Fiko

Tidak ada orang yang dapat memilih di keluarga mana ia akan dilahirkan. Entah algoritma jagat raya mana yang membuat gue harus jadi anak dari seorang papa yang abusive. Hidup gue dan kakak gue dalam sedetik bisa berubah menjadi neraka yang begitu menyiksa dengan rasa takut yang dingin membeku, menusuk tulang. Temperamennya menjadi tidak terkendali. Biasanya mama menjadi sasaran sabuk penyiksa yang ia lepas dari pinggangnya.

Melihat papa yang pulang seperti itu, biasanya mama langsung menyuruh kami masuk kamar dan menutup kuping rapat-rapat sebelum ia pergi menemui pria itu. Namun suara siksa verbal, “Di mana hai kau perempuan jalang! Lonte kau!” suara sabuk yang membahana bergerma, “Cetar! Cetar!” dan suara pekik kesakitan mama, “Awww.. ampun!” tetap menembus jari-jari gue. Rasanya gue ingin segera beranjak untuk menolong mama, tapi kakak selalu mencegah gue. Karena ia tahu, segalanya akan lebih parah lag, jika aku keluar. Keesokan hari gue melihat sekujur tubuh mama lebam, bonyok sampai kelopak matanya sulit membuka.

Hingga waktu gue beranjak umur dan menginjak SMA. Hari itu mengubah segalanya. Gue lihat mama tersungkur di lantai. Mulut dan hidung mama mengucur deras darah. Tulang hidungnya patah, terlihat bengkok ke samping. Dan papa masih terus memukulinya. Gue takut. Sampai kedua lutut gue gemetar beradu. Rasanya tinggal sesaat lagi nyawa mama akan melayang. Seketika rasa dendam, amarah, takut, benci, yang terkumpul dan terakumulasi bertahun-tahun terhadap papa meng-switch sesuatu di kepala gue. Korslet mungkin. Adrenalin gue seketika mengucur deras di segenap nadi. Gue lihat botol minuman keras di meja. Tanpa pikir panjang gue ambil benda laknat itu, dan gue berteriak sampai suara gue serak. Gue lari dan menghantam kepala papa dengan botol itu. PRYAANNG!

Papa terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang berdarah. Ia memandang gue dengan melotot. Ia berjalan mendekat dengan kedua tangannya menjulur ke depan hendak mencekik leher gue. Tiba-tiba mama yang berada di lantai menahan kaki papa. “Jangan, jangan kau apa-apakan anak kita. Pukul aku saja.”

Papa melihat ke bawah. Seakan tak ada di benaknya itu istrinya sendiri. Dia angkat kakinya dan menendang wajah mama sampai mama tergeletak pingsan. Disitulah gue sudah tak tahan lagi. Gue ayunkan sisa pecahan botol di tangan gue dan menusuk perut papa. Raut wajahnya sangat kaget. Wajah itu. Gue benci sekali. Gue ayunkan lagi botol itu menyabet wajahnya. Pipinya sobek hingga sebibir. Gue ayunkan lagi botol itu, kali ini menancap ke batok kepalanya. Ia berteriak-teriak kesakitan seperti orang gila. Tanpa pikir panjang gue tuntaskan dengan menusuk perutnya berkali-kali, hingga dia tumbang. Di lantai gue membabi-buta menusuki sekujurnya tubuhnya, hingga daging di dada dan perutnya tersayat-sayat. Potongan daging dan darahnya terpental-pental ke udara. Wajah dan baju gue pun penuh darah papa. Papa merenggang nyawa saat itu juga.

Kasus itu sempat heboh dan masuk berita nasional. Gue ditangkap dan dimintai keterangan. Namun tidak ditahan. Perbuatan gue dianggap sebagai pembelaan diri.

Mama menjual rumah kami yang lama, dan kami sekeluarga pindah ke kontrakan sempit untuk memulai hidup baru. Ruang kosong 2×3 meter. Setengahnya saja sudah penuh terisi kasur kapuk. Kami bertiga tidur dempet-dempetan. Tidak ada privasi. Kondisi seperti ini mendorong hal-hal yang tidak baik.

Suatu malam saat kami sudah mulai terlelap mungkin gue dan mama, gak sengaja tangan mama mendarat di kemaluan gue yang membuat gue terbangun. Gue yang sedang pengen, memanfaat kesempatan itu untuk menekuk jemarinya untuk mermas-remas batang gue. Tiba-tiba saja gue merasa jemari itu mulai bergerak dengan sendirinya. Mama membalikkan badan. Cahaya luar yang menembus kisi-kisi jendela membuat kami dapat melihat, kami sedang saling berpandangan. Kami berdua membisu. Kikuk dengan keadaan ini. Namun mama berbuat sesuatu yang membuat gue tambah deg-degan. Ia membuka kancing bajunya satu-persatu. Tes…tes…tes… terus hingga melewati payudaranya. Lalu ia mengangkat cup BH memperlihatkan dada kirinya ke gue. Otak dan hasrat gue bergelut. Otak berkata, “Jangan itu orang tua kamu,” namun hasrat berkata, “Lanjut bos, kesempatan!”

Mama melihat gue diam saja. Ia menyodorkan payudaranya ke bibir gue. “Gak apa-apa, sekali ini aja,” bujuk mama. Merasakan puting di bibir, gue pun mengabaikan nasihat otak gue,dan melahap puting itu, lalu mejilatnya dengan lidah. “Mmmhh…..,” mama menghembuskan nafas dengan berat. Ia pun semakin kencang menangani penis gue, diremas-remas, digosok-gosok, pokoknya enak banget. Syahwat gue meninggi. Gue semakin berani. Gue jamah bokongnya dan meremas-remasnya daging pantatnya. Bahkan sampai masukin tangan gue ke dalam celana pendeknya. Ia sama sekali tidak menolak. Kalau belakang saja boleh, berarti…

“Ach!” mama menarik nafas cepat, lalu membuangnya tertahan terputus-putus. Jantung gue berdebar kencang. Keringat mengucur. Darah mengalir deras. Memeknya mama terasa hangat dan licin. Gue keluar masukin jari tengah gue ke lubangnya. Mama mengangkat dagu gue dan memandang mata gue. Mulutnya menganga menahan rasa. Kemudian dia melekatkan bibirnya ke bibir gue. Gue gugup. Ia mengecupi bibir gue dan berkata, “Terus… terus…” Ia pun makin rapat mengeloni batang gue. Uhh rasanya tak dapat dilukiskan kata.

“Ma, turunin aja ya celananya,” pinta gue. Mama menempelkan jidatnya ke gue jidat gue. Ia diam beberapa saat. Tak ada satu katapun. Sebelum ia menjawab, “Mama takut, nanti kamu masukin penis kamu….”

“Fiko, janji tidak akan masukin, meski Fiko ingin.”

Mama kembali mengecup gue dan menjilat telinga gue. “Janji? Meskipun sebenarnya mama juga ingin. Mama sange banget.” Kami berdua saling melontarkan kata-kata bersayap. Saling tarik ulur, seakan menanti siapa yang akan memulai. “Janji,” jawab gue meyakinkannya.

“Ya.”

Setelah itu mama menurunkan celananya tidak sampai lepas. Tidak cuma itu ia juga menurunkan celana gue sedikit. Lalu tangannya menggenggam penis gue dan gue menjamah vaginanya. Kulit bertemu kulit. Saat gue mulai menusuk-nusukkan jari tengah gue ke lubangnya, dia mulai mengocok-ngocok batang gue. “NGghh…” Kami berdua saling menahan desah agar kakak tidak terbangun.

Lama kelamaan, mama mulai mengarahkan penis gue ke memeknya, kakinya dia cantolkan ke gue seperti sedang memeluk guling. Sampai ujung penis gue menyentuh bibir vaginanya, agak masuk ke dalam, karena gue dorong sedikit. Nafas kami berat seperti kehabisan oksigen.

Gue kepengen banget masukin lebih dalam. Gue dorong pinggul gue. Lubang mama terasa licin menggelitik penis. Namun terhenti oleh bisikan mama. “Kamu sudah janji.” Gue mengurungkan niat. Namun pinggul mama malah menekan, hingga penis gue masuk lebih dalam. Lalu kami berdua sama-sama mendorong, sampai penis gue terbenam full. Mama mencengkram lengan atas gue dan gue mencengkram dadanya. Sejenak kami menikmati rasa yang timbul akibat pergesekkan dua alat kelamin kami.

Tak lama kemudian mama menggeleng panik. Buru-buru gue tarik lagi penis gue keluar.

“Mama takut,” bisik mama.

Gue belai rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Kalau takut ya jangan…”

“Kamu gak takut melakukan ini?”

Gue terdiam. “Fiko cuma tahu, Fiko sayang mama.”

Mama memeluk gue. “Fiko baik banget sama mama… mama harusnya gak melakukan ini dengan kamu. Tapi… mama sedang butuh… dan rasanya ketika barangmu masuk… enak sekali.”

Mendengar mama bilang enak, gue seperti dapat angin.

“Fiko masukin lagi?” tanya gue.

Mama tidak menjawab. Gue coba masukin lagi penis gue. Mama menggeleng saja, namun tidak menolak. Gue tekan sampai perlahan masuk lagi sampai habis. “Ach…!” Mama mencengkram lagi lengan atas gue kuat-kuat. Gue menikmati rasa luar biasa itu untuk kedua kalinya. Kami berdua menikmati itu.

“Fiko apakah akan nurut kalau mama minta Fiko stop?” tanya mama.

Sungguh itu pertanyaan sulit. Insting gue sudah ingin menyetubuhinya. Tapi rasa sayang gue kepada mama melebihi segalanya. Gue akan lindungi mama, dari diri gue sekalipun jika dia yang meminta.

“Apapun mau mama, Fiko akan lakukan.”

Gue menarik lagi penis gue dari lubang yang terasa sangat hangat itu.

“Terima kasih Fiko.”

“Ya, Fiko ke WC dulu ya, mau salurin.”

Mama mengangguk.

Ketika gue hendak beranjak mama malah menarik dan memeluk gue lagi. Ia menautkan lagi kakinya seperti semula. Ia mengecup-ngecup bibir gue dan menjilat-jilat dengan lidah. Ia menempelkan kemaluannya ke batang gue.

“Loh kok mama begini?” tanya gue.

“Gak tahu. Kamu gentlemen banget sih bikin mama tambah horny,” bisiknya. Tanpa banyak bicara mama meraih penis gue dan mengarahkannya ke lubangnya. Jlebbbsss…. Batang gue terpleset masuk.

“Ach!” desah mama sambil mama mencengkram lengan atas gue lagi. Gue mendelik. Kami menikmati rasa itu kembali.

“Mama ingin?” tanya gue.

Mama mengangguk cepat.

Gue pun mulai mengayunkan pinggul gue. Penis gue mengulek memek mama. Ia bergerak gelisah. Gue berusaha sepelan mungkin agar kakak tidak terbangun.

“Ah..ah..,” desah mama sambil menutup mulutnya.

Rasanya gue gak percaya gue benar-benar sedang menyetubuhi mama gue sendiri. Tapi ini benar adanya. Mama benar-benar pasrah. Penis gue keluar masuk dengan bebas, tanpa ada penolakan. Gue terus mengayunkan pinggul sampai akhirnya ia mengejang. “Fikoh…!”

Mama memeluk gue erat beberapa saat sampai akhirnya ia lunglai.

“Terima kasih Fiko, kamu sudah buat mama sampe. Sekarang giliran kamu.”

Mama turun dari ranjang dan berlutut di lantai. Ia suruh gue duduk di pinggir. Setelah itu ia buka kedua kaki gue, dia bersihin penis gue pakai tisu. Gue deg-degan membayangkan apa yang hendak dia perbuat. Apalagi pas dia mulai kecup-kecup batang gue, berlanjut dengan sapuan lidah dari zakar hingga ke ujung.

“Mama mau hisap Fiko ya?” tanya gue gugup, bahkan tegang menanyakan pertanyaan itu.

“Iya, kamu mau?” tanya mama sambil menempelkan penis gue di wajahnya dan menjilatnya.

Gue mengangguk.

Maka terjadilah. Gue melihat mama menempelkan bibirnya ke ujung batang gue, lalu batang itu menyusup masuk ke dalam rongga mulunya. Ia keluarkan lagi, ia masukkan lagi. Penis gue terpijat oleh kedua bibirnya. Rasanya hangat menggelitik naik turun di sekujur batang. Wanita yang melahirkan gue mengulum kemaluan gue.

“Ma, Fiko mau entot mulut mama,” bisik gue.

Mama mengangguk.

Gue merengut rambut mama, dan sambil berpegangan pada pinggir kasur, gue mengangkat pantat gue, dan mengayunkan pinggul gue. Gue pun memompa mulut beliau. “Mmhh….” Ada perasaan hot luar biasa berbuat ini dengan mama.

Gue mengayun dengan cepat. Hanya sebentar saja, gua gak tahan lagi dan langsung klimaks. Batang gue menyemprotkan peju di dalamnya. Dengan jempol mama memijah sperma gue keluar dari salurannya. Uuuhhh rasanya. Gue suka banget cara mama meng-treat penis gue.

Sejak malam itu kami berusaha untuk tidak melakukannya kembali. Namun hasrat dan kebutuhan kami, mendorong kami berbuat itu lagi. Saat kuperhatikan dia, hati berdebar-debar. Aku ingin menyentuhnya, dan saat kusentuh ia pun tidak menolak. Akhirnya kejadian lagi, lagi dan lagi. Lama-lama rasanya kalau penis ini tidak crot satu hari di memek mama, aku pusing.

TAMAT