Di Bawah Pohon Kamboja
GOCENG adalah seorang pemulung. Goceng sudah mempunyai daerah operasi yang tetap sebagai tempat ia memulung sampah. Ia tidak perlu berjalan keliling kampung lagi membawa karung mengacak-acak bak sampah orang lain. Kadang ia juga dikejar anjing, dan tak jarang ia juga harus menerima sumpah serapah dan caci maki dari warga yang bak sampahnya diacak-acak.
Lokasi operasi Goceng terletak di tempat pembuangan sampah sementara di Perumahan Alfatha Indah Lestari.
Sampah-sampah warga Perum Alfatha sebelum diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir oleh truk sampah dari pemda setempat akan disortir oleh Goceng dan dipilih mana yang bisa menghasilkan duit dan mana yang memang sudah menjadi nasib sampah itu, harus dibuang jauh-jauh, disingkirkan, dibumi-hanguskan.
Masih mending kalau ia dijadikan pupuk organik atau kompos yang masih berguna untuk memupuk tanaman membantu para petani dan para ibu-ibu pencinta tanaman hias, tetapi malah ia ditumpuk dan dibakar menjadi abu, diinjak dan diludahi.
Memang sudah nasib menjadi SAMPAH.
Pada suatu hari Goceng berkenalan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan jilbab dan rok tertutup yang panjang. Wanita itu datang ke tempat pembuangan sampah ingin mencari duit pemberian dari suaminya yang ia buang ke tong sampah gara-gara ia marah dengan suaminya yang ketahuan selingkuh.
“Gerobak sampahnya belum datang, Mbak…” kata Goceng. “Nanti kalau aku temukan, akan aku kembalikan pada Mbak.”
Mbak cantik ini memberitahukan ciri-ciri plastik pembungkus sampahnya pada Goceng. Mudah-mudahan belum dibongkar oleh abang gerobak sampah, batin Bu Nurfaedah dan mudah-mudahan pula si tampang lecek ini juga jujur.
Bu Nurfaedah kembali ke rumahnya dengan tidak tenang bercampur kecewa dan sedih. Apa kurangnya aku ini sampai kamu tega selingkuh… sampah…! Benar-benar sampah kamu ini, omel Bu Nurfaedah kecewa pada suaminya.
Nasib mujur masih ada pada Bu Nurfaedah.
Sewaktu gerobak sampah datang, Goceng segera naik ke gerobak sampah yang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja yang sudah menunaikan tugas mulianya itu. Goceng mengeluarkan bungkusan sampah satu persatu dari gerobak, dan pada akhirnya ciri-ciri bungkusan sampah yang diberikan oleh si mbak cantik ini ditemukan Goceng.
Goceng segera membawa bungkusan dengan merek salah satu depstore terkenal di negeri ini ke bawah pohon kamboja yang berbunga kuning lebat dan sebagian jatuh berguguran, yang keindahan bunga itu sedikit memberikan kesegaran pada lingkungannya di tempat yang berbau busuk sampah.
Goceng mengeluarkan isi kantong plastik itu, yang berisi selain sampah dari dapur, juga terdapat pembalut wanita, baru kemudian Goceng menemukan sebuah amplop berwarna coklat ukuran amplop di dasar kantong.
Goceng yang lugu dan jujur, tetap seorang laki-laki yang memiliki napsu. Apalagi terbayang olehnya wajah cantik si mbak dan di depan tempat duduknya tergeletak segulung pembalut berwarna putih yang hanya diikat dengan kertas pelindung perekat dari pembalut.
Goceng tidak segera menggulung pembalut itu, tetapi ia mencium. Kemudian Goceng segera terkaget-kaget sewaktu ia menemukan si mbak cantik sudah berdiri di depannya.
“Sudah bau basi, kenapa dicium…?” kata Bu Nurfaedah pada Goceng yang tampak ketakutan dalam keluguannya.
“E… ee… e… mmm… mmm… mmm… ini bungkusannya Bu… Mbak… mmm… mmm… belum aku buka… sumpah…” kata Goceng mengenai bungkusan uang yang ditemukannya di kantong plastik.
“Ya… aku percaya…” jawab Bu Nurfaedah berjongkok di depan Goceng menerima amplop dari tangan Goceng yang gemetaran, lalu Bu Nurfaedah membuka amplop tersebut mengeluarkan beberapa lembar isi amplop lalu diberikan pada Goceng.
“Nggak… Bu… nggak… nggak…!” tolak Goceng. “Nggak Bu, nggak…!”
“Aku memberikannya dengan tulus…” kata Bu Nurfaedah.
“Nggak Bu… nggak…!” Goceng keukeh dengan pendiriannya, meskipun ia manusia sampah yang terbuang, tersisihkan, kadang dihina, tetapi ia tidak sudi menerima gratifikasi.
PAHAM…?
Bu Nurfaedah pulang ke rumah selain membawa pulang amplop duitnya yang masih utuh, juga membawa pulang hatinya yang gelisah.
Hari gini… masih ada orang yang lugu dan jujur… seorang pemulung sampah pula dan sewaktu Bu Nurfaedah membayangkan pemulung itu mencium pembalutnya, membuat hati Bu Nurfaedah semakin gelisah tak menentu sepanjang hari itu.
Ia disisihkan oleh suaminya seorang manager bank, tetapi ia dihargai oleh seorang pemulung yang lecek dan dianggap sampah masyarakat itu.
Bu Nurfaedah kembali ke tempat pembuang sampah pada hari berikutnya dan Bu Nurfaedah menemukan di bawah pohon kamboja itu pula Goceng meraup nasi bungkus dengan kelima jarinya, meskipun nasi bungkus itu hanya berisi nasi, sebuah bakwan sayur dan sayur kangkung, Goceng tetap makan dengan nikmat karena nasi bungkus itu adalah hasil dari keringatnya memulung sampah.
“Mas, bisa tolong… mmm… mmm.. mm… bersihkan rumahku…?” tanya Bu Nurfaedah tergagap.
“O… bisa, Bu… mmm… Mbak…” jawab Goceng denga mulut penuh nasi membuat Bu Nurfaedah tertawa.
“He… he..”
Ini adalah tawa Bu Nurfaedah yang lepas bebas BUKAN di rumahnya yang mewah melainkan di tempat SAMPAH yang bau busuk dengan seorang pemulung lecek pula.
Goceng segera menyelesaikan makannya sambil ditunggui oleh Bu Nurfaedah, lalu selesai makan ia ikut Bu Nurfaedah ke rumah.
Kalau ketahuan tetangganya atau sesama anggota arisan atau sesama anggota pengajiannya, entah bagaimana nasib Bu Nurfaedah, tetapi Bu Nurfaedah tidak pernah peduli, karena lebih keren ia berjalan dan tertawa dengan seorang pemulung ketimbang suaminya yang melecehkannya dan yang mengabaikannya.
Wadaww… sewaktu Goceng naik ke tangga membawa sapu untuk membersihkan sarang laba-laba, Bu Nurfaedah yang berada di bawah memberi petunjuk, ia bisa melihat dari celana pendek Goceng yang longgar dan Goceng tidak memakai celana dalam, batang Goceng yang cukup besar itu…
Bu Nurfaedah mau menghindar, ia takut Goceng jatuh dari tangga, mau terus menunggu, batang milik pemulung itu seolah-olah menekan lubang persetubuhannya yang sudah beberapa bulan ini tidak diisi oleh kontol suaminya.
Pemulung yang lecek, lugu dan jujur tapi mempunyai batang kelamin yang membuat Bu Nurfedah berdecak kagum.
“Ahhh…” Bu Nurfaedah mendesah.
Semakin ia melihat batang yang menggantung itu, semakin ia pandang, semakin ia amati, akibatnya tangan Bu Nuefaedahpun ke bawah. Jari tengahnya menekan biji klitorisnya dari luar jubah panjangnya, keringat langsung bercucuran membasahi lehernya, jantungnya berdebar kencang, pikirannya melayang membayangkan batang itu mengeras dan menggeluti lubang kemaluannya yang telah basah kuyup itu, dan satu tangannya pun naik menggenggam bongkahan teteknya, lalu matanya menatap ke meja makan.
Secepatnya Bu Nurfaedah meninggalkan tangga yang masih dinaiki Goceng lalu meraih timun di atas meja makan, masuk ke kamar melepaskan celana dalamnya yang basah berlumuran lendir, lalu berbaring dengan paha mengangkang seraya memasukkan batang timun itu ke lubang sanggamanya…. ah, nikmatnya saat batang timun itu ia tarik-dorong keluar-masuk-keluar-masuk di lubang vaginanya sambil ia membayangkan batang Goceng…. ahh… ahhh… ahh… ahhh… rintihnya…
“Bu, sudah selesai, mana lagi…?” tanya Goceng.
Bu Nurfaedah kaget, lalu segera keluar dari kamarnya memberikan sejumlah uang pada Goceng dan diterima oleh Goceng, karena uang itu adalah hasil keringatnya. Bu Nurfaedah juga memberikan sebuah bungkusan pada Goceng dengan menyelipkan sepatah kata, “Ini baju bekas,” kata Bu Nurfaedah. “…kalo gak ada manfaatnya buat kamu kasih ke orang lain saja, atau dibuang… maaf, aku nggak bermaksud memberikan barang bekas padamu… hitung-hitung nitip buang… he.. he..”
Ye… ilee..ehh… tawa si mbak… batin Goceng.
Bu Nurfaedah lupa kalau baju bekas yang diberikannya pada Goceng lupa disortir, sehingga sewaktu baju-baju itu dikeluarkan dari kantong plastik oleh Goceng, Goceng menemukan BH Bu Nurfaedah dan juga celana dalam yang bagian selangkangannya sudah menguning.
Ah…
Hari berikutnya Bu Nurfaedah datang ke tempat pembuangan sampah membawa makan siang untuk Goceng.
Sambil Goceng makan, Bu Nurfaedah duduk bersama goceng menemani Goceng makan di selembar tikar yang sudah usang, di bawah pohon kamboja Bu Nurfaedah ingin tertawa melihat celana Goceng.
Setelah Goceng selesai makan, Bu Nurfaedah baru berani bertanya pada Goceng. “Apa yang kamu pakai itu celana dalam cewek…?”
“Punya Mbak yang Mbak berikan pada aku kemarin…” jawab Goceng polos.
“Hi… lepaskan…” suruh Bu Nurfaedah.
Tanpa berpikir panjang dan ia juga takut dimarahi Bu Nurfaedah, Goceng melepaskan celananya, waww… seru Bu Nurfaedah melihat batang Goceng…
Di bawah pohon kamboja itu, Bu Nurfaedah berani mencium penis Goceng. Dimasukkannya ke dalam mulut dan kemudian batang itu membesar dimulutnya, dikulum dan dihisap oleh wanita cantik itu, lupa ia sebagai wanita terhormat, lupa ia di tempat sampah….
Malahan Bu Nurfaedah melepaskan celana dalamnya, menyuruh Goceng menindihnya sambil dibukanya pahanya lebar-lebar Goceng mendorong batangnya yang panjang gemuk miliknya itu masuk ke lobang memek milik Bu Nurfaedah…
“Ooohhh…” lenguh Bu Nurfaedah merasa lobang vaginanya penuh dengan kontol Goceng.
Ketika Goceng mulai menggenjot, “OOOOHHH… AAAUUUGHHH…. MMMHH… NNGGHH….OOOUUGHHH…. OOOUUGHHH…. AAAGGHHH…” erang Bu Nurfaedah merasa nikmat ketika dinding memeknya dibesot-besot palkon Goceng yang bentuknya seperti jamur merang itu.
Tak lama kemudian, Gocengpun mengejang nikmat di dalam lubang peranakan Bu Nurfaedah, crruuttt… crrooottt… crroottt…. crrooott… crroott…
“Jangan dicabut dulu…!” seru Bu Nurfaedah menahan pantat Goceng dengan kakinya.
Kontol goceng yang sudah mau menyusut terkembang gagah lagi, apalagi saat Bu Nurfaedah mengizinkan Goceng melepaskan gaun panjang dan BH-nya… wawww…
Goceng seperti berhadapan dengan seorang dewi yang turun dari khayangan. Putih, mulus, bening tubuh si mbak… membuat kontol Goceng sengaceng-ngacengnya
Batang tegangnya itu itarik jadi nikmat, didorong jadi sedap.
“AAAAKKHH…. AAKKHHHH…. AAAKKKHH…” Bu Nurfaedah kembali menjerit. Suaranya bergema.
Tumpukan sampah menjadi saksi kedua insan beda jenis kelamin itu bertelanjang bulat bergumul. Kontol tegang Goceng menyundul-nyundul peranakan wanita cantik ini.
Wajah Bu Nurfaedah yang memerah semu dan tubuhnya yang basah berbalut keringat, membuat wanita berusia 40 tahun ini semakin cantik saja di mata Goceng.
Goceng terus memompa dan menggenjot sampai akhirnya keduanya hampir menjerit bersamaaan. Bu Nurfaedah orgasme, Goceng ejakulasi. Kemuudian keduanya lemas terkapar di tikar.
Bu Nurfaedah terbaring tanpa berusaha membersihkan lobang memeknya yang digenangi sperma Goceng.
Sejak siang itu Bu Nurfaedah sering membawa Goceng ke rumah. Mereka bercinta bagaikan suami istri. Bu Nurfaedah minta memeknya dijilat Goceng.
“Kemarin itu kamu cium-cium pembalutku, ini yang asli, jilatlah…” kata Bu Nurfaedah membuka pahanya lebar-debar untuk goceng.
Melihat isi selangkangan Bu Nurfaedah, waww… Goceng sangat menikmati tubuh mulus itu sampai tubuh mulus itu mengandung bayinya dan Bu Nurfaedah tidak pernah risih membawa perut besarnya kemana-mana.
Bu Nurfaedah malah bangga ia bisa hamil dan menjadi seorang wanita yang sempurna.
Bu Nurfaedah menceraikan suaminya meskipun seorang bankir, ia rela menikah dengan Goceng yang telah memberikannya 2 orang anak.
Bu Nurfaedah membuka butik, sedangkan Goceng terus menggeluti usaha sampahnya dengan membuka usaha pupuk organik dan kompos.
Kan enak begini, bukan?