Bini Penjual Tanaman
ISTRI saya pengen bikin taman di sedikit tanah kosong yang berada di halaman rumah baru kami. Setiap Sabtu sore jadilah kami berdua hunting tanaman di penjual tanaman yang berada di tepi jalan.
“Daripada susah-susah kita cari, lebih baik kita minta penjual tanaman saja yang bikin tamannya. Harganya berapa sih?” kata saya pada istri saya, karena saya sendiri orangnya tidak suka repot.
“Ya sudah kalau papi maunya begitu, tapi papi yang tanggung biayanya, ya?”
“Iya, yang penting service kamu memuaskan nanti malam…”
Istri saya mencubit pinggang saya. Hee.. hee.. istri saya sudah memberikan service yang terbaik kepada saya setiap kami berdua bercumbu.
Istri saya menggandeng tangan saya masuk ke sebuah lapak penjual tanaman di pinggir jalan dan kami diterima oleh seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahun.
Dan ketika kami memberitahukan maksud kedatangan kami hendak membuat taman, ia memperkenalkan dirinya pada kami, namanya Arman. Sementara istri saya ngobrol dengan Pak Arman di pondoknya, saya berjalan masuk ke kebun tanamannya.
Tidak beberapa jauh saya berjalan saya bertemu dengan seorang wanita yang sedang menyiram tanaman dengan selang air. Wanita ini lagi bunting, perutnya besar maju ke depan, pakaiannya juga sexy, rok terusan ketat dari bahan kaos yang lembut, sehingga menampakkan lekuk tubuhnya, khususnya pantatnya yang bulat nonggeng.
Pikir saya, kalau pantatnya dipakai buat menggoyang kontol saya, pasti kontol saya luluh lantak. “Selamat sore, Pak? Lagi cari tanaman, ya?” sapanya sambil tersenyum manis pada saya.
Bibirnya merah dipoles dengan gincu tebal, pergelangan tangannya melingkar 2 bentuk gelang emas, dan jari tangannya juga penuh dengan cincin emas kontras dengan kulit tubuhnya yang berwarna coklat gelap.
Saya yakin gelang dan cincinnya emas tulen, bukan gelang dan cicin imitasi.
“Iya Mbak, mau bikin taman.” jawab saya.
“O.. boleh, lihat-lihat saja dulu..” ujarnya, kemudian ia menemani saya melihat-lihat tanaman.
“Tinggalnya dimana, Pak?”
“Di Taman Surya…”
“Oo… kita pernah bikin taman di sana…” katanya.
“Di depan itu suami Mbak?”
“Iya, tadi sudah ketemu, ya?”
“Iya, lagi ngobrol dengan istri saya…” jawab saya.
“Lalu kapan mau bikin tamannya, Pak?”
“Biar istri saya yang menentukan, Mbak!”
“O… kalau gitu Bapak lihat-lihat saja mau tanaman yang bagaimana…”
Sambil berjalan saya mencoba berani bertanya pada si Mbak yang mirip seperti pelacur ini, mau ia jawab apa nggak terserah. “Hamil anak yang ke berapa, Mbak?”
“Ini anak yang keempat, Pak!”
“Waww…!” seru saya, “Anak keempat…?”
“Bapak, sudah punya anak berapa?”
“Belum, makanya saya melihat perut Mbak bulet begini sexy banget…”
“Haa.. haa…” ia tertawa renyah sambil mengelus-elus perutnya.
Waww… betapa sexynya… sayang kalau sampai dilewatkan, apalagi melihat pusernya sampai menonjol begitu besar di atas daster yang dipakainya.
Lalu saya perhatikan sekeliling kebun yang cukup luas itu, SEPI!
Nah, sekali-sekali boleh mengadu nasib, batin saya. Kalau berhasil kan lumayan… wanita bunting besar pula… jarang-jarang bisa menemukan wanita bunting yang bisa sedekat ini dengan saya seperti sekarang ini.
Selanjutnya saya mencoba mengulurkan tangan saya ke perut si Mbak. Ehh… si Mbak malah tertawa senang.
“He..he.. suka sama wanita hamil ya, Pak?” tanyanya.
Hilanglah segala ketakutan saya, “Suka banget, Mbak. Kalau Mbak mau saya kawinin sekarang, saya mau deh… kontol saya jadi ngaceng!” kata saya berani.
Si Mbak membungkuk mengambil daun yang terjepit di sandal jepitnya. Melihat pantatnya yang nonggeng itu membuat saya benar-benar kehilangan akal sehat dan melupakan istri saya di luar sana.
Saya membungkuk mencium tepat di belahan pantat si Mbak. Huu..uuhh… belahan pantat si Mbak aromanya bukan lagi menegangkan batang kontol… sepertinya ia cebok kurang bersih… barangkali kontol saya masuk ke lubang memeknya sebentar saja air mani saya langsung loncrooot…
Si Mbak menegakkan tubuhnya tidak marah pada saya.
Kemudian saya mencoba ingat-ingat dulu isi dompet saya. Jikalau sampai saya diberi kesempatan untuk ngentot si Mbak dan selesai ngentot saya tidak memberikannya tips, kan nggak lucu, kata saya dalam hati.
Saat saya sedang berpikir-pikir, saya melihat si Mbak seolah-olah memancing saya dengan memegangi selangkangannya. Melihatnya, tanpa saya memberi si Mbak aba-aba lagi, saya merangkul pinggangnya, saya mencium bibirnya.
Bagaimana si Mbak mampu menolak percumbuan saya? Saya muda, badan tegap atletis, bersih… kapan ia bisa menemukan laki-laki seperti saya yang mau mencumbuinya? Tetapi kalau ia tidak lagi bunting, saya juga tidak mau.
Tangan si Mbak menggenggam erat-erat batang kontol saya di bawah sana, sementara bibirnya dan lidahnya lincah berputar ke kiri dan ke kanan menghisap dan menguasai mulut saya.
Pinggangnya saya topang dengan tangan kiri saya, lalu tangan saya masuk ke balik daster menyeret celana dalam yang menggantung di bawah perut besarnya itu turun.
Ketika tangan saya berhasil menguasai bulu jembutnya yang banyak berserakan di gundukan memeknya, untuk menguasai memeknya sudah gampang.
Segera jari saya melebarkan bibir memeknya yang terasa menonjol di jari saya dan sudah layu. Sudah pasti, anaknya sekarang sudah mau empat. Tapi saya tidak berpikir lagi sampai sejauh itu. Saya ingin merasakan memek wanita hamil.
Dua jari sekaligus saya dorong masuk ke lubang memek si Mbak yang licin dan sudah basah. Si Mbak langsung menggigit bibir bawah saya, barangkali merasa nikmat saat kedua jari saya berputar menekuk… berputar menekuk.
“Wuaahh…” gumam si Mbak sewaktu saya mencabut jari saya. Jari saya jadi basah dan berbau amis menyengat. “Enak banget Pak, hampir mau keluar tuh tadi jari Bapak begitu… suami saya… nggak pernah mau beginiin saya Pak, seperti Bapak…” kata si Mbak.
“Ayo cepat, Pak!” ajaknya mengangkat roknya tinggi-tinggi dan melepaskan celana dalamnya.
Kemudian celana dalamnya dibuang begitu saja ke tanah. Saya membalik tubuhnya membelakangi saya. Seperti si Mbak tau instruksi saya, si Mbak nungging sembari tangannya berpegangan pada sebatang pohon.
Saya membuka lebar belahan pantatnya lalu saya mengeluarkan lidah saya menjilat anusnya dan juga memeknya yang basah dan kelihatan sudah menghitam keriput.
Saya tidak jijik. Kapan saya bisa menjilat memek wanita hamil, pikir saya lalu saya memasukkan lidah saya ke dalam lubang memeknya yang berbau amis. Si Mbak menggelinjang.
Terus saya menurunkan celana jeans saya dan celana dalam saya. Selanjutnya saya menghujamkan kontol saya yang keras itu ke lubang memek si Mbak. “Oohhh…” rintihnya sejenak saat kontol saya yang besar itu memenuhi lubang memeknya yang juga sudah melebar.
Saya pegang pundaknya, kemudian saya kocok cepat kontol saya di lubang memek si Mbak. “Ahhh… aaahhh… aaah….” rintihnya.
Semakin si Mbak merintih, membuat saya semakin bernapsu menggenjot. Lalu saya pindah mencoba menusuk lubang anusnya. Si Mbak sudah tidak peduli saya mau mencolok lubang manapun, sehingga kontol sayapun menembus lubang anusnya yang ketat.
Saya tarik-dorong lagi kontol saya. Tubuh si mbak bergoyang maju-mundur. “Ooohhh… ooohhh.. ooohh…”
Kontol saya semakin tegang tergesek dinding anusnya. Saya dorong semakin dalam kontol saya ke lubang anus si mbak, lalu crrruuuttt… crruuuuttt…. crruuuttt…. crrruuuttt… crruuuttt…. crruuuttt… crruuuuttt…. crruuuttt…. crrruuuttt… crruuuttt…. crruuuttt…
Cairan dari kontol saya yang pekat, hangat dan kencang semburannya memenuhi lubang anus si Mbak sewaktu saya menarik kontol saya pergi dari lubang anus si Mbak.
Si Mbak menurunkan roknya dan menunduk hendak memungut celana dalamnya yang berwarna biru langit itu.
“Ini untuk saya,” kata saya mengambil celana dalam dari tangan si Mbak.
Celana dalam si Mbak secepatnya saya masukkan ke dalam kantong celana saya. Terpaksa si Mbak membersihkan anusnya dengan roknya.
Selanjutnya saya keluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompet saya. “Terima kasih ya, Pak. Buat beli susu…” katanya menerima pemberian saya dengan tersenyum.
“Setiap sore di sini?” tanya saya.
“Iya, tapi bulan depan kayaknya mau melahirkan…”
“Memek kamu enak…”
“Hee… hee… besok sore boleh Pak, saya tunggu, ya… kesini lagi…”
kemudian kami pura-pura melihat pohon ketika istri saya datang dengan Pak Arman. “Bagaimana keputusannya?” tanya saya.
“Saya sudah kasih kartu nama saya, tinggal telepon mau kapan dikerjakan tamannya kalau harganya sudah disetujui Bapak…” jawab Pak Arman.
“Nanti saya kasih murah, Bu!” balas istrinya.
“Iya, saya berunding dulu dengan suami saya, nanti saya kabarin Ibu…”
“O… iya… ya…” jawab si Mbak menemani kami berjalan keluar dari taman.
Saya memperhatikan si Mbak memandang saya terus sampai saya naik ke mobil.
Pengalaman yang tidak terlupakan, karena istri saya tidak jadi bikin taman dengan Pak Arman, kemahalan, 3,5 juta rupiah sedangkan di lapak lain hanya 1,5 juta.
Tapi saya beruntung berhasil ngentot wanita hamil. Untuk taman, biarlah istri saya yang mengurusnya.