Dari Polos Hingga Bermotif
salam kenal suhu2, mimin dan momod.. ini pertama kalinya ane menulis trit cerita di rum ini. setelah sekian lama menjadi silent reader, akhirnya ane memutuskan mencoba menulis sesuai imajinasi ane saja.
Cerita ini 100% karangan atau fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh (atau nama yg identik dengan daerah tertentu), nama tempat, maupun situasi, benar-benar tidak ada unsur kesengajaan ane. Semua yang ditulis pure hanya untuk hiburan dan bacaan semata. jangan di copy, repost, atau bahkan dijual belikan dilapak lain ya hu, kecuali di forum kita tercinta ini , hehehe.. meskipun bukan cerita riil tapi susah nulisnya hu..
Selamat membaca suhu-suhu sekalian.
—————-
EPISODE 1
Pagi ini dingin sekali saat aku membuka mataku, kuraih handphone di meja sebelah kasurku, ku unlock lalu kulihat jam menunjukkan pukul 4.30. Ada notifikasi untuk mematikan alarm yang biasanya aku stel jam 5 pagi. Aku matikan saja, toh aku juga sudah bangun. Aku duduk sejenak di tepi tempat tidur, “dingin sekali”, pikirku. Beda dengan di kota tempat tinggalku dulu. Ya, aku baru pindah ke rumah ini kemarin. Sebenarnya ini bukan rumahku, aku kontrak disini.
Flashback sejenak, Aku Tino, berasal dari sebuah kota, salah satu ibu kota provinsi. Umurku 26 tahun, perawakanku lumayan tinggi sekitar 180cm. sebelumnya aku bekerja di sebuah toko elektronik di kota tempat lahirku sampai sekarang (sebelum pindah ke daerah ini). Aku bekerja di toko itu setelah lulus SMA. Sampai sekarang pengalamanku bekerja hanya di toko tersebut.
Toko itu milik om ku, adik dari ibu ku, Bardjo namanya. Toko tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan toko retail elektronik lain yg terkenal, namun toko itu dikenal orang sebagai salah satu toko elektronik yang harganya murah atau selisih dengan toko retail terkenal lain di kotaku. Mungkin karena letaknya di sentra pertokoan yang memang banyak sekali toko sejenis, sehingga persaingan harga meskipun sedikit, cukup diperhitungkan oleh calon pembeli. Disamping itu toko om ku ini terkenal layanan after salesnya yang baik.
Aku bekerja disitu sebagai salah satu tim after sales pada saat pertama kali masuk. Dunia elektronik sebenarnya bukan hal yang asing bagiku, apalagi selama 3 tahun kebelakang sebelum bekerja ditoko itu. Maklum aku merupakan lulusan SMK jurusan elektro. Om ku ini sangat baik kepadaku, keponakannya. Dia juga yang menyarankan kepada ibuku agar aku masuk SMK saja jurusan elektro. Om ku ini sangat dekat denganku, maklum karena beliau memang menginginkan anak laki-laki, sedangkan anaknya sendiri perempuan semua.
Ibuku sebelumnya ingin aku bersekolah di negeri biasa, kemudian berharap aku bisa melanjutkan ke jenjang universitas. Namun itu sama saja seperti spekulasi. Karena hidup keluarga kami bukan yang berkecukupan. Paling masuk akal kalau aku mau berkuliah, aku harus mendapatkan beasiswa. Bukannya aku tak mampu untuk bersaing mendapatkan beasiswa, otakku cukup encer kalau berhubungan dengan pelajaran. tapi yang Namanya spekulasi tetap spekulasi, bisa beruntung atau boncos.
Setelah berdiskusi Panjang dengan orang tuaku selama berhari-hari, keputusan mantab untuk menyekolahkanku di SMK. Akhirnya aku bersekolah di SMK jurusan elektro sampai lulus.
“Tino, sini sebentar”, panggil om ku
“siap Pak”
“ikut saya keruangan”, perintahnya
“Baik Pak, saya letakkan alat dulu di Gudang belakang”
“baik, saya tunggu diruangan”.
Memang kalau di Toko saya memanggil Om dengan Pak. Hanya ketika diruangannya saja atau ketika mengobrol berdua di lingkungan kerja, aku memanggilnya Om. Karena sampai detik ini hanya Pak Malik dan Pak Made saja yang tahu asal-usulku. Karyawan yang lain tidak tahu, dan menganggap aku karyawan biasa seperti mereka. Kedua bapak tersebut satu divisi denganku. Sebelum aku masuk beliau2 ini sudah bekerja bersama Om ku. Selama aku bekerja sebagai after sales juga, aku sangat sering berpartner dengan 2 orang ini untuk ke customer, bergantian.
Ku ketuk pintu ruangan Om ku
“masuk No” teriak Om ku dari dalam.
“silahkan duduk”
“terima kasih Om”
“begini Tino, kamu tahu kan kalau Om punya 3 Cabang di Kota lain”.
“iya Om, Di Kota A, B, dan C kan Om?”
“betul, nah ini yang mau saya bicarakan”. Ucap Om ku sambal membetulkan posisi duduknya.
“Wah serius nih kayaknya klo gelagatnya gini”, gumamku.
“Gini, di Kota A kan ada toko cabang yang tidak terlalu besar dibandingkan toko pusat ini”. Lanjutnya.
“nah Om. Mau kamu bantu Om di Toko tersebut, Om Mau kamu handle toko tersebut”
“hah, waduh om kok aku sih Om”, aku kaget dengan permintaan Om ku
“kan masih banyak yang lebih senior dari Tino Om di Toko ini, Pak Nanang itu kan sudah lama jadi manger toko ini, beliau lebih layak kayaknya daripada aku”. Lanjutku
“ iya benar memang Pak Nanang juga sudah lama jadi manajer toko, tapi kamu memang sudah om proyeksikan jauh-jauh tahun biar kamu bisa handle salah satu toko Om”.
“lha kok ndadak gini sih Om, Om juga nggak pernah cerita ke Tino rencana Om itu”.
“Jujur, Tino kaget Om, Tino masih muda belum bisa handle toko, menurutku aku masih harus banyak belajar dan pengalaman lagi, terutama terkait manajemen toko”. Terangku ke Om
“mungkin kalau 5 tahun lagi Tino sudah siap om, apalagi Tino sekarang sudah tau rencana om, pasti setelah ini tino akan sedikit-sedikit belajar manajemen toko sama karyawan2 di office, nanti Tino akan sering-sering berkunjung ke Office buat belajar setelah kerjaan Tino di lapangan selesai” Tawarku.
Di toko tersebut ada dua penyebutan yaitu office, karyawan yang bekerja pada ruang lingkup manajemen toko dengan komputer dan ruangan ber-AC, yang berada di lantai 2. Dan satu lagi adalah orang Lapangan, ya seperti aku ini dan beberapa teman divisiku dan divisi lain seperti, Gudang dan Delivery dll, yang berkutat dengan outdoor dan jalanan. Om ku juga sudah tau istilah itu.
“ya tapi kata om, skillmu ini rugi kalau terus2an di Lapangan”.
“anggap aja ini program akselerasi, nanti disana kamu akan dibantu oleh Pak Margono”.
“lho, bukannya pak Margono lagi sakit Om?”.
Aku tahu sosoknya karena pernah membantu after sales di kota tersebut, dan tahu beliau sedang menderita sakit 2 tahun terakhir.
“justru kamu yang nanti akan mengganti posisi pak Margono”.
“waduh, jangan om, saya sungkan”
“sungkan kenapa?”
“ya masa saya yang gantiin beliau, apalagi pas posisinya sedang sakit, nanti malah beliau mikir macam2, atau mikir nggak diperhatikan sama perusahaan, orang lagi sakit bukannya dibantuin, malah di replace posisinya”. Terangku kepada om Bardjo.
“tenang anak muda, tidak usah overthinking seperti itu, justru Pak Margono sendiri yang minta, beliau minta diturunkan jabatannya jadi karyawan biasa, om nanti menempatkannya di posisi keuangan”.
“kebetulan pegawai posisi keuangan yang lulusan SMK, mau resign bulan depan, karena tahun ini ketrima kuliah di kota lain”.
“pak margono sendiri ingin kerja lebih santai hanya di kantor, tidak keliling keluar”. Terang om ku Panjang lebar.
Aku masih terdiam, aku belum segera mengiyakan atau menolak, jujur lumayan kalau aku bisa jadi kepala cabang diumur segini, apalagi bayarannya pun pasti bisa 4x lipat dari gajiku sekarang, belum bonus, otomatis aku bisa bantu keuangan keluarga, bahkan aku bisa menguliahkan adikku tahun depan, seperti harapan ibuku yang memintaku untuk bisa membantu biaya kuliah adikku tersebut. tapi yang jadi ganjalanku, apakah aku bisa menjalani mandat amanah pekerjaan tersebut dari om ku, karena aku untuk saat ini merasa belum bisa dan nggak punya bayangan bakal gimana nanti jika aku handle toko. Meskipun nanti dibantu Pak Margono disana. Tanggung jawabnya gede bro ngurus satu toko, salah dikit bisa runyam.
“om sudah bilang sama ibu tentang rencana ini belum?, ibu pasti tidak menyetujuinya”. Kataku memecah keheningan
“om belum cerita, tapi besok rencana om akan ke rumah, menemui ortumu, om yakin mereka pasti setuju”
“om tau kalau kamu ragu2, begini saja, kalau kamu sama ortumu setuju, om akan mengundur satu bulan pindahannya sembari kamu mencari kos2an atau kontrakan di kota tersebut, nah selama sebulan kedepan kamu akan ditraining dulu dengan orang2 office, after sales yang biasa kamu kerjakan biar dihandle oleh yang lain”. Tutup om Bardjo
“baik om kalau begitu”. jawabku dengan nada yang sedikit tdk bersemangat.
“saya pamit balik dulu ke bawah ya om”, izinku
“silahkan Tino, kamu ada kerjaan setelah ini?” tanya om bardjo
“ada om, ke rumah customer di daerah barat, perumahan puncak nirwana, sebelum itu aku mau makan siang dulu”. Ucapku.
“baik kalau begitu, ini untuk makan siang”, om bardjo menyerahkan uang selembar seratus ribu.
“terima kasih om”, aku menerimanya tanpa sungkan, karena memang dari kecil aku terbiasa diberi uang oleh om bardjo, dan ortuku berpesan jika diberi uang oleh saudara ortuku, aku harus menerimanya, kecuali oleh orang lain. Tapi jika ada uang lebih, aku diajari untuk memberi orang lain, sebagai gantinya aku sudah diberi rezeki oleh saudara2 ortuku.
“darimana lu No”, sapa Pak Malik
“dari atas pak, dipanggil pak Bardjo”
“kok lesu gitu kelihatannya, habis di cuci ya”
“nggak kok pak, nanti aja tak certain, udah makan belum pak?”
“belum No, gw nungguin lu drtd mau ajak maksi” ucap pak malik
“yaudah ayo pak, Tino traktir, ajak pak Made, kemana ya tu orang?”
“ada kok dibelakang, ntar gw panggilin, lu tunggu di pickup biasanya aja, kita berangkat naik itu” perintah pak malik
“oke ndan, siap”
Akhirnya kita bertiga naik pickup ke warung prasmanan langganan pekerja2 disekitaran toko, tempatnya tdk jauh, hanya saja cuaca panas sekali dan mereka malas jalan, jadi kita bawa pickup
“lu kenapa sih No, katanya mau cerita”. Tagih pak malik sambal ngunyah makanannya
“lho, ada apa pak?” tanya pak made
“tau nih bocah, habis dr atas, terus lesu mukanya kyk kawat kena solder”
“asem lu pak” balasku
“gw mau dipindah ke Kota A, sama pak bos”
“lho, ngapain? Enakan disini No sama kita2, bisa nyantai2 sambil lihat yang bening2 dan bahenol kalau pulang kerja” ujar Pak Made
“kalau di kota A, mah kagak ada hiburan brur, palingan kopi pangku, itupun ya nggak seyahud disini cewek2nya” sambung pak Malik
“iya sih, tapi ini perintah bos, sebenernya gw juga belum siap, gw juga nggak mau ninggalin kota ini, gw jg mikirnya sama kyk lu pak Malik, ntar disana hiburan gw apaan coba”.
“makanya lu bilang sama bos biar gk jadi dipindah”
“tapi gw mau dijadiin kepala cabang disana pak”
“wiiih… gokil” pak malik dan pak made teriak gantian
“ambil aja No, kalau kata gw, mayan tuh gajinya”, kata Pak Malik
“iya sih Pak”
“ah elu Lik, tadi lu kagak ngebolehin, sekarang dukung lu, gmn sih lu Kemoceng” sambal garpu pak Made getok kepala pak Malik
“hehehe, kan lumayan De, ntar kalau kita disana ada kunjungan after sales, ceperannya dilebihin ama bos ini” kekeh pak Malik sambal sendoknya menunjuk kearahku.
“visioner juga lu Lik, masuk juga ide lu”
“gampang itu mah Pak” ujarku
“banyak pertimbangan yang bikin gw belum siap, salah satunya gw blm bisa manajemen toko, terutama keuangan, klo service mesin sm instalasi sih ayok aja”.
“ya belajar lah lu sama bu Inez, kan dia bagian keuangan, pasti tau lah.” Ujar pak Made memberi ide
Langsung pikiranku membayangkan sosok Bu Inez, wanita bertubuh tidak seberapa gemuk, namun punya pantat yang montok dan susu yang sepertinya belum turun, diusianya sekitar 37 tahun dan sudah menikah. Wajahnya yang lumayan cantik dengan bibir tipis, dan hidung lumayan mancung. Aku beberapa hari sekali ketemu bu Inez, namun hanya untuk menyerahkan klaim bon bensin dan bon reimburse lembur kalau ada kerjaan dihari libur atau tanggal merah. Saat diruangannya kadang aku melihat dengan mata tak berkedip tubuh bagian atas bu Inez yang sering memakai tank top ketat atau kaos ketat berbelahan dada rendah dan hanya dibalut blazer dibagian outernya, membuat belahan susunya kadang terlihat jika aku menyerahkan bon sambil berdiri di depan mejanya kalau aku beruntung ketika dua kancing atas blazernya dilepas.
ilustrasi Bu Inez
ilustrasi Bu Inez
ilustrasi Bu Inez
“memang gw disuruh pak bos untuk training dulu sebulan di office, nah mungkin gw gak akan di after sales lagi” ujarku
“bagus dong, lu bisa dikasih kesempatan belajar dulu di office sm bos” ujar pak Made
“ntar kerjaan lu kita yang handle, don’t worry, we will help you bro” ujar Pak Malik
“heleh, makan siang lu orek tempe ama perkedel aja pake sok2an Bahasa inggris lu” ujar pak made dan kita bertiga ketawa ngakak, itu yang bikin gw demen sm bapak2 ini, mereka sering ceng-cengan kalau nge jokes, khas oppie kumis dan sapri.
Seperti biasa, aku selalu jadi pegawai yang datang termasuk paling awal di toko, toko buka pukul 8, aku biasanya datang pukul 7. setelah ceklok, aku menuju belakang Gudang tepat parkiran pickup, dan duduk di dipan Panjang biasa dibuat santai2 oleh pegawai lapangan. Aku keluarkan kopi Saku yang aku beli di In******t P**nt. Sambil menyalakan rokok ku, dan mulai membuka HP scroll di app IG, X, ataupun TT. Sambil membunuh waktu. Ya begitulah ritual pagi hariku, kadang kalau lagi bokek titip kopi di warung dekat rumah pak Malik, yang menurutku rasa kopinya enak khas kopi gilingan pedesaan.
Tiba-tiba WA masuk ke HP ku, “wah om bardjo, ada apa nih” gumamku. “Tino, om 10 menit lagi sampai kantor, om tunggu diruangan ya” isi chat om bardjo. “siap om” aku balas begitu. Aku nyalakan sebat lagi rokokku, sambal bergurau dengan pegawai lain yang mulai datang dan ikut join di dipan tersebut sambal menunggu om bardjo datang. Sekitar 10 menit, mobil putih Fo****er terlihat memasuki halaman toko. Aku bergegas kedalam Gudang, menaruh tas dan ke kamar mandi dulu cuci muka, lalu ke lantai 2.
“Masuk No”
“Pagi om”
“Ya pagi No”
“eh bentar ya amu duduk dulu aja di sofa situ”
“baik Om”
“om masih nyari dokumen bentar”
Aku lihat om bardjo sibuk dan agak tergesa-gesa
“Tino, kamu nanti sama bu Inez atau tantri ya, kemarin om sdh ngomong kalau om mau titip kamu ditraining sama mereka”. Perintah om ku sambil tidak melihatku dan terus mencari dokumen yang dimaksud.
“lho jadi om? Om sudah bilang ibu bapak?”
“nanti om habis dari ketemu orang, siang akan mampir kerumah mbak” ujarnya
“oh gitu ya om, yakin nih om aku mulai training hari ini?”
Lama tak ada jawaban dari om bardjo
“nah ketemu”, pekik om bardjo sambal memukul map dokumen warna hijau tersebut.
Om bardjo kemudian menghampiriku duduk di sebelahku
“lebih cepat lebih baik No, kamu juga jadi semakin siap, kamu sama divisi bu Inez 2 minggu, kemudian setelahnya 2 minggu kemudian ke bagian distribusi dan sales marketing, juga akan sedikit ditraining sama pak Nanang.” Terang om bardjo
“baik om” sahutku tanpa menawar
“tapi sepertinya bu Inez belum masuk om, ini juga kurang 30 menit lagi sih jam masuk kantor”.
“yaudah terserah kamu mau kemana dulu gitu, yang pasti nanti masuk kantor km langsung temui bu Inez. Ini om mau langsung jalan, yuk turun”
“oke om”, kita berdua beranjak dari sofa berjalan menuju bawah.
Sesampainya di Dipan pemersatu pegawai lapangan, sudah ada 2 bapak2 bestie ku.
“darimana No tumben nggak bawa tas, biasanya lu paling awal daripada kita2, ini kok agak siang lu datengnya” tanya pak Made
“gw habis ketemu bos diatas”
“oh pantes td gw lihat ada mobil bos, tumben pagi2 datengnya”
“iya, ntar gw mulai di training nih di office”
“wih manteb tuh, sm siapa lu ditraining bro”
“sama bu Inez kalau nggak si tantri”
“hemboookkk manteb tuh bro, wangi2 tuh berdua”
“heleh apa sih pak, lu pagi2 udah pikiran kemana2”
“jadi gini bapak2, temen kita satu ini mau di mutasi ke kota A bulan depan” ujar pak Malik dengan gaya berpidato seperti politisi di mimbar
“oooohhh” mereka hampir serempak yang ada bersuara begitu.
“emang kenapa mas?” tanya salah satu dari mereka
“jadi kawan kita satu ini yang baru cukur rambut, mau dijadiin sama pak bos kepala cabang kota A”
“wih.. selamat ya mas”
“emang pantes sih kalau mas Tino, pinter masih muda lagi” ucap salah satu dari mereka memuji
“halah apaan sih pak” ucapku malu
“Nahhh.. untuk itu kita akan merayakan kenaikan pangkat adik kita tercinta ini dengan karaoke di Victoria nanti pulang kerja”
“wah jossss”
“mantullll”
“asek asek”
“anget2 tipis2 nih ntar malem”
Sahut mereka bergantian
Aku yang terkaget dengan rencana pak Malik hanya bisa tersenyum kecut dan diam, nggak mungkin aku mengecewakan mereka dengan berkata tidak, aku tidak setega itu merenggut kebahagiaan mereka hehehe.. pikirku ya nggak apa2lah mentok paling habis sejuta itupun udah teler2 bukan tipis2 lagi. Toh 2 bulan lagi dapat ganti uangnya dari gajian jadi kepala cabang. Aku bilang ke mereka kalau lebih enak ke Victoria jam 7an, kita pulang dulu dan mandi2 makan, lalu bertemu disana. Karena besok juga hari libur, dan malam bisa Panjang daripada ke sana tapi badan bau keringat. Mereka pun setuju.
Bersambung