Ahmad Jonathan
Nama asliku Ahmad Jonathan Nainggolan. Kau bisa panggil aku Joe. Kehidupan masa muda yang keras memaksaku untuk mencari pelampiasan di hal-hal yang kurang baik. Ini adalah cerita perjalanan hidupku yang sedang mencari jati diri sekaligus belahan hati. Selamat membaca. Saran dan kritik amat sangat diharapkan.
“Udah Mbah, begitu saja?” Aku bertanya dengan cemas. Bagaimana jika ajiannya tak seampuh yang dikatakan orang-orang? Ia mengangguk pelan, separuh tersenyum. Sepertinya ia menangkap kebingunganku. “Jangan sampai lupa, setiap Kamis Pahing,” katanya serius. Aku mengangguk. Lalu pamit. Ia memang sakti mandraguna. Campur dongkol, aku harus melalui perjalanan 3 jam lebih. Itu pun dengan biaya yg tak murah. Tempat ini tak seseram yg kukira. Mbah Wiryo pun tak nampak seperti dukun atau orang yang berurusan dengan ilmu hitam. “Nak, sampeyan itu sebetulnya orang baik.. Mbah yakin suatu saat sampeyan akan kembali ke jalan sing bener. Cuman mungkin belum sekarang waktunya..” Itu pesan lain Mbah Wiryo yg kuingat. Sambil menatap mendung di luar jendela, isi kepalaku berkecamuk. Aku tiba di bandara. Kota kecil ini hanya punya satu bandara yg tak begitu ramai. Memang bukan tipikal kota wisata. Aku bisa melihat kelesuan ekonomi di tiap sudutnya. Aku bertanya pada diriku sendiri. Kepada siapa pertama kali akan kucoba ajian Mbah Wiryo? Kapan? Panggilan pada seluruh penumpang menuju bandara Soetta terdengar. Aku melangkah dengan malas. Masih ada 1,5 jam lagi menuju Jakarta. Kulihat lagi nomor kursiku. Nomor 22A. Ah, aku beruntung. Setidaknya dekat jendela. Spot favoritku. “Gunakan seperlunya, Nak,” nasihat Mbah Wiryo kembali muncul dalam ingatanku. Aku merasa memiliki ikatan emosional yg dalam dengannya, walau hanya 2 hari bertemu. Aku duduk di pesawat dan kembali memandang ke luar jendela. Masih mendung. Di saat pikiranku sedang berputar, pandanganku tertuju ke arah penumpang yg baru masuk Seorang wanita cantik, putih, dan berhijab lebar. Begitu anggun. Ia melihat ke arah tiketnya sekali, seperti hendak memastikan posisi duduknya. Jantungku berdegup lebih cepat. Akankah ia duduk di sampingku? Bangku 22B, C, dan D kosong. Pesawat ini formasinya 2-2. Pesawat kecil. Penumpangnya pun sedikit. Tak ada penumpang lain di belakangku. Di deret 21 hanya 21A yg terisi. Mataku tak lepas menatap wajahnya. Wajah teduh yang sangat mengundang hasrat. Kami beradu pandang sekilas, lalu ia tertunduk. Darahku berdesir. Inikah waktunya kucoba ajian si Mbah? Kuatur nafasku. Ikatan sabuk pengaman kukendorkan. Torpedoku terasa menegang. Apa resikonya bila ajian Mbah Wiryo tak manjur? Aku sadar, aku telah bersekutu dengan iblis. Akan kutanggung semua resikonya. Pesawat mulai lepas landas. Ia melirikku sesekali. Sebetulnya dengan kadar ketampananku (dan kekayaanku), aku tak lagi butuh ajian Mbak Wiryo. Orang tua itu pun berpesan hal yang kurang lebih sama. “Dengan ‘modal’ sebesar dan sepanjang ini, sampeyan masih perlu apa lagi??“ katanya. Perempuan itu curi-curi pandang ke arahku. Aku pun makin berani dan percaya diri. Tinggal menunggu momen yang tepat. Sedikit-sedikit nyaliku semakin besar, sebesar “ekor depan” yg tak tahan lagi ingin dielus. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan. Pria di depanku berdiri “Inilah saatnya,” pikirku. Tenyata pria itu menuju toilet. Kutaksir usianya lebih dari separuh abad. Ubannya lebat. Jalannya terbungkuk dan sedikit terhuyung. Badannya layu. Lambat. Mungkin ia sudah menahan kencing sejak kami lepas landas tadi. Dialah penumpang di kursi 21A, persis di depanku. Perlahan, kubuka resleting celanaku. Hati-hati, aku keluarkan senjataku yang telah sedari tadi memanjang. Di sinilah ajian Mbah Wiryo (seharusnya) bekerja. “Siapapun perempuan yang melihat langsung p e n i s sampeyan, maka langsung bisa diajak bersetubuh. Kecuali…” terangnya Nafasku tertahan. “Ke… Kecuali apa, Mbah?” “Kecuali perempuan yg belum menstruasi, dan perempuan yang masih punya hubungan darah dengan sampeyan.. Ilmu Mbah ndak akan sampai ke situ..” “Baik Mbah, saya paham..” jawabku singkat. Ternyata tak terlalu sulit. Kuharap perempuan berjilbab lebar itu menoleh lagi ke arahku. Memandang k o n t o l 20 cm bisa jadi pengalamannya yg pertama. Aku melihat ke arah depan, Pak Tua yg duduk di depanku belum juga kembali dari toilet. Mungkin dengan umur setua dia, sekadar buka celana pun jadi sulit Sebetulnya aku deg-degan juga. Apa resikonya jika ajian Mbah Wiryo tak manjur? Perempuan itu teriak? Ditampar? Atau berujung di kantor polisi karena tindakan asusila? Rasa takut kuabaikan. Bodo amat semuanya. Aku harus membuktikan keampuhan ajian Mbah Wiryo, bagaimanapun caranya Aku sadar, semakin lama aku menunggu maka semakin tinggi resiko melakukan ini. Namun nafsuku sudah tak kuasa kubendung. Aku butuh bukti bahwa ajian Mbah Wiryo, bukan isapan jempol semata. Baru saja aku akan mengeluarkan torpedoku, aku dibuat kaget! Ternyata …. seorang pramugari melangkah cepat ke arah belakang. Dengan cepat kukatupkan kembali resletingku. Jika dia sampai lihat juga, aku tak yakin bisa mengatasi 2 kerumitan. Aku yakin ia tak bakal lama. Kuatur kembali nafasku yg separuh tersengal. Aku dapat mencium harum parfum sang pramugari yang lewat. Kutunggu 30 detik. Lalu, 1 menit. Lima menit. Ia tak kunjung kembali ke depan. “Tenangkan dirimu, Joe..” kataku pada diri sendiri. “Perjalanan pesawat ini masih lama, masih banyak waktu,” Akan terlalu beresiko jika si pramugari juga jadi kelinci percobaanku. Terlalu riskan sekaligus merepotkan. Sebetulnya aku hanya ingin mencoba ajian Mbah Wiryo saja. Hanya itu. Kulepas jaketku. Pesawat yg terasa sempit ini membuatku gerah. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya sang pramugari berjalan ke bagian depan pesawat lagi. “Aman,” pikirku. Aku mulai melancarkan aksiku lagi. Kubuka resletingku pelan-pelan. Kugapai batang k e m a l u a n ku yang sudah tegang dengan susah payah. Perempuan berhijab itu …masih memandang ke luar jendela. Entah apa yg ia lamunkan. Mungkin juga ia lagi mikir jorok, sama kayak aku. Dengan sengaja kutegakkan p e n i s ku. Lalu dengan sedikit berdehem, aku berusaha agar ia menoleh ke arahku. “Ssstt.. Sst sst…” Aku berusaha menarik perhatiannya Dan ketika perempuan muda itu pun akhirnya melihatku, serta merta kugoyang-goyangkan p e n i s ku seolah memanggil dan melambai-lambai. Seketika, ekspresi wajahnya pun langsung berubah. Memandang batang kejantananku, matanya melebar, sedikit melotot. Mulutnya menganga sebagian. Ia memelototiku sepersekian detik, lalu memalingkan wajahnya. Tangannya memegangi dadanya. Kaget bercampur malu. Dalam hati aku bertanya, apa tanda perempuan ini akan bisa aku setubuhi? Apakah dia langsung bernafsu? P e n i s ku masih berdiri menjulang, berharap ajian Mbah Wiryo tepat sasaran. Dan momen itu pun tiba. Saat wanita itu kembali melihatku sambil tersenyum malu-malu. Aku percaya, itu senyum malu tapi nafsu. Ku balas senyumnya dengan nakal. Tentu sambil memutar-mutar k o n t o l Ia bergerak, bersiap berdiri, setelah sebelumnya melepas sabuk pengaman di kursinya. Aku makin bersemangat. Pengalaman seperti apa yg akan kudapat di ajian perdana Mbah Wiryo ini? Ia mendatangiku sambil tetap memandangiku batang kejantananku, seperti ingin memangsa. Tanpa ragu, perempuan itu duduk di kursi kosong di sampingku. Senyumnya seperti dikulum. Wajahnya sedikit memerah, menambah kesan manis dan anggun. Ia melihat ke arah depan sejenak, mungkin takut ada yg curiga. Saat ia berada persis di sampingku, mulutnya mendekati telingaku. “Ihh gede banget sih… Pegang boleh ya?” tanyanya sambil berbisik. “Lebih dari pegang juga boleh… “ jawabku sambil tersenyum nakal. Ah, cantik sekali ia dari dekat. Bibirnya tipis. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik. Kalau diperhatikan baik-baik, punggung tangannya berbulu. Tanpa basa-basi lagi, p e n i s ku digenggamnya, lalu dimasukkan sedalam-dalamnya ke mulutnya yg kecil. Aku terkejut sekaligus sumringah. Ternyata di balik jilbab lebarnya, perempuan ini ganas juga. Kunikmati jilatan demi jilatan perempuan berhijab ini. “Besar… Berurat.. Panjang… Ugh… Aku jadi pengen nih… “ ia menatapku dari bawah sambil menunjukkan kegenitannya. Siapa yg tahan dengan godaan seperti ini??? “Ukurannya lebih mantap dari punya suami aku…” ujarnya sambil terus mengocok. Oh, sudah bersuami. Baiklah, itu menjelaskan skillnya yg lumayan hebat dan seperti sudah terbiasa. “Lebih dalam sayang…” pintaku sambil menahan nikmat. “Aduh… Mana bisa aku telen sampe pangkalnya?? Kepanjangan tauk.. Hihihihi..” katanya terkikik. Aku sambil berjaga kalau si Pak Tua kembali .. dari toilet. Bisa runyam urusannya kalau sampai kami ketahuan. Aku nggak mau diusir dari pesawat dan dilempar keluar. Hahaha.. “Slerp… Lep.. Lep… Sshh.. Srulrp… Cpok.. Cpok… “ Suara batang pelir dan lidah yg menari-nari terdengar lirih. Masih dengan semangat ‘45, kecupan dan sedotan perempuan ini membuatku semakin melayang-layang tak karuan. Siapa yg menyangka mendapat fellatio di ketinggian 10.000 kaki? Kepalanya masih naik turun, kadang sambil berputar dan menggeleng. Ugh… Tak bisa diungkapkan nikmatnya “Bijinya sekalian dong sayang… “ pintaku memelas sambil lemas. Kuperbaiki posisi dudukku, supaya tangannya yg putih dan langsing dapat menggapai bola kembar kebanggaanku. Ia mulai menggenggam dan menjilatnya. Untungnya aku selalu menjaga kebersihan dengan cara mencukur habis segala macam bulu. Kupikir ia juga menikmatinya. Pangkal batang Mr P ia jilati seperti tanpa jijik. Aku pun mulai berinisiatif untuk memberinya kesenangan. Tangan kananku mulai meraba perutnya. “Ugh… “ ia paham maksudku. Kancing kemeja lengan panjangnya ia buka dari bawah beberapa, lalu agak diangkatnya sedikit, mengizinkan tanganku lebih bebas meraih p ayu dara nya. “Nggh..” Ia mulai bereaksi tatkala aku meremas lembut dadanya yg sebelah kanan. “Jangan… Udahan please… Entar aku makin kepengen…..” tolaknya halus. “Kita lanjut kalau udah di darat aja ya..” lanjutnya. “Dikiiit aja sayang.. Dua menit ajah… Janji gak bakal kasar… “ pintaku. “Janji bener?” katanya. Duh, ingin kulumat bibir imutnya. Ia menyerah pasrah. Kemeja panjangnya lebih dinaikkan lagi. Tanganku merogoh lebih dalam. Kumainkan p u t i n g payu dara nya dengan perlahan dan penuh penghayatan. Terasa kenyal dan hangat. Sedikit keras di ujungnya. “Engh.. Duh… “ erangnya. Aku pun semakin dalam tenggelam dalam kepuasan yg tak terbendung lagi. Isi buah zakar ku rasanya ingin segera dimuntahkan. Ingin kusudahi permainan terlarang ini. “Rahangku udah pegel, habis punya kamu besar bener sih… Ga habis-habis.. Hihihi..” godanya. Aku merem melek. “Sebentar lagi sayang… Terus… Ohh… Hmmppff..” aku mulai meracau karena walau sambil bicara, tangan perempuan berjilbab ini maish asyik bermain. Kuraba perlahan payudara nya, sembari sesekali memilin-milin pentil nya. Ukurannya memang biasa saja, tapi kepadatan dan sensasi kenyal nya tak bisa kuceritakan. Ia pun semakin ganas dan liar. Berhenti sebentar hanya untuk sekedar menarik nafas. Aku yakin lehernya sudah pegal. Kunikmati betul-betul isapan demi isapan yg ia berikan. Permainan hebatnya harus diakhiri dengan kepuasan. Aku mulai berkonsentrasi agar bisa orgasme. “Terus cantik.. Iya, gitu, sedot terus… Sshh..” entah sudah berapa lama aku terbuai “layanan” si perempuan berhijab merah ini. Saat rasanya aku akan keluar, kupegang dan kuelus kepalanya. Agak kutekan sedikit ketika gerakan masuk. Menambah rasa sedap dan membuat aku segera ejakulasi. Ia sudah paham. Gerakan mulutnya makin cepat. “Dikit lagi say.. Ughh…” erangku sambil menggenggam erat sandaran tangan Kakiku mengeras, terbujur walau tempat duduk pesawat ini sempit. Mataku terpejam, kini aku sudah mencapai puncak awan kenikmatan. “Crott.. Crooott… Zrrrooott…” s p e r m a ku berhamburan seperti berlomba-lomba seperti berudu keluar dari sarangnya. Kupandangi wajahnya. Puas. “Buang di sini aja, yah…” aku mengambil kantung yg sebetulnya untuk muntah. Toh sama saja, ini kan “muntahan” juga namanya. Muntahan birahi, ha ha ha.. Ia menggeleng sambil tersenyum genit. Yg tak kusangka, ia menelan semua cairanku! Glek!! “Hah? Kok ditelen?” aku bertanya. “Biar nggak ada bukti.. Bahaya tauk, kalau sampe ada yg cium aromanya. Kita entar keciduk!” terangnya. “Pintar,” pikirku. Ia mengeluarkan tisu basah dan mulai membersihkan mulut, wajah, dan alat vital ku. Dikecupnya lembut ujung kepala ‘Bang Ujang’. “Aduh… Ngilu..” protesku. “Mau lagi?” katanya, sepertinya ia masih bernafsu. “Bang Ujang udah lemes, tuh lihat dia sampe jadi kecil..” kataku sambil menunjuk barang kesayanganku yg memang sudah tak berdaya. “Hihihi… Kapan-kapan lagi yuk?” Aku mengangguk. Ia mengambil handphone-nya. Wow, model mahal. “Minta nomor kamu ya, eh tapi jangan WA..” pintanya. Ia menangkap kebingunganku. “Pake wikipedia aja, lebih enak bikin secret message.. Hi hi hi..” terangnya. Jago juga perempuan ini. Jangan jangan dia terbiasa selingkuh?? Kasihan betul suaminya kalau gitu. Kami bertukar nomor. Dan berjanji akan “melanjutkan” pertempuran yg sempat tertunda. “Aku tak bisa menyimpan nomor ponsel tanpa nama,” kataku. “Panggil aku Tasya,” jawabnya. “Aku Joe, panggil aku Joe,” balasku. “Terima kasih ya Tasya, suami kamu pasti sayang sama kamu” Raut mukanya menunjukkan sedikit kesedihan. Apakah pernikahannya tak sebahagia yg kukira? “Please Joe jangan sebut-sebut dia kalau kita lagi berdua,” ia meminta dengan nada datar sambil memasang kembali cincin nikah yg tadi dilepas. “Oke, baiklah…” aku mengerti. Lampu indikator toilet berubah warna. Pak Tua yg duduk di depanku sebentar lagi kembali. “Tasya, kembalilah ke kursimu, sayang…” ia paham dan menciumku hangat. Kami pun bersikap seperti tak ada yg terjadi. Kuraba area selangkanganku. Masih terasa ngilu. Aku meliriknya. Ia tersipu malu. Duh cantik sekali. Bodohnya lelaki yg menyia-nyiakan wanita “sholehah” seperti dia. Hi hi hi… Pak Tua itu datang terhuyung-huyung. Aku tak tahu dan tak mau tahu mengapa ia begitu lama. Apakah ia tak tahu cara pakai toilet di pesawat? Aku melamun menatap awan. Ini pengalaman yg hebat. Dan di dalam hati aku harus berterima kasih pada Mbah Wiryo, karena berkat ajiannya aku bisa bertindak sejauh ini. Aku sungguh beruntung. Selama ini aku juga merasa selalu mendapat hoki dalam hidup. Sampai ketemu lagi, Tasya.