Adikku, Anak Siapa?
Kehadiran seorang bayi dengan tangis yang keras dan nyaring ke dunia biasanya disambut antusias serta luapan kebahagiaan dari kedua orang tuanya. Besar harapan pun terlontar melalui cuap-cuap doa dari orang-orang yang berdatangan, sanak famili yang sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari. Bayi itu masih merah, sedikit meringkuk karena dinginnya dunia yang lambat laun diselimuti kegelapan. Salah satu dari Wanita-wanita penolong yang rajin berseliweran di rumah sakit segera meletakkannya di sebuah tabung inkubasi hangat. Ibunya kepayahan, melepas perih dalam rangkulan bahu lelaki yang hampir selalu tegang menyaksikan proses persalinan.
“Pah, jangan kasar lagi ya….”, setetes air mata mengalir sendu.
Duduk bersandar di sebuah kursi plastik di luar ruangan, kakak dari si bayi. Ditemani beberapa sanak famili yang lain yang sedang mengobrol sesamanya. Anak itu umur 16 tahun. Roman wajahnya tak mengisahkan ia bahagia dengan kelahiran adiknya. Datar, layaknya orang melamun tanpa punya pikiran tersangkut jelas. Ia sesekali mengusap-ngusap memar di lengannya, terkadang menyeka bibir yang kering. Raut mendung bercampur sambaran kilat, antara murung dan kegeraman pucat. Begitu cerita si sulung di saat kehadiran bungsu yang belum serba tahu bahwa dunia ini amatlah kejam.
Warga mengelilingi mayat lelaki tergeletak macam ampas. Tubuhnya bersimbah darah di halaman depan rumahnya sendiri. Tengkuk leher laki-laki itu menurut warga habis diserang binatang buas. Terkoyak, kulit mengelupas seperti jeroan yang terkikis. Lepehan daging yang hilang berhasil ditemukan. Darah masih mengucur, menyiprat-nyiprat layaknya kepala sapi saat berhasil disembelih jagal. Sementara lain, warga lainnya membantah lelaki yang sudah tak bernyawa ini tewas disebabkan binatang buas. Menurutnya, binatang buas di desa ini sudah punah akibat perburuan liar. Muncul dugaan apa karena digigit celeng? Masa iya babi bisa menggigit? Beberapa warga tertawa pandir.
Nama gue faris, gue baru aja lulus SMP dan sekarang gue duduk di kelas 10 di sebuah SMA di Jakarta Selatan. Kalau boleh tahu, gue lagi seneng banget akhir-akhir ini karena kedua orang tua gue di usia kepala tiga mereka, menghadiahkan gue seorang adik laki-laki. Buat gue yang hampir selalu di rumah sendirian ditemenin mama, hadiah ini sungguh berarti banget, melebihi kado ulang tahun yang nyaris cuma acara makan kecil-kecilan sama mama di rumah. Gue itu anak rumahan. Mau main sama temen-temen sebaya, entah kenapa gue ngerasa kagak ada yang satu pikiran aja sama gue. Gue merasa gak cocok aja sama mereka yang hobi belajar hobi nongkrong. Kadang gue berpikir juga, mereka yang aneh atau gue yang aneh.
Belum lagi bokap gue, udah pasti marah kalau gue suka kelayapan keluar. Dia minta gue belajar dan belajar terus. Tekanannya kuat banget. Gue maklumin sih. Gue orangnya gak pinter-pinter amat. Jadi ya udah kebiasaan kalau habis terima raport gue pasti kena omelan papa. Kadang-kadang juga sih papa sampai main fisik kalau udah pusing, nampar gue kalau gue coba nyahut dia lagi ngomong.
Oh ya, gue sampai lupa kasih tahu nama adik gue, nama adik gue Yoga. Usianya sekarang kurang lebih satu tahun. Sama mama, gue bahu membahu menjaga dan merawat yoga yang masih mungil dan lucu-lucunya. Selain itu, yoga juga lagi rentan banget kena penyakit. Wajar sih, keluarga gue bukan keluarga kaya, meskipun gak miskin-miskin amat. Jadi, gak terlalu sering mama kontrol ke rumah sakit. Paling-paling mainannya posyandu atau klinik. Ya mau gimana bokap gue cuma buruh pabrik. Kerjanya juga pindah-pindah mulu kalau udah habis masa kontraknya.
“Dasar jalang kamu!!!”
“Ppppppppllllllllaaaaaaakkkkk!!!”
“Kamu tega ya Mas nampar aku seperti ini terus?! Ayo lagi! Ayo lagi tampar aku mas! Iniii! Ini!!! Sampai kamu puasssss!!!!!!!…..Aku ini istri kamu loh mas!!! Aku juga baru melahirkan anak kamu!!! Kamu ini emang gak pernah berubah yaa…!”
“Diaaam kamu!! Gak usah kamu ngaku-ngaku istri aku lagi! Lebih baik sekarang kamu kasih tahu aku, anak yang baru kamu lahirin itu anak siapa?! Hayo ngaku anak siapa?!!”
“Addduhhhh Mmmamaaassss! Sakit!! Kamu bener bener jahat!!!”
Mendengar mama sama papa ribut, Gue buru-buru buka pintu kamar yang butut dan sedikit terkoyak bagian bawahnya ini, yang banyak stiker-stiker pada nempel tak karuan. Sontak aja gue langsung kaget, gue lihat papa nyeret mama ke ruang tamu sambil jambak rambut panjangnya. Gue lekas segera nyamparin mereka berdua. Gue berusaha sekuat tenaga gue lepasin tangan papa yang lagi jambak rambut mama kasar banget
“Papa!! Udah paaa!! Udah!!! Kasian mama!!”, gertak gue coba melerai. Sementara mama masih terkapar di lantai.
“Mama kamu ini! Emang udah gak tahu diri! Gak tahu malu! Ayo kamu cepet kasih tahu ke anak sulungmu ini?! Ayo kasih tahu ke anakmu?!!”, papa yang masih emosi berusaha menampar mama lagi, tetapi gue cegah.
“Udah pah! Udah!!”
“Biarin ris! Biarin papa kamu nampar mama kamu!!!”, sembap mata mama menatap gue.
“Kamu musti tahu ris! Mama kamu ini udah nyeleweng! Adik kamu itu anak haram!!!”, pekik papa memelototi diriku sambil menunjuk-nunjuk mama.
“Enggak bener itu mas! Enggak bener!!! Aku musti ngomong apa lagi sama kamu! Semuanya udah aku jelasin…”, mama mewek membantah tuduhan sebelah mata papa.
Aku sejujurnya tak mengerti obrolan mereka berdua. Bagaimana ceritanya papa bisa-bisanya mengatakan kalau adikku anak haram. Masa iya mama berselingkuh.
“Aku kecewa sama kamu, Sari! Aku kecewa sama kamu!!!!!”, amarah papa belum padam.
“Massss, aku berani bersumpah! Kalau aku gak selingkuh mas!!! Yoga itu anak kamu!!!”
“Aaaaaghhhhhhh udaaaah!!!! Aku gak akan percaya sumpah wanita murahan macam kamu!! Lebih baik sekarang aku pergi dari rumah ini!!!!”
Papa melengos pergi. Gue masih bungkam dengan apa yang terjadi barusan ini. Gue kemudian jongkok, menenangkan mama. Tapi entah kenapa, sebaliknya mama minta gue bersabar. Mama malah jadi nenangin gue yang masih planga plongo kayak orang bingung.
“Kamu yang sabar yaa ris, maafin mama sama papa…”
Soal mama dan papa bertengkar kayak gini udah bukan hal baru lagi buat gue. Apalagi papa emang suka banget KDRT ke mama di rumah, ya cuma bikin gue kesel dan dongkol aja ngelihatnya. Gue mau bela mama, tapi papa bakal lepasin emosinya ke gue. Dia bakal mukulin gue. Itu kenapa kalau kondisi seperti ini, gue lebih banyak diem jadi saksi bisu ketidakwarasan papa. Entah mengapa papa suka emosian orangnya. Gue cari cari penyebabnya barangkali masalah kantor yang bikin pikirannya tambah rumit di rumah.
Di sisi lain gue heran sama papa, punya istri secantik mama malah disakitin. Dibikin tersiksa tinggal di rumah sendiri. Mama yang tubuhnya lumayan semok di mata gue emang kerap jadi alasan papa anggap mama selingkuh. Semacam pikiran mengada-ngada di otak papa menurut gue. Seharusnya bini semontok mama dijaga, dipelihara biar awet dan harmonis terus sampai ajal menjemput. Ini enggak, malah dibikin lecet terus. Diomelin. Dihajar gak keruan apa penyebabnya. Kasian mama. Sekarang yoga, adik gue dibilang anak haram hasil perbuatan selingkuh mama.
Mama
“Faris kamu makan dulu sebelum ke dokter yaa…”, pesan mama ke gue yang hari ini izin gak masuk sekolah untuk berobat.
“Iya ma,…”, gue hanya mengiyakan. Males banget gue ke dokter hari ini. Padahal, badan gue sehat-sehat aja. Gue kata mama musti rajin check up. Biar gak gampang sakit. Tapi gue heran aja. Udah kayak orang kaya pakai check up segala. Sedangkan kehidupan ekonomi keluarga rentan morat marit. Mungkin Ini mama suka banget suruh gue check up. Boleh jadi dia takut gue kena kanker kali ya atau penyakit mematikan lainnya. Gue mah gak peduli. Lagipula berobatnya gratis pakai BPJS. Tapi di sisi lain Gue juga baru tahu BPJS boleh digunain buat check up..setahu gue kan enggak, kecuali yang sifatnya mendesak dan darurat.
Sambil menyendokki makanan sendiri, aku lihat mama sedang menyusui yoga. Bagiku, enaknya jadi bayi bisa menyantap buah dada mama yang agak besar lagi. Sayangnya, aku tahu bukan dedek bayi lagi yang kala merengek bisa menetekki mama. Namun, Aku tak mau dihajar dan dipukuli papa karena berbuat yang macam-macam. Karena nilai ulanganku jelek saja, papa marahnya seakan sudah bikin porak poranda bangunan rumah. Gertaknya yang keras bikin pecah telingaku. Bikin aku terkadang jenuh dan galau sendiri. Begitu sial rasanya aku punya papa sifatnya temperamental.
Walaupun demikian, hubungan papa dan mama sudah tak seharmonis dan sebahagia dulu. Ah, memang papa dan mama hubungannya pernah harmonis? Lebih buruk setelah kehadiran yoga. Papa seperti sudah mengabaikan mama. Mereka sudah tidak saling bertegur sapa lagi walaupun masih tinggal serumah. Meskipun, papa sekarang juga sudah jarang tinggal. Entah kemana dia mengungsikam dirinya.
Aku melamun selagi makan, memikirkan hal itu….
“Apa iya, yoga bukan adik kandungku? Hmm…”