Pelet Untuk Cinta
Hari pertama masa orientasi di sekolahku ada satu hal yang ku sadari, ada seorang selebriti indonesia yang satu sekolah denganku. Seorang gadis cantik blasteran Indonesia-Jerman yang terkenal dengan jargon : “Udah beychek gha ada oyjeck..”, Cinta Laura Kiehl namanya. Semasa smp aku hanya melihatnya melihatnya di layar kaca. Sekarang aku begitu dekat dengannya. Sangat dekat karena dia duduk di sebelahku sambil memperhatikan pak Yono, kepala sekolah kami memberi sambutan pembukaan acara MOS. Tak sedikitpun ku dengar apa yang dikatakan pak Yono. Pikiran dan mataku berkonsentrasi pada bidadari berkulit merah muda yang ada di sebelahku ini. Sesering mungkin aku mencuri pandang padanya. “Cantiknya makhluk Tuhan yang satu ini,” aku bergumam dalam hati. Sekali pandangan mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku. “Manisnya gadis ini..”kembali aku menarik nafas panjang. Pikiranku melayang, tangan kananku menopang dagu, melamun membayangkan kami berdua berjalan berpegangan tangan di lorong sekolah ini. Pasti banyak yang akan iri padaku. “Ech, khamu phunya penscil engga?” tiba-tiba bidadari di sebelahku bertanya. “Eh.. ohh.. a-ada ada,” jawabku grogi. “Aduh cinta… matamu.. bibirmu..” bathinku tak terdengar. “Ni pensilnya..” kuserahkan pensilku padanya. “Jangankan pensil, jiwakupun kuserahkan untukmu,” kembali bathinku berbicara lirih. Diambilnya pensil dari tanganku dan dia mulai sibuk membuat gambar di halaman terakhir buku tulisnya, untuk menghilangkan kebosanan akibat pidato retorik pak Yono. Kembali kunikmati pemandangan indah ciptaan Tuhan yang kini mencoret-coret buku tulisnya. “Cinta cinta..” hanya dalam hati keberanianku memanggil namanya. Apa daya? Aku bukanlah siapa-siapa baginya, bahkan bagi dunia ini. Bagaikan mendapat durian runtuh aku bisa bersekolah disini, di sekolah internasional ternama di Jakarta. Jika bukan karena kemurahan hati bos bapakku, mana mungkin keluargaku bisa menyekolahkanku disini. Bapakku hanya satpam di pabrik rokok samporno, karena pengabdiannya selama 20 tahun sebagai satpam itulah, begitu mendengar aku yang menjadi juara umum sewaktu smp tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolah menengah atas, bos bapakku memberikan biaya untuk aku sekolah disini. “agar bakat dan kepintaranmu tak sia-sia”, begitu kata bos bapakku. “Ech, ini penscil mu.. makhasich ya.. aku Cinta, nama kamu siapa?” dia menyodorkan tangannya sesudah kuambil pensil dari tangannya. “Ehh.. sa-saya..eh, a-aku.. Doni.” kembali virus aziz gagap menyerangku. Kusambut uluran tangannya. “Alamak.. halusnya tanganmu.. cinta cinta…” kunikmati memegang jemari lentik dan halus dengan sedikit melamun, yang membuat pandanganku lurus kosong dan sedikit tolol. Suara tawa tertahan membuat aksi “camel face” ku terhenti. Segera ku lepas genggaman tanganku. Dia berlalu sambil menahan tawanya. “Bodohnya kau Don.. Don…” aku memaki pada diri sendiri. Sebulan setelah kejadian itu, entah rejeki atau musibah, aku dan Cinta di tempatkan sekelas dan sebangku. Setelah kejadian itu aku nyaris tak berbicara padanya. Malu hati ini rasanya. Kegalauan ini membuatku berubah. Jadi susah tidur, tak enak makan, lebih suka menyendiri dan sering melamun sore-sore di pos kamling dekat rumahku. “Seringnya kau melamun lay? Sampai-sampai tak kau dengar kami datang.” Togar kawanku menepuk pundakku dari belakang. “Iyo.. ono opo tho Dhon?” Roso menimpali. “Ga’ pa pa ahh..” aku memalingkan muka dari mereka. Togar dan Roso makin penasaran. “Yo ojo ngono tho Dhon? Kowe iki konco ku, senasib sepenanggungan.. moso ga gelem crito.. sharing, ngono lho,” kata Roso memancing. “Benarnya itu lay.. siapa tau aku dan si Roso ini bia bantu kau,” Togar menambahkan. “Hmmm… “, aku memikirkan perkataan mereka. “Gini kawan..” sengaja kuberi jeda agar bertambah khidmat.”Aku lagi suka sama orang,” kataku setengah berbisik untuk menambah kesan “rahasia”-nya. “Cewe yo Dhon?” tanya Roso tolol. “Bukan.. kambing.. ya cewelah, kau bodo’ ” Potong Togar sambil menjitak Roso. “Yah begitu lah.. ” kataku menghela nafas panjang. “Oww cewe tho? Kalo itu aku bisa bantu kalian..” kata Roso. Aku dan Togar berpaling kepadanya. “Beneran ni?” kami serempak bertanya tidak yakin. “Apa kalian lupa? Bapakku itu kan orang pintar.. dukun paling hebat di kampung ini,” Roso berkata membanggakan bapaknya yang satu-satunya dukun di kampung kami. “Trus..” kami berdua belum mengerti “Ya kita serahkan saja sama bapakku.. cinta di tolak, dukun bertindak..” kata Roso mantap. “Hmmm.. boleh juga ide si Roso ini..” Togar manggut-manggut sambil memegangi dagunya yang tak berjanggut. “Tapi.. apa ga jadi masalah nantinya?” aku meragu. “Tidak mungkin lah.. bapak si Roso ini sudah terkenal kesaktiannya.. Cuma anaknya ini saja yang agak…” Togar tidak melanjutkan kata-katanya, malah melirik Roso dengan pandangan mengejek. “Koyo kowe paling sempurna ae cukkk.. cukk,” balas Roso pada Togar. “pokoke tak jamin aman dah Dhon,” Roso menambahkan. “Ya sudah ayo kita ke rumahmu.. daripada aku galau begini..” aku pasrah. Sesampainya di rumah Roso, kami disambut Pak Pujo, ayahanda Roso. “Wah tumben kalian berdua main kemari?” sapa Pak Pujo padaku dan Togar. “Iyo Pak.. iki koncoku enek masalah,” kata Roso pada bapaknya. “Masalah opo tho le?” kata Pak Pujo kembali berbahasa Jawa. “Masalah kambing.. eh, masalah wedo’an pak,” kata Roso to the point. “Begini pak.. saya… ” aku bingung dan malu menjelaskannya, ku sikut lengan Roso. “Ngene lho pak.. koncoku iki..” Roso menepuk bahuku, “tresno karo wong wedhok.. arep di tulungi ngono lho phak,” Roso menjelaskan pada bapaknya. ‘Hmmm..”, Pak Pujo manggut-manggut. “kamu yakin Dhon mau bantuan saya?” Pak Pujo menanyakan keteguhan hatiku. “Sudah satu bulan saya tidak enak makan, tidak bisa tidur dan susah belajar.. hanya bapak yang dapat membantu saya” kataku setengah memohon. Kembali Pak Pujo manggut-manggut, “ya sudah ayo kita masuk ke dhalam”, ajak pak Pujo. “Kalian dhudhuk dhulu disini” kata Pak Pujo pada kami, sejenak dia masuk ke dalam kamar yang ditutupi tirai hitam kemudian keluar membawa botol bening kecil yang berisi cairan bening kekuningan. “Ini namanya minyak pemikat sukma, minyak pelet paling ampuh sejagad raya ini.. cukup kamu mengoleskan atau menyentuhkan minyak ini dengan tanganmu pada kulit gadis itu, maka dia akan menyukaimu lebih dari apapun.. pergunakan sebaik-baiknya,” titah Pak Pujo menyerahkan minyak pelet itu padaku. “Terimakasih banyak pak,” kuucapkan terimakasih pada Pak Pujo. Saat aku menyerahkan sejumlah uang untuk membayar minyak pelet itu, Pak Pujo menolaknya, “tidak usah Dhon.. kamu dan Roso sudah berteman sejak lama.. saya berikan minyak itu dengan cuma-cuma.” “Terimakasih banyak pak,” sekali lagi aku mengucapkan terimakasih, “kalau begitu saya pamit pak,” aku berpamitan. “Tunggu Dhon..” cegah Pak Pujo, “ada satu hal yang mau saya ingatkan.. cinta sejati tidak di dapat dengan minyak pelet itu..” kata Pak Pujo bijak. “Iya pak, saya mengerti..” jawabku sekenanya. “Kau akan jadi milikku Cinta..” bathinku. Di sekolah aku mencari cara agar dapat mengoleskan minyak pelet pemikat sukma itu pada Cinta. Akhirnya aku dapatkan alasan yang tepat. “Cinta.. ” aku gugup, “kamu udah buat pr fisika blum?” tanyaku. “Ouww.. phisic? Udah..” jawabnya. “Boleh penjem ga? Aku lupa bikin kemaren,” tanyaku penuh harap. “Yes off course.. here you go,” kata Cinta berlogat britishnya sambil menyerahkan buku pr fisikanya padaku. Sengaja ku sentuh tangannya dengan tanganku untuk mengoleskan minyak pelet pemikat sukma padanya. Saat ku sentuh tangannya, terjadi perubahan ekspresi pada wajahnya, raut mukanya membias merah. Aku menunggu reaksinya. Cinta tersenyum manis padaku. Aku tak tahu apa pelet ini berhasil atau tidak. Aku coba mengajaknya untuk pertama kali, “Cinta.. ke kantin yuk?” aku tes keampuhan minyak pelet ini. bersambung…