Anak Kecil yang Belum Tahu Apa Apa

Halo sobat . Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman seks gilaku. Namaku Veronika. Aku merupakan seorang Ibu rumah tangga. Usiaku 42 tahun. Suamiku namanya Prasetyo, umur 47 tahun, seorang pegawai pemerintahan di kota B. Aku bahagia dengan suami dan kedua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dirinya seorang tentara. Penampilanku sendiri mesikipun telah berusia tapi sangat terawat sebab aku rajin ke salon, fitnes dan yoga. Kata orang, aku mirip seperti Donna Harun. Tubuhku tetap bisa dikatakan langsing, mesikipun payudaraku tergolong besar sebab telah punya anak 2.

Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dirinya baru saja masuk ke PTN Favorit. Yang kedua namanya Sangga, tetap sekolah SMA kelas 2. Si Rika mesikipun tinggal serumah dengan kami tapi lebih tidak jarang menghabiskan waktu di tempat kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, sebab cowok remaja, lebih tidak jarang berkumpul dengan kawan-kawannya alias pun sibuk berkegiatan di sekolahnya. Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kenasiban sex ku terus tua justru terus menjadi-jadi. Apalagi suamiku tidak hanya bertubuh kekar, juga orang yang sangat terbuka soal urusan sex. Belakangan ini, seusai anak-anak besar, kami berlangganan internet.

Aku dan suamiku tidak jarang browsing persoalan-persoalan sex, baik video, cerita, alias pun gambar-gambar. Segala macam gaya berhubungan badan kami lakukan. Kami bercinta sangat tidak jarang, minimal seminggu 3 kali. Entah mengapa, semenjak kami tidak jarang berseluncur di internet, gairah seksku terus menggebu. Sebagai pejabat, suamiku tidak jarang tidak ada di rumah, tapi kalau pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe.

Telah lama kami memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Tapi aku sangat takut untuk pasang spiral. Dulu aku sempat mencoba suntik dan pil KB. Tapi kini kami lebih tidak jarang pakai kondom, alias lebih tidak jarangnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, alias bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati supaya Sangga tidak punya adik lagi. Dan tenang saja, suamiku sangat jago mengendalikan muncratannya,

jadi aku tidak khawatir dirinya muncrat di dalam rahimku. Sebagai wanita berusia, tubuhku tergolong sintal dan seksi. Payudaraku terbukti telah agak melorot, tapi pasti saja lumrah seperti itu sebab ukurannya yang terbukti tergolong besar. Tapi yang jelas, bodiku tetap semlohai sebab aku tetap punya pinggang walapun pantatku tergolong besar. Aku sadar, kalau tubuhku tetap tetap mampu membikin para pria menelan air liurnya.

Apalagi aku tergolong ibu-ibu yang suka pakai baju yang agak ketat. Telah kebiasaan sih dari remaja. Apalagi kini susuku tambah besar. Suamiku tergolong seorang pejabat yang baik. Dirinya ramah pada setiap orang. Di kampung dirinya tergolong aparat yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga tidak sedikit berteman dengan anak-anak muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku tidak jarang mengundang anak-anak muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah.

Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami dibuat seperti gazebo untuk nongkrong para tetangga. Seusai membeli televisi baru, televisi lama kami taruh di gazebo itu jadi para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, tidak sedikit bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku kalau pas aku bersih-bersih halaman alias ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, aku khan ibu-ibu yang semlohai, hehehe.

Tidak hanya bapak-bapak, ada juga pemuda dan remaja yang tidak jarang bermain di rumah. Salah satunya sebab gazebo itu juga dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga. Salah satu anak kampung yang paling tidak jarang main ke rumah merupakan Eki, yang tetap SMP kelas 2. Dirinya anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan tangan. Sama suamiku dirinya sangat akrab, bahkan tidak jarang menolong suamiku kalau lagi bersih-bersih rumah, alias membelikan kami sesuatu di warung. Sejak tetap anak-anak, Eki dekat dengan anak-anak kami, mereka tidak jarang main karambol bareng di gazebo.

Bahkan kadang-kadang Eki menginap di situ, sebab kalau malam gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, jadi tidak terasa dingin. Pada sebuahmalam, aku dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami. Semenjak tidak jarang menonton adegan blowjob di internet, aku jadi kecanduan mengulum kontol suamiku. Apalagi kontol suamiku merupakan kontol yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah dengan kontol-kontol yang biasa kulihat di BF.

Padahal dulu waktu tetap manten muda aku rutin menolak kalau diajak blowjob. Entah kenapa kini di usia yang telah lebih 42, aku justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan aku bisa orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku, aku rutin membawa pisang kalau nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton sambil makan pisang, hehehe.

Malam itu pun aku dengan rakus menjilati kontol suamiku. Bagi mas Prasetyo, mulutku merupakan tempik keduanya. Dengan berseloroh, dirinya sempat bilang kalau sebetulnya dirinya sama saja telah poligami, sebab dirinya punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, sebab mulutku telah hampir menyerupai tempik, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Sebab kami menghindari kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku. Malam itu kami lupa kalau Eki tidur di gazebo depan.

Seperti biasa, aku teriak-teriak pada waktu kontol suamiku mengaduk-aduk isi memekku. Suamiku sangat kuat. Malam itu aku telah berkali-kali orgasme, sementara suamiku tetap segar bugar dan menggenjotku terus-menerus. Tiba-tiba kami tersentak ketika kami mendengar suara berisik di jendela. Segera suami mencabut batangnya dan membuka jendela. Di luar nampak Eki dengan wajah kaget dan gemetaran ketahuan mengintip kami. Suamiku nampak marah dan melongokkan badannya keluar jendela.

Eki yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Eki terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tidak jadi marah, tapi dirinya kesal juga. “Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya. Eki ketakutan setengah mati. Dirinya sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tidak jadi memarahinya. Eki gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, sepertinya pantatnya terantuk sesuatu di halaman. Aku tadinya juga sangat malu diintip anak ingusan itu. Tapi aku juga menyayangi Eki, bahkan seperti anakku sendiri. Aku juga sadar, sebetulnya kami yang salah sebab bercinta dengan suara segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Eki. “Aduh, mas.

Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Eki dan memegangi tangannya. Wajah Eki sangat memelas, antara takut, sakit, dan malu. “Telah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, bisa gak?” Sebab gemeteran, Eki gagal mencoba berdiri, dirinya malah terjerembab lagi. Dengan cara reflek, aku memegang punggungnya, jadi kami berdua menjadi berpelukan.

Dadaku menyentuh lengannya, pasti saja dirinya bisa merasakan lembutnya gundukan besar dadaku sebab aku hanya memakai daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya aku tidak memakai apa-apa lagi. “Aduh sorri, Ndun,” pekikku. Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal aku meliriknya, kenapa dirinya menertawai kami? “Aduh, Mas ini. Ada anak jatuh kok malah ketawa,” “Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Eki nyatanya udah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan Eki.

Weitss… nyatanya mungkin tadi Eki mengintip kami sambil mengocok, sebab di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya terkesan mencuat ke atas. Kontol kecil itu terkesan sangat tegang dan berwarna kemerah-merahanan. Malu juga aku menonton adegan itu, apalagi si Eki. Dirinya tambah gelagepan. “Hussh, Mas. Kasihan dia, udah malu tuh,” kataku yang justru meningkatkan malu si Eki. “Kamu suka lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo… kamu nafsu ya lihat Bu Veronika?” goda suamiku. Dirinya malah ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku. Pasti saja wajah Eki jadi tambah memerah, mesikipun tetap saja kontol kecilnya tegak berdiri. Kesal juga aku sama suamiku.

Udah gak menolonng malah menertawakan anak ingusan itu. “Huh, Mas… mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia!” “Lha dirinya khan udah berdiri.. ya tho, Ndun? Wakakak,” kata suamiku. Aku sungguh tidak tega menonton muka anak itu yang merah padam sebab malu. Aku segera berdiri mengangkang di depannya dan memegangi dua tangannya untuk luar biasanya berdiri. Berat juga badannya. Kutarik kuat-kuat, akhirnya dirinya terangkat juga. Tapi baru setengah jalan, mungkin sebab dirinya tetap gemetar dan aku juga tidak lebih kuat, tiba-tiba justru aku yang jatuh menimpanya. Ohhh… aku berusaha untuk menahan badanku supaya tidak menindih anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Eki dan membikinnya jatuh terlentang sekali lagi.

Bahkan hari ini, aku ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan… ohhhh! Sleppp… terasa sesuatu masuk tepat di tempikku. Waah…!! Aku tersentak dan sesaat bimbang apa yang terjadi, begitu juga dengan Eki, wajahnya nampak sangat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa menonton kami jatuh lagi. Tiba-tiba aku sadar apa yang masuk tepat di lobang tempikku, nyatanya kontol kecil si Eki! Kontol itu dengan mudah masuk ke tempikku sebab di samping tempikku tetap basah sisa persetubuhanku dengan suamiku, juga sebab aku tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku. Ohhhhh…

apa yang terjadi? pikirku. Mungkin juga sebab kontol Eki yang tetap imut dan lobang tempikku yang biasa digagahi kontol besar suami, jadinya sangat mudah diselipin batang kecil itu. “Ohhh.. Masss?!!” desisku pada suamiku. Hari ini suamiku berhenti tertawa dan agak mendongal kaget. “Kenapa, Dek?” tanyanya heran. Kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dirinya mendekati kami, dan menonton bahwa batang Eki telah hanyut di lobang tempikku.

Beberapa hari kami bertiga terdiam bimbang dengan apa yang terjadi. Aku merasakan kontol Eki berdenyut-denyut di dalam lobangku. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung seusai persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda. Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si Eki. Pasti saja kontolnya kembali menusuk lobangku. Ohhh… aku merasakan sensasi yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh. “Ohhh…” desisku. “Ahhh…” Eki ikut terpekik tertahan. Wajahnya memerah.

Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku. Slepppp…!! kembali kontol itu menusuk ke dalam lobangku. Yang mengherankan, suamiku diam saja, entah sebab dirinya kaget alias apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka mulutnya, mungkin bimbang juga untuk bereaksi dengan situasi aneh ini. Aku diam saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku.

Tanganku berada di segi kanan dan kiri si Eki. Sementara Eki dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok kontolnya tetap tegang di dalam tempikku. Dasar anak mesum, pikirku. Tapi aneh juga, aku justru merasakan sensasi yang hebat dengan adanya kontol anak yang telah kuanggap saudaraku sendiri itu di dalam tempikku. Agak kasihan juga menonton mukanya, dan juga timbul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dirinya sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, sebab kontolnya telah terlanjur menusuk ke dalam tempikku. Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Eki.

Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon mas Prasetyo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Eki, toh kontolnya telah menancap di tempikku. Apalagi kalau lihat muka hornynya yang telah di ubun-ubun, kasihan lihat Eki kalau tidak diteruskan. Dengan nekat aku pun kembali menekan pantatku ke depan.

Tempikku meremas kontol Eki di dalam. Merasakan remasan itu, Eki terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga. “Dik, a-a-apa yang kau lakukan?” kata suamiku gagap. Aku diam saja, hanya saja aku mulai menggoyang pantatku maju mundur. Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat menonton mukaku setengah tidak percaya. Eki tidak berani menonton suamiku.

Dirinya menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu. “Mas… aku teruskan saja ya, kasihan si Eki. Apalagi khan telah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani. Aku tidak bisa lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini sangatlah di luar perdiksi kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Eki. “Ahh… hh.. hh… ughh!!” Si Eki mengerang-erang sambil tetap berbaring di rerumputan di halaman rumah kami. Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas kontol kecil itu di dalam lobangku.

Remasanku rutin bikin suamiku tidak tahan sebab aku rajin ikut senam. Apalagi ini si Eki, anak ingusan yang tidak berpengalaman. Tiba-tiba, sebab sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam tempikku menguat, dan kontol kecil si Eki dijepit dengan luar biasa. Eki meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik dan…

crooooott-crooooott-crooooott…!! Cairan panasnya meledak membanjiri rahimku. Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh badai kenikmatan… Ohh, aku terkulai lemas sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tangan. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak aku diam tidak tahu wajib bagaimana. Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik, I-Eki gak p-pakai kondom.” kata suamiku terbata-bata.

Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima tidak sedikit sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohh… tiba-tiba aku sadar bakal risiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi aku bakalan mengandung anak dari Eki, bocah SMP yang tetap ingusan. Oohhhh… Pelan-pelan aku berdiri dan mencabut kontol Eki dari tempikku. Kontol itu tetap setengah berdiri dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku menghela nafas.

Cepat-cepat aku membenahi dasterku. Dengan gugup, Eki juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan. “Ma-ma’af, Bu..” akhirnya keluar juga suaranya. Aku menatap Eki dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan. “Telahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas. “Iya, om.

Ma-maaf ya, Om,” kata Eki sambil menunduk. Segera dirinya meluncur berangkat lewat halaman samping. “Masuk!” suamiku menonton ke arahku dengan suara agak keras. Gemetar juga aku mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang bakal terjadi? Kami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran kurang baik menderaku, jangan-jangan suamiku tidak memaafkanku. Ohh, apa yang bisa kulakukan? Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tidak berani menatap suamiku. Selagi ini aku merupakan istri yang setia dan bahagia bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba aku merasa sangat-sangat kotor dan hina.

Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dirinya mengelus pundakku. “Telahlah bu, ini khan kecelakaan.” katanya. Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali. “Tapi, mas… kalau aku hamil… gimana?” tanyaku memberanikan diri. “Ah.. mana mungkin, dirinya khan tetap ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil, khan gak papa, si Sangga juga telah siap kalau punya adik lagi,” kata suamiku. Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi.

Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tidak tahu, padahal dirinya barusan saja menonton istrinya disetubuhi anak muda ingusan. Hingga-sampai aku kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga aku pun menyerah. “Mas, keluarin di mulutku saja ya… aku tidak kuat lagi,” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi doggy. Suamiku mengeluarkan kontolnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedot-nyedot kontol besar itu. Kurang lebih setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang aku menelan semua cairan kental itu. Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa.

Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seakan-akan melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Eki belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebetulnya rumah kami dekat dengan rumah Eki, tapi aku juga belum berani untuk menonton kondisi anak itu. Hanya saja aku tetap tidak jarang ketemu ibunya, dan tidak jarang iseng-iseng nanya kondisi Eki. Katanya sih dirinya baik-baik saja, hanya kini lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP. Seminggu sebelum bulan puasa, Eki datang ke rumah mendampingi selamatan keluarganya.

Wajahnya tetap kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah. “Hai, Ndun, kok kamu jarang main ke rumah?” tanyaku. “Eh.. iya, bu. Gak papa kok, Bu,” jawabnya sambil tersipu. “Bilang ke mamamu, makasih ya,” “Iya, bu,” jawab Eki dengan canggung. Dirinya bahkan tidak berani menatap wajahku. Entah kenapa aku merasa kangen sekali sama anak itu. Padahal dirinya jelas tetap anak ingusan, dan bukan type-type anak SMP yang terkenal dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Eki tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya terbukti tinggi. “Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya,” ajakku. Eki tampak tetap agak malu dan takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku tetap dinas ke Kulonprogo.

Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar mengenai sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali aku merasa Eki melirik ke badanku. Wah, gak tahu kenapa, aku merasa bahagia juga diperhatiin sama anak itu. Waktu itu aku mengenakan kaos agak ketat sebab barusan ikut kelas yoga bersama ibu-ibu Candra Kirana. Pastinya dadaku terkesan sangat menonjol. Akhirnya tidak begitu lama, Eki pamit pulang. Dirinya kelihatan lega sikapku padanya tidak berubah seusai kejadian malam itu. Hingga di bulan selanjutnya, aku tiba-tiba gelisah. Telah hampir lewat dua minggu aku belum datang bulan.

Pasti saja kejadian waktu itu membikinku bertambah panik. Gimana kalau sangatlah jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasetyo. Untuk melakukan test saja aku sangat takut. Takutnya kalau positif. Hingga pada sebuahpagi aku melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti mau copot. Lembaran kecil itu menunjukkan kalau aku positif hamil. Oh, Tuhan!! Aku sangatlah kaget dan tidak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami rutin bercinta dengan aman. Dan jelas sesuai dengan waktu kejadian, ini merupakan anak Eki, si anak SMP yang belum lumayan umur. Aku sangatlah bingung.

Seharian aku tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja sebab aku tidak siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku bahwa aku hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membikinku bingung. Hari itu aku belum berani untuk memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan perbedaan sikapku. “Dik Idah, ada apa? Kok sepertinya tidak lebih sehat?” tanyanya penuh perhatian. Waktu itu kami sedang tidur bedua. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku. “Ada apa sayang?” tanyanya.

Badan kekarnya memelukku mesra. Aku rutin merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu. Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dirinya menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dirinya bertanya, “Benarkah?” Aku mengangguk pelan sambil menangis, “Aku hamil, mas…” Jelas suamiku juga kaget. Dirinya diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dirinya menjawab singkat, “Besok kami ke dokter Merlin.” Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan hingga pagi tiba.

Hari selanjutnya, sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Seusai dilakukan test, dokter cantik itu memberi selamat pada kami berdua. “Selamat, Pak dan Bu Prasetyo. Kamu bakal memperoleh anak ketiga,” kata dokter itu riang. Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak mengatakan sepatah kata pun. Seusai itu suamiku tidak menyinggung persoalan itu lagi, bahkan dirinya memberi tahu pada anak-anak kalau mereka bakal punya adik baru. Anak-anak nyatanya bahagia juga sebab telah lama tidak ada anak kecil di rumah.

Bagi mereka, adik kecil bakal menyemarakkan rumah yang kini telah tidak lagi ada suara anak kecilnya. Malamnya, seusai tahu aku hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dirinya ingin supaya anak itu gugur alias sebab dirinya merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku menyambutnya dengan tidak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari seusai sepanjang malam kami bergelut di atas kasur. Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu sebab sepanjang malam mulutku disodok-sodok terus oleh kontol suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang hingga tiga kali membasahi muka dan mulutku.

Aku hampir tidak bisa bangun pagi harinya sebab seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok itu hari libur, jadi aku tidak wajib buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak. Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga rutin merasa horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya kontol suami seperti kehamilanku hari ini. Hamil hari ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil hari ini justru aku merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi.

Setiap malam tempikku terasa senut-senut, ada alias tidak ada suamiku. Kalau pas ada ya enak, aku tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada, aku yang jadi kebingungan dan akhirnya mencari-cari film-film porno di internet. Setelah itu pasti aku mainin tempekku pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe. Yang jadi persoalan merupakan butuhkah aku memberi tahu si Eki bahwa aku hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku.

Dirinya mendukung kehamilanku saja telah sangat membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, nyatanya kami sekeluarga telah siap menyambut anak buah baru keluarga kami. Itulah faktor yang sangat aku syukuri. Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankan. Dirinya mengundang Eki untuk menolong bersih-bersih rumah kami. Pasti saja aku bahagia sebab suamiku telah bisa menerima kejadian waktu itu. Aku bahagia menonton mereka berdua bergotong-royong membersihkan halaman dan tahap dalam rumah.

Eki dan Mas Prasetyo nampak telah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Eki kembali menginap di gazebo kami, sebab kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak. Si Rika terus sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah. Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala.

Tetap saja gazebo depan rumah tidak jarang ramai dikunjungi orang. Cuma kini Eki tidak sempat lagi menginap di sana. Mungkin sebab hampir ujian, jadi dirinya wajib tidak sedikit belajar di rumah. Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terkesan membuncit. Kedua payudara membesar. Terbukti kalau hamil, aku rutin mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membikinku rutin bernafsu. Mas Prasetyo pun seakan-akan ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya terus menggebu menonton perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan.

Gawatnya, payudaraku yang terbukti sebelumnya telah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba telah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai merupakan ukuran paling besar yang ada di toko. Kata yang jual, aku wajib pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang. Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa sebab pembengkakan payudaraku. Aku menjadi seperti mesin seks.

Dadaku besar dan pantatku membusung. Seolah tidak sempat puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar. Eki akhirnya tahu juga kehamilanku. Dirinya tidak jarang curi-curi pandang menonton perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dirinya sadar kalau anak dalam kandunganku merupakan hasil dari lakukanannya. Yang jelas, Eki menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore dirinya ke rumah untuk menolong apa saja. Pada sebuahmalam, Mas Prasetyo wajib berangkat dinas ke luar kota.

Malam itu kami membiarkan Eki hingga malam di rumah kami, sambil menolong menjaga rumah. Aku wajib ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah sepuluh malam aku baru pulang. Hingga di rumah, aku lihat Eki tetap mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu. “Ndun, Sangga telah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung sebab malam itu hujan turun lumayan deras. “Belum, Bu,” Aku lalu menelpon anak itu.

Nyatanya dirinya sedang mengerjakan tugas di rumah kawannya. Aku percaya dengan Sangga, sebab dirinya tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dirinya jenis anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya merupakan sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dirinya menginap di rumah kawannya itu. Aku lalu mengatakan ke Eki, “Kamu nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasetyo gak pulang malam ini.” Terbukti aku rutin gak enak hati kalau cuaca kurang baik tanpa mas Prasetyo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu mati. Cerita dewasa ini di publish oleh situs ngocoks.com

Apalagi kami telah tidak ada lagi persoalan dengan kejadian waktu itu. “Iya, bu, sekalian aku ngerjain tugas di sini,” jawab Eki. Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada si Eki, gak enak kalau dirinya kelak keingat kejadian dulu. Sambil tetap tetap pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Eki tetap sibuk mengerjakan kalkulus di ruang tamu.

Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga sebab baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku sebab lembab yang hebat di lubang tempikku. Maklum bunda hamil. Kalau anda lihat aku malam itu mungkin anda juga bakalan nafsu deh, soalnya mesikipun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan sebab pantat dan payudaraku terbukti membesar.

Bersambung…