan tubuh Shani pun mulai getar mengikuti liarnya irama persetubuhan yang kami lakukan. Shani yang tak lagi melawan hanya menutup mulutnya, mencoba menahan desahan yang keluar, kurasa itu memalukan untuknya.

Kubalikan tubuhnya, kubuat dia berbaring di atas meja. Dengan wajah yang merah, Shani manatap ku dengan sayu. Ku yakin dia hanya ingin semua ini cepat berlalu, mimpi buruk yang dia tahu baru saja dimulai, bukan untuknya, namun grup yang sudah dia pimpin untuk cukup lama.

Sekali lagi kontolku mendesak masuk kedalam liang sempit yang memeluk kontolku dengan erat, tak ada perlawanan apapun darinya. Shani tak mau menatap wajahku dan memilih menatap tembok yang ada disampingnya, sama seperti sebelumnya ini jauh lebih menyenangkan bila ada perlawanan darinya. Namun sudahlah, hanya tubuhnya lah yang aku inginkan.

Kucium bibir merah muda miliknya, sebelum kuturunkan ciumanku ke leher dan terus hingga ke payudara indah yang masih tertutup bra yang berwarna celana dalam miliknya. Kulepas bra yang dipakai olehnya dan kubuang sembarangan, mataku pun langsung disambut oleh puting indah yang langsung ku hisap dan kujilati dengan rakus.

Dengan napsu yang tak dapat lagi kubendung terus kuhujam kontolku ke dalam memeknya, yang bisa Shani lakukan hanyalah menutup mulutnya, berusaha menahan desahan yang ada di ujung lidahnya.

“Akkhh!!!” Teriak Shani saat kupelintir dan kutarik puting kirinya.

“Akh… am.. Pun…”

“Lepasin aja Shan, biar semua orang dengar desahan lu. “

“Ngg.. Ah.. Ah.. Ma.. Ah.. Ah.. Malu. “

Aku yang semakin bernafsu setelah mendengar desahan tipis darinya pun mengangkat kedua kakinya dan meletakkan keduanya di bahuku, dan mengehujamkan kontolku lebih dalam.

“Ah… “

“Ah… “

“Bang.. B.. Amm.. Ah… pun. “

“Haha.. Nggak. “

Desahan nikmat yang coba Shani tahan pun lepas, tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain takluk pada nikmat yang kuberikan padanya. Tak ada lagi akal sehat yang terlintas di pikirannya, hanya ada nafsu yang mengalahkan semuanya.

“Bang.. Aku… nggak kuat… “

“Akkkh!!!”

Gelombang kenikmatan menerjang hebat tubuhnya, tubuhnya menggelijang kuat sebelum lemas tak berdaya.

“Enak kan?” Godaku. Sekali lagi wajahnya memerah, memedam malu dan tak tahu harus berkata apa.

“Udah ya bang, takut ketahuan.” Pintanya dengan wajah yang sendu.

“Masa lu doang yang enak Shan, gue belum.” Balasku.

“Tapi bang. “

“Nggak ada tapi-tapian.”

Aku pun menariknya turun ke lantai lorong theater yang dingin, aku baringkan tubuhku sambil memaksanya untuk duduk diatasku.

“Lu tahu kan harus ngapain.”

Shani terlihat ragu dan terus melihat ke sekeliling theater, takut bila kegiatan menyenangkan ini diketahui oleh orang lain.

“Cepetan, atau lu mau gue masuk kedalam theater terus merkosa member pertama yang gue liat?”

Shani terkejut mendengar ancamanku, aku yakin dia sudah ingat betapa bejatnya aku, dan sejauh apa aku akan berbuat demi memenuhi nafsuku. Dengan kekalahan yang tergurat jelas di wajahnya, Shani pun mengambil posisi dan mengarahkan kontolku masuk ke memeknya.

Rasanya begitu nikmat saat kontolku yang dijepit oleh sempitnya memek Shani itu naik turun menusuk memeknya. Shani kembali menutup mulutnya, sekali lagi mencoba menahan desahan yang seharusnya menghiasi indahnya perbuatan nista ini.

Meski Shani berusaha keras menolak rasa nikmat yang dia rasakan, namun perlahan gerakan tubuhnya semakin cepat dan perlahan desahan itu akhirnya keluar dari bibirnya.

“Ah… “ Desahnya pelan. Sadar bahwa dia mulai kehilangan kendali atas dirinya, wajahnya pun memerah. Disaat itu pula aku menyerangnya, aku gerakan pantatku naik turun, menusukkan kontolku dengan cepat, berusaha membuatnya kehilangan semua kendali atas dirinya dan takluk pada nafsu yang mulai menjalar naik ke otaknya.

“Bang.. Ah… mpun… ah… “

Mendengar desahannya itu hanya membuat semakin bersemangat, kuhujamkan terus kontolku dengan kasar menembus harga dirinya yang tak mampu menahan rasa nikmat yang terus kuberikan padanya.

“Hadiah… da..ri.. Gue shan.. Akhh..” ku tembakan seluruh spermaku ke rahimnya, aku setengah berharap Shani akan hamil dengan anakku seperti Viny, dan seperti Viny juga aku harap dia akan menikah dengan pria lain yang bukan Bapak dari anakku.

Bicara tentang Viny, untuk beberapa bagian selanjutnya dari cerita ini akan mengambil sudut pandang orang ketiga, dan kita akan mengikuti Viny yang baru saja mendapatkan sebuah panggilan telepon.

“Lo yakin dia udah balik ke Indonesia Man?” Tanya Viny yang berharap dia salah dengar.

“Yakin Vin. Gue baru dapat kabar kalo bang Benji kemarin malam itu balik ke Indonesia. Gue rasa pesawatnya udah sampe beberapa jam yang lalu.”

“Terus apa lo tau dia rencanain? Apa alasan dia balik? Bukannya dia bahagia di Korea?”

“Kalo itu gue nggak tau apapun Vin. Semenjak patah hati dan berubah jadi penjahat kelamin, bang Benji jarang ngomong apapun ke gue.” Balas Manda. Meski berada di seberang lautan tapi Manda bisa merasakan kekhawatiran yang ada di setiap kata yang diucapkan Viny.

“Apa menurut lo Benji balik ke Indonesia buat ngancurin jeketi kayak dulu?”

“Gue harap bukan Vin. Tapi gue nggak bisa mikirin alasan lain buat bang Benji balik Indonesia. Dia punya cukup duit buat nidurin artis manapun di Korea, tapi itu kayaknya nggak cukup buat dia. Sorry gue nggak bisa bantu lo buat berhentiin kelakuan biadab abang gue Vin.”

Viny tertegun, berpikir bahwa semua ini tak akan terjadi bila dia tak membawa Benji masuk lebih dalam ke JKT48, berpikir bagaimana seharusnya dia menghentikan Benji sebelum Benji tahu bahwa member jeketi juga bisa kalah oleh nafsu seperti manusia biasa.

Kalo aja waktu itu gue nggak ngasih Benji kesempatan buat nidurin gue. Gue seharusnya nggak ngebiarin iblis itu lepas ke dunia.

Sebanyak apapun Viny berharap, dia tahu bahwa itu tak berguna, nasi sudah menjadi bubur kata orang-orang. Seorang fans biasa itu sudah berubah menjadi iblis yang memangsa banyak teman temannya, yang bisa dia lakukan sekarang adalah menghentikannya, setidaknya menyelamatkan member-member yang belum berhasil dia jamah. Menyelamatkan satu atau dua member itu jauh lebih berarti daripada mengharapkan kesalahan yang pernah dia lakukan itu untuk hilang.

“Gue harus pergi sekarang.”

“Lo mau pergi ke mana?”

“Ke theater Man, meski gue berharap dia nggak ada disana, gue takut kalo firasat gue benar dan dia ada disana dan… lo ngerti kan maksud gue?”

“Gue ngerti Vin. Sorry ya, gue nggak bisa bantu lo disana. Ada banyak cewek yang harus gue bantu disini, gue harap lo bisa cepat nemuin abang gue sebelum banyak korban yang harus gue bantu nantinya.”

“Nggak apa-apa Man, gue ngerti. Ada hal yang harus lo lakuin disana, dan ada hal yang harus gue lakuin disini. Gue harap kita berhasil dan ini semua cepat berakhir.”

“Thanks Vin. Gue juga harus pergi sekarang, ntar gue kabarin lagi kalo gue dapat info yang lain.”

“Ok. Hati-hati juga lo disana. Gue tau ini berat buat lo, harus berkhianat sama abang lo sendiri dan juga harus… . “

“Udah Vin nggak apa-apa. “ Potong Manda. ”Yang penting itu bang Benji harus bisa kita hentiin. Sebelum semuanya hancur dan nggak ada lagi yang bisa kita lakuin. Yang harus hancur itu bang Benji, bukan kita.”

“Iya Man, yang harus hancur itu bang Benji.”

Setelah menutup panggilan telepon yang tak diharapkan itu Viny pun memakai kembali pakaiannya, memberikan sebuah ciuman di pipi suaminya yang masih terlelap tidur dan pergi meninggalkan apartemennya.

Apa yang harus gue lakuin kalo bang Benji benaran ada di theater?

Meski pergi dengan langkah yang pasti, Viny tak tahu apa yang harus dia lakukan jika firasatnya itu benar.

Gue nggak akan mungkin menang dengan kekerasan, Benji juga udah berubah, udah nggak ada lagi rasa cinta yang bisa gue pake buat maksa dia untuk ngikutin kemauan gue kayak dulu, dia bukan lagi Benji yang gue kenal.

Viny melajukan mobilnya secepat yang dia bisa, dengan pikiran yang dipenuhi keraguan dan juga pertanyaan, meski begitu tak ada jalan lain baginya.

Kita tinggalkan dulu Viny yang sedang berusaha mencapai FX Sudirman secepat yang dia bisa, kali ini kita akan kembali mengikuti cerita ini dari sudut pandang Benji yang mungkin baru saja menghamili Shani.

Setelah puas melampiaskan nafsuku kudorong dia dari atas tubuhku dan kubiarkan dia terbaring diatas lantai theater. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, dalam senyap dia bersihkan sisa sperma yang masih mengalir dari memeknya. Dipakainya lagi bra milikinya, dirapikan nya lagi pakaian yang dipakainya.

“Bang… Ben, tolong pergi. “ Ucapnya. Tak ada lagi jejak perlawanan darinya, sepertinya dia sudah ingat kembali siapa aku.

“Lu nggak mau ngenalin gue sama anak anak jeketi, kayaknya banyak member baru. “

Matanya pun melotot keras, rasa takut yang tak bisa dia sembunyikan tergurat jelas di wajahnya. Kuyakin itu adalah hal terakhir yang dia harapkan, dan kuyakin dia sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk mencegah itu terjadi, terlebih sekarang dia tak ingin membuat kesal seperti sebelumnya.

“Tolong jangan bang. “

Aku pun berjongkok di depannya, kutarik wajahnya mendekat karena aku ingin sedikit menakut-nakutinya.

“Kenapa? “

“Aku… aku aja bang. “

“Hmm? “ Aku tahu apa yang ingin dia katakan, itu tergambar jelas di wajahnya. Aku ingin dia mengatakan dengan lantang permintaan yang memalukan untuknya itu.

“Bang Benji, nge…”

“Ngomong yang jelas. “

“Bang Benji ngentotnya sama aku aja. “

“Ci Shani! “

Suara yang mengejutkan kami berdua datang dari seorang gadis yang berdiri mengintip kami berdua dari balik pintu, Lia jika aku tak salah ingat namanya, member generasi sepuluh yang cukup lucu. Dia lebih kecil dari yang kukira, ditambah wajah babface nya itu membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Shani pun berdiri mencoba mencapai Lia, namun kalah cepat dariku yang langsung menarik Lia keluar dan mendorongnya ke balik banner yang berdiri di dekat meja pergumulanku dan Shani sebelumnya.

Sebelum dia sempat berbicara kututup mulutnya dan kudorong tubuhnya membentur dinding, tentu dia ketakutan dan mencoba lari namun tubuh kecilnya itu tak memberikan perlawanan yang cukup berarti bagiku.

“Bang Benji jangan. “ Ucap Shani yang mencoba melepaskan Lia dari dekapanku.

“jangan apa? “

“Itu kasihan. “

“Lu mau gue ngelakuin ini di depan trus ketahuan lagi? “

“Nggak gitu. “

“Makanya jagain. “ Ucapku sebelum mendorongnya untuk berdiri menutupi perbuatan jahat yang akan aku lakukan kepada Lia.

Shani sempat melihat kearahku, mungkin mencoba memikirkan sebuah cara untuk menyelamatkan Lia dariku. Setelah beberapa saat Shani harus mengakui kekalahannya dan terpaksa mengikuti kemauan ku, kuyakin itu memalukan baginya namun tak ada yang bisa dia lakukan. Dengan langkah yang berat Shani mulai menggeser dan memindahkan banner yang lain, mencoba memberikan sedikit privasi untukku dan Lia.

Lia sendiri tak percaya akan apa yang baru saja terjadi, matanya melotot dan panggilannya pada Shani itu tak mendapatkan jawaban. Teriakannya semakin keras saat tangan kiriku mulai membuka celana pendek yang dipakainya, dia mencoba untuk memberontak namun sial baginya nafsuku terlalu kuat untuk bisa dia tolak.

Setelah berhasil menurunkan celana pendek miliknya, tanganku pun mulai bergerilya di memeknya. Tubuhnya bergerak liar saat kedua jariku kutusukan ke dalam memeknya, dengan bersemangat kukocok memek kecilnya itu. Sebelum dia sempat berteriak kupukul perutnya, itu berhasil membuatnya dia. Kudekatkan wajahku dan kutatap dalam dalam wajahnya, mencoba mengintimidasi dan menakut-nakutinya.

“Lu teriak, gue bakalan perkosa lu didepan theater. Lu mau? “

Sebuah gelengan kepala adalah jawaban yang kudapatkan darinya.

“Kalo lu mau ini semua cepat selesai, lu harus ngikutin semua perintah gue. Ngerti?”

Kali ini dia mengangguk kepalanya.

“Kalo lu teriak, lu hajar lagi. Ngerti?”

Sekali lagi dia mengangguk, bagus lah. Aku pun melepaskan tanganku dari mulutnya dengan harapan dia tak berbohong padaku, namun tepat saat mulutnya lepas dari dekapanku, dia berteriak. Hanya satu atau dua detik namun itu cukup membuatku marah, sebuah tamparan pun aku layangkan. Cukup keras kurasa karena itu membuat Shani berbalik dan melihat ke arahku, atau dia berbalik karena teriakan yang keluar dari mulut Lia, tak penting karena tatapannya itu menggangguku.

“Siapa yang nyuruh lu balik badan?”

Tak ada jawaban yang diberikan Shani, dia berbalik badan dengan cepat meninggalkan aku berdua dengan Lia yang sedang memegangi pipinya yang memerah. Kudorong dia hingga kepalanya membentur dinding, kubenturkan sekali lagi kepalanya sebelum kuberikan lagi tatapan dalam yang sekarang kutambah dengan napas cepat seperti seekor banteng yang marah.

“Jangan bilang gue nggak pernah ngasih lu kesempatan.”

Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, kembali kututup mulutnya. Kusobek kaos putih yang dipakainya dan kugunakan untuk mengikat mulutnya, Lia berusaha keras untuk melepaskan dirinya namun saat ini dia harusnya sadar bahwa tak ada apapun yang bisa dia lakukan untuk lolos dariku.

Kubalikkan badannya, kubuat dia menghadap dinding sehingga sekarang pantat putihnya itu tepat berada didepanku. Kontolku yang sudah kembali keras pun aku arahkan masuk ke lubang pantatnya, aku ingin meng-analnya tanpa persiapan apapun sebagai hukuman karena sudah membohongiku. Teriakannya lirih kudengar namun apa yang bisa aku lakukan, aku sudah memberikannya kesempatan dan dia membuangnya tanpa memikirkan konsekuensi yang harus dia terima.

Kugenjot lubang pantatnya itu dengan kasar, kali ini aku ingin menyakitinya. Berapa kali Lia tak sanggup menopang badannya sendiri, berulang kali aku harus mengangkat tubuhnya yang jatuh ke lantai. Aku bisa mendengar tangisannya yang terhalang oleh kain yang terikat di mulutnya, air matanya juga sudah mengenang, semua rasa sakit yang disebabkan oleh kebodohannya sendiri.

Lubang pantatnya itu lebih sempit dari dugaanku, kontolku terasa diremas setiap kali aku mendorong kontolku ke lubang pantatnya. Berapa kali aku tampar Bongkahan pantat putih kecilnya itu, pantat yang jauh lebih menyenangkan dari dugaanku.

Aku yang mulai lelah menariknya dari lantai pun melempar badannya ke atas meja yang sebelumnya kupakai untuk memperkosa Shani. Dia hanya menatapku, matanya sudah merah dengan air mata yang terus mengalir, apa yang dia harapkan dariku? Rasa kasihan?

Kubuka kakinya, kali ini aku ingin merasakan memek mungil miliknya. Dia mencoba menutupi memeknya namun sebuah tamparan membuatnya mengerti bahwa aku sudah bosan dengan tingkah lakunya. Dengan sedikit dorongan aku berhasil mengoyak keperawanannya, kali ini badannya bergerak liar dan beberapa pukulan dilepaskannya padaku, sekali lagi usaha yang sia sia.

Perlahan mulai kugenjot memeknya, kali ini aku ingin menikmati memek mungilnya dengan sepenuh hati. Memek yang menarik kontolku untuk masuk lebih dalam, memek yang tak ingin melepas kontolku pergi. Semakin cepat kugenjot memeknya, semakin nikmat memeknya kurasa. Kubuka juga bra berwarna putih milik Lia dan kuhisap puting merah muda yang mulai mengeras itu. Tangisnya masih kudengar, namun pada titik ini apa peduliku.

Kutaruh kedua kakinya dibahuku karena aku ingin menusuk memeknya lebih dalam, kugenjot terus memeknya karena aku merasa kontolku hampir mencapai batasnya. Kuturunkan kakinya dari bahuku, dengan kedua tanganku kugengam pinggangnya dan kupercepat gerakanku hingga akhirnya.

“Hamil lu bangsat!”

Ku tembakan seluruh spermaku ke memeknya, Lia terlihat panik dan mencoba mendorong badanku menjauh namun itu tak ada artinya karena dalam sekejap memek dan rahimnya penuh dengan spermaku. Setelah melepaskan semua yang aku punya kedalam memeknya, aku pun mundur dan membiarkan Shani menghampirinya. Cepat cepat coba dibersihkannya memek Lia dari spermaku, lalu kudengar beberapa kata penghibur dari Shani. Kata-kata kosong yang tak sempat kudengar karena seluruh perhatian tertuju pada seseorang yang berdiri beberapa meter dariku, Viny.