Bank Sampah
DI PERUMAHAN tempat tinggal kami, terdapat yang namanya ‘Bank Sampah‘. Warga bisa menaruh barang-barang mereka yang tidak terpakai, misalnya televisi rusak atau mesin cuci rusak, kardus bekas, botol air minum bekas dan lain-lain sebagainya di tempat itu.
Barang-barang bekas tersebut nanti akan dijadikan duit oleh petugas yang mengurusi ‘Bank Sampah‘ dan duitnya dikumpulkan di bendahara yang ditunjuk oleh ketua RW.
Uang yang dikumpulkan itu banyak manfaatnya. Bisa untuk menolong warga yang fakir, untuk warga yang berduka, untuk acara 17 Agustusan, untuk acara Kartinian, atau pergi jalan-jalan.
Kali ini kami pergi jalan-jalan setelah pandemi usai. Kami yang akan berangkat jalan-jalan totalnya sekitar 100 orang, termasuk anak-anak, dan kami pakai bus sebanyak 2 bus besar.
Pak RT mendapat pinjaman bus dari tempat kerjanya, sehingga kami tidak usah mengeluarkan ongkos untuk menyewa bus lagi. Kami hanya mengeluarkan biaya untuk BBM dan tips buat pak sopir.
Sedangkan panitia diserahkan pada anak-anak muda dan beberapa ibu-ibu. Aku termasuk di dalam kepanitian ini sebagai Seksi Umum.
Hampir setiap malam kami mengadakan rapat. Kami rapat kebanyakan di rumah Pak RT yang luas, karena Bu RT paling rajin menyediakan minuman dan makanan kecil untuk kami. Hee.. hee..
Malam itu Bu RT entah pulang dari mana. Beliau membawakan kami yang sedang rapat 2 kotak martabak manis.
Setelah beliau memberikan 2 kotak martabak manis itu pada salah satu panitia untuk ditaruh di tengah tikar, beliau tidak langsung masuk ke rumah, beliau duduk di sampingku.
Badan beliau tercium wangi parfum. Dudukku jadi tidak tenang, karena kebetulan malam itu aku kebagian tempat duduk pas di tengah-tengah pintu rumah. Malam itu panitia yang hadir sangat lengkap, 15 orang. Ruang tamu Bu RT penuh, sehingga kalau Bu RT mau melihat ke dalam rumah beliau harus mencondongkan tubuhnya ke arahku.
Aku tidak tau Bu RT meletakkan salah satu tangannya di lantai untuk menopang tubuhnya yang dicondongkan, sehingga sewaktu aku ingin meletakkan tanganku di lantai juga ‘tidak sengaja’ tanganku menyentuh tangan Bu RT.
Sheerr… darahku berdesir…
Aku kaget, tetapi aku berusaha untuk biasa-biasa saja supaya Bu RT tidak bilang aku takut padanya. Aku tetap meletakkan tanganku di lantai membiarkan tanganku menyentuh tangan Bu RT. Nanti agak lamaan baru aku tarik, batinku.
Tetapi kemudian aku merasa jari kelingking Bu RT menindih jari kelingkingku. Merasakan hal itu aku tidak fokus lagi ke rapat, jantungku berdebar-debar, mau menarik jariku yang ditindih jari Bu RT aku tidak berani.
Aku hanya menunggu saja dengan pasrah Bu RT yang menarik jarinya terlebih dahulu. Namun yang terjadi kemudian adalah jari kelingking Bu RT mengait jari kelingkingku!
Pada akhirnya akupun mengumpulkan segenap tenagaku memberanikan diri menggenggam tangan Bu RT. Sungguh aku tidak percaya, sehingga semakin menambah jantungku berdebar-debar saja karena Bu RT menerima apa yang aku lakukan terhadapnya, bahkan tangan kami saling meremas.
“Makan tuh martabak…!” suruh Bu RT.
“I… ya, Tante…” jawabku tergagap.
Bu RT mentertawakan aku, “Hi.. hi..”
Bibirnya masih tampak menarik di usianya yang hampir mencapai 45 tahun. Wajahnya juga cantik, hidung mancung dan wajahnya putih berbintik-bintik hitam.
Teman-temanku rapat, malah aku asyik pacaran dengan Bu RT, sehingga sewaktu aku dan Bu RT bergeser ke teras dan berciuman di sana, tidak ada seorang peserta rapatpun yang tahu, malah aku berani merogoh keluar tetek Bu RT dari dalam BH-nya untuk aku remas-remas.
Bu RT seperti kurang perhatian dari Pak RT sampai ia berani main gila dengan aku, sehingga tanganku berani merangsek masuk ke dalam rok panjangnya meskipun mendapat kesulitan, tetapi sejurus kemudian mata Bu RT sampai terbuka lebar dan mulutnya ternganga saat 2 jariku masuk ke dalam lubang sanggamanya yang basah.
Kukocok-kocok dengan jariku di sana sambil kuhisap pentil teteknya hingga berujung pada Bu RT lemas tak bertenaga.
Sekitar 5 menit ia baru sadar dan buru-buru ia merapikan pakaiannya, sedangkan jariku jadi lengket, basah dan berbau bau amis.
Untung rapat berikutnya aku tidak bertemu dengan Bu RT, karena kata anaknya pada peserta rapat bahwa ibunya lagi pergi ke kampung mengurus neneknya yang sakit.
Panitia yang akan berangkat duluan adalah Mama sebagai panitia konsumsi bersama Bu Intan dan Tante Erci. Aku yang mengantar ketiga bidadari itu ke sana.
Kami sampai di sana sudah sore. Cuaca mendung dan embun juga sudah turun memenuhi lapangan untuk kegiatan acara besok.
Kami segera melapor ke kantor tempat rekreasi dan oleh petugas, kami berempat diantar ke villa tempat kami akan menginap nanti malam.
Ternyata villa itu hanya mempunyai 3 kamar, 2 terletak di lantai bawah dan 1 terletak di lantai atas. Mama berbisik padaku supaya aku jangan berebut kamar dengan Bu Intan dan Tante Erci. “Kita tidur dimana saja boleh…” kata Mama bijak mungkin karena Mama sudah tau tingkah laku kedua wanita ini.
Memang mereka berdua tidak memikirkan Mama dan aku. Mereka langsung saja berebut kamar di lantai bawah. Mama dan aku mendapat kamar di lantai atas. “Ternyata bagus dan keren juga kamar ini bisa melihat pemandangan di sekitarnya….” kata Mama bukan untuk menghibur diri.
“Mama mandi dulu, ya…” kata Mama.
“Ya Ma, aku mau jalan-jalan…” jawabku. “Sambil cari kantin pengen beli kopi…”
Karena tadi di tengah jalan kami sudah mampir makan, jadi tidak perlu lagi kami memikirkan makan. Dan masing-masing ibu-ibu juga sudah membawa ransum untuk persediaan lapar nanti malam.
Sesampai aku di depan kamar Tante Erci, tiba-tiba Tante Erci membuka pintu kamarnya mengenakan handuk. “Ris, tolong Tante dong, Tante gak bisa buka kran air panas.” katanya.
Aku masuk ke kamar Tante Erci, lalu diantar oleh Tante Erci ke kamar mandinya. Kamar mandi Tante Erci cukup luas. Di ujung terdapat kotak kaca tembus pandang untuk mandi dan toilet terletak di samping kotak kaca itu. Di sebelah toilet terdapat meja wastafel.
Dan di atas meja wastafel aku melihat pakaian Tante Erci yang sudah dilepas, termasuk BH dan celana dalamnya. BH Tante Erci yang berwarna hitam itu kecil, mungkin nomor 34 karena tubuhnya kurus dan teteknya juga kecil. Tetapi wanita berumur 40 tahun ini lumayan cantik menurutku. Putih.
Lalu aku mengajari Tante Erci memutar kran air shower sampai air panas yang keluar dari kran shower itu pas untuk dirinya mandi. Tiba-tiba handphone Tante Erci berbunyi.
Kesempatan, batinku.
Tante Erci berlari keluar dari kamar mandi, aku mengikuti langkahnya, tetapi aku tidak keluar dari kamar mandi. Aku berhenti di depan meja wastafel. Aku ambil BH-nya, aku cium….
Uhhh…. baunya nikmat! Tetek Tante Erci baunya asem bercampur wangi parfum. Kuhirup dalam-dalam bau itu sampai masuk ke paru-paruku. Sedangkan celana dalamnya menempel 3 helai rambut hitam ikal yang ujungnya runcing yang copot dari selangkangannya.
Aku ambil ketiga helai rambut itu untuk kujadikan kenang-kenangan. Celana dalamnya kucium dan baunya pesing. Aku tidak berani lama-lama menikmati bau ‘perabot’ Tante Erci.
Aku minta izin dengan Tante Erci untuk pergi dari kamarnya sambil membawa 3 helai bulu jembutnya.
Sesampai di kamar, Mama sudah berdandan rapi, sedangkan aku tidak jadi ke kantin membeli kopi. “Mama mau turun ke bawa ketemu sama Bu Haji sama Tante Erci ya, Ris… mandi sana!” suruh Mama. “Kalau sudah mandi, turun ke bawa bantu kami susun bangku di lapangan….”
“I…iya, Ma…” jawabku dengan suara agak bergetar karena jantungku masih berdebar-debar membayangkan bau memek Tante Erci.
Bagaimana dengan memeknya sendiri ya, batinku mengambil tissu membungkus ketiga lembar bulu jembutnya, lalu kusimpan di ranselku.
Lalu sekalian kukeluarkan handukku dari ransel, Mama sudah pergi dari kamar. Aku melepaskan kaosku, celana jeansku dan celana dalamku di luar kamar mandi. Kutimang-timang penisku yang panjang dengan telapak tanganku.
”Kapan ya lo bisa masuk ke lubang nonok si Erci…?” tanyaku pada penisku.
Karena takut kelamaan nanti dicari Mama, aku buru-buru masuk ke kamar mandi dan di atas penutup toilet kutemukan, ohh… pakaian kotor Mama….
Darahku berdesir….
Sedangkan celana dalam Mama… oh, belepotan dengan lendir kental… baunya amis mendekati bau telor busuk. Tetapi bagaimanapun tetap kukocok kontolku sambil membayangkan memek Mama, Tante Erci dan Bu RT.
Ketiga wanita itu campur aduk dalam pikiranku.
Air maniku saat keluar, luar biasa banyaknya. Lubang penisku rasanya sampai perih….
Buru-buru aku mandi. Selesai mandi, aku keringkan tubuhku yang telanjang dengan handuk. Setelah itu aku keluar dari kamar mandi memakai pakaian.
Turun ke bawah ketiga wanita itu sedang menyusun bangku dibantu oleh 2 orang petugas. Aku tidak tenang, apalagi kulihat Mama. “Aku balik dulu ya, Ma…” kataku tidak jadi membantu mereka.
“Iya duluan sana, Mama sebentar lagi…” jawab Mama.
Di dalam kamar kulepaskan semua pakaianku. Kembali kucium BH Mama dan celana dalamnya sambil kukocok penisku lagi. Kali ini lendir di celana dalam Mama kujilat… emmmhh….
Puas…. kucuci penisku, kukeringkan dengan handuk, lalu keluar dari kamar. Sebelum aku memakai celana, kuangkat kontolku dan kulihat ujungnya yang menyerupai topi helm itu. Lubangnya terasa perih akibat desakan air maniku yang banyak dan kental tadi.
Klekkk….
“Ihhhh….” jerit Mama kaget. Aku juga kaget, sehingga membuat aku tidak sempat menutupi penisku lagi. “Bukannya di kamar mandi…” kata Mama.
“Nggak sangka Mama begitu cepat balik…” jawabku sengaja membiarkan penisku tetap telanjang.
“Cepat ah pakai celana…” suruh Mama melangkah masuk ke kamar, lalu menutup kembali pintu kamar, Mama meletakkan tasnya di meja.
Karena sudah ada benih-benih birahi di dalam darahku terhadap Mama, aku mendekati Mama yang duduk di tempat tidur dan aku duduk di samping Mama.
“Yang lainnya…”
“Yang lainnya apa? Kamu mau tiduri mamamu…? Sinting apa sudah gila kamu…?!!” gerutu Mama.
Aku memang benar-benar sudah sinting dan gila. Kupeluk Mama dan kurobohkan Mama di tempat tidur. Anehnya Mama tidak melawan, malahan ketika kutatap bibirnya, mata Mama meredup, sehingga membuat aku berani mendekatkan bibirku ke bibir Mama, mata Mama langsung terpejam rapat.
Kemudian aku terbayang bagaimana dulu kugumuli bibir Bu RT.
“Ahhh… mmmphh… ahhh… ahhh… mmph…” desah Mama ikut menggumuli bibirku sehingga seketika kedua bibir kami melumat habis-habisan sampai napas Mama tersengal-sengal.
Tempat yang sunyi dan sepi, aku semakin kehilangan akal sehatku. Kujamah payudara Mama dan kuremas dari luar kaosnya. “Arrghhhh… sayang….” desah Mama. “Ayo…”
Kutarik lepas segera celana legging Mama sebelum Mama berubah pikiran. Kuusap-usap selangkangannya yang hangat dan sedikit basah dengan telapak tanganku dari luar celana dalamnya. “Aggghhhh…” Mama menggeliat tak tahan.
Sehingga tanpa menunggu jawaban Mama, kutarik lepas celana dalam Mama. Lalu kuhadapkan batang penisku yang sekeras besi baja itu ke belahan vagina Mama.
“Tadi menggebu-gebu… kenapa sekarang berhenti? Mama sudah kasih, tinggal masukin…” kata Mama.
“Susah masukinnya, memek Mama sempit…” jawabku. “Tolong ya, Ma… aku pengen sekali…”
Lalu Mama membantu dengan memegang penisku. “Besar penismu, Mama baru tau. Dulu kecil sewaktu Mama masih memandikan kamu. Mama sudah mau bawa kamu ke dokter… kamu pakai obat, ya…”
“Nggak…” jawabku dengan suara sedikit begetar. “Berani sumpah kalau aku pakai obat…”
“Nggak usah sumpah-sumpah. Suruh kamu datang bantu, malah kamu cabuli Mama… ayo, cepetan masukin…” suruh Mama.
“He.. he..”
“Arrgghh…! Arrgghh…! Argghhh…!” rintih Mama dengan mata merem melek saat kudorong masuk batang penisku ke liang vaginanya yang selain sempit, juga kesat.
Tapi pelan-pelan, akhirnya berhasil juga batang penisku merasakan lubang vagina wanita untuk pertama kalinya. Kucium bibir Mama, lalu mulai kutarik-dorong penisku maju-mundur di liang vagina Mama.
“Ohhh… enak, Ma…”
“Mama nyangka sudah nggak enak…” kata Mama.
“Masih Mah, legit banget…”
“Ngaco…!”
Tiba-tiba hape Mama berbunyi di dalam tas-nya yang diletakkan di atas meja. “Cabut dulu… ambilin hape Mama di tas… takut dari Papamu…” kata Mama.
Terpaksa kuhentikan entotanku turun dari tempat tidur mengambil hape Mama di tasnya dan pada saat yang sama dari penisku yang sudah dibalut oleh cairan vagina Mama tercium bau tak sedap, bau amis.
Mungkin Mama lagi subur, batinku. Soalnya Mama baru berumur 44 tahun, sedangkan aku anak pertama, berumur 20 tahun. Aku punya 2 orang adik, besok juga ikut ke sini. Rian, laki-laki berumur 18 tahun dan Metha, cewek berumur 14 tahun.
Benar telepon dari Papa.
Degggg…
Bagaimana kalau Papa tau aku ngentot bininya? Tapi Mama tidak tampak grogi saat berbicara denga Papa di telepon. Takut Mama berubah pikiran setelah telepon dengan Papa, kudorong masuk lagi penisku ke lubang vagina Mama sembari Mama telepon. Kugoyang penisku lagi maju-mundur.
Pergesekan penisku dengan dinding vagina Mama rasanya begitu nikmat, beda dengan aku onani. Akhirnya aku mengejang. “Ouugghhhh…” erangku saat kulepaskan air maniku di depan rahim Mama.
Mama melemparkan hapenya ke samping memelukku. “Enak ya, sayang… ayo, keluarin semua… yang banyak…”
Crrooott… crrooott… crrooott… crroott…
“Ugghhh… Maa..aa…”
Crrooott… crrooott… crrooott… crroott…
Mama mengusap-usap punggungku. “Ya, sayang… puas…?” tanya Mama.
“Hiks…” jawabku meringis terkapar di atas tubuh Mama yang masih mengenakan kaos dan BH. “Maaf Maa…”
“Jangan dicabut dulu, biarin…” kata Mama.
Aku seperti prajurit yang kalah perang. Betapa luar biasanya alat kelamin wanita, sehebat apapun laki-laki nggak bakalan mampu menaklukan lubang sebesar uang koin 500 perak itu.
Mau orang bilang itu kualat, sepertinya ‘kata’ itu sudah ‘kuno’ dan tak berarti lagi bagiku.
Cukup lama aku baru bangun dari tubuh Mama memberikan kesempatan pada Mama pergi ke kamar mandi.
Mama kembali ke tempat tidur kami telanjang bulat dalam satu selimut. Kami tidak ngobrol tentang seks. Kami ngobrol acara besok sambil tanganku meremas-remas payudara Mama dan berharap Mama mau sekali lagi bersetubuh denganku.
Lalu akupun menghisap susu Mama. Tanganku ikut meraba dan mengelus tubuhnya yang telanjang. Dari perut turun ke bulu-bulu kasar di selangkangannya.
Merasa Mama tidak menolak, aku naik ke tubuh Mama memposisikan tubuhku dengan gaya 69. Tidak peduli Mama suka atau tidak, kubuka lebar pahanya, kucium vaginanya, selanjutnya kujilat vagina Mama.
Mama mendiamkan penisku yang tegang. Aku tidak ingin memaksa Mama, tetapi aku terus saja menjilat vaginanya, kadang kumasukkan lidahku ke lubang vaginanya. Lubang itu kujilat-jilat sampai ujung lidahku menyentuh rahimnya.
Mama mulai menggelinjang pelan. Aku tidak menghentikan jilatanku. Dari liangnya, aku menjilat biji kedelainya. Kugosok-gosok… kuhisap-hisap membuat Mama gelisah, dan tubuhnya mulai tegang pelan-pelan.
Bibir vaginanya tegang, lubang vaginanya menganga dan kelentitnya terasa keras, pertanda sebentar lagi Mama akan orgasme.
Benar saja!
Sebentar kemudian Mamapun menggeliat dan mengejang sembari merintih panjang, “Aaaaaaaarrggghhhh……”
Tak lama kemudian Mamapun selonjotan di kasur tanpa tenaga.
Aku memeluk Mama. “Gila kamu… sampai Mama lemes, dari mana kamu belajar?” kata Mama.
Aku tidak perlu menjawab Mama. Penisku segera memasuki liang vaginanya. Aku segera memompa Mama sambil menikmati tubuh telanjangnya, kuremas-remas payudaranya.
Aku mencoba bertahan untuk tidak cepat-cepat air maniku keluar. Tetapi aku kembali kalah. Sekali lagi aku menghangatkan rahim Mama dengan air maniku.
Aku lalu terpuruk dalam penyesalan.
Dengan terjadinya drama singkat ini, beruntung acara rekreasi bisa kami nikmati semuanya pada keesokan harinya.
Mama tidak ingat lagi aku telah menyetubuhinya sampai 3 kali semalam sewaktu sudah bertemu Papa dan kedua anaknya lagi. (bc2024)