Dilema Seorang Istri (Berdasarkan Kisah Nyata)
EPISODE 1 : Pembukaan Namaku Lisa, seorang wanita yang telah berusia 34 tahun dan telah bersuami. Menurut banyak teman, aku adalah wanita yang cukup cantik dan berkulit putih bersih. Yang luar biasa adalah postur tubuhku yang begitu terawat dan indah. Tinggi badanku 164 cm. Pantatku cukup bulat dan berisi dengan sepasang betis yang indah. Sepasang payudaraku yang berukuran 34B juga tampak padat dan serasi dengan bentuk tubuhku. Selama pernikahanku dengan suamiku, aku belum juga dikaruniai seorang anak. Aku bekerja sebagai accounting manager pada sebuah perusahaan distributor yang cukup besar di kota Jakarta. Aku juga menjadi instruktur bermacam-macam kelas ditempat aku fitness, seperti body combat, body language, dan body pump. Aku merupakan orang yang fokus pada pekerjaanku, sehingga aku kurang pandai bergaul. Sebagai seorang istri, aku merupakan seorang wanita yang setia pada suami. Aku berprinsip, tidak ada laki-laki lain yang menyentuh hati dan tubuhku, kecuali suami yang sangat kucintai. Jangankan disentuh, tertarik dengan lelaki lain merupakan pantangan buatku. Akan tetapi, begitulah. Suamiku kurang dapat memuaskanku diatas ranjang. Kalaupun bisa, dia pasti kelelahan dan langsung istirahat. Aku hanyalah seorang wanita yang normal, wanita yang mendambakan kenikmatan seks dari laki-laki. Sehingga, mau tidak mau aku cuma bisa memainkan jari sambil membayangkan suamiku sedang memasukkan batang kejantanannya ke vaginaku, walaupun tidak senikmat kenyataan. Yah tapi apa bisa dikata. Sudah kewajibanku untuk menerima suamiku apa adanya dalam kaya miskin sehat sakit. Suatu hari, aku sedang sibuk menghitung laporan keuangan perusahaan menjelang akhir bulan. Sekarang, aku yang memegang seluruh pengambilan keputusan terhadap divisi accounting. Hal ini dikarenakan asisten manajer divisi accounting ini resign bulan lalu karena masalah gaji. Sudah beberapa kali aku meng-interview calon asisten manajer untuk divisi accounting. Akan tetapi, semuanya tidak cocok. Giliran cocok, minta gaji ketinggian. Haduuh, susahnya. “Permisi, Ci Lisa. Bisa ketemu sebentar?” Suara manager HRD, Wandy. “Oh, silakan masuk, Wan.” Kataku. Kemudian, pintu pun terbuka. Wandy masuk bersama seorang pria. Lho, sepertinya pria itu aku pernah melihatnya, entah dimana ya. “Begini, Ci Lisa. Perusahaan sudah menyetujui bahwa dia akan menjadi asisten manajer divisi accounting untuk membantu Ci Lisa. Perkenalkan ci, namanya Indra.” Kata Wandy. “Oh. Lisa.” Kataku sambil menyalami Indra. “Indra.” Kata Indra sambil tersenyum. Oh iya, Indra. Aku pernah menginterview-nya beberapa minggu lalu. Pengetahuannya tentang akuntansi boleh juga. Dan dari yang kupelajari, dia ini orangnya begitu gigih belajar dan sepertinya tidak mudah menyerah. Kuperhatikan dia dari atas sampai bawah, cukup lumayan penampilannya. Indra berbadan tinggi besar dan atletis, tingginya sekitar 178 cm. Wajahnya pun cukup tampan dan maskulin, dengan warna kulit coklat muda dan rambut bergelombang. Sungguh aku tidak mempunyai pikiran atau perasaan tertarik padanya. Aku sih sportif saja ya, jika ia memang bagus, maka akan kuakui. Kubaca CV-nya waktu itu, dia mengatakan bahwa masih lajang. Indra belum tergolong tua, berumur 30 tahun. Syukurlah, akhirnya aku mendapatkan seorang asisten manajer. Untungnya, Indra ini orang yang cukup pandai. Tidak hanya pandai, ia juga memiliki penampilan fisik yang bagus. Hanya dalam beberapa hari saja, seluruh wanita-wanita ABG di divisi accounting langsung jatuh hati kepadanya. Hal itu tidak mengherankan sih karena aku harus mengakui bahwa wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang atletis menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita. Tidak sedikit anak-anak yang curhat kepadaku masalah perasaan mereka terhadap Indra. Akan tetapi, mereka semua tidak direspon oleh Indra. Katanya sih, Indra sudah memiliki seseorang yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Haah, seperti sinetron saja. Hubunganku dengan Indra sih biasa-biasa saja, malah cenderung agak kaku. Mungkin karena ia masih baru. Meskipun begitu, Indra selalu menghormatiku. Nada bicaranya, pemilihan kata-katanya, dan sikapnya terhadapku menunjukkan rasa hormat yang begitu besar. Harus kuakui bahwa sebetulnya aku lumayan senang punya asisten manajer yang begitu menghormatiku. Ia juga tidak pernah mengeluh, dan selalu mencari pekerjaan demi memperluas wawasannya tentang perusahaan dan pekerjaannya. Dulu aku sempat tidak menerima dia di perusahaan ini karena gaji yang dia ajukan itu terlalu tinggi. Akan tetapi, mungkin divisi HRD lebih pandai dalam memperhitungkan keselarasan antara gaji dan performa. Yah, aku senang ia diterima di perusahaan ini, karena sampai sejauh ini dia menunjukkan sikap yang sangat baik. Lama-kelamaan kekakuan aku dan Indra pun berkurang dan kami berdua menjadi akrab. Beberapa kali, kami sempat makan siang bersama sambil sharing mengenai pengetahuan dan wawasan masing-masing. Jika aku sudah makan siang berdua, aku selalu menjadi bahan pelototan anak-anak ABG di divisi accounting. Haduuh, memang masih anak-anak mereka itu. Suatu hari, aku meminta bantuan Indra untuk membantuku lembur dikantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Tanpa kuduga, ia begitu bersemangat menyetujui permintaanku itu. Dia bilang hal itu berguna untuk semakin memperdalam pengetahuannya agar tidak tertinggal dengan anak-anak bawah, dan juga bisa mengayomi anak-anak bawah. Boleh juga semangatnya, aku akui itu. Aku dan Indra terus berkutat pada pekerjaan yang telah kami janjikan masing-masing. Sekarang sudah jam tujuh malam. Entah sampai kapan ini akan selesai. Enaknya memang setelah capek-capek begini, begitu pulang itu langsung makan, mandi, dan bercinta dengan suami. Akan tetapi, begitu ingat bahwa suamiku memang kurang tahan lama di ranjang, aku jadi bete sendiri rasanya. “Kenapa, ci?” Tanya Indra tiba-tiba. “Eh, kenapa Ndra? Nggak apa-apa kok.” Kataku. “Ah, masa? Muka cici ga bilang kalo cici ga apa-apa tuh.” Kata Indra. Wih, tajam amat penglihatan dan pengamatannya. “Ah masa sih? Aku nggak apa-apa kok, Ndra.” Kataku berdalih. “Udah, ci ga apa-apa kok. Cerita aja sama aku. Aku sih harapnya bisa bantu, ci.” Kata Indra sambil duduk disofa dihadapanku. Ruanganku ini memang tergolong cukup luas. Ada meja kerjaku, ada dua meja kerja lagi yang diperuntukkan bagi karyawan yang memang harus bekerja langsung denganku, dan juga ada sofa. “Sorry, ci. Ga bermaksud kurang ajar, tapi kayanya masalah ranjang sama suami ya, ci?” Tanya Indra. Mendengar hal itu, aku tersentak kaget. Bukan karena apa, tapi kenapa ia bisa tahu pikiranku begitu? “Kenapa tiba-tiba kamu ngomong gitu, Ndra?” Tanyaku. “Ekspresi dan gestur cici mengatakan hal itu.” Kata Indra. “Oh, kelihatan ya?” Tanyaku. Indra hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. “Yah, mungkin agak aneh ya Ndra. Padahal aku ini wanita, tapi kok mikirinnya malah seks. Harusnya aku fokus kepada memelihara dan melayani keluarga.” Kataku dengan lirih. “Hmmm, emang apa yang aneh ci dengan wanita dan malah mikirin seks?” Tanya Indra. “Lho, menurutmu memang nggak aneh?” Tanyaku. “Nggak sih. Seks itu kan kebutuhan dasar manusia, baik cowo maupun cewek. Jadi yah wajar aja sih kalo cici memikirkan seks, secara itu kebutuhan.” Kata Indra. Seks adalah kebutuhan dasar manusia? Betul juga sih ya. “Emang kenapa, ci? Maaf nih, tapi suami cici ga bisa muasin cici?” Tanya Indra. “Yah, kurang lebihnya sih gitu, Ndra.” Kataku. “Maaf nih ci kalo aku boleh tau, ga bisa berdiri ato cepet keluarnya?” Tanya Indra. “Cepet keluarnya Ndra. Kadang baru aja masuk, udah keluar duluan. Kadang sih tahan lama, tapi yah begitu aku orgasme, dia juga keluar dan langsung kecapekan.” Kataku. “Terus, cici kira-kira masalah dengan itu?” Tanya Indra. “Yah, sebetulnya sih bukan masalah yang gimana-gimana banget sih, Ndra. Tapi, kadang tuh aku pengen banget dipuasin. Rasanya gimana gitu.” Kataku. “Iya sih, aku ngerti, ci.” Kata Indra. “Ngerti? Emangnya kamu udah pernah berhubungan badan?” Tanyaku. “Waktu itu sih beberapa kali ci sama pacar. Tapi sekarang yah masturbasi aja seringnya.” Kata Indra. “Kamu ini ya! Belom nikah, udah main berhubungan aja.” Kataku. “Hehehe. Susah sih, ci. Namanya nafsu, emang susah ditahan. Tapi kan sama pacar aja, ga sama sembarang cewek.” Kata Indra. “Apa bedanya?” Tanyaku. “Kalo sama pacar kan juga dilandasi rasa sayang, ci. Jadi ga sepenuhnya bejat.” Kata Indra. “Halah, ngeles aja kamu. Jadi kamu ama pacar itu jatuh cinta pada pandangan pertama ya?“ Kataku. “Hah? Ga kok ci, maksudnya apa ya?” Tanya Indra dengan bingung. “Itu, kata beberapa sumber, bilang kalo kamu udah punya seseorang yang kamu jatuh cinta pada pandangan pertama. Pacar toh.” Kataku. “Oh, itu sih beda lagi, ci.” Kata Indra. “Loohh… Kok beda? Ooohhh, jadi kamu masturbasi ngebayangin orang itu ya? Divisi accounting kan?” Tanyaku dengan senyum memancing. “Betul, ci!… Ah, maksudnya ga kok ci.” Kata Indra dengan terbata-bata. “Hayoo, kamu ngebayangin siapa? Sini cerita sama cici, siapa tau cici bisa macomblangin kalian berdua, terus kalian berdua nikah, dan fantasi kamu terwujud deh, Ndra.” Godaku. “Ah, ga mungkin, ci.” Kata Indra dengan serius. Hmmm, entah kenapa aku merasakan keseriusan di raut wajahnya. “Kenapa nggak mungkin, Ndra?” Tanyaku. “Ah, udahlah. Kok kita malah ngomongin beginian sih. Udah lanjut kerja aja yuk, ci.” Kata Indra. “Ah, malu-malu kamu. Ayolah cerita aja udah.” Kataku. Ya, singkatnya malam itu kami malah jadi ngalor-ngidul nggak jelas. Yang lebih parahnya, kita itu terkadang ngalor-ngidul soal seks. Ternyata, Indra itu cukup berpengalaman masalah seks. Ia selalu nyambung denganku yang notabenenya sudah menikah dan lebih paham masalah seks. Waduh, dia dan pacarnya sudah sejauh apa ya? Terkadang juga, aku menjadi terpancing untuk mengetahui bagaimana sisi laki-laki memandang seks. Dan yang aku simpulkan, ternyata Indra ini cukup unik. Ia memandang seks sebagai pelampiasan dari kasih sayang kepada wanita yang ia cintai, bukan hanya pelampiasan birahi semata. Menarik juga. Karena kebanyakan ngobrol, kami baru selesai jam 11 malam. Indra menawariku untuk mengantarku pulang. Akan tetapi, aku menolaknya karena kebetulan aku membawa kendaraan sendiri. Kemudian, kami pulang ke rumah masing-masing. Sejak kejadian malam pada saat kami lembur itu, terutama sejak kami banyak mengobrol soal seks, aku dan Indra menjadi semakin akrab. Kami banyak bercerita soal pengalaman hidup kami, pengalaman indah kami, pengalaman pekerjaan kami, dan juga seputar kehidupan seks. Ia juga terkadang bertanya seputar hal wanita. Aku tahu bahwa menurut anak-anak ABG divisi accounting, ada orang yang membuat Indra jatuh hati pada pandangan pertama. Akan tetapi, Indra tidak pernah mau menunjukkan orangnya padaku. Aku pun jadi penasaran juga dibuatnya. Kira-kira orang seperti apa yang mampu membuat Indra jatuh hati pada pandangan pertama. Dan mungkin, aku bertanya-tanya sebetulnya wanita seperti apa yang sangat beruntung mendapatkan tempat spesial di hati Indra. Indra ini orangnya begitu simpatik, baik hati, pintar, kritis, dan juga perhatian. Ditambah dengan wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang bagus, kurang beruntung apa lagi wanita itu. Akan tetapi, bukankah Indra sudah punya pacar? Apakah hatinya sudah berpindah? Entahlah. Suatu hari, aku merayakan hari ulang tahunku yang ke-35. Ah, biasanya aku cuti untuk merayakannya bersama dengan suamiku. Akan tetapi, pekerjaan kantor sedang ada deadline, jadinya perayaan ulang tahunku terpaksa harus tertunda deh. Aku mendapatkan surprise berupa kue ulang tahun dari anak-anak divisi accounting, termasuk Indra. Malamnya, aku lembur membuat laporan keuangan perusahaan. ”Misi, ci. Bisa ganggu ga? ” Kata Indra sambil mengetuk pintu ruanganku yang kebetulan terbuka. ”Ya ada apa, Ndra?” Jawabku sambil tetap melihat layar komputer. ”Ini, ci. Ada beberapa yang aku ga ngerti. Boleh minta penjelasan ga, ci?” Kata Indra. ”Ooohh bisa. Mana yang kurang paham?” Kataku sambil berdiri dari kursi kerjaku dan mempersilakan Indra untuk duduk di sofa. Aku pun juga duduk di sofa disebelah Indra. Kemudian, Indra mulai menunjukkan kepadaku data-data laporan keuangan yang telah dibuat oleh anak-anak ABG divisi accounting itu. Aku memberikan penjelasan panjang lebar kepadanya. Daya serapnya Indra pun cukup baik. Hanya beberapa kali kujelaskan, ia langsung mengerti. Hingga akhirnya, semua yang hendak ia tanyakan sudah ia pahami sepenuhnya. “Oohh, sip deh, ci. Aku udah ngerti semua nih. Semua berkat cici. Makasih banget loh, ci.” Kata Indra sambil membungkukkan badannya. “Ah, nggak apa-apa, Ndra. Makin kamunya ngerti, makin kebantu aku juga.” Kataku sambil tersenyum. “Ci… anu…” Kata Indra sambil berpikir. “Kenapa, Ndra?” Tanyaku. ”Aku punya hadiah ulang tahun buat cici nih. Cici mau nerima ga?” Tanya Indra. Mendengar hal itu, aku sedikit kaget, tapi kemudian tersenyum. “Ya ampun, Ndra. Repot-repot banget sih kamu, tadinya mah nggak usah, Ndra.” Kataku sambil tersenyum. “Ga repot juga sih, ci. Tapi cici mau nerima ga nih?” Tanya Indra. ”Mau dong. Tapi, syaratnya hadiahnya harus banyak.” Jawabku bergurau. “Yah ga tau sih ci, banyak ato ga. Menurutku sih lumayan banyak, tapi ga tau deh menurut cici banyak ato ga.” Kata Indra sambil tersenyum. “Yaudah, aku anggep banyak deh. Mana?” Tanyaku sambil tersenyum. ”Nah, syarat cici kan udah aku penuhin nih. Sekarang, aku juga punya syarat nih, ci. Cici tutup mata dulu, baru aku kasih hadiahnya.” Kata Indra. ”Serius nih? Itu mah gampang. Oke, aku tutup mata nih.” Kataku sambil memejamkan mata. ”Tunggu ya, ci. Jangan melek dulu sampe aku kasih aba-aba.” Kata Indra. “Iya.” Kataku. Sambil terpejam, aku penasaran dengan hadiah apa yang akan diberikan oleh Indra. Aku bisa mendengar Indra duduk disebelahku. Tidak lama kemudian, aku merasakan ada benda yang lunak menyentuh bibirku. Tidak hanya menyentuh, benda itu juga melumat bibirku dengan halus. Rasanya begitu hangat. Aku langsung tahu bahwa Indra sedang menciumku. Maka, aku langsung membuka mata. Wajah Indra begitu dekat dengan wajahku. Tidak lama kemudian, tangannya pun merangkul pinggangku. Jujur, mendapatkan perlakuan seperti itu, dadaku berdebar-debar dengan cepat. Aku pun juga tidak berusaha menghindar. Untuk beberapa saat, Indra masih melumat bibirku. Kalau boleh jujur, aku pun juga mulai menikmatinya. Beberapa saat secara refleks, aku juga membalas melumat bibir Indra. Kini, kami saling berciuman dan melumat bibir masing-masing. Tiba-tiba, kesadaranku menguasaiku dengan sangat kuat. Aku, yang sudah kembali mendapatkan kesadaranku, langsung mendorong dada Indra sampai-sampai ia terjengkang kebelakang. ”Ndra. Seharusnya ini nggak boleh terjadi.” Kataku dengan nada bergetar menahan rasa malu dan sungkan yang menggumpal dihatiku. ”Maaf, Ci Lisa. Mungkin aku terlalu nekat. Seharusnya aku sadar bahwa cici sudah bersuami. Tapi inilah kenyataannya, aku sayang sama Ci Lisa.” Katanya sambil menatap mataku dengan serius. Ah, dia sayang padaku? Mustahil, apakah orang yang sudah membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama… adalah aku?? Aku kah orang yang bisa membuat orang sehebat dan seganteng dia jatuh hati pada pandangan pertama? Memangnya apa yang istimewa dari diriku? Bukankah Indra juga sudah punya pacar? Sehebat itukah aku, sampai bisa membuat Indra berpaling hati dari pacarnya? Selama berdetik-detik, tidak satupun kata yang keluar dari mulut kami masing-masing. Aku terlalu larut dalam pikiranku, sementara Indra sepertinya menunggu kata-kata dariku. Sampai akhirnya, Indra berdiri dan membungkukkan badan kepadaku, kemudian pergi meninggalkanku. Saat itu, aku merasa sangat menyesal. Aku merasa telah mengkhianati suamiku. Aku, yang sebelumnya tidak terpikir akan melakukan hal seperti itu, kini telah menodai kepercayaan suamiku padaku, meskipun hal itu bukan aku yang memulai. Akan tetapi, anehnya aku tidak marah sama sekali pada Indra. Malah, saat itu aku merasa menjadi wanita paling hebat sedunia karena bisa menaklukan hati pria ganteng dan hebat seperti Indra. Yaah, mendapat ciuman dari pria ganteng, kenapa tidak? Sudahlah, bukan aku gini yang mulai. Aku anggap lalu saja. Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku pun keluar dari ruanganku. Sepanjang perjalanan, entah kenapa hatiku berdebar-debar sendiri jika mengingat ciumanku dengan Indra itu. Saat itu pula, aku tersenyum-senyum sendiri. Kenapa ya? Aku sendiri juga tidak tahu. Selama beberapa hari ke depan, kami tidak saling berbicara satu sama lain. Meskipun tidak marah, aku sengaja menjaga jarak darinya. Gitu-gitu, dia juga sudah punya pacar. Aku khawatir jika kami semakin dekat, akan terjadi sesuatu yang tidak baik yang menyebabkan retaknya hubungan mereka. Akan tetapi, namanya manajer dan asisten manajer, mana mungkin tidak berbicara sama sekali. Akhirnya, tanggung jawab pekerjaan pun memaksa kami untuk kembali berbicara. Akibatnya, keakrabanku dan Indra mulai kembali lagi. Bahkan karena kami selalu saling membantu, kami menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Kedekatan dan keakrabanku dengan Indra semakin tinggi dari hari ke hari. Beberapa kali jika Indra konsultasi denganku, ia selalu memberikan hadiah, berupa ciuman lembut di bibir seperti yang waktu pertama kali. Tentu itu dilakukannya jika tidak ada orang yang melihat. Meskipun pada akhirnya aku menolaknya, tetapi anehnya, aku tidak pernah marah dengan perbuatan Indra itu. Entahlah, aku sendiri bingung. Aku tidak tahu, apakah ini dikarenakan permasalahanku yang begitu menginginkan kepuasan seksual yang tidak bisa diberikan oleh suamiku, ataukah aku telah memiliki perasaan sayang yang sama seperti Indra sayang kepadaku. Sekali lagi, aku betul-betul bingung dengan perasaanku sendiri. Aku sendiri merasa sangat nyaman berada di dekat Indra. Suatu hari, pada saat aku mengerjakan pekerjaan harianku pada siang hari, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang kerjaku. Tok tok tok… “Masuk.” Kataku. “Permisi, ci.” Kata Indra sambil membuka pintu ruanganku. “Kenapaa kamuu?” Tanyaku sambil tersenyum. Indra hanya memajukan bibir bagian bawahnya sambil menundukkan kepalanya. Hmmm, kok sepertinya ada yang serius ya? “Duduk, Ndra. Ada apa?” Tanyaku sambil mempersilakan Indra duduk. Indra pun kemudian duduk dihadapanku. Kemudian, ia melihat wajahku dengan sangat serius. “Maaf, ci. Aku mao ngajuin resign.” Kata Indra. Mendengar hal itu, bukan main aku kagetnya. “Hah? Kenapa, Ndra?” Tanyaku. “Aku… mao merintis usaha sendiri, ci.” Kata Indra. Aah, merintis usaha sendiri ya? Aku akan merasa kehilangan jika Indra harus resign, karena pengetahuannya tentang kantor dan proses belajarnya yang sangat cepat itu tidak mudah didapatkan. Di sisi lain, aku yang mungkin mulai jatuh cinta pada Indra, pastilah akan kehilangan. Akan tetapi, sebagai atasan dan seorang teman, sudah kewajibanku untuk mendukungnya demi kemajuan masa depannya. “Yakin nih, Ndra? Atau mungkin ada yang kira-kira perusahaan bisa tawarkan agar kamu tetap disini?” Tanyaku. “Aku yakin, ci. Keputusanku udah bulat.” Kata Indra. “Oke kalo gitu, Ndra.” Kataku sambil tersenyum dan mengangguk. “Cici jangan sedih ya. Aku masih di Indonesia kok.” Kata Indra. “Eh, siapa yang sedih? Kamu kali yang sedih karena bakal pisah ama aku.” Kataku. “Iya, itu betul, ci. Aku bakal sedih karena bakal pisah ama cici.” Kata Indra dengan serius. Deg. Sial, sepertinya aku salah mengucapkan kata-kata. Yah, tapi mungkin dia memang memiliki perasaan kepadaku. Memang haknya untuk suka kepada siapapun, termasuk diriku. Mau tidak mau, aku hanya memang bisa menerimanya. “Makasih, Ndra. Tapi diluar sana, masih banyak kok cewek yang lebih baik dan cantik dari aku. Suatu saat nanti, kamu pasti nemuin cewek itu kok.” Kataku. Indra pun berpikir sebentar, kemudian ia tersenyum kecil. “Yah, mungkin sih ci. Toh, kita ga pernah tahu masa depan seperti apa. Tapi, cici harus tahu bahwa cici itu spesial, dan ga mungkin ada yang serupa persis sama cici.” Kata Indra. Mendapat pujian seperti itu, jujur hatiku terasa deg-degan. Aku suka sekali pujian macam itu. Pujian yang begitu tulus mengena, tidak dibuat-buat dan tidak berlebihan, dan juga masuk akal. “Ah…” Kataku kehabisan kata-kata. “Oke, ci. Ini surat resign-ku.” Kata Indra sambil menyerahkan surat resign-nya. “Iya, nanti aku sampaikan ke HRD.” Kataku sambil menerima surat resign-nya. “Sukses ya, Ndra.” Kataku. Indra pun hanya mengangguk, kemudian dia berdiri. Akan tetapi, ia tidak keluar ruangan. Lagi-lagi, ia memberiku ciuman di bibir seperti biasanya. Entah mungkin karena ia sudah akan resign, aku tidak tega jika harus menghindar. Akhirnya, selama beberapa puluh detik, kami saling melumat bibir kami. Setelah itu, Indra pun keluar dari ruanganku. Peraturan perusahaan tempatku bekerja ini mengharuskan karyawan untuk bekerja selama sebulan lagi sejak mengajukan resign, jadi Indra masih mempunyai waktu sebulan untuk mentransfer pengetahuan kerjanya. Selama sebulan ini, aku dan Indra tetap dekat dan akrab seperti biasanya. Beberapa kali ia berkonsultasi denganku masalah pekerjaan. Kadang-kadang, kami juga saling curhat. Indra sekarang sudah menjadi orang yang selalu menampung curhatku. Ia juga selalu ada untukku ketika aku membutuhkannya. Aku sadar, mungkin memang sedikit demi sedikit, hatiku juga sudah mulai memberikan tempat bagi Indra. Hanya saja, aku ingat dengan statusku yang sudah menikah, karena itu kadang-kadang aku tidak membiarkan hatiku terus berbunga-bunga untuk Indra. Sangat sulit sekali melakukannya, karena memang cinta adalah salah satu perasaan paling sulit dilawan. Suatu hari, pada hari Jumat, yaitu hari terakhir masa kerja Indra di perusahaan ini. Indra mendatangiku di ruanganku. “Ci, besok jalan-jalan yuk.” Kata Indra. “Hah? Jalan-jalan? Nggak ah.” Kataku. Tentu saja aku menolaknya. Aku khawatir kalau kedekatanku dengannya menjadi semakin jauh dan menyebabkan perselingkuhan yang sebenarnya. Selama ini, walaupun dekat dan akrab, tapi aku tetap berusaha membuat batas-batas antara aku dan Indra. Aku tidak bisa membiarkan perasaan cintaku pada Indra begitu meluas. Aku harus mengendalikannya. Jika aku jalan-jalan bersamanya, tentu saja rasa cinta itu akan berkembang menjadi lebih luas. “Ayolah, ci. Aku nggak pernah jalan-jalan nih sama cici.” Kata Indra. Ya, memang aku tidak pernah jalan-jalan berduaan bersama Indra. Mulai muncul godaan dalam hatiku untuk menyetujui ajakannya. Ah, tidak boleh! Aku harus bisa menolaknya. Ini kan hari terakhirnya. Kalau aku bisa menolaknya, setelah hari ini harusnya aku lebih mudah untuk menyingkirkannya dari hatiku. “Ndra, jangan lah. Aku kan juga udah bersuami. Apa kata orang nanti kalo kita jalan-jalan sama-sama?” Kataku berusaha sekuat hati untuk menolaknya. “Tenang aja, ci. Ga ada yang tahu kok.” Kata Indra. Ah, nggak ada yang tahu. Betul juga ya. Toh, hanya jalan-jalan saja. Mungkin aman kali ya? Aku sesekali ingin jalan-jalan berduaan dengannya. Eh, tidak boleh! Tidak.. tidak… tidak boleh! Gejolak hatiku antara dua perasaan ini begitu kuat. “Kamu kan juga udah punya pacar, Ndra. Aku juga nggak enak lah sama pacar kamu.” Kataku berusaha untuk mencari-cari alasan. “Tenang aja, ci. Itu urusanku. Mengenai apa yang akan terjadi sama hubunganku sama pacar aku, itu sepenuhnya tanggung jawab aku. Lagian ini kan hari terakhirku nih di perusahaan ini. Aku nggak tau kapan ketemu cici lagi” Kata Indra. “Yah, kita tetep bisa ketemuan lah, Ndra. Kan katanya kamu tetep di Indonesia.” Kataku. “Nah, apa bedanya ketemuan nanti-nanti dengan besok?” Tanya Indra. Aduh, dia ini betul-betul tetap berpegang pada karakternya, tidak mudah menyerah. Dan sialnya, aku juga semakin tergoda. “Udah, Ndra. Jangan. Kapan-kapan aja, ya.” Kataku masih berusaha menolaknya. “Soalnya biasanya kan kalo udah pisah itu lost contact, ci. Ayolah, ci. Pleassee…” Kata Indra. Ah, disinilah pertahananku runtuh sepenuhnya. Di samping tidak tega, aku sendiri pun mengakui bahwa aku sangat ingin setidaknya jalan-jalan sama Indra berdua sekali saja. Baiklah, akhirnya hatiku memutuskan bahwa aku akan menyetujui ajakannya. Akan tetapi, di sisi lain aku bingung apa yang harus kujelaskan pada keluargaku jika aku menyetujui ajakannya. Indra terus melihatku dengan penuh harap. Jika melihat dari tatapannya, aku memang semakin tidak tega. Sudahlah, aku sendiri sebetulnya juga menginginkan hal itu, ingin sekali merasakan rasanya jalan-jalan berdua dengannya. Mungkin, Indra pun merasakan hal yang sama denganku. “Oke.” Kataku. “Nah, gitu dong, ci. Akhirnya.” Kata Indra. “Eits, tapi banyak syaratnya, Ndra.” Kataku. “Apa aja ci? Aku siap memenuhinya selama itu bukan yang menghalangi acara.” Kata Indra. “Pertama, nggak boleh ada orang lain yang tahu.” Kataku. “Oke. Gampang.” Kata Indra. “Kedua, hari minggu aja, Ndra. Jangan besok. Karena minggu biasanya orang-orang pada istirahat di rumah. Jujur aja, kalo ketahuan sama orang lain, aku takut orang lain berpikiran yang nggak-nggak ke aku.” Kataku. “Oke. Gampang.” Kata Indra. “Ketiga, kita perginya ke luar kota aja.” Kataku. “Hmmm, Puncak gimana, ci?” Tanya Indra. “Puncak… Hmmm, boleh sih kayanya.” Kataku. “Tapi kalo ke Puncak, berarti agak subuh dong ci berangkatnya?” Tanya Indra. “Oh iya, bisa macet ya kalo nggak subuh-subuh?” Tanyaku. “Betul.” Kata Indra. “Oke, nggak masalah. Kira-kira jam 5 ya kita berangkat.” Kataku. “Oke. Hari Minggu jam 5 aku jemput cici di rumah.” Kata Indra. “Eh. Jangan di rumah. Kita ketemuan aja di suatu tempat. Nanti alamatnya aku kasihtau besok.” Kataku. “Oke deh, ci. Deal ya hari Minggu.” Kata Indra. “Iya-iya.” Kataku. “Oke. Sampai hari minggu, ci.” Kata Indra sambil keluar dari ruanganku. Kemudian, karena hari itu sudah saatnya jam pulang, kami merayakan last day nya Indra di kantor. Anak-anak ABG divisi accounting itu pun sepertinya pada sedih karena kehilangan Indra. Dasar anak-anak ABG hahaha. Setelah acara selesai, aku segera pulang ke rumah. Haah, hari minggu ya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. BERSAMBUNG KE EPISODE-2