Blue Lightning
Mataku terbuka, pertama tama yang kurasakan adalah rasa sakit diseluruh tubuhku, rasanya badanku remuk semua, dan memang, 5 bagian tubuhku patah tulang, kaki kanan, lengan atas kiri, 3 tulang rusuk. Beruntung aku masih hidup setelah ditolong masyarakat yang tinggal di sekitar tol, mereka mendengar suara mobilku menabrak besi pembatas jalan. Mataku terasa berat, bibirku terasa kering, dan pusing dikepala akibat terbentur membuatku pingsan kembali.
Mataku kembali terbuka, kali ini rasa sakit terasa agak berkurang, walau kepala masih terasa pusing, tapi aku merasa aku akan hidup. Setelah beberapa saat, baru aku menyadari, seorang perawat sedang membersihkan badanku. Aku masih terlalu lemah untuk menyapanya. Aku pasrah membiarkannya membersihkan badanku. Seminggu berlalu, aku mulai merasa bersemangat kembali, bahkan aku sudah mulai mengetahui sedikit cerita tentang kecelakaanku melalui suster yang tiap hari merawatku. Sarah, itulah nama suster yang sudah sebulan merawatku, ya, sudah sebulan aku terbaring dikamar rumah sakit ini. Lewat Sarah aku mengetahui bagaimana mobilku hancur dan siapa yang membawaku ke rumah sakit ini, dalam hati aku berjanji akan mengunjungi bapak yang sudah membawaku kesini untuk berterimakasih. Bahkan suster Sarah sengaja menyimpan koran yang memberitakan tentang kecelakaanku, sebuah gambar mobil yang hancur remuk membuatku ngeri, bagaimana mungkin aku masih bisa hidup. Aku teringat cahaya biru itu, tapi aku tidak membaca ada saksi yang menyatakan ada cahaya biru yang kulihat dan kurasakan, jadi aku memutuskan itu hanya khayalanku saja, orang yang akan mati bisa saja berpikiran yang aneh aneh, itulah yang kupercayai dan itu yang paling masuk akal.
Siang hari, suster Sarah datang membawa baki makanan. Hari ini menurut dokter, aku sudah harus melepas infus dan mulai memakan makanan sendiri. Suster Sarah mulai menyuapiku, aku makan dengan semangat, dan berharap bisa cepat berjalan kembali.
Namaku Hendri, umur 28, pekerjaanku sederhana, agen apa saja, dan aku mengenal sangat banyak relasi, dan aku mempunyai banyak teman. Aku menjual apa saja yang bisa dijual, dan membeli apa saja yang menguntungkan, mau yang halal maupun haram, semua yang bisa menjadi uang pasti kulayani. Perawakanku biasa saja, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu tampan, badanku fit karena waktu kerjaku tidak terikat, aku kadang menemui teman atau relasi sambil fitness atau tenis atau futsal, tergantung ajakan teman. Dan ekonomi ku yang lumayan membuatku tidak banyak pikiran. Aku enjoy enjoy saja dengan kehidupanku. Dan tidak ada keluargaku yang tinggal dekat denganku, dikota ini aku hidup sendiri. Itulah sedikit tentang diriku, tidak banyak yang bisa kuceritakan.
Sebulan kembali berlalu, aku sudah merasa sehat, hanya jalanku harus dibantu tongkat penyangga. Aku diharuskan berjalan mengelilingi taman rumah sakit atas perintah dokter, supaya otot ototku bisa terlatih. Seminggu kemudian, dokter menyatakan aku sudah boleh pulang kerumah, waktu yang kutunggu tunggu, Sarah membantuku membeli satu setel baju, karena selama ini aku memakai baju rumah sakit, dan karena ponselku hilang entah kemana, tidak ada orang yang bisa menghubungiku, dan aku juga tidak mau merepotkan mereka. Juga ada Sarah yang membantuku setiap hari. Setelah sekian lama, ini adalah pertama kalinya aku menggunakan telepon, aku harus meminta tolong abangku yang tinggal dikota lain untuk membereskan administrasi rumah sakit. Tentu abangku sangat terkejut karena tagihan RS nya lumayan besar, aku mengatakan akan menceritakan semua setelah sampai dirumah, tentu tidak lucu bercerita dengan telepon rumah sakit. Orang kedua yang kutelepon adalah teman baikku yang paling dekat, Reza. Tidak sampai 15 menit, Reza muncul di lobby rumah sakit. Setelah berpamitan dengan Sarah, aku keluar dari rumah sakit dengan mobil Reza.
Sampai dirumah, aku bingung, kunciku tidak ada, terpaksa kami mencari tukang kunci, untuk membuka pintu rumahku sendiri. Aku memang ditolong warga, tapi barang berhargaku juga ikut “ditolong” masuk ke inventory mereka. Tapi aku tetap bersyukur masih hidup. Hanya perlu 50 menit bagi tukang kunci untuk membuka 2 kunci pintu rumahku dan mengganti dengan kunci baru. Setelah membayar jasanya, kamipun masuk ke rumah. Sungguh ada perasaan yang nyaman masuk kembali ke rumah sendiri. Hal pertama yang kulakukan adalah merasakan nyamannya kasur empukku. Sungguh nyaman rasanya. Reza sedari tadi memberondongiku dengan segala macam pertanyaan, kujawab satu persatu sebisaku. Dan bagian cahaya biru itu tetap kulewati, karena tidak mau dicap berhalusinasi. Setelah merasa diriku sudah bisa ditinggal, Reza pun pamit pulang untuk melanjutkan aktifitasnya. Setelah berbaring sejenak, aku masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower, air hangat membuat badanku terasa ringan. Beberapa menit kubiarku pundakku disiram air hanga. Pikiranku kembali teringat pada Sarah dan penisku terlihat menegang. Sesuatu yang agak aneh karena tidak biasanya aku bisa terangsang hanya membayangkan wajah wanita. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak bercinta, pikirku. Jam menunjukkan jam 1 siang. Masih sempat ke bank untuk mengurus atm dan kartu kreditku, pikirku. Setelah menelepon taksi, aku berjalan ke halaman rumah menunggu taksi yang kupesan. Tidak sampai 5 menit, taksi datang membawaku pergi ke bank. Setelah menyelesaikan segala administrasi, dan beruntung aku adalah nasabah yang sudah dikenal, tanpa kartu pengenal aku dibuatkan ATM baru, hanya bermodal buku tabungan. Setelah menarik uang cash seperlunya, aku kembali menyetop taksi dan mengunjungi toko teman yang menjual ponsel, dan tempat terakhir yang kukunjungi adalah showroom mobil yang juga masih relasi kerjaku. Karena hubungan kerja dan juga aku pernah menolongnya keluar dari masalah keuangan, sebuah sedan baru yang kebetulan ready langsung kuambil, setelah membayar sejumlah uang muka.
Aku merasa kembali ke kehidupan normalku. Hal pertama yang yang terpikir adalah kembali kerumah sakit untuk mengunjungi Sarah. Sebelumnya tidak lupa aku membeli satu setel baju yang kurasa sangat pas kalau di pakai Sarah, sebuah baju terusan warna biru muda. Dan tidak lupa setangkai bunga, sebagai ucapan terima kasihku karena sudah sebulan lebih merawatku. Setelah sampai di rumah sakit, aku naik kelantai 4 tempat aku dirawat, dan berharap bisa menemui Sarah. Aku duduk di kursi tunggu di koridor rumah sakit. Setelah menunggu hampir 1 jam, akhirnya Sarah melangkah keluar dari ruang pasien. Dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, terlihat Sarah memang sangat mengabdi pada perkejaannya. Sarah tidak memperhatikanku, atau mungkin tidak terlintas pikiran bahwa pasien akan mencarinya, karena selama ini dia merasa hanya melaksanakan tugasnya sebagai perawat. Aku bangkit dari kursi dan buru buru mengikutinya dan sambil menepuk pundaknya.
“Sarah” panggilku. Sarah menoleh kebelakang.
“Ada masalah apa?” Sarah bertanya dengan wajah cemas, dikira ada yang tidak beres lagi dengan diriku.
“Tidak, aku cuma datang mengantar ini” jawabku, sambil menyodorkan setangkai bunga biru, aku tidak tau apa nama bunganya, tapi ntah
kenapa aku menjadi suka dengan biru.
“Wah.. terima kasih. Cantik sekali bunganya” jawab Sarah.
“Dan juga ini.” aku menyerahkan sebuat tas yang berisi pakaian tadi.
“Apa ini?” tanyanya, agak ragu mau menerima.
“Aku kan berutang baju padamu, jadi sekarang lunas ya?” jawabku sambil sedikit memaksa Sarah untuk menerima.
“Yah, sudah deh kalau emang begitu, tapi aku masih ada dijam kerja, jadi tidak bisa lama mengobrol” balas Sarah.
“Aku mengerti, boleh kujemput nanti pulang kerja, sekedar makan malam untuk membalas jasamu selama ini?”
“Tidak perlu, itu memang udah pekerjaanku” jawab Sarah sambil tersenyum.
“Ayolah, aku memaksa nih.” rayuku lagi.
“Sudahlah, jam 7 aku selesai tugas.” jawab Sarah, mungkin karena tidak mau dimarahi supervisor, supaya aku cepat melepaskannya,
lagian dalam sebulan ini Sarah sudah merasa dekat dengan ku, jadi tidak salah kalau makan malam berdua sebagai teman.
“Sip. terima kasih. Aku tunggu di lobby ya” jawabku dengan senyum lebar. Sarah berjalan menjauhiku sambil mengangguk kecil. Jam 7,
berarti masih 2 jam.
“Sarah!” aku teringat ada yang terlupa.
“Ya?” jawabnya sambil menoleh ke arahku.
“Boleh minta koran yang mengenai kecelakaanku? Maaf merepotkan terus.” tanyaku. Aku mengikutinya sampai pintu ruang khusus perawat, beberapa saat kemudian, dia keluar dengan sebuah suratkabar, dan bunga dan tas sudah disimpan di ruang tersebut. Setelah berterima kasih aku meninggalkannya untuk melanjutkan tugasnya. Tempat kecelakaanku tidak terlalu jauh dari rumah sakit, aku berpikir, sempatlah 2 jam untuk melihat kesana dan kembali untuk menjemput Sarah. 20 menit kemudian, sampailah aku di lokasi, setelah bertanya sana sini, akhirnya aku mendapat alamat Pak Broto yang membawaku ke rumah sakit. Sampai di alamat tersebut, terlihat sebuah rumah sederhana, dengan beberapa ekor ayam mencari cacing di tanah di halaman rumahnya. Sebuah rumah kecil, tapi terlihat rapi, walau batu bata nya tidak diplester, tapi terlihat nyaman. Setelah mengetok pintu, seorang bapak, atau lebih cocok disebut kakek, kuperkirakan berumur 60an, membuka pintu.
“Pak Broto?” tanyaku.
“Iya, adek sapa?” tanyanya kembali.
“Saya Hendri,Pak. Pak Broto ingat waktu itu ada kecelakaan di depan rumah bapak?” tanyaku. Pak Broto ingat saat kecelakaan itu, dan tidak menyangka aku bakal mencarinya. Pak Broto mempersilahkanku masuk kedalam. Tidak banyak yang terdapat didalam rumah mungil itu, dan kita duduk di tikar, ada sebuah tv kecil di ruangan itu. Satu satunya hiburan yang kulihat di rumah itu. Ada 2 kamar yang pintunya hanya ditutupi kain. sebuah kamar mandi di ujung ruangan. Kecil, sederhana tapi tertata rapi. Sirkulasi udara yang baik membuat rumah itu terasa adem. Setelah bercerita hampir satu jam, aku pamit pulang, dan berjanji akan datang mengunjungi pak Broto kembali. Setelah bersalaman, aku kembali ke rumah sakit. Jam sudah menunjukkan 18.30, sambil menyetir, aku berpikir mau makan malam dimana dalam perjalanan ke RS, aku kembali mengingat waktu Sarah merawatku dengan telaten. Tanpa terasa penisku mulai berdiri.
“Ah. tidak boleh berpikiran begitu.” batinku sambil memukul kepalaku untuk menyadarkan diriku sendiri. Ada yang lain dalam diriku. Dan dalam lamunan, tidak terasa aku sudah sampai ditujuan.
“Sarah” aku memanggilnya dari dalam mobil. Rupanya Sarah sudah selesai dan menungguku di depan pintu rumah sakit.
“Hai” Sarah menjawab. Aku mengisyaratkan supaya Sarah masuk kemobil. Sarah pun menurut saja. Yang membuatku senang adalah, pakaian yang kubeli tadi sudah melekat pas dibadan Sarah, tidak salah aku memilih baju ini, Sarah terlihat sangat feminim dengan baju dan warna biru. Sarah berumur 23, sudah menjadi perawat 2 tahun sejak tamat dari akademi perawat. Wajahnya biasa saja, terlihat wajah yang agak polos, badan juga tidak terlalu tinggi, 160 mungkin, tapi yang tidak kuperhatikan selama ini adalah ternyata buah dadanya lumayan besar, mungkin karena seragam suster yang dipakai menutupinya selama ini. Baju biru yang kubeli ini tidak seksi, tapi layaknya sebuah baju terusan, bagian dada lebih terlihat membusung, dan kaki yang selama ini terbungkus celana panjang terlihat indah, karena baju terusan itu hanya sebatas lutut. Kulit putihnya lebih terlihat, sungguh beda penampilan sebagai seorang suster dan yang sekarang. Tiba tiba penisku terasa sesak. Aku merasa bersalah karena ulah penisku.
“Cocok gak?” tanya Sarah membuka pembicaraan.
“Cantik banget. Siapa dulu yang milih.” balasku sambil tertawa. Sambil mengobrol, aku menuju ke sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang nyaman, dengan lampu remang, membuat suasana makin romantis. Waiter langsung menghampiri, dan setelah mengatakan namaku, langsung diantar ke tempat duduk di sudut ruang. Memang aku sudah memesan tempat tadi sebelum menuju kesini. Waktu yang cocok untuk mengetahui lebih dalam tentang diri Sarah. Aku sangat menikmati malam ini, setelah menikmati makanan, aku mengantar Sarah pulang. Sewaktu Sarah turun dari mobil, roknya terangkat agak keatas, sehingga pahanya terlihat lebih banyak dari sebelumnya, penisku langung mengeras. Aku heran, kenapa aku mudah terangsang, memang sejak keluar dari rumah sakit aku belum pernah bercinta, tapi, sepertinya ada yang aneh dalam diriku. Ingin rasanya aku memeluk dan mencium Sarah saat ini juga, tapi aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu pada Sarah. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih padaku,
Sarah berjalan ke arah rumahnya. Aku menunggunya sampai dia sampai di pintu, setelah mengetuk pintu beberapa saat kemudian, ibuya membukakan pintu. Sarah memang masih tinggal bersama keluarganya. Aku memutuskan untuk kembali pulang kerumah, capek seharian mengunjungi berbagai tempat. Sampai dirumah, aku mandi dan berbaring di kasur. Rasanya moodku sangat bagus saat ini. Kembali bayangan Sarah memenuhi otakku, penisku pun segera naik, tak tahan tanganku turun untuk meraba penisku yang sudah mengeras, sambil mengocok pelan, aku membayangkan meremas dan mencium bibir Sarah, pikiranku terus menerus terfokus pada wajah Sarah, tiba tiba tanganku yang sedang mengocok penis hanya menggenggam udara, PENIS KU HILANG!!!
Aku tekejut setengah mati, dan yang lebih menakutkan lagi, sepasang buah dada muncul di dadaku. tanganku menjadi tangan wanita. Astaga, apa yang terjadi padaku, aku meraba wajahku sendiri, rasanya lain, terasa halus. Aku buru buru mencari cermin, dan setelah bercermin, aku tidak melihat bayangan diriku, aku melihat Sarah! Dengan buah dada yang menggantung indah, dan hanya memakai celana pendekku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Jantungku berdebar kencang, bukan karena bisa melihat tubuh Sarah yang setengah telanjang, tapi mengapa ini bisa terjadi? Aku menarik nafas dalam, pikiranku buntu, aku tidak tau apa yang harus kulakukan saat ini. Aku masih berusaha untuk mencerna semua kejadian ini. Apakah Sarah masih ada? atau dia berubah menjadi aku saat ini. Untuk memastikan, aku berusaha untuk menelepon Sarah, sesaat kemudian, Sarah mengangkat telepon.
“Halo?” jawab Sarah.
“Sarah, ini aku, kamu baik baik saja?” tanyaku. Lupa kalau aku sekarang juga bersuara seperti Sarah.
“Ya aku baik baik saja, tapi ini siapa?” tanyanya kembali.
“Oh sudahlah, tidak apa apa.” Aku memutuskan telepon. Sadar bahwa Sarah tidak mengenalinya. Sedikit lega kalau Sarah tidak apa apa. Sekarang aku kembali ke masalahku, berarti aku yang berubah menjadi Sarah. Terus, sampai kapan? Aku mulai panik, aku menyukai diriku yang dulu, lagian, bagaimana aku bisa keluar rumah menjadi Sarah? Aku berjalan tanpa arah mengelilingi rumah, berharap bisa mendapat penjelasan yang masuk akal, tapi aku yakin tidak ada yang masuk akal. Aku kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang. Tanganku memegang kepala, tapi saat ini rambutku terasa lembut dan panjang, aku makin stress. Haruskan aku jadi wanita selamanya? apakah ini kutukan karena aku sering memperlakukan wanita seenaknya? Aku mulai berbaring, tapi tidak mungkin bisa tidur. Aku berusaha menutup mata, berusaha memikirkan jalan keluar. Semakin dipikir aku semakin putus asa, aku kembali membayangkan wajahku yang dulu, setelah beberapa saat, tiba tiba kurasakan ada yang berubah, aku meraba dadaku, buah dadaku hilang, aku langsung mencari penis kesayanganku, sudah kembali. Rasa lega luar biasa kurasakan saat ini. Aku cepat cepat bercermin, ya, aku sudah kembali.
Dengan perasaan lega, aku kembali berbaring, mencerna semua yang telah terjadi. Aku memikirkan kembali awal kejadiannya, tadi aku sedang berbaring memainkan penisku dan mebayangkan wajah Sarah, haruskah kucoba lagi? bisakah aku kembali menjadi diriku? Rasa penasaran tapi ragu, akhirnya aku memutuskan untuk mencoba lagi, lagian, sudah terbukti aku bisa kembali menjadi diriku lagi. Aku tidak tau caranya, tapi aku mencoba melakukan seperti tadi, aku membayangkan wajah Sarah, pikiranku menvisualisasikan aku menjadi Sarah, untuk memastikan prosesnya sama, aku juga meraba penisku, bedanya penisku sekarang mengkerut kecil, ikut stress bakal hilang lagi. Dan setelah beberapa saat, benar saja, tanganku kehilangan penisku, aku mencoba meraba bagian selangkanganku, ada celah disitu, aku mencoba dadaku, buah dada muncul kembali didadaku. aku cepat cepat mencari cermin, dan kembali melihat Sarah di pantulan cermin. Aku kembali mencoba fokus pada wajahku, perlahan, bayangan cermin memperlihatkan transformasi diriku menjadi aku kembali. Sekali lagi aku membayangkan wajah Sarah, dan benar saja, aku kembali menjadi Sarah, lalu mencoba kembali menjadi diriku. Dalam setiap percobaan, proses perubahan menjadi semakin cepat, rasanya aku sudah bisa mengatur kekuatan baruku ini. Aku ingin mengetahui seberapa cepat aku bisa berubah, hanya 2 detik, aku sudah berubah sempurna menjadi orang lain. Aku menjadi gembira mendapat kekuatan ini, tiba tiba aku kembali teringat pada cahaya biru sewaktu kecelakaan. Yah, itu satu satunya yang masuk akal. Kembali aku berpikir, apakah aku bisa berubah menjadi orang lain selain Sarah? Aku berusaha menentukan pikiran, harus orang yang baik, aku tidak mau nanti tidak bisa kembali dan harus menjadi orang yang kubayangkan itu selamanya. Aku teringat Reza, aku mencoba membayangkan wajah Reza, dan benar saja, aku melihat Reza di cermin. Lalu aku membayangkan wajah abangku, dan aku berubah menjadi dia, dan aku juga belajar kalau aku tidak perlu berubah menjadi diriku dulu sebelum berubah menjadi orang lain. Aku mencoba terus
beberapa orang yang kuingat, dan aku berubah terus, akhirnya aku berubah menjadi aku, dan saat itu jam sudah menunjukkan jam 3 pagi. Aku berbaring di ranjang, mataku kututup. Aku tidak mampu membayangkan apa saja yang bisa kulakukan dengan kekuatan ini. Akhirnya aku tertidur.
Pagi jam 10, aku terbangun oleh dering ponsel. Dengan malas kuangkat, ternyata Reza menanyakan kabarku. Setelah memastikan aku baik saja, Reza memutuskan panggilan. Aku bangun, dan langsung terpikir kejadian semalam, apakah hanya mimpi, halusinasi, ternyata kekuatan itu masih ada. Aku segera mandi, tidak sabar untuk melihat keluar untuk melihat apa yang bisa kulakukan dengan kekuatan ini. Segera aku mandi, sambil mandi, aku iseng berubah menjadi Sarah, sambil membersihkan buahdada, aku terangsang, segera kucari liang diselangkanganku, sentuhan diklitoris seakan menyengat diriku, ternyata seperti itu kalau klitoris di sentuh, rabaan iseng sekarang menjadi tak terkendali, gairahku meningkat, aku tidak sanggup untuk melepaskan jariku dari vaginaku yang baru. sambil disiram air shower yang hangat, jariku mulai mengocok liang vagina, tarasa agak sakit rupanya Sarah masih perawan. Aku kembali menggosok klitorisku, dan orgasme panjang memuaskan nafsuku. Setelah selesai, aku segera bersiap siap untuk keluar.
Sampai dikantor Reza, aku langsung masuk keruangannya, Reza adalah manager di sebuah perusahaan kontraktor. Reza seumuran denganku, 29, tinggi badannya yang agak mencolok, 180, dan sedikit janggut, tapi mukanya terkesan friendly. Memang Reza mudah beradaptasi dengan orang lain, itulah sebabnya dia bisa menjadi manager, disamping keahliannya memang lumayan. Aku duduk didepan mejanya, hari itu Reza lumayan sibuk, banyak telepon masuk mencarinya. Sinta, sekretarisnya juga terlihat sibuk keluar masuk. Dengan pakaian kantor, Sinta terlihat sangat cantik dan elegan. Tubuhnya langsing, padat berisi, dan tentunya Reza memilihnya karena buah dadanya yang lumayan besar, sangat menggoda. Walau sudah mempunyai satu anak, badannya masih terawat, rambutnya yang panjang terikat rapi, hak tinggi semakin membuatnya terlihat seksi. Dan memang seperti itulah yang disukai Reza, Reza juga sering membelikan baju, sepatu
dan segala yang bisa membuat Sinta terlihat lebih menarik. Sewaktu Sinta mencari berkas di laci bawah, pantatnya tercetak di rok ketatnya, langsung saja penisku menegang. Bulatan pantat yang indah membuat pikiranku berpikir untuk berjalan ke Sinta dan meremas habis pantatnya. Untung saja Sinta segera mendapat berkas yang dicari dan berjalan keluar ruangan, sambil berjalan, aku memperhatikan bibir tipis Sinta, ingin rasanya kucium dan kuremas buah dadanya yang menantang. Terus terang aku merasa aneh dengan diriku, ada yang lain, mudah sekali terangsang. Aku mulai berpikir apakah ada hubungan dengan kekuatan baruku. Pikiranku masih penuh dengan bayangan aku bercinta dengan Sinta. Apa yang di bicarakan Reza hanya kuiyakan saja. Aku mulai memikirkan ide jahat, berubah menjadi suami Sinta untuk menidurinya malam ini. Tapi pertama aku harus tau wajah suaminya dulu. Aku iseng membongkar berkas profile karyawan Reza, dia cuek saja, karena sudah biasa aku sesuka hatiku di ruang kerjanya. Aku mencari alamat Sinta. Setelah beberapa berkas, aku menemukan berkas Sinta. Kuingat alamatnya dan aku pun permisi dari tempat Reza, Reza juga acuh saja
karena sibuk menerima telepon.
Setelah berputar putar sejenak, akhirnya aku sampai di depan rumah Sinta, aku memikirkan Sinta sedetail detailnya, dan dalam sekejab, aku berubah menjadi Sinta, lengkap dengan pakaian kerjanya. Hemm, terasa seksi sewaktu berjalan ke pintu. Aku mengetuk pintu, berharap ada yang buka, segala macam alasan sudah kusiapkan. Ternyata pembantunya yang membukakan pintu, dengan alasan kunci tertinggal dikantor dan ada berkas penting yang tertinggal di kamar, aku masuk kedalam rumah, pembantunya cuek saja, karena aku kan Sinta pemilik rumah. Pembantu itu kembali sibuk di dapur memasak untuk makan malam. Aku bingung kamar mana yang menjadi kamar tidur Sinta, setelah membuka 2 pintu kamar, akhirnya aku yakin ini ruang tidur Sinta. Aku berusaha mencari foto keluarga, dan tidak susah, foto pernikahan besar tergantung di atas tempat tidur. Aku mencoba menjadi suami Sinta, dan kembali menjadi diriku. Tugas pertama selesai. Iseng aku membongkar lemari pakaian Sinta, lalu rak tempat penyimpanan BH dan CD Sinta, melihatnya dan memegang
GString Sinta saja penisku langsung berdiri. Aku tidak sabar menunggu malam ini, saat dimana aku bisa puas meniduri Sinta tanpa diketahui. Setelah puas menciumi CD dan BH Sinta, aku keluar dari kamar, setelah mempelajari sejenak rumahnya, aku pun pamit pada pembantu dan menuju rumah. Sampai dirumah, pikiranku menjadi tak menentu, tidak sabar ingin merasakan tubuh Sinta, bayangan Sinta terus muncul di kepalaku, tanganku kembali mengocok pelan penisku, aku membayangkan Sinta yang sedang mengocok dan mengulum penisku, akhirnya aku tidak tahan, dan muncratlah spermaku, aku tertidur. Beberapa jam kemudian, aku terbangun, kulihat jam, sudah pukul 18, tak kusangka, bayangan Sinta yang menggoda masih juga ada dipikiranku, penisku masih berdiri tegak, masih belum terpuaskan oleh tanganku tadi. Aku sudah yakin, gairahku ini ada pengaruhnya dengan kekuatan baruku ini. Tidak sabar rasanya menunggu sampai tengah malam, setengah jam sebelum jam 1 malam, aku tiba didepan rumah Sinta, keadaan sudah sepi, aku perlahan masuk kerumah dengan kunci serap yang kutemukan di kamar Sinta tadi siang. Aku berubah menjadi pembantu Sinta, jadi dengan mudah aku bisa beralasan misalnya nanti terlihat. Perlahan aku masuk kekamar utama, Sinta dan suaminya tampak terlelap,
perlahan aku menyemprotkan sejenis obat tidur dsekitar wajah suaminya, setelah penantian 5 menit, berubah dulu menjadi Sinta, mencoba menggoyang tubuh suaminya, kutarik pipinya, tidak ada reaksi, sepertinya obatnya sudah mulai bereaksi. Perlahan kuturunkan suami Sinta, dan kupindahkan kebawah ranjang, lalu aku berubah menjadi suaminya. Semuanya sudah siap, saatnya aku menikmati tubuh Sinta yang sudah kubayangkan dari tadi. Kutarik selimut yang menutupi tubuhnya, terlihat Sinta memakai baju tidur tipis, tidak ada BH maupun CD. Aku menikmati pemandangan didepanku, Sinta masih terlelap dengan memeluk guling, badannya menghadap kekanan, sehingga vaginanya terlihat sedikit. Aku berbaring disampingnya, dengan jari telunjuk, aku mulai menggosok sepanjang vaginanya, dengan bantuan sedikit ludah, jariku menjadi licin, dan mulai menusukkan jariku kedalam liang hangatnya. Masih kering, aku menambah ludahku lagi untuk memudahkan gerakan satu jariku di liangnya. Rupanya Sinta tidak mudah terbangun, dan menambah gairahku, aku memang suka jahil pada wanita yang sedang tidur. Semakin lama, semakin cepat tusukkan jariku, Sinta sedikit menggeliat, tapi posisi tidurnya tidak berubah, aku semakin bersemangat ketika mengetahui kalau vaginanya mulai bereaksi dengan gesekan jariku, aroma vagina tercium di jariku, aku tidak memerlukan ludah lagi, malahan kini vaginanya sudah sangat basah, kini aku mulai bermain dengan klitorisnya, kugosok jariku, membuatnya makin sering menggeliat, sepertinya sebentar lagi Sinta bakal terbangun. Dengan stabil aku menggosok klitorisnya yang kini sudah terasa membesar, cairan vaginanya mulai melelah disekitar pangkal pahanya, mungkin saat ini Sinta sedang mimpi bercinta. Tiba tiba Sinta bergerak, dan kini posisi tidurnya terlentang, gulingnya sudah tidak dipeluknya lagi, perlahan aku membuang gulingnya kelantai. Buah dadanya kini terlihat menantang dibalik gaun tidur tipisnya, aku mulai meraba dadanya, kuremas pelan susu kirinya, dengan jempol dan telunjuk, kupilin putingnya, perlahan putingnya mengeras.
Aku bangkit, bergeser makin dekat, aku mencoba mencium putingnya, kuhisap pelan, dan akhirnya Sinta tersentak kaget dan terbangun dengan perasaan bergairah, tangannya langsung merangkul aku, tanpa mengetahui kalau aku bukan suaminya. Aku yang sudah tidak tahan, langsung melumat habis bibirnya, lidahku menjilati seluruh rongga mulutnya, perlahan aku turun menciumi lehernya, gairah Sinta sudah memuncak karena sudah ku permainkan klitorisnya dari tadi. Kedua buah dadanya kuremas dan mulai
kujilati putingnya, Sinta mendesah kuat, vaginanya sudah tak sabar ingin dimasuki penis, Sinta berusaha menarik badanku untuk menindihnya dan memasukkan penisku. Aku tahu maksudnya, dan inilah saat yang kutunggu. berlutut didepan vagina Sinta, kakinya kubuka, kini vagina Sinta terbuka lebar menantang penisku, dengan wajah memelas, nafasnya membuat buah dadanya naik turun, perlahan kuarahkan penisku masuk kedalam vaginanya, terasa hangat sekali, dengan perlahan aku memasukkan penisku kedalam vaginanya, senti demi senti, Sinta mengerang menikmati proses masuknya penis ke vaginanya yang sudah berdenyut denyut, satu hal yang agak mengecewakan, penis suaminya sangat kecil, sehingga terasa kurang menjepit. Tapi supaya tidak curiga, aku tetap menggenjot vagina Sinta, lagian Sinta memang sudah terbiasa dengan penis suaminya. Perlahan aku mulai mempercepat gerakanku, buah dadanya terguncang indah, dengan gerakan stabil, kuremas dan kupilin putingnya, membuat Sinta makin mendesah tak karuan. Dan sampai satu titik, Sinta mengerang panjang, badannya bergetar, kepalanya mendongak kebelakang. Orgasme pertama Sinta membuatku makin bergairah.
Aku mengubah posisi, kini Sinta kubaringkan menyamping, penisku kusodokan tiba tiba membuatnya tersentak dan menjerit, kini aku mulai sedikit kasar, penisku kusodokkan dengan cepat dan kuat ke vaginanya, Sinta mengerang kuat tak mampu menahan serangan nikmat di vaginanya. Sambil menggesekkan penisku, kuatur tangan Sinta untuk meremas buah dadanya sendiri, sehingga menambah indah pemandangan didepanku. Puas dengan posisi ini, aku mulai mengatur Sinta untuk menungging, dan kini Sinta yang sudah kuimpikan sejak pagi akan kunikmati dengan doggy style, posisi yang paling kunikmati, karena wanita terlihat tidak berdaya, pantat terangkat memamerkan kedua lubang, seakan mengundang setiap penis untuk masuk kedalamnya. Untuk menikmati saat terindah ini, aku tidak sanggup lagi memakai penis kecil suaminya, dalam sedetik aku berubah menjadi diriku, Sinta tidak mungkin curiga akan diriku karena suasana kamar gelap, hanya
sedikit cahaya dari lampu jalan yang masuk kekamar ini. Aku nekad berubah menjadi aku yang asli, dengan penis yang lebih besar dari suaminya, walaupun misalnya Sinta terkejut dan barbalik, aku siap berubah menjadi suaminya kembali dalam sedetik. Sinta menungging menunggu penisku, kini penis yang besar sedang bersiap di bibir vaginanya, jantungku makin berdebar, kini aku yang benar benar akan menyetubuhi Sinta, dengan suaminya tepat dibawahnya. Gairahku makin memuncak, rasanya ingin mengoyak ngoyak vagina indah Sinta yang dihiasi bulu kemaluan yang terawat rapi.
Dengan perlahan, penisku mulai menyentuh bibir vagina Sinta, Sinta tidak sabar lagi, pantatnya dimundurkan untuk bisa cepat merasakan penis membelah vaginanya. Kepala penisku mulai masuk, Sinta sedikit kaget, pantatnya dimajukan menjauhi penisku. Untuk mengurangi rasa curiganya, aku kembali menjadi suami Sinta, dan aku berbaring dan menarik Sinta untuk mengoral penisku sebentar, Sinta mengira aku ingin beristirahat, melahap penisku jilatan lidah dan kuluman mulut Sinta menandakan Sinta sudah biasa mengoral penis, hangat mulutnya membuat diriku melayang. Setelah merasa Sinta yakin tidak ada yang berubah dari penisku, aku kembali menyuruhnya menungging, dan kembali aku berubah menjadi aku, dan kini penisku ketekan lebih cepat supaya tidak ada penolakan lagi dari Sinta, sejenak kubenamkan penisku supaya Sinta membiasakan diri dengan penisku, Sinta tentu tau kalau penis ini lain dari suaminya, tapi dengan birahi yang sedang tinggi, dan rasanya tidak masuk akal, Sinta tidak terlalu ambil pusing. Lagian Sinta baru saja mengoral penis sumainya, dan rasanya biasa saja. Perlahan aku mulai menggenjot Sinta, kini aku puas, vaginanya terasa ketat, seluruh dinding vaginanya tergesek oleh penisku, Sinta pun mendesah lain dari yang awal. Vaginanya serasa terbelah, setiap centi
dinding vaginanya mendapat kenikmatan. Semakin lama semakin kupercepat, baru beberapa genjotan, orgasme kedua Sinta menggetarkan seluruh tubuhnya, jeritan panjang tertahan oleh bantal. Aku membiarkan Sinta menikmati orgasmenya, setelah orgasmenya mereda, aku kembali menghujamkan penisku dengan kecepatan penuh. Desahan panjang memenuhi ruangan, seandainya saja suaminya mengetahui istrinya sedang kusetubuhi, pasti aku akan dibunuhnya. Orgasme demi orgasme datang, Sinta merasa tubuhnya lemas tak berdaya. Sudah satu jam aku menyetubuhi Sinta, sebagai penutup, aku menarik kaki Sinta, sehingga kini posisi menelungkup. aku duduk dipahanya, sejenak aku bermainan dengan bongkahan pantatnya, puas menikmati kenyal pantat Sinta, aku menindih tubuh Sinta, sambil menyibak rambutnya
kesamping, kuciumi lehernya, Sinta tidak lagi memperdulikan perbedaan, karena tidak menaruh curiga sedikitpun. Sinta menaikkan pantatnya untuk merasakan penisku, vaginanya masih gatal ingin dimasuki penis baru, walau badannya sudah lelah. Aku menggapai penisku, dan kuarahkan ke liang vaginanya, sekali hentak, masuklah seluruh penisku, sambil kucium leher Sinta, aku mulai menggerakkan penisku, kembali desahan Sinta terdengar pas di dekat telingaku. Aku mulai mempercepat gesekan penisku, Sinta meraung raung menahan nikmat. Seandainya dia tahu aku yang menyetubuhinya, dia mungkin tidak akan mendesah menikmati ‘pemerkosaan’ ini.
Akhirnya orgasme kembali menyerang tubuh Sinta, orgasme terakhir ini sungguh membuatnya lemas, dan aku pun menyelesaikan persetubuhan ini dengan menyemprotkan spermaku kedalam vaginanya. Selesailah sudah, imajinasiku dari tadi pagi. Aku puas. Sinta sudah terbaring lemas, tidak bergerak lagi. Aku mengangkat kembali suaminya ke tempat tidur, Sinta juga masih terlelap. Setelah kurasa semua sudah beres, aku segera keluar dari rumah Sinta dalam wujud suaminya untuk menghindari kecurigaan warga sekitar, dan mobilku pun melaju dalam kegelapan malam.
Aku kembali ke rumah, membayangkan kejadian barusan. Dan yang membuatku kaget, aku masih ingin bercinta setelah menikmati tubuh Sinta sejam lebih, sungguh kekuatan baru ini mempunyai efek samping yang buruk. Karena badanku juga letih, aku pun mencoba tidur, walau di otakku masih terbayang pantat Sinta sewaktu menungging. Sambil membayangkan bisa meniduri wanita mana saja yang aku inginkan, terutama istri istri orang lain, aku pun melamun dan akhirnya tertidur. Esok hari akan menjadi hari yang penuh kejutan.
The End. Or is it?