[CHALLENGE 2] Anak ComePunk

——————- Kakekku tak lagi suka memancing. Dia pun sepertinya tak cinta lagi pada kipas angin listriknya yang sudah beberapakali diperbaiki. Pertemuan kamipun sudah lama meninggalkan papan catur. Sekarang dia mempunyai kebiasaan baru, bila aku sujud pada tangannya, dia seperti ketakutan dan berteriak, “Revolusi tai kucing, revolusi ilusi, revolusi tanpa bau surga!” Kemudian berkembang menjadi keluhan dengan setengah menangis sambil menolak tanganku. “Reformasi ayam sayur, reformasi flu burung!” Karena keseringan mendengar jeritan kakek, akupun tidak bisa melarang bila kakaktua kesayangan ayah sering melafadzkan itu. Kebiasaan itu juga menular kepada beberapa orang keponakanku yang memang harus menempati rumah waris kakek. Kalaupun ada kejahatanku kepada kakek, dapat kurangkum menjadi satu; terlalu banyak tau apa yang dia inginkan untuk negara kami. Bahkan dia pernah menjadikan aku sebagai kadernya yang paling dipercaya. Walaupun dia juga yang melarang aku untuk menjadi tentara. Alasannya sangat tepat saat itu. Dia tau betul apa artinya jadi tentara, karena dia adalah pensiunan Jenderal. Aku lebih disupportnya untuk membangun gerakan dalam garis kawan satu pahamnya. Lalu orang-orang dekatnya mengatakan, “Engkaulah juniornya. Engkaulah gambaran semangat dia selagi muda.” Mula-mula kutolak itu semua. Aku, ya aku. Kakek, ya kakek. Mungkin karena keseringan, aku pun mulai terobsesi dan diam-diam juga kusenangi bila ada yang mengaitkan aku pada kebesaran dan keharuman nama kakekku. Dalam tiga buku yang ditulisnya sejak dia dikucilkan, dia sering menuliskan namaku dengan huruf kapital. Saudara-saudara kandung, sepupu dan misanku, serta saudara ayah dan ibu, sangat mengerti akan sikap kakek. Arti kehadiranku sebagai cucu tersayang itu, juga karena di masa sulit kakek, aku termasuk orang yang paling dekat dengannya. Sewaktu dia dipenjara, akulah yang sering menemani dia. Lucunya, aku pernah sekali-sekali menemaninya tidur di balik terali karena keinginanku sendiri dan lobi beberapa menteri. Kemudian, dia juga yang menghibahkan kepadaku sebuah ruangan perpustakaan yang ada di ruang rahasia keluarga kami. Dan aku dituntut dalam sebuah perjanjian tertulis sampai mati atas tanggungjawab tersebut. Kini aku juga heran dengan perkembangan jiwanya yang membingungkan. Semakin absurd. ——- Senja kemarin-kemarin lebih emas dibanding dengan senja seminggu ini. Daun-daun tua di kebun semakin banyak yang runtuh dan hujan terasa kian rajin membasahi bumi. Aku mulai lagi direpotkan dengan keluhan keluarga jauh yang rata-rata hampir tak dapat mengikuti acara kumpul keluarga pada malam nanti. Aku yang memang masih dianggap sebagai corong kakek, cuma dapat mencatat dan menginformasikan; kalau pertemuan kali ini mengagendakan persiapan Ulang Tahun Perkawinan Berlian kakek dan nenek, sekaligus peringatan kemerdekaan bangsa kami, yang memang telah menjadi tradisi wajib bagi keluarga besar kami. Kakek sudah memulai persiapan itu dari sejak pagi. Dialah orang pertama yang sangat siap dengan pakaian kebesarannya. Sementara, nenek sendiri sudah dirias sebagai juru rawat. Dulu, Nenek adalah Pandu Putri yang juga aktif dalam palang merah. Aku terpaksa mengatakan; nenek sebagai juru rawat karena … apa ada, jururawat yang terbaring di kursi roda karena stroke? Nenek, di masa tuanya telah menjadikan aku musuh nomor satunya. Setiap pertemuan kami selalu dipenuhi dengan tudingan yang tak terhitung lagi. Diantaranya, yang masih sangat aku ingat; sewaktu dia menolak aku untuk mengangkatnya dari kursi rodanya ke ranjang. Dan ucapan lirih dengan suara yang geram terdengar kembali, “Beb-zeb, beb-pep, bebebebebebb-zzzebzebbb-zebeeebzbb pepeppp!” Dan seterusnya, dan sebagainya. Lalu aku mencoba membuat terjemahan bebasnya dalam penafsiran sebagai.. “Mengapa kau rebut Jenderal dari sisiku!? Apa sebab kau mengkudeta kedudukanku?” Akan tetapi, kakakku malah lebih fatal lagi mengarti-bebaskannya. “Anak tak beradab! Anak yang mengingkari adat! Adat lama tak lagi kau pakai, adat baru kurang akal. Lost control. Korban ilmu pengetahuan!” Adikku yang baru pulang dari Indonesia sebagai sarjana seni, telah pula menjadikannya sebuah puisi; “Nenek membasuh darah Jenderal Tua itu pada batu kembang duakali. Pertama, sewaktu ruang itu padat musuh. Kedua, terserah aku.” —— Setelah dua jam lebih aku di WC dan melahirkan tiga lembar tulisan tangan, aku masuk ke ruang bawah tanah. Ruang yang menjadi tempat keluarga inti mengatur segala rencana. Di sudut ruang berpermadani itu telah duduk duapuluh orang yang kukenal dengan baik. Mereka melihat kehadiranku dengan kertas ini sebagai sebuah ancaman. Sudah biasa. Bila aku keluar dengan karya-karyaku, keluarga ini pun akan dibicarakan banyak orang. Dan musuh politik keluarga besar kami, terutama musuh nama besar kakek akan bereaksi dengan sekeras mungkin. Apalagi mereka adalah orang-orang yang dibayar ganda oleh media massa dan penguasa. “Berita apa yang kau bawa dari WC?” bapakku memulai. “Hari ini aku tidak menuliskan huruf-huruf. Aku menulis dengan air dan dakiku!” “Karya apa pun itu, kami tak ingin ada ideologinya. Ini bahaya lama di dunia baru.” “Bapak yang kenal aku, hari ini aku tak kenal bapakku yang kemarin.” “Jangan memancing energi kemarahan yang lain!” Bapakku berhasil menjadi agresor. “Kau tidak tahu, berita hari ini hampir semua menanggapi tulisanmu yang kemarin. Tujuh koran lokal, delapan koran nasional, tiga media internasional dan dua ratusan SMS, dan tak terdeteksi lagi komentar-komentar orang-orang di internet. Tak satu pun yang mau mengerti mengapa kau beranggapan selalu gagal mendompleng ideologi Jenderal pikun itu!” Baff. Blugh. Blugh. Plakk! Aku lalu dikeroyok secara fisik. Mereka saling memperebutkan tiga lembar kertas itu dan lalu menyobek-nyobeknya. Dengan muka garang, mereka memojokkan aku ke sudut ruang, dekat peti tua. Maaf, aku diikat dan mulutku disumpal dengan bendera. Sepertinya ini sudah sangat terencana. “Tuan-tuan dan puan-puan, kongres keluarga kita yang lalu dinyatakan; Mulai hari ini tidak lagi sah. Kepengurusan dibubarkan, dan kondisi kini vacuum power.” Ungkap Encik Bendara semakin memperjelas posisiku. Tawanan. “Seperti yang kita sepakati dan kita tandatangani, budag –anak, bahasa Palembang– satu ini tak lebih setan. Musuh kita yang sangat jelas. Karena keadilan harus ditegakkan dan kebenaran perlu juga dikabarkan pada pesakit. Saya selaku penghakim akan membacakan tuntunan yang berbunyi; Satu, dalam sidang yang tepat dan cepat ini, keputusan diambil berdasarkan kepada kepentingan saat ini. Dimana, pesakit harus tunduk dan patuh pada putusan juri atas suara mayoritas. Dua, alat ukur untuk pembelaan adalah kepentingan kolektif dan kepentingan mayoritas.” Aku terhukum. Salah sebelum diputuskan dan itu aturan mereka. Dan rencana terbaikku saat ini adalah; Mengkhayal tentang seseorang yang berulangkali gagal aku cintai. ——- : kurasa,
pada akhirnya
hidup hanyalah tentang merelakan segalanya
mengikhlaskannya
tanpa perlu pertanyaan
untuk apa
mengapa
atau..
buat apa..

tapi, taukah..
apa yang paling menyakitkan?

..tak ada kesempatan mengucap
‘selamat tinggal..!’ ——– Perempuan itu namanya Ainul. Tapi aku punya panggilan yang sangat akrab padanya, O. Bisa disebut O biasa, O pepet. Atau O lingkaran, O bundaran, O spiral. Kadangkala dia aku panggil Nol, Zero, Kosong. Kemudian ada temanku memberi informasi, O dalam bahasa Jerman dan Perancis disebut Nul. Makanya setelah itu sering kutulis namanya dengan ejaan sembarang, ‘I Nul’. Dihubungkan dengan fisik aku pun sering meneriaki dia dengan sebutan ‘Bulat’. Dia sangat marah, kalau aku sampai memanggil namanya sebagai Nihil atau Hampa. Kecenderungan paling lucu yang dia kilahkan padaku adalah; “Mengapa tak kau panggil aku Tebok atau Bolong saja, hah? Atau bisa juga Buntet atau Lubang!?” Padahal secara fisik, sebenarnya Ainul lebih dari bayangan awam. Cuma karena memang Ia lebih sering menutupi kesemokan tubuhnya dengan pakaian gombrong ala anak jalanan, atau mencorengi wajahnya agar terlihat kumuh, makanya tak terlalu terekspos dan selamat dari jelajah mata nakal lelaki iseng. Kami ada jadwal rutin. Dialah sahabat sekaligus musuh kreativitasku di segala urusan. Dari yang remeh-temeh hingga berlendir-lendir. Entah karena apa kami akrab, tak jelas. Pertamakali aku melihatnya, di saat dia mengais sampah dekat rumah seorang jenderal, teman seperjuangan kakekku juga. Dia sedang mengumpulkan kertas merah dan kertas putih, yang pada saat itu memang sangat banyak. Aku kecil dan dia kecil saling pandang. Lalu, aku temani saja dia mengumpulkan semua itu ke dalam keranjangnya. Kami bekerja seperti berebutan, sampai dia yakin kalau aku hanya membantunya, bukan ingin memiliki kertas merah-putih tersebut. Saat kami sudah mulai kecapean, datang seorang nenek kere. Dia langsung mengenali aku. “Hei … cucu seorang jenderal seberang, mengapa kau jadi gelandangan juga?” Aku kecil memang nakal. Lebih nakal dari aku setelah mulai agak membesar. Langsung saja kujawab ejekannya. “Mengapa? Memangnya gelandangan zaman dulu tidak bisa jadi jenderal zaman sekarang?” kami menderai tawa. Sempat aku melirik ke pos monyet yang juga mengeluarkan suara tawa. Seorang penjaga, ternyata dari tadi memperhatikan kami. Tawanya sangat khas. Tertawanya itu juga yang sering aku pakai, karena tawanya lekat pada urat geliku. Sayang, tawa yang sangat bebas dan ramai seperti masa kecil itu tak dapat kami ulangi lagi. Bayangkan, kami sampai terpingkal-pingkal dan berguling-guling di atas kertas merah-putih bekas pembungkus buah dengan sangat keras dan lepas. Sampai-sampai, anjing tetangga pun ikut menggonggong. Kini, mungkin saja anjing kampung itu juga ikut tertawa. Ainul sendiri tak ingat dengan detail peristiwa itu. Yang dia ingat cuma satu alasan, mengapa mencintai aku. Dia pernah berujar saat kutemani naik ke atap rumah susun, sebuah rumah singgah menampung para gelandangan, sebuah kamp penampungan; “Setelah kita seringkali jumpa dan aku kembali sekolah atas biaya kakekmu, tak ada alasan lain bagiku untuk mencari orang tercinta selain kamu. Aku sadari, aku ini cuma anak kampang. Emak dipenjara. Bapak ga tau ke mana. Walaupun kau tidak pernah boleh atau bisa menikahiku, aku akan tetap mempertahankan perasaan. Pacaranlah kau dengan orang lain. Beristrilah kau dengan bukan aku, atau kalau kau mati sekalipun. Aku masih sangat tetap dalam berkeyakinan, mencintai kamu adalah mencintai diriku.” Pada akhirnya aku menyerah. Menyerahkan segalanya, termasuk di dalamnya keperjakaanku. Kami melakukan persenyawaan itu sedari kecil. Dan Ainul bukanlah seorang perawan. Awalnya, aku merasa diperkosa Ainul. Tetapi, setelah agak besar, aku menyadari. Ainul adalah guruku dalam persoalan seks. Bukankah ‘sebuah persanggamaan’ harusnya adalah juga ‘penyatuan batin’. Bukan cuma atau sekedar perihal pertemuan dua kelamin belaka, yang menghasilkan suatu kenikmatan pada prosesinya? Artinya, mestinya, harusnya ada keseimbangan antara kenikmatan ragawi berbanding nikmat batiniah. Istilahnya asah, asih dan asuh. Bukan semau gasak, kancit –entot, bahasa Palembang– dan kacuk belaka. Dan kini, aku masih sangat banyak belajar padanya tentang itu. Menurutku dia melakukan hubungan itu dengan segenap jiwa-raganya, sementara aku, lebih sering dengan nafsu belaka, raga semata. Menurut ceritanya; “Malam itu gelap matalah pacar emakku. Saat emak tak di rumah, aku pun ikut ia garap.
Biadabnya, itu terjadi pada saat aku belum lagi mengerti.
Saat itu sebenarnya aku sudah ga tahan lagi, aku masih sangat kecil sekali.” Ungkapnya sendu padaku, suatu ketika seusai kami bersanggama dengan dahsyat. Senja pertama –bukan malam pertama– setelah aku melepas keperjakaanku untuknya. “Usiaku saat itu baru 11 jalan 12 tahun. Sedangkan emakku 28 jalan 29 tahun.
Aku ga tau berapa usia lelaki jahanam pacar emak saat itu. Mungkin berusia 30-an tahun. Persetan”.
Ada kegeraman pada nada suara Ainul. Aku terhenyak. Ada kegetiran pada tiap kata-katanya. Setiap kalimat yang dikeluarkannya. Aku tergugu. “Emak melahirkan aku ketika usianya baru menginjak 16 tahun.
Dihamili pacarnya ‘atas nama cinta’.
Ya, cinta siamang, alias cinta-cintaan monyet.

Laki-laki penyetor sperma di rahim emak itu menghilang ketika tau emakku bunting karena perbuatannya.
Ia minggat entah ke mana. Meninggalkan emak berjuang sendirian melahirkan dan memelihara aku.
Hingga saat inipun aku ga pernah tau siapa ‘bapakku’, bagaimana rupanya, keturunan apa atau asal darimana”. Sebentar Ainul bergerak membenahi posisi baringnya. Ia mengatur nafas yang tersengal, mengusap bulir airmata dengan punggung tangan sebelum melanjutkan ceritanya. “Pacar emak tuh pengangguran, ga tau juntrungannya.
Terus sok-sokan jadi preman, malakin pedagang kaki lima.
Dia ga ikut tinggal di rumah kontrakan kami. Tapi seringnya malah nginap.

Tiap malam, kalo dia nginap, mereka bercinta tanpa busana di sampingku.
Saat itu aku masih kecil. Jadi, mereka anggap aku tidak pernah terpikir bahwa akan mengerti apa yang mereka lakukan.

Sering saat mereka bercinta, emak suka mendesah-desah, mendesis-desis kayak orang kepedasan.
Tapi sepertinya penuh nikmat. Ga taulah. Aku memang belum ngerti saat itu.

Aku kadang terbangun dan secara tak sengaja menonton dengan mata setengah ngantuk kegiatan ngentot pacar emak dengan emakku itu”. Sejenak terhenti. Ainul kembali mengatur nafasnya yang tersengal sebentar, sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku ga ingat dan sebenarnya ga mau lagi mengingatnya pukul berapa.
Malam itu hujan masih menderai sejak sore.
Dentingnya tak putus menimpa atap seng rumah kontrakan kami.

Bias lampu jalan berpendaran dari tirai hujan luruh, sinarnya sesekali menyeruak dari celah kisi-kisi ventilasi di atas jendela kamar.
Emak belum pulang dari kerja sebagai cleaning service di sebuah mal yang baru buka di kota kecil kami.

Aku terbangun dari kelelapan tidurku akibat kelelahan bermain sesiangannya.
Dingin menerpa kulit di beberapa bagian tubuhku, bergantian dengan kehangatan aneh.
Perut dan sebagian dada, lalu sebagian besar tubuh bagian bawah, pinggul, paha hingga betisku.

Beberapa jenak berkejap mata, membiasakan suasana remang saat itu.
Ah, aku lupa menghidupkan lampu. Sekilas pikirku.

Baru pula kusadari jika kurasakan dadaku sesak, napasku tersengal.
Sementara tubuhku yang terlentang terasa berat, seperti tertimpa, terhimpit benda berat.

Dalam mendusinku yang belum sempurna, aku berusaha menggerakkan bagian-bagian tubuhku yang serasa tertindih, hampir kesemutan.

Tersentak bangun dan menggeliat, mataku melotot seperti mau keluar dari cangkangnya.
Selain berusaha membiasakan dengan kondisi remang-remang, plus terkejut lebih mendominasi.

Aku tiba-tiba sadar begitu saja, bahwa yang membuat tubuhku bagai terhimpit benda berat adalah sesosok tubuh laki-laki tengah menelungkupi tubuh terlentangku.
Ya. Pacar emakku. Lanang kampang itu.

Sementara pakaian yang kukenakan telah terburai, berikut kaus dalamku.
Memperlihatkan kepala berambut cepak yang bergerak-gerak di dadaku, tengah mencucupi rakus kedua tonjolan payudaraku yang baru mau tumbuh.

Rokku telah pula tersingkap ke atas, bergerumbul sebatas pinggang dan pusarku.
Sedangkan celana dalam kurasakan telah pula tergulung, melintir dan tersampir di pergelangan kaki kiriku.

Sontak kudorong dengan kedua telapak tangan kepala berambut cepak, yang masih bergerak-gerak dengan bibir dan lidah rakus menyedoti puting payudaraku itu.

“Mang. Mang … apa-apaan ini!?” jeritku ketakutan dan panik setengah mati.

Dari temaram sinar lampu jalan sempat kulihat lelaki jahanam itu seperti terkesiap, sedikit terkejut ketika aku setengah berteriak meronta sambil mendorong-dorong kepalanya menjauh dari dadaku.

“Sstt … diam saja, kamu. Nikmati saja!”
Sergahnya seraya menangkap dan mencengkram kedua tanganku menariknya ke atas kepalaku.

“Jangan mang. Aku ga mau. Ga mau!”

Aku cuma mampu meronta lemah, merengek, menangis ga ngerti bahwa sebentaran lagi aku bakal mengalami peristiwa paling buruk dalam hidupku.

“Hhmpp-hmmpp-hmmpp …“

Kugeleng-gelengkan kepalaku berusaha menghindar, ketika bibir dan mulutnya yang beraroma tak sedap berusaha menyumbat bibirku.

Tetapi, ketika salahsatu jarinya menekan selangkanganku, tiba-tiba saja tubuhku serasa menjadi kaku, terkejang, seolah tubuhku telah tak memiliki tulang untuk kugerakkan.

Tubuh kecilku yang masih dalam masa pertumbuhan dan tentu saja tak pernah disentuh oleh pria manapun, membuatnya jadi sangat sensitif, meski hanya berupa sentuhan kecil saja.

Apalagi pacar emak barusan menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif, sehingga aku hanya dapat melotot, tubuhku meregang, terhenti sejenak melakukan gerakan penolakan layaknya orang yang sedang diperkosa.

Rupanya Ia melihat ada celah dari terkejangnya diriku itu, lelaki bangsat itu langsung melumat bibirku, bahkan kini kurasakan lidahnya menjulur masuk ke dalam mulutku, menyapu semua rongga-rongga mulutku.

Refleks aku meluah-luahkan lidahku, berusaha mendorong keluar lidah kurang ajarnya dari dalam mulutku.

Beberapa saat lelaki bajingan itu masih menyelomoh lidahku, namun tak lama berselang ia seperti akan melepaskan jajahannya pada mulut, refleks kugigit lidah yang tengah merangsek di rongga mulut itu.

“Aduh!” Teriak si bajingan kesakitan sembari menjauhkan wajahnya dari mukaku.

Plakk!
“Auhh.” Jeritku terpapar.
Kepalaku terhumbalang, melanting ke kanan.
Seketika kepalaku puyeng, rasa sakit dan panas menyengat pipi kiriku. Aku ditamparnya.

“Dasar anak kampang! Heii, aku paling tidak suka dilawan!
Kalau kamu terus-terusan menolak, aku bunuh kamu dan emakmu. Mau kamu?”
Sentaknya melotot mata, seraya mencekik leherku cukup keras, membuatku makin kesakitan dengan nafas tersengal.

Mana berani aku membantahnya, lagipula dalam ketakutan saat itu aku merasa lebih baik mati sekalian.
Dalam keadaan seperti begitu, jelas aku tak punya pilihan.

Akan tetapi sisi lain hatiku mengeraskan tekad, bagaimanapun aku harus melawan, kalau bisa lolos dan terhindar dari hal yang menyakitkan ini.

Tapi, apa yang bisa kulakuan?
Bagaimana cara menyelamatkan diriku dari nafsu kotor lelaki bangsat pacar emakku itu?
Semua terasa terlalu berat buatku, entah itu pikiranku, hatiku, ditambah pula tubuh yang tengah menindihku.

Akhirnya dengan tubuh menggigil dan linang airmata, kubiarkan saja ketika lelaki bajingan itu kembali melumati bibirku.
Takut. Benci. Marah. Enak. Nikmat.
Semua rasa itu muncul bersamaan, menyerbu emosi dan pikiranku. Absurd”. Kugenggam jemari Ainul yang tergetar menahan luapan emosinya. Kupeluk bahunya lebih rapat pada tubuhku, kukecup dahinya sekilas, berusaha menentramkannya. Ainul menjatuhkan bahu dan kepalanya di dadaku, balas menggenggam lebih kencang, lebih erat. Seperti mencari kekuatan dari dekapan dan keeratan genggaman kami itu. Sambil terisak lirih Ia melanjutkan kisahnya. ”Ketika itu dianggapnya aku telah menyerah dan sudah tak berdaya, maka lelaki bangsat itu makin meningkatkan serangannya.

Ia kembali meraih payudara kecilku.
Kedua tangannya kini meremas-remas payudaraku yang baru mau tumbuh.
Meremas-remasnya dengan kuat sambil terkadang menjepiti puting kecilku dengan kedua jarinya.

“Aahkk, sakit! Ampun mang! Hmmpp.” rintihku menghiba di sela-sela aktivitasnya menggerayangi tubuhku.

Beberapa saat berselang, kurasakan telapak tangannya yang dingin menyentuh pinggiran selangkanganku dan kemudian menyelusup masuk menyentuh bibir vaginaku.

“Aahhkk … Hhmmppp …“ tak sadar aku mendesah kegelian, merasakan jari tangan tersebut yang semakin nakal menggelitiki selangkanganku.

Dalam rontaan tubuhku yang makin lemas aku mendengus kesal, marah, bahkan murka.
Tetapi apa dayaku? Bahkan kini harus kuakui, tanpa kuminta dan tak kusadari, bahwa sedari tadi vaginaku kurasakan seperti mengeluarkan cairan yang ga mampu kuhentikan.

Aku masih terpejam, larut dalam isakan dan ketakberdayaanku ketika tiba-tiba aku merasakan sepasang jemari menjembeng –membuka ke kiri dan ke kanan– bibir-bibir kemaluanku.

Dari remang bias cahaya lampu jalan dengan lemas kuangkat kepalaku, berusaha melihat apa yang sedang dilakukan lelaki jahanam itu di bawah sana.

Ahh, kulihat kini sedang Ia merunduk, sehingga wajahnya sejajar dengan bibir vaginaku dan sedetik kemudian aku rasakan hembusan nafasnya hangat menerpa bibir vaginaku, lalu disusul oleh sapuan lidahnya, tepat di parit lepitan vagina.

“Uhhkk … Jangan di situ … geli! Agghh … aghh … ampun manghh.“

Seketika aku merintih tak tertahankan, saat lidah kasarnya menggelitik lepitan bibir vaginaku.
Ia menyedot-nyedot sambil sesekali menyentil-nyentil klitorisku dengan lidahnya.

Tetapi apa dayaku. Meski hal itu tak kuinginkan, mana sanggup menahan sesuatu yang tak mampu kubendung.

Tanpa sadar pula, kedua tanganku entah mendorong atau malah mencengkram kepala yang kini bergerak-gerak di selangkanganku.

Dan akhirnya, dengan kedua kaki yang menggelinjang hebat, tepat di bawah sana, di selangkanganku, perlahan kurasakan rembesan cairan cintaku keluar dari liang kemaluanku.

Serrr-serr-serr-serr.
”Auhh-uhh-uhh!”

Tubuhku terjengit, bergerinyal, tersentak-sentak beberapakali, laksana diterpa badai aliran listrik.
Sedangkan vaginaku berkedut-kedut mengirim sinyal nikmat. Nikmat yang tak pernah kuinginkan.

Tanpa ampun, lelaki durjana itu dengan tangkasnya menyeruput cairan tersebut hingga tak bersisa dan kemudian membersihkannya, membuat vaginaku kembali terasa kering.

Beberapa saat kemudian kurasakan si jahanam pacar emakku kembali menindih tubuhku yang lemas.
Sesaat berikutnya kurasakan sesuatu yang menempel di permukaan kemaluanku, sebuah benda tumpul sedikit basah menempel tepat di permukaan belahan vertikal vaginaku.

Bangsatnya lagi, lelaki jahanam itu tidak langsung menyelipkan di ujung liang kemaluanku, melainkan hanya digesek-gesekkan di seluruh permukaan bibir vagina, labia mayoraku.

Dan gerakan itu membuat bibir-bibir kemaluanku terasa monyong-monyong ke sana-ke mari, seolah mengikuti arah gerakan kepala penisnya.

Sesekali kurasakan kepala penis yang telah licin itu terselip-selip di lepitan bibir vagina, bahkan beberapakali pula menyunduli klitoris hingga membuat tubuhku bergerinyal, bagai tersetrum aliran listrik.

“Aduhh, sakit mang. Jangan mang. Ampunn.”
Rintihku tak berkesudahan ketika beberapa titik tubuhku direjam berbagai rasa.

Bagaimana mungkin aku bisa menikmati sesuatu yang samasekali ga aku inginkan!?

Tetapi tubuhku berkhianat.
Ia mengkhianati otak yang menolak semua sinyal dari indra perasa, kulit.
Dia mendustai hati yang menjeritkan tangis, tak mampu berontak.

Rupanya tubuhku ga tahan dengan rangsangan yang bertubi-tubi.
Bagaimanapun juga, tubuh kecil mungilku yang baru bertumbuh tetap memiliki kepekaan terhadap rangsangan.
Mereka akhirnya nge-blank. Terstimulasi aktivitas di semua titik nikmat di sekujur tubuhku.

Perlahan-lahan lepitan vagina perawanku kurasakan kembali membasah.
Tubuhku, suka atau tidak suka, merespon semua rangsangan yang diterimanya, dengan cairan yang meleleh, merembes keluar dari lubuknya.

Dan yang dahsyat lagi, entah sakit entah nikmat, ketika kurasakan sebuah benda tumpul dari otot-daging mendesak di tengah-tengah bentangan bibir itu.

“Aduhh mang.. ampun. Sudah. Sakit sekali, mang!”
Teriakku, ketika penis lelaki jahanam itu mencoba untuk menyeruak lebih dalam ke lepitan vaginaku.

Perlahan tapi pasti, dorongannya semakin lama semakin kuat.
Aku menjerit kecil saat kepala penisnya berhasil membelah bibir vaginaku dan kemudian ia kembali menariknya hingga di ujung penisnya, lalu kembali ia mendorong dengan kedalaman yang sama.

“Aduhh ampun mang, ampun mang. Jangan. Aku ga mau. Jangan!”
Teriakku makin histeris, meronta-ronta kesakitan.

“Ooh, oohhh. Nikmat banget memekmu!”
Gerungnya sambil memejamkan mata, menikmati geliat tubuh kecilku di tindihannya.

“Ohh, bangsat. Kampang!” teriakku.. sambil menahan dadanya, menyeringai menahan sakit.

Sakit di kemaluanku dan sakit yang lebih meluka di hati dan otakku.

Ia ga peduli segala sumpah-serapah dan umpatan yang kulontarkan.
Terus saja ia menggenjoti lepitan sempit vaginaku.

Pacar emak benar-benar sudah lupa daratan. Penis orang dewasanya yang jelas berukuran besar bagiku itu menyodoki vaginaku, gadis kecil berusia 11 tahun.
Saat itu dapat kurasakan, bahwa sekujur tubuhku telah berpeluh dingin, membanjir.

Aku makin panik dan menggeol-geolkan pinggul dan pantatku, berusaha menghindari terjangan benda kejal yang sedang menumbuki liang vaginaku itu.

“Ouhh …” jeritku terlepas suara, ketika ujung penisnya mulai mendesak-tumbuk di bibir vaginaku.

Tak lama, aku kembali terjengit ketika pacar emak mulai memaju-mundurkan kepala penisnya yang besar di liang vagina kecilku.

“Tahan, aja. Sakit dikit. Nanti juga enak,” ujar si bangsat itu sambil mendorong ujung penisnya lebih dalam, lebih jauh menelusup ke belahan vagina perawanku yang jelas masih sangat sempit, apalagi untuk ukuran penis orang dewasanya.

Meski lemas, aku masih berusaha merapatkan paha, menahan agar lepitan vaginaku tidak bobol disodok benda laknat itu.

Tetapi aku keliru bertindak, justru hal itu menyebabkan lelaki jahanam itu semakin bernafsu, sebab lepitan vaginaku jadi tertutup, sementara batang kemaluan lelaki jahanam itu jadi seolah membentur-bentur dinding lembut dan hangat.

Mau tak mau aku kembali merintih dan mendesah lirih, digempur perih dan nikmat silih berganti.
“Ennghhhss … ampun manghh!”
Kurasakan ujung penis pacar emak makin mendesak ketat di liang vaginaku.

“Ayo, sekarang kamu goyang pinggulmu kayak tadi, biar kontol mamang bisa masuk ke dalam memekmu,” kata si lelaki bangsat itu memberi perintah seenaknya.

“Ngga mau. Ngga mau! Oouh … ahhh … aduhh.”

Meronta seketika tubuhku.
Rasanya tak sanggup menahan perih dan sakit di bagian tubuh paling sensitifku apalagi kenyerian hati.

Tetapi sialnya, di atas, bibirku memekik-pekik minta ampun, tapi di bawah, bibir vaginaku justru bergerinyal-berkontraksi, kini seperti memberi akses penuh pada penis si lelaki agar bergerak lebih jauh.

“Ooh-ohh-ohh. Kampang! Enaknya memekmu. Sshhh, ohh-ohh, perawanmu buat mamang yah, yahh!?”
Dengus lelaki jahanam itu disela usahanya menusuki liang vaginaku.

“Ngga mau, ngga mau. Huuhhh, huhhh. Emak, emak.. tolong Ainul, makk!”
Teriakku parau dalam isakan tangis terputus.

Genjotan-genjotan yang diberikan secara perlahan di liang cintaku, memaksa mulutku untuk merintih-rintih antara tangis kesakitan, marah, benci, meski terkadang diselingi nikmat yang tak kuinginkan.

“Ohh-ohh-ohh, susah banget bolongin memekmu. Oohhh-ohhhh!
Geramnya vulgar, sambil tetap menusukkan penisnya berulang-ulang di liang vaginaku.

Antara rasa perih dan nikmat itu, tanpa kusadari aku mulai menggerakkan pantat dan pinggulku yang kumaksud sebagai gerakan menghindari tusukan benda laknat di lepitan bibir vagina.

Tetapi fatal. Gerakanku itu justru bagai menyambut genjotan penis si lelaki bangsat pacar emak itu.
Benda laknat, penisnya, kini mulai terbenam kian dalam di liang vaginaku.

Urat-urat penisnya yang tebal terasa menggesek dinding vaginaku, merangsang vaginaku untuk mengeluarkan pelumas lebih banyak lagi, sehingga penis itu semakin leluasa menyentuh bagian dalamnya.

“Ohhkk, aaggkkh.” Aku mengerang tak tertahankan.
Vaginaku terasa ngilu saat ia menekan pinggulnya lebih dalam lagi.

Tiba-tiba kurasakan dia seperti menahan napas, lalu mengencangkan dekapan pada tubuh mungilku, sedetik kemudian, semerta dengus tertahannya ia menghenyakkan pinggulnya ke selangkanganku.

“Hegh!”
Slephh. Bless. Breett!

Ahh, benda laknat, penis si lelaki jahanam telah berhasil menerobos masuk, menjejali lepitan kemaluanku semerta bunyi seperti kain tipis yang langsung sobek.
Selaput daraku.

“Sakit mang. Sakit! Jahanam! Mamang jahanam! Jahanam!” Teriakku kesakitan.

Meronta lemah, berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh.
Punggungku melenting-lenting, tak sanggup menahan hentakan benda pejal di liang vaginaku.
Suaraku makin serak, hilang suara.

“Aauuww, hhmppp-hhmmff.”

Secepat kilat ia menyambar mulutku yang terperangah dalam pekik kesakitanku, keadaan mulutku yang dibekap oleh bibirnya, hanya suara itu yang dapat aku keluarkan seiring dengan air mata berlinang.

“Ohhh.. legitnya perawanmu. Ohh-ohh, bangsat! Enak, enakkk!”
Dengus birahi si lelaki jahanam melepas lumatannya pada bibirku diiringi sodokan penisnya di lepitan ketat liang kemaluanku.

Auwhh! Maang sakiiitt! Periihhh mang. Aduuhhh!”

Tangisku pecah dalam ribuan isak.
Sakit yang menohok, membuatku hampir kehilangan kesadaran. Hampir jatuh pingsan.

Vaginaku berkeredutan, dipaksa memekarkan otot-otot yang melingkupi sekeliling liangnya oleh sodokan benda tumpul laknat si jahanam, yang kini menyumbat jelujuran sepanjang dinding liang vaginaku.

Beberapa waktu kemudian, kurasakan sedikit demi sedikit terisinya ruangan dalam liang kemaluanku.
Meski demikian masih sempat aku meronta dalam lemas tubuhku.

Tetapi, aku benar-benar tergial ketika merasakan kepala kemaluannya melalui area G-spot-ku di dalam sana, diikuti pula oleh gesekan dari urat-urat batang penis di jepitan dinding-dinding liang vaginaku.

Ugh, nikmat!? Entahlah.
Tubuhku lemas. Otakku buntu. Aku tak lagi mampu memikir apapun.
Cuma lecutan rasa perih dan kesakitan mendominasi emosi”. Kugenggam jemari Ainul yang gemetar lebih erat dalam pecah tangisnya. Coba sedikit menyalurkan empatiku atas kemalangannya. Terisak dalam geramnya Ainul melanjutkan kisah kelam pada lembar hidupnya. “Vaginaku kini makin membasah, tersumpal batang pejal benda laknat milik si lelaki bangsat.
Berkecipakan bunyi, bagai lubang becek tersumpal benda padat yang ditekan-tarik berulang-ulang.”

Clopp-clopp-clopp-clopp-clopp!

Pyiekk-pyiekk-pyiekk-pyiekk-pyiekk!

Beberapakali Ia melakukan hujaman-hujaman ganas penisnya ke lepitan liang terdalamku tersebut.
Dan setiapkali hujaman seperti menghenyakkanku, menyiramkan rasa nikmat yang sakit, perih yang nikmat silih berganti, teramat banyak ke sekujur tubuhku.

“Ohhhh-ohhhh-ohhhh, manghh. Ohhh. Arghh, ampun manghh …” rintihku tertahan.

Aku ga bisa menceritakan secara detail pada bagian ini.
Yang pasti kakiku mengejang, pinggulku terasa kesemutan rasa nikmat, nafasku memburu cepat, detak jantungku terasa cepat sekali.

Sebab, ada perasaaan nikmat yang tadi pernah kurasakan.
Bahkan sekarang kedutan-kedutan kecil mulai terasa di dinding vaginaku dan hawa panas mengumpul di sekitar pangkal pahaku.
Rasa yang sama ketika vaginaku dijilati.

Sementara di bawah sana aku terus merasakan gesekan-gesekan kuat dan mantap batang penis si lelaki bajingan di liang vaginaku.

Penis milik laki-laki jahanam itu bagai memenuhi liang vaginaku, menekan keras ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang mentok hingga ke mulut rahimku, membuat kontraksi di dinding vaginaku menjadi semakin kuat dan tak tertahankan lagi.

Tak kuat menahan kenikmatan itu, akhirnya aku menjerit kencang.
“Eghhhh, manghh! Ohhhhh. Arghh!”

Tanpa kumaui tubuhku mengejang, saat cairan kenikmatan menyembur deras dari dalam liang vagina mudaku.
Seketika tubuhku lemas, lunglai dalam ekses nikmat yang tak kuinginkan, tak pernah kubayangkan.

Sementara itu, lelaki bajingan itu terus menghantami liang vaginaku seperti kesetanan, mengejar puncak nikmatnya sendiri.

Clebb-clebb-clebb-clebb-clebb.

Berulang-ulang, berkali-berkali, penisnya tanpa ampun apalagi rasa kasihan, terus menumbuk-numbuk lepitan daging belahku, yang saat itu kurasa telah memar dan membasah, campuran cairan nikmat, darah dan entah apalagi.

Dalam pada itu, aku cuma mampu mengerang lemah, lemas, menyisakan isakan lirih berlinang airmata diantara lenguhan birahi dan gerungan nafsu iblis laki-laki bangsat pacar emakku”.

“Hei, kampang! Kau apakan anakku, hah!?”

Suara bentakan keras itu bagai dentum meriam, teramat mengejutkan.
Sontak si lelaki bajingan menarik penisnya yang masih tertanam, terjepit di lepitan vaginaku, lalu membalik tubuhnya.

Sedangkan aku yang masih telanjang, lemas, sembari mengisak-tangis merosot turun dari atas dipan, merangkak perlahan menjauhinya ke sudut kamar.

“Eh, ah, anu.” Ujarnya tergagap, tak mampu menjelaskan perbuatan bejatnya.

“Anjing. Babi. Kampang kau, lanang iblis! Ta’un!”
Lengking dan geraman emak seketika menggelegar di ruang sempit kamar, seperti ingin mengalahkan bunyi nyanyian gerimis yang menghantami atap seng kontrakan.

Dalam dua-tiga langkah selanjutnya emak telah merangsek mendekati si pacar, semerta melompat ke atas dipan, emak mencengkram batang kemaluan pacarnya yang masih setengah mengacung basah oleh lendir kemaluanku.

Dengan cepat, memanfaatkan beberapa dekon kelengahan pacarnya yang masih terkejut, emak meraih cutter lipat serupa silet, alat yang biasanya dia gunakan memotong kukunya, di ujung ranjang.

Lalu diayunkannya tangan lebih cepat dari kerdipan mata …

Srrtt! Crashh!
Seketika darah menyembur terberai ke mana-mana.

“Arghh … arghh!” lelaki pacar emak itu kontan menjerit sekeras-kerasnya. Meraung-raung histeris.
“Ahh … kurang ajar! Kampang! Lonte! Dasar anak kampang!”

Kusaksikan dengan gemetar, Ia berlutut mengerang kesakitan sambil memegangi ‘sisa kemaluannya’ yang telah teriris putus.

Sementara itu aku terpapar, menggigil di sudut kamar.
Tubuhku gemetar, entah karena campuran rasa lega, takut dan atau rasa apa lagi.
Tak pelak, jiwaku guncang menyaksikan efek kemurkaan emak itu.

Meski sebenarnya memang aku marah. Marah pada lelaki yang menyakitiku.
Murka pada benda laknat yang telah menyakiti, merusak kemaluanku, menghancurkan masa depanku, kejadian sadis di hadapanku cukup membuatku terbengong tanpa daya.
Hilang jiwa.

“Kampang! Dasar lanang ga tau diuntung! Ga puas kau ngentotin aku, hah!?
Jadi anak gadiskupun kau gagahi!? Kampang!”

Emak menyumpah-serapah. Matanya saga.
Kini berdiri gemetar menahan luap amarah di samping dipan.
Tangan kanannya masih memegang cutter, sementara tangan kirinya memegangi potongan penis sang pacar, merah membasah berlepotan darah bercampur air hujan pada basah tubuhnya.

Didekati sang pacar yang masih menggerung-gerung dengan mata terbeliak-beliak memegangi selangkangannya dengan darah mengucur.

“K-kenapa … k-kamu!? Ahh … tolong! Tolong aku! Aku bisa mati!” Teriak si lelaki kian histeris.

Tertatih-terhuyung, si lelaki bangsat pacar emak berusaha untuk menghentikan pendarahan di kemaluannya dengan membalutnya menggunakan kain apa saja yang ditemukan di dekatnya.
Tapi percuma, darah tetap saja merembes keluar.

Lalu dijejalkan potongan penis itu ke mulut si lelaki yang sedang ternganga.
Dipaksanya si lelaki bajingan untuk menelan potongan penisnya sendiri”. ——- “Stop khayalanmu!” Sentakan dari langit-langit ruang bawah tanah itu menggugah lamunku. Sang Jenderal turun dengan tubuh telanjang dengan penis tuanya menggelayut di pangkal paha. Dan tanpa senjata dia melepaskan ikatanku. Membongkar bendera di mulutku. Sementara yang lain terdiam dengan ulah jenderal tua ini. Dengan seksama dia menjadikan bendera itu alat penutup kemaluannya. Dan dia berorasi, “Anak ini adalah proses kekeliruan kita. Kepalanya dipenuhi khayalan seni, di hatinya penuh spiritualitas tinggi. Perutnya kapitalis, kemaluannya komunis dan kakinya liberal. Tangannya nasionalis, bajunya bergonta-ganti. Semua itu kontribusi kita. Lalu, bila dia memainkan peran di luar ideologi kalian yang tidak berideologi dan tidak berasas pada negara ini. Apakah dia bukan anak kalian!? Jawab!” Mereka membeku, ruangan batu, hidup jadi kaku. “Apakah ini anak come-punk itu? Sementara di hati kalian tidak ada lagi negara. Tak lagi punya negeri. Dan ini bukan Indonesia.” Ah, aku harus bicara pada Jenderal ini. Dengan sangat ingin berkata pada seluruh keluarga … “Tiga kertas yang kalian sobekkan itu mengingatkan aku pada orang-orang kreatif yang menulis pakai darah. Melukis pakai darah. Dan berkata dengan darah. Kalian tidak tahu energi apa yang tersimpan dalam tulisan itu. Pada tiga kertas itu aku tuliskan coretan yang tanpa bentuk. Cuma aku yang mengerti apa isinya. Apakah kalian mau tahu?” Mereka serentak mengangguk seperti robot. “Isinya tiga. Satu, Nak. Dua, come. Tiga, punk. Itu saja.” “Cuma itu!?” Koor dari langit-langit menembus bawah tanah. “Ya. Cuma itu. Nak, come punk.” ————————— Catatan Kecil: Anak Kampang = Anak Haram (Haram Jadah), anak yang dilahirkan diluar nikah. Idiom serupa juga sering dilontarkan sebagai ‘umpatan’ dalam bahasa Palembang. Catatan Khusus buat My Surv: “Semoga KITA tak menipu Taqdir” ————————————————