[CHALLENGE] Wrecking Balls! Prolog
Bbzzzzttt… “Yakin kamu mau direkam?” tanya pria itu pada perempuan di depannya. Yang ditanya hanya tersenyum menggoda, lalu merayap perlahan ke tubuh kekar pria itu. Bibir mereka beradu, sembari kedua pasang tangan saling melucuti pakaian yang mereka kenakan. Tangan pria itu mulai bergerilya mencari titik-titik erotis tubuh lawan bercintanya. Sementara perempuan berkulit oriental itu mendesah seksi tiap kali tangan si pria menjamah titik sensitifnya. Tak puas dengan tangannya, mulut si pria ikut menyusul, menyerang puting lawan bercintanya. “Enak, Sayang?” pertanyaan retoris diajukan si pria, mencoba memancing reaksi si perempuan. Perempuan itu hanya menjawab dengan desahan tertahan yang justru membuat si pria semakin bernafsu untuk menjamah tubuh si perempuan. Desahannya semakin menjadi tatkala jemari si pria bermain di seputaran kemaluan si perempuan. Jemari si pria dengan nakal bermain-main dengan kelentit perempuan itu, terkadang menjelajah ke liang si perempuan yang sudah mulai basah. Desahan si perempuan perlahan mulai disertai dengan erangan. Jemari si pria semakin dalam masuk dan bermain di liang kemaluan perempuan itu. Erangan mulai terdengar lebih intensif, diakhiri dengan erangan panjang yang menyertai gelombang kenikmatan yang menerpa perempuan itu. Pria itu tersenyum mendapati pasangannya meraih orgasme. Ia kemudian berbaring mulai melepas celana dalamnya. Si perempuan pun tanggap dengan hal tersebut. Ia membantu menyingkirkan kain terakhir yang menutupi kemaluan si pria yang sudah tegak siap untuk bertempur. “Ah, tunggu.” Perempuan itu bangkit dan mengambil kamera dan memberikannya pada si pria. “Gadis nakal.” Komentar si pria. Wajah perempuan itu mendekat ke kemaluan si pria. Lidahnya dijulurkan menyapu batang kemaluan si pria. Matanya sesekali melirik nakal ke kamera. Sembari mulutnya mencoba mengulum kebanggaan lawan bercintanya. Tangannya juga mulai bergerak mengocok batang tersebut, seolah menjaga agar kemaluan si pria tetap berdiri gagah. Lidah perempuan itu mulai bergerak turun ke menyapu buah zakar si pria. Lenguhan si pria mulai berubah menjadi erangan ketika si perempuan memasukan bola-bola kemaluan pria itu ke mulutnya. “AAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!” Kamera itu terbanting. Kini menyorot langit-langit ruangan itu. “AAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!” Teriakan kedua terdengar. Sedikit percikan benda cair berwarna gelap menutup sebagian lensa kamera. “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!” Teriakan ketiga kembali terdengar dan kemudian melemah, disusul bunyi benda terjatuh. Kamera itu bergerak. Menyorot ranjang yang sudah dihiasi warna merah tua. Kemudian kamera itu menyorot senyum puas si perempuan sembari mengunyah penis yang baru saja ia putuskan dari pemiliknya. Bbzzzzttt…
Click to expand…
Layar televisi itu mati. “Well done. Now do what you have to do.” “Yes, Master”
60 hari sebelumnya
Casablanca, Morocco.
Matahari belum cukup meninggi waktu itu. Namun hawa gurun Maroko membuat hari serasa sangat panas seiring laju Jeep Hardtop yang berlari menerobos jalanan . Mobil ini membawaku dari Maamoura Hotel, 16 mil dari Bandara Mohammed V menuju ke Markas Kepolisian Casablanca. Casablanca, yang berarti Rumah Putih, merupakan kota terbesar di Maroko. Casablanca adalah pintu masuk Benua Afrika dari Atlantik. Meskipun secara politik, Maroko terpusat di ibukota Rabat, namun Casablanca adalah kota penting yang menggerakan ekonomi Maroko, dan juga Benua Afrika. “Kita sampai Monsieur.” Pengemudi Hardtop tersebut perlahan memarkirkan kendaraannya di samping gedung Kepolisian Casablanca. Ia kemudian turun dan membukakan pintu mobil untukku. Kami berjalan menuju pintu samping Gedung Kepolisian Casablanca. Ia mengantarku ke depan pintu ruang interogasi di sudut belakang Markas Kepolisian Casablanca. Ia memintaku menunggu sebentar, kemudian ia mengetuk pintu ruang observasi tepat di sebelah ruang interogasi. Tak lama keluarlah seorang Perwira Polisi dari ruangan itu. “Ah, Bienvenue, selamat datang Monsieur…?” “Je m’appelle Al. Albert Runaditya.” Jawabku. “Monsieur Al. Selamat Datang di Casablanca. Silakan masuk.” Ia mempersilakan masuk ke dalam ruang observasi itu. Aku melangkah masuk. Di sana ada dua polisi sedang mengamati monitor dan mendengarkan apa yang terjadi di ruang interogasi tepat di sebelah barat ruangan ini. “Nama saya Belhacem, Kapten Ali Belhacem.” Perwira Polisi itu memperkenalkan dirinya. “Anda tentu tahu kasus…” “Ya, saya sudah membaca semua briefing tentang kasus ini. Ada perkembangan lain?” Perwira polisi itu menggelengkan kepalanya. “Masih belum ada kemajuan, Monsieur. Saya tidak tahu mengapa korban masih tidak mau memberikan kesaksiannya.” “Ini skandal besar di Negara ini. Trauma ditambah tidak adanya jaminan keselamatan bisa saja membuatnya bungkam.” Jelasku. Pintu ruang observasi terbuka. Kali ini sosok yang sangat familiar melangkah masuk. Seorang wanita berambut pendek berwarna coklat dengan sedikit aksen pirang di beberapa bagian. Salah seorang agen terbaik Secret Intelligent Service. Laura Lauhill, atau mungkin lebih tepat kupanggil Doctor Laura Lauhill. “Oh, kau sudah datang, Al.” “Yup.” “Do you have a minute?” Ia menggerakkan tangannya, memberi kode mengajak keluar. Aku mengangguk. “Excusez-moi, Captain,” aku menepuk bahu Kapten Ali. “Saya mau merokok sebentar di luar.” Setelah meminta ijin dari Kapten Ali, aku mengikuti langkah Laura menuju ke belakang gedung ini. Kami duduk di beranda luar. Pagi itu belum banyak Petugas kepolisian yang datang. “So, qu’est que tu fais? Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Laura. “Tentu saja melakukan apa yang harus kulakukan.” Jawabku, sembari merogoh saku mencari korek api untuk menyulut rokokku. “Tapi kau sadar kan kasus ini bisa jadi meruntuhkan sistem monarki Negara ini?” “Kamu terlalu jauh berpikir Laura.” Aku menyulut rokokku. “Ini hanya kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur dan kebetulan tersangka adalah anggota kerajaan, dan…” “Tapi Al. Bisa saja setelah terekspos media, kepercayaan masyarakat akan kerajaan akan turun dan terjadi Arab spring bagian kesekian.” Potongnya tegas, mata cantiknya memandang tajam ke arahku. “Laura Honey, you are a woman. What will you do in that position?”tanyaku perlahan. Ia terdiam sesaat, seolah mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. “Perhaps… I…” “Will do what you have to do.” Potongku. “Damn it! Don’t do your psycho thing on me.” Serunya sambil mencubit pinggangku. Aku tersenyum kecil. “Kamu tahu aku punya gelar Master di bidang Psikologi. So it is not a big deal.” Laura tertawa. “Jadi apakah nanti kamu akan melakukan ‘itu’?” “‘Itu’?” aku mengerutkan keningku. “Iya metode ‘itu’ yang pernah kamu ceritakan.” “Well, bisa saja sih. Metode ‘itu’ mungkin adalah cara terbaik.” “Hmm save the best for the last, Al.” “Sure, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kan ketika aku menggunakan metode ‘itu’?” Laura mengangguk, kemudian menengok ke jam tangannya. “C’mon Al, she should be there in a moment.” “Yup.” Aku menjatuhkan rokokku yang tinggal beberapa mili dari ujung filter, kemudian menginjaknya. Aku mengikuti Laura yang melangkah masuk kembali ke dalam, ke ruang observasi. Di ruang observasi kami melihat seorang gadis berumur sekitar enambelasan tahun duduk di meja interogasi di ruang sebelah melalui kaca film besar yang ada di ruangan itu. Biarpun masih berusia belia, semua orang pasti mengambil kesimpulan yang sama terhadap gadis berusia enam belas tahun tersebut. Ia pasti akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang cantik. Bakal kecantikannya terlihat dari tubuhnya yang ramping, hidung dan wajah khas timur tengah yang memukau. Sayangnya calon bunga ini harus dirampas kesuciannya oleh seorang bajingan tengik yang kebetulan adalah anggota kerajaan. “Nadine. Korban dari kasus ini.” Jelas Kapten Ali kepadaku. Aku mengangguk. “Kapten, aku punya satu permintaan boleh?” “Eh?” ia terheran. “Aku akan mendapatkan kesaksiannya, dengan caraku.” “Tentu saja, apa yang anda perlukan Monsieur?” “Matikan CCTV ruang interogasi dan hanya gunakan penyadap untuk merekam kesaksiannya.” “Eh, tapi…” “juga aku minta Doctor Lauhill sebagai operator audio.” “Tapi Monsieur, prosedurnya adalah….” “Yes or No. Anda tahu instruksi perdana menteri seperti apa kan?” “Baiklah, saya menuruti perintah anda tapi apakah ini legal?” “Apakah anda perlu menanyakan hal itu pada saya?” tanyaku balik. “Baiklah Monsieur, permintaan anda kami turuti.” “Doc, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kan?” “Kamu akan melakukan ‘itu’? Kan aku dah bilang save the best for the la….” Aku meletakkan telunjukku ke bibir seksi Laura. “Aku berubah pikiran.” Laura mengangguk sambil menghela nafasnya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Aku melangkah keluar dari ruangan itu, bersiap memasuki ruang interogasi yang berada di sebelahnya. Otakku mulai menyusun langkah yang tepat untuk menarik informasi dari korban kasus ini. Mungkin metode ini merupakan metode yang tepat untuk kasus ini, begitu pikirku sembari mencari kemungkinan untuk mencari dan menimbang kembali metode yang mungkin bisa kulakukan. Aku memutar handle pintu ruang interogasi itu dan melangkah masuk. Di sana sudah duduk Nadine Bentaleb, korban dari kasus ini, didampingi oleh seorang pendamping dari kepolisian. Aku meminta pendamping itu keluar, membiarkan aku berdua dengan korban di dalam ruangan. Setelah pendampingnya keluar, aku menarik kursi dan duduk di samping korban. Aku memperkenalkan diriku. “Apakah anda polisi?” Gadis itu bertanya dengan nada takut. Aku menggeleng, “Apakah aku terlihat seperti polisi?” tanyaku balik. Ia mengangkat bahunya. “Anggap saja aku temanmu, kamu bisa menceritakan apa saja kepadaku.” Butuh waktu sekitar lima belas hingga dua puluh menit bagiku untuk mencairkan suasana dengan gadis ini. Kami mengobrol tentang apa saja tanpa mengungkit sedikitpun tentang kasus ini. Sebagai anggota Badan Intelegen Negara, aku memang ditugaskan khusus untuk menarik informasi melalui interogasi. Kasus pencabulan anak di bawah umur ini bukan kasus pertama yang kuhadapi. Apalagi di wilayah kerjaku, kawasan Afrika dan Timur Tengah. Aku memang cukup sering ditugaskan menarik informasi dari korban kasus pencabulan. Rasa trauma dan malu masih menguasai diri korban sehingga tidak mudah menarik informasi dari mereka. Latar belakangku di bidang Psikologi Komunikasi memang memungkinkanku menerapkan ilmuku untuk menarik informasi sedetil mungkin dari korban atau saksi yang tentu saja akan digunakan penyidik lain untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Nadine, apakah kau keberatan jika aku mematikan lampu ruangan ini?” Ia memandangku dengan wajah heran. Aku tersenyum meyakinkan dia. Nadine mengangguk. Aku berjalan ke sudut ruangan dan mematikan lampu ruang interogasi. Aku mendekat perlahan ke Nadine dan berbisik pelan, “Kau pernah melihat film detektif? Biasanya di ruang interogasi seperti ini mereka melihatmu dari balik kaca yang ada di depanmu.” Aku meletakkan tanganku ke bahu gadis itu. “Aku mematikan lampu supaya mereka tidak bisa melihat kita. Supaya kamu bisa menceritakan apa yang kau alami.” Lanjutku sembari memijat ringan bahunya. “Sekarang kau bisa menceritakannya padaku dengan detil. Perlahan, namun ceritakan sedetil-detilnya. Aku akan membantumu mengingatnya, kau hanya perlu menceritakannya. Setelah itu kau boleh membuang ingatanmu tentang kejadian tersebut.” Ia terdiam lalu mengangguk perlahan. Nadine kemudian bercerita perlahan mulai dari bagaimana ia bertemu dengan Prince Achmed, yang kebetulan adalah ayah dari temannya. Kemudian dengan sedikit terbata, ia bercerita tentang bagaimana Prince Achmed mulai melakukan pelecehan seksual. Ia menceritakan bagaimana dadanya yang baru mulai tumbuh diraba-raba, kemudian ia terdiam seperti mencoba menahan sesuatu. Pada momen seperti itu kesadarannya menolak untuk mengeluarkan kembali memori tentang kejadian tersebut. Salah satu cara untuk membuatnya mengeluarkan kembali memori dan mengungkapkannya dalam bentuk verbal adalah memberikan rangsangan fisik untuk membuat otak memutar kembali memori pada saat itu. Lalu aku menurunkan tanganku menuju dadanya. Perlahan kuraba, “Apakah seperti ini yang ia lakukan?” Ia menarik nafas perlahan kemudian mengangguk. Perlahan lahan ia menceritakan lagi perlakuan apa saja yang ia terima. Mulai dari meraba, memainkan putingnya, hingga meraba-raba kemaluannya. Aku mencoba mengikuti dan memberikan rangsangan fisik ketika ia tersendat dalam bercerita. “Itu saja?” tanyaku meyakinkan dia. Ia terdiam. “Hanya sampai meraba saja? Tanpa melakukan hal yang lebih jauh?” Ia menggeleng. Lalu ia berbisik padaku, menceritakan bahwa ia pernah diminta untuk mengulum kemaluan Bajingan tengik itu. Aku mengangguk mendengar ceritanya. Sepertinya kami sudah cukup mendapatkan kesaksian. Aku kembali menyalakan lampu ruangan. Aku berjalan mendekati Nadine. “Itu rahasia kita berdua. Aku tak akan menceritakannya kepada siapapun dan kau dapat melupakan itu.” Gadis itu mengangguk. “One day, you should do what you have to do.” Ia memelukku, “Merci beaucoup Monsieur, Terima kasih.” “Au revoir, Nadine”, kataku sembari mengecup keningnya kemudian melangkah keluar dari ruangan itu. Aku masuk kembali ke ruang observasi. Laura menyambutku dengan muka datar dan acungan jempol. “We got it. Kesaksiannya cukup untuk kasus ini.” Lalu setelah berbasa-basi dengan perwira kepolisian setempat. Aku dan Laura kembali ke hotel menjelang senja. Kami sudah sangat sering berpartner dalam berbagai kasus yang memang melibatkan berbagai spesialis dari Badan Intelegen satu dengan yang lain. Sesampainya di hotel, aku menggantung mantelku di kabinet yang tersedia di sana. Segera aku melucuti pakaianku, kemudian menikmati nikmatnya mandi di VIP Room hotel bintang empat itu. Berendam adalah kenikmatan tersendiri setelah seharian menghadapi Iklim Gurun Sahara khas Negara Afrika Utara itu. Klik. Aku terdiam. Ada langkah pelan memasuki kamarku. Ya. Aku yakin benar kamarku sudah aku kunci. Aku mengambil pisau lipat yang selalu kuletakkan dalam jangkauanku. Aku bergerak bergerak mengendap mendekati pintu kamar mandi. Klik. Pintu kamar mandi terbuka. Sosok itu bergerak masuk. “Laura? Apa yang kau lakukan di sini?” Seruku ketika mengenali sosok itu. “Aku? Kau tak sadar barang-barangku sudah ada di sini?” “Eh?” “Sudahlah selesaikan mandimu.” Serunya sambil meremas lembut batangku. “Sudahlah, aku mau menyelesaikan kamu dulu.” Kataku sembari mengangkat tubuh Laura dan meletakannya di ranjang berukuran King Bed. Kami pun mulai bergumul, aku melucuti pakaian yang ia kenakan, menyisakan kacamatanya yang kubiarkan berada di tempatnya. Bagiku, kacamata dan rambut pendek seorang wanita adalah kombinasi yang sangat seksi. “Kau melakukannya juga dengan Liza di Marseille, Al?” tanyanya ketika aku mencoba menciumnya. “Sudahlah jangan cemburu Laura Honey.” Jawabku sembari menciumi lehernya. “Auuhh…Al, lebih binal mana dia atau aku?” tanyanya sambil membalikkan badanku ke ranjang. “Dia binal tapi…. Ouugghh” Kulihat Laura sudah memasukkan penisku ke dalam mulutnya. “Tapi apa?” dia menghentikan servisnya perlahan. “Tapi kamu lebih liar” lanjutku, yang kemudian disambut dengan lumatannya yang semakin menjadi pada batang kemaluanku. Ia kemudian merayap naik dan memasukkan batangku ke dalam liang kemaluannya yang sudah basah. Aku menikmati pemandangan yang terjadi di hadapanku. Seorang perempuan tanpa busana, menggerakkan tubuhnya untuk memompa kemaluanku dengan wajahnya yang nampak binal. Aku sesekali bermain dengan payudaranya, mencoba membuatnya bergerak lebih liar. Ia menggerakkan pinggulnya semakin cepat, dan lebih cepat diiringi desahan yang semakin lama semakin kencang. “Auuuuuhhhh, …. I’m cumming.” Tubuhnya melenting dihantam orgasmenya sendiri. Ia merebahkan badannya ke tubuhku. Aku membalikkan tubuhnya dan kembali melesakkan batangku ke liangnya yang sudah sangat basah pasca orgasme. Aku menggerakkan kemaluanku keluar masuk vaginanya yang tak berambut itu. Desahannya semakin membuat nafsuku semakin naik. Aku memompanya semakin cepat. Tangannya memelukku, sementara kakinya ia kaitkan mengunci pinggulku. “Slowly, dear. Deep and slowly” desahnya. Aku menuruti keinginannya. Aku menusukkan batangku dengan perlahan dan dalam. Desahanya berubah menjadi erangan tiap kali aku menusukkan kemaluanku dalam-dalam. Tak lama ujung penisku mulai merasakan tanda-tanda kehadiran gelombang orgasme. “Come inside me, Dear.” Aku menusukkan batangku dalam-dalam dan memuncratkan jutaan sel sperma ke dalam kemaluannya. Aku menggeser tubuhku turun dari tubuhnya dan berbaring di sebelah Laura. “Kau kembali ke Indonesia besok?” tanyanya. Aku mengangguk. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku bangkit mengambil telepon selulerku yang kuletakkan di meja. Aku menelpon salah satu nomor yang ada di sana. Tuuuttt…. Tuuuuttt… Telepon diangkat. Sayup-sayup terdengar suara music house. “Haloo…” “Dan, Hudan,” “Yo, Piye Al?” “Aku iso njaluk tulung?”
To be continued…