Separuh jiwaku…

Salam semprot suhu-suhu semua dimanapun anda berada. Ijinkanlah nubi hina ini mulai menyelami dunia cerita panjang nan panas. Cerita yang akan saya sampaikan berikut adalah cerita panas pertama saya, buatan sendiri, dengan inspirasi beberapa cerita panas yang tersebar, baik di forum ini ataupun di luar. Mohon diingat bahwa cerita yang akan saya sampaikan ini adalah cerita fiktif, bukan berdasarkan kisah nyata. Apabila ada kesamaan nama, tokoh, tempat, cerita, dan sebagainya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, sekali lagi, ini adalah cerita fiktif berdasarkan hasil imajinasi cetek saya sebagai penulis pemula. Saran dan kritik dari suhu semproters sekalian sangat saya harapkan, saran dan kritik tersebut akan saya tampung dan jadikan bahan pertimbangan untuk cerita panas selanjutnya, apalagi kalo ditambah Thanks sama GRP, bikin saya makin semangat bikin ginian lagi pastinya. Demikian pembukaan dari saya, mimik_cucu, salam semprot, mari kita sehatkan bangsa dengan nyusu toge.
“Separuh Jiwaku”​

Part 1 – It begins here…​

Tolonglah aku, dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku, dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir
Bebaskan aku, dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku, dari rapuhnya jiwaku
Adakah seseoran yang melepaskanku, dari kesepian ini…​
Lagu itu melantun begitu saja, menemaniku menjelajah dunia maya, sejenak kemudian, kulirik jam di sebelah laptopku. Lagu tersebut masih melantun, namun segera kuarahkan tanganku menuju ke speaker aktif, memperbesar sedikit volume suaranya, kemudian kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Aku harus segera bersiap-siap, hari ini harus lebih baik dari kemarin, sekejam-kejamnya dunia padaku, masih lebih kejam nilai D yang diberikan dosen killer di mata kuliahku karena keseringanku datang terlambat di kelasnya.

Aku Indra, mahasiswa jurusan Akuntansi di kota ******** yang masih punya hasrat di bidang IT. Kasta keilmuanku sebagai mahasiswa ada di area yang biasa-biasa saja, bahkan kalo boleh jujur sih, ya menengah bawah. Hahaha. Bicara soal penampilan, aku cukup gak pede sih untuk cerita, tapi yasudah lah, demi kalian para pembaca, biar TS bocorkan sosok dibalik topengku. *halah*
Perawakanku cukup tinggi, 173 cm. Dengan tubuh tambun, setambun standup comedian Sammy ‘not a slim boy’ kali yak ekstrimnya, walaupun aslinya gue masih sedikit lebih slim sih. :v Kalau soal wajah, aku cukup tampan, setampan Sora Aoi atau Natt Chanapa *lho salah, itukan cantik semua, bintang bokep lagi*, ralat, maksudku setampan Oka Antara atau Iko Uwais lah, tapi versi super tambunnya. *kudu pede pemirsa, kudu**walaupun aslinya bener malah mirip Mo Sidik*

Berbalut handuk biru kesayanganku, kulangkahkan tubuh tambunku menuju ke lemari pakaian, segera kuambil dan kukenakan kemeja kotak-kotak kesayanganku, lalu kukenakan jeans biru-hitam gelap yang telah menemaniku selama dua tahun. Aku pun beranjak dari kamar kosku menuju ke teras, dimana aku meletakkan rak sepatuku. Setelah semua persiapan usai, segera kupacu “harimau” kesayanganku menuju kampus.

Sesampainya di kampus, ternyata jadwal kuliah dosen killer dibatalkan. “Ah, sial, udah dateng pagi, dosennya batalin. “Kampret” gumamku. “Daripada balik kosan, malah tenggelam di kegalauan atau kepornoan lagi *eh*, ngapain ya enaknya” gumamku lagi.

*BLUG* “Oi badak tambun! Disini lo, ngapain lo bengong-bengong sendiri? Ngelanjor yak!” sebuah tepukan keras di punggungku beserta suara seseorang membuyarkan gumamku. “Duh, Cungkring! Rese lo ah, gak ada kerjaan laen apa selain ganggu gue, eh cewek baru lo mana?” jawabku. “Anjir, malah nanya cewek gue, lagi ada kelas dia bro, kenape, konak lo liat dadanya? hahaha” jawabnya enteng. “Siapa yang bisa tahan konak cuk liat susu segede itu shaking gitu, wekekekekekek” selorohku. “Ahahaha, eh, laper cuk, ke kantin yok, gue traktir” katanya. Kamipun segera berjalan menuju kantin

Cungkring alias Dion adalah teman baikku sejak SMA, salah satu penghuni kos-kosanku juga, saat ini ia mahasiswa jurusan Sistem Informasi. Banyak hal gila kami lakukan bersama semasa SMA, bolos bareng, balapan, ngecengin kakak kelas, bahkan dia pernah ngecengin guru yang memang masih muda dan cantik. Sayangnya, saat ini sohibku itu tak bisa lagi melakukan hal-hal gila seperti jaman SMA dulu. Sejak kehadiran Rina, anak Teknik Industri, pacar barunya. Bisa dibilang kehadiran Rina dalam hidup Dion mengubah si Cungkring mesum ini ke arah yang lebih baik, ia sudah berhenti balapan, bolos kuliah, atau berlagak playboy, walaupun masih aura mesumnya masih kental banget sih. Aku tak kaget tentang aura mesumnya yang masih kental, bagaimana tidak, Rina sebenarnya juga teman satu sekolah dengan kami saat SMA, bahkan teman sekelasku di tahun pertama, dan sejak SMA pula, Rina terkenal sebagai ‘the moving melons’, julukan mesum yang sering dibicarakan anak-anak se SMA kami karena ukuran payudaranya yang gedenya ga senormal anak SMA jaman segitu. Mengenai tampilan Rina, bisa dibilang dia ini sedikit banyak mirip dengan Shion Utsunomiya, JAV Idol yang sepertinya lagi naik daun di negerinya sana. Nah, bisa bayangin kan sekarang kenapa julukannya the moving melons?

Rina, cewek paling terkenal semasa SMA, dengan muka dan bentuk tubuh mirip Shion Utsunomiya​

“Bang, nasi goreng tiga yak, yang satu biasa yang dua super duper pedes, buat badak tambun depan gue ini“ kata Dion sembari duduk ke kursi kantin. “Minumnya apa bang?” jawab si penjual. “es jeruk jumbo dua” jawab Dion. Beberapa menit kemudian, datanglah makanan kami. “Heh, dwelem rwangka hapa lo nraktir gwenean segawla cuk” tanyaku sambil melahap nasi goreng. “Ya selebrasi lah, masa gue berhasil dapet ‘the moving melons’ gak ada perayaannya bareng elo cuk, gak langgeng entar, hahaha” jawabnya enteng. “Owh, gweto, tawpi tewlat bwangewt ini cuk” timpalku. “Ya lebih baik telat daripada gak kan? hahahaha” selorohnya sambil tertawa.

Beberapa menit kemudian, Dion sudah menghabiskan makanannya, ia pun bermaksud pamit padaku untuk mengejar kelas berikutnya. “Dak, gue cabut dulu yak, mau ada kelas lagi nih, dosen killer” katanya sembari berdiri dan berjalan menuju penjual makanan. “Nih bang, kembaliannya nanti aja, saya buru-buru” katanya ke penjual kemudian berlari menuju kelasnya.

“Wah, bete lagi nih, baru jam sepuluh, gak ada kuliah lain lagi” gumamku. Daripada melamun terus di kantin, akhirnya setelah menghabiskan traktiran Cungkring kulangkahkan kakiku ke taman kampus. Aku duduk di sebuah kursi yang cukup panjang, cukup untuk kupakai tidur-tiduran sambil menikmati birunya langit, dan lagi, terik matahari takkan mengganggu karena ada pohon cukup besar yang mampu mendinginkannya. Akupun merebahkan tubuhku di kursi itu, menikmati birunya langit sambil sesekali melirik ke arah taman. Saat melirik, sempat kulihat sosok gadis di seberang taman, cukup manis. Ia sedang duduk berdua dan asik bercerita dengan pacarnya, aku tak terlalu peduli karena tujuanku adalah menikmati tidur-tiduran di kursi bersama angin sepoi di bawah pohon ini. Namun, belum lama aku asik tidur-tiduran di kursi, rasanya kudengar teriakan. Dari asal suaranya, kurasa dari pasangan yang tadi kulirik, karena penasaran, aku melirik ke arah mereka lagi. Suasana perbincangan mereka terlihat semakin memanas, pasangan prianya terlihat sedang tenggelam dalam emosi, tak lama berselang, kudapati si gadis ditampar cukup keras oleh pasangannya. Si gadis menunduk, dan dari gerakannya, sepertinya ia mulai menangis, sesenggukan, sementara si pria terus saja memarahinya. Melihat hal itu, aku jadi terusik. “Tak seharusnya wanita diperlakukan seperti itu” gumamku.

Akupun bergerak mendekati mereka, belum jauh kulangkahkan kakiku dari kursi, kuteriaki pacar si gadis, “Woy, gak gitu caranya memperlakukan wanita. Gentle dikit lah kalo jadi laki. Masa nampar cewek di tempat umum.” Mendengar teriakanku, pacar si gadis menoleh ke arahku, dengan muka geram bercampur malu ia berdiri dan hendak pergi, namun sebelum beranjak, sempat kulihat ia menunjuk-nunjukkan jari ke arah si gadis sambil mengatakan sesuatu, mungkin ancaman. Lelaki itu pun pergi begitu saja, meninggalkan si gadis itu sendirian, menangis sesenggukan di taman. Beberapa orang yang juga sempat melihat kejadian tadi agaknya juga menghilang bersamaan dengan perginya lelaki si gadis.

Kulihat gadis itu masih sesenggukan, tetapi ia mulai menghapus air matanya, karena tak tega, kuhampiri gadis itu. Namun, gadis itu dengan sigap langsung berdiri, raut wajahnya masih menyisakan emosi kesedihannya, namun ia ingin segera pergi meninggalkan taman, kurasa ia juga cukup malu atas kejadian yang menimpanya ini, tapi sebelum itu….
“Makasih ya udah nolongin, tapi gue buru-buru, maaf” katanya singkat sembari ngeloyor menjauh dari taman.
================================================== *=*=*=*=*​

Senja telah tiba, lagu Face Down melantun, menemaniku yang sedang merebahkan diri di kasur. Sudah dua hari sejak kejadian itu, tapi sosok gadis itu belum sirna dari pikiranku. Aku masih ingat raut wajahnya, saat ia pergi meninggalkanku, dengan muka yang jelas-jelas terlihat ingin menyembunyikan kesedihannya.

Ahhh, cewek itu, kenapa jadi kepikiran gini sih. “She’s out of your league, bro” gumamku sambil menunjuk bayanganku sendiri di cermin.

Kulihat jam di kamar kos ku, pukul 9.45 malam. Kudengar dari ruang tengah suara teriakan penghuni kosku yang asik menonton sepakbola. Aku memilih berdiam di kamar karena aku tak begitu menyukai olahraga itu, lagipula, buat orang gemuk, olahraga apa sih yang bakal disukain? Yang ada sih, denger kata olahraga aja udah eneg. Apalagi ngelakuin, hahaha.

Karena sudah cukup malam, kuputuskan untuk mengistirahatkan diri. Kunyalakan AC kamarku, kuatur timernya ke nyala 3 jam. Kemudian, kunyalakan kipas anginku. Mungkin terdengar aneh, tapi beginilah aku. Mungkin, karena efek tubuh yang terlalu tebal, sehingga dengan AC saja masih kurang, sehingga aku masih butuh kipas angin. Atau mungkin juga, memang panasnya kota ini yang tak terkira. Kutarik selimutku, aku merebahkan diri di kasur, dan kemudian, terlelap.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 3 – Potato…​
Kubuka kedua mataku, kulihat sekelilingku, ada yang aneh, rasanya bukan tempat yang kukenal, tapi kenapa rasanya aku pernah tahu tempat seperti ini, dimana ini? Ah, tak tahulah, kucoba keliling saja, siapa tahu aku dapat jawabannya.
Kulangkahkan tubuh tambunku ke sekitar, lalu kulihat ada sebuah apartemen, kurasa aku mengenali apartemen itu, aku segera menuju kesana. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi kakiku serasa melangkah dengan sendirinya, menuju ke sebuah ruang di lantai ke sembilan apartemen itu. Kakiku masih melangkah dengan sendirinya, kulihat langkahnya kini menuju ke sebuah kamar. 906. Itulah angka yang tertera di pintu kamarnya. Kulihat tanganku, Astaga! Tanpa mengetuk pintu tanganku langsung masuk ke apartemen itu. Lalu, betapa terkejutnya aku, didalam apartemen itu, seorang perempuan cantik telah berbaring di kasur, menungguku tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuhnya.
Aku langsung menghampirinya, tanpa basa-basi segera kutindih badannya, kukecup keningnya, kemudian semakin turun, menuju ke hidungnya yang cukup mancung, pipinya yang agak tembem, lalu bibir manisnya yang seakan sudah sangat menantikan serangan dari bibirku.
Saat bibirku sudah cukup dekat dengan bibirnya, ia membisik, “Sayang, buka dulu bajumu, sini aku bantu” Aku sudah tenggelam dalam nafsuku sendiri, aku tak lagi peduli perkataannya, sembari ia melucuti kain yang menempel ditubuhku satu persatu, segera saja kusosor bibir mungil nan manis itu. Kukecup lembut, kucumbu, lalu mulai kujulurkan lidahku masuk kedalam rongga mulutnya, kupagut lembut bibirnya, iapun mulai membalas, kami mulai berpagutan dengan liar, pakaian yang tersisa di tubuhku hanya tinggal celana dalamku saja. Aku yang sudah cukup leluasa bergerak menghentikan aksiku di bibirnya, ia terlihat kecewa, ia masih ingin melanjutkan sebentar permainan bibir kami, tapi nafsuku sudah terlanjur memuncak, segera kuturunkan ciumanku menuju ke lehernya, kujilati sedikit, kukecup lagi lalu turun lagi ke sepasang gunung kembarnya. Kuhentikan aksiku sebentar, aku sungguh terkesima melihat sepasang gunung kembar yang besar itu, namun, untuk kali ini, aku tak dapat menebak berapa ukurannya, yang jelas, menggantung hampir seperti pepaya namun empuk seperti bantal, hahaha.
Kulihat sebentar raut pasanganku, matanya sayu, menandakan betapa horny nya dia setelah menerima sedikit rangsanganku, tanganku kini bergerak, mendaki kedua gunung kembar yang terpampang indah dihadapanku, kuremas sedikit, lalu kumainkan putingnya, “uhh, ohhhhh, ahhhh, uhhhh, terussin sssayyyy, uhhh, terusss…” mendengar desahannya, nafsuku makin menjadi, segera saja kulumat habis gunung kembar itu.
Beberapa menit kumainkan gunung kembarnya, lalu kuturunkan lagi bibirku, kukecup perutnya, lalu semakin turun, kukecup pahanya, dan perlahan namun pasti semakin mendekat ke arah selangkangannya, “uhhhhh, ohhhh, ahhh, ennyaaaaaakssss, terusssssinnnn, ahhhhh” desahnya sambil menggeliat seperti cacing kepanasan.
Kudekatkan bibirku ke selangkangannya, bau harum khas vaginanya mulai tercium ke hidungku. Tanpa banyak kata, tanganku yang tadinya turun memegangi pahanya kunaikkan kembali. Kuletakkan di gunung kembarnya sambil kemudian kuremas kecil dan kumainkan putingnya, sementara ujung lidahku segera menyerang bibir vertikal yang ada di depannya.

“Uhhhh, uhhhhhhh, ouhhhh, enaknyaaaaah, terussssin, ahhhhh, iiiiyaaaa disitu terusssssinn ahhh..” desahannya semakin menjadi saat lidahku bergerilya di liang vaginanya. Tak lama berselang, kuturunkan tangan kananku mendekati liangnya, kugesek-gesekkan jari-jariku degan lembut ke bibir vaginanya, sementara lidahku bergeser menyerang klitorisnya. Puas menggesek-gesekkan jemariku, kulipat semua jari kananku sekarang, hanya tersisa jari tengah, lalu kudorong masuk ke dalam liang vagina pasanganku.
“Uhhhh, uhhhhhhh, emmmmmh, ouhhhh, enaknyaaaaah, emmmmh, terussssin, ahhhhh, ehhhhhmmmh, terussss, aaooooooouhhhhhhhhhhh..” desahan panjangnya membuat jemariku menghentikan aksinya, sedang lidahku turun dan menjilati bibir vertikal itu lagi, menikmati semburan lendir yang keluar dari liang pasanganku, tanda ia telah mencapai orgasme pertamanya.

Kuhentikan aksiku, lalu kurebahkan tubuhku di kasur. Melihatku merebah, ia tak mau tinggal diam, ia ingin segera memulai acara utama. Dipelorotnya celana dalam yang tersisa di badanku, lalu dengan sigap segera ia tindih tubuh tambunku dan bersiap memasukkan kontolku ke dalam liangnya.
“Sssssayaaaaaaanggg, Yuki mulai yahhhhh, Yuki udah horny dan kangen banget sama kontol kamuuuuuh, pokoknya malam ini kamu harus puasin Yuki yahhhh”
“Hah? Yuki?” gumamku pelan. Tiba-tiba saja suasana kamar itu berubah, cahaya yang ada semakin meredup, makin lama makin gelap, hingga aku tak dapat melihat apapun, sama seperti saat aku memejamkan mata.
“Yuki… Sayuki… Sayuki Kanno…” gumamku.

Tiba-tiba kedua mataku terbuka, kulihat sekitar, aku kenal ruangan ini, ini kamar kosku.

“Ah, sial, pantesan dia ngomong pake bahasa indonesia, ternyata cuma mimpi” gumamku.

Kulihat celanaku, “aduh, sabar ye tong” gumamku pada kontolku yang tegak berdiri, masih mengharapkan bisa merasakan vagina bintang bokep jepang yang barusan masuk mimpiku. Kubangkitkan badanku dari kasur. Jam menunjukkan pukul 1.30 pagi. Kulangkahkan kakiku ke meja belajar, kunyalakan laptopku. Kuketik beberapa huruf kunci di mesin pencari, dan dalam sekejap, muncullah foto dewi malam pengganggu tidurku barusan. “Dah tong, noh cewek yang tadi bikin lu kentang, hajar dah yok” gumamku ke otong yang masih cukup tegak berdiri. Akhirnya, kuselesaikan kentangnya pagi itu di hadapan laptopku. Hhhhh, emang dasar jomblo, gak ada penyelesaian lain.

Part 4 – You’ve changed…​
Tiit tit tiit tit tiit tit
Tiit tit tiit tit tiit tit Begitulah alarm pagiku berbunyi, begitu porno, masih pagi sudah panggil-panggil tiii…. Ah sudahlah, kita lanjutkan saja cerita ini.

Hari ini sebenarnya hari yang sangat keramat bagiku, lebih keramat dari malam jumat kliwon, betapa tidak, hari ini manusia-manusia kejam di luar sana akan menikmati waktunya dengan pasangannya masing-masing, berduaan, berpegangan, berpelukan, ber… ah sudahlah, bisa leleh otak jombloku kalau harus memikirkannya. Yap! Ini hari sabtu! *Indra: atau sebut apapun itu, gue gak mau nyebut ini malam minggu* *TS: lah itu nyebut* *Indra: ah, jahat lu TS, gue jadi nyebut kan* *TS: ~ketawa ngakak~ makanya cari pacar sonohhhh*

SUDAH CUKUP TS! Hentikan ketidakjelasan ini! Gue mau cabut!

Bunyi alarm porno itu membangunkanku, hari ini aku memang tak ada kuliah, tapi dengan terpaksa aku harus ke kampus, aku harus mencari beberapa buku untuk referensi tugas akhir semesterku nanti di perpustakaan kampus. Kulangkahkan kakiku ke depan laptop, kunyalakan, lalu kuputar music playerku, ku set shuffle mode, volume suara speaker aktifku kuperbesar sedikit, lalu kulangkahkan kakiku menuju ke kamar mandi.

Kapan kupunya pacar…
Kapan kupunya pacar…
Kapan kupunya pacar…
Kapan kupunya pacar…​

“Brengsek, volume speaker udah terlanjur dikencengin, lagu yang muter malah lagu laknat gini, ancuk” gumamku di kamar mandi. Kulanjutkan mandiku dengan berharap tak ada orang lain di kos-kosan yang mendengar lagu laknatku berputar.

Kulangkahkan kakiku keluar kamar mandi, dengan berbalut handuk pendek yang menutup perut hingga lutut, kulangkahkan diriku di depan cermin, lalu berpose sebentar layaknya binaragawan sekelas Agung Hercules, atau bahkan Ade Ray. *TS: dasar badak tambun, lupa diri lu, benerin dulu tuh bodi baru pose gituan* *Indra: terserah lu dah TS, hakuna matata*

Setelah semuanya siap, kupacu si harimau ke perpustakaan kampus. Benar saja perkiraanku di awal, berada di luar gua perlindungan pada saat hari keramat seperti ini akan sangat membahayakan otak jombloku. Sepanjang perjalanan, mataku sudah berkedut berkali-kali melihat banyak pasangan berboncengan mesra, seakan mengejekku yang belum pernah merasakannya. Melintasi taman kampus, banyak pasangan muda-mudi hingga kakek-nenek berduaan dan menikmati indahnya taman kampus. Di hari sabtu seperti ini, taman kampusku memang terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang memanfaatkannya sebagai tempat jogging, sightseeing, juga berdua-duaan. Fiuh, hampir copot rasanya jantungku menahan sakitnya melihat pasangan berduaan mesra seperti itu. Untung saja, aku sudah di depan perpustakaan sekarang, segera kuparkir motorku, lalu masuk ke dalam.

Setelah menunjukkan kartu identitas mahasiswaku ke petugas, aku hendak segera mencari buku, “Mas, hari ini kita tutup jam satu siang” kata petugas mengingatkanku. Sial, sekarang sudah jam sepuluh, aku harus cepat-cepat menemukan buku itu. Kulangkahkan kakiku dengan cepat, menyusuri berderet-deret rak buku, hingga akhirnya kutemukan deretan rak yang kucari. Segera kususuri buku-buku di deretan itu. Saking asiknya dan saking terburu-burunya aku mencari buku, aku tak sadar sedari tadi ada seseorang di dekatku, tepatnya dibelakangku. Tampaknya ia juga sedang mencari buku dengan tergesa-gesa. Aku yang merasa tak punya cukup waktu tak terlalu mempedulikan siapa orang dibelakangku, hingga saat kami saling membalikkan badan.

“Lho, kamu, kamu yang waktu itu kan?” katanya
Kulihat ia sebentar sambil mengingat-ingat, siapa gadis ini, rasanya aku memang pernah melihatnya, tapi kenal dimana ya. Aku benar-benar lupa. Mungkin karena saat itu aku terlalu berkonsentrasi mencari buku.
“Aduh, udah lupa ya, masa udah bikin orang putus terus lupa” katanya lagi
“Hah? Waduh maaf mbak, mungkin salah orang, rasanya saya gak pernah ngganggu hubungan orang, apalagi sampai putus” kataku agak panik, dan masih tak ingat siapa gadis itu.
“Ih, lupa beneran yah, baru juga seminggu. Aku yang di taman kemarin itu lho” katanya lagi mengingatkanku.
“Taman…” gumamku
“Oh, kamu yang di taman waktu itu… Maaf aku lupa… Maaf juga ya atas kejadian itu kamu jadi…”
“Eh, udah, gapapa kok. Aku juga udah gak tahan sama dia sebenernya.” Katanya memotongku. Kulihat wajahnya agak berubah, lalu matanya seperti basah, berair, sepertinya ia ingat kesedihannya lagi.
“By the way, Aku Dian, Teknik Industri” katanya sambil menjulurkan tangan.
“Indra, Akuntansi” kujabat tangannya.
“Aku duluan ya, nice to meet you Indra” ia pun melangkah pergi.
Bibirku seperti terkunci, tak ada satu katapun keluar saat ia hendak pergi, hanya sedikit gerakan yang membuatnya melengkung, membentuk sebuah senyuman. Tangankupun sepertinya sama, tak ada hal lain yang dilakukannya selain melambai ke wajah manis yang melangkah pergi itu.
Aku terdiam sebentar, lalu melihat jam tanganku. “Gawat, sekarang pukul setengah satu” gumamku. Aku pun segera membereskan pencarianku di perpustakaan dan kembali ke kos.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 5 – The Lovely one for the hero…​
“Dian..” gumamku mengingat-ingat gadis yang kutemui hari ini. Kucoba lagi mengingat kejadian di taman saat itu. Lalu, aku tersadar, pantas saja aku tak langsung mengenalinya tadi, ia sedikit mengubah penampilannya. Ia yang terlihat sungguh anggun dan feminim saat berada di taman dengan rambut berombak nan panjang dan dressnya, berubah menjadi sosok tomboy dengan kaos oblong dengan jaket dan celana full jeans. Belum lagi ditambah rambut lurus cukup pendeknya, yang kemudian ditutupi topi terbalik plus headphone yang dikalungkan di lehernya.

Kulihat sekelilingku, laptopku menyala, folder film yang baru kutonton minggu lalu terbuka. Kuintip sebentar, di layar yang cukup lebar itu terpampang wajah cantik aktris pemeran sebuah film. Kupelototi sebentar wajah itu, lalu aku merasa seperti tak asing. “DIAN!” teriak batinku.

Tenang pemirsa, bukan JAV movie kok. Malah, film greget balapan. Kuingat-ingat lagi, wajah Dian memang kalau dilihat sepintas mirip dengan Imogen Poots, pemeran wanita di film Need for Speed, hanya saja, fisik Dian terlihat lebih menggoda dengan tubuh sedikit lebih tinggi dan dada yang sangat berlekuk dibanding standar wanita Indonesia pada umumnya. Se-melengkung lengkungan dada JAV Idol Tia alias Meisa Kurokawa mungkin. Entahlah, aku tak tahu pasti, aku juga belum pernah mengukur tinggi badannya ataupun lengkungan dadanya. Yang jelas, kalau kukira-kira saja, bedanya hanya sekitar 13 cm dari ujung kepalaku, sedang dadanya, yang jelas ukurannya tak sestandar wanita Indonesia pada umumnya, tapi sangat menggoda, dan kupastikan dengan amat sangat, tanganku masih sanggup meremas penuh keduanya. * Yaiyalah, tangan gue kan gede juga, ahahahaha*

Dian, berpenampilan muka mirip Imogen Poots & lekuk tubuh mirip Jav Idol Tia​

“Oh, betapa beruntungnya pria yang memilikimu Dian” gumamku membayangkan wajahnya.
“Betapa bodohnya mantanmu membuangmu begitu saja” pikirku.
“Ah, tapi biarlah, tiap orang yang memutuskanmu pasti punya fetishnya masing-masing, hahaha” gumamku menertawakan mantan Dian.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 6 – The sign has been strangely given…​
Kubuka kedua mataku, kulihat sekelilingku, ada yang aneh, rasanya ini tempat yang kukenal, tapi ini bukan kosanku, dimana ini? Kulangkahkan kakiku keliling tempat itu, siapa tahu aku dapat jawabannya. Aku terkaget, kulihat di sebuah ruang yang cukup luas seorang wanita rebahan di sofa dan asik bermain dengan dirinya sendiri, kulihat ia menggeliat, lalu merem melek. Dari jarak yang cukup aman, kupandangi tubuh itu sejenak, lalu kualihkan pandanganku ke muka si wanita, kini aku lebih terkejut lagi. RINA!
“Ngapain nih dia asik main sendiri? Jangan-jangan, si Cungkring gak bisa ngimbangin. Masa bodo ah, urusan mereka, yang penting sekarang nikmatin pemandangan dulu” gumamku. Rina masih asik main sendiri, tangan kirinya dengan lembut mengusap-usap pahanya, terus naik ke perut, hingga kemudian berhenti di gunung kembar legendaris yang selalu dibicarakan banyak orang. Tak henti-hentinya tangannya meremas, mengusap, kemudian memelintir putingnya sendiri, sedangkan tangan kanannya sedari tadi bergerilya di bagian bawah, mengusap-usap vaginanya sendiri, lalu bergeser ke klitoris, hingga menusuk-nusukkan jarinya ke liang cintanya.
Cukup lama aku menikmati pemandangan itu, hingga Rina menghentikan aksinya secara tiba-tiba. Kemudian ia menoleh langsung tepat ke arahku, sepertinya ia sadar ia tidak menikmati permainan itu sendirian. Tanpa banyak kata ia membuat sebuah ekspresi muka yang sangat menantang, membuatku cemas, haruskah kuladeni rayuan maut ini, sedangkan ia adalah milik sahabatku. Belum usai kegalauanku, dengan tatapan mautnya, Rina kembali berulah, kini tanganya melambai mengisyaratkanku untuk menghampirinya. Aku terhipnotis oleh lambaian itu, kini kakiku melangkah dengan sendirinya menghampiri Rina. Kini tubuh indah nan menggoda itu terpampang nyata di depan mataku. Aku berlutut, kupeluk tubuh indah itu, kuciumi pundaknya, bergeser ke leher jenjangnya, kemudian kukecup bibirnya, iapun membalas, bahkan lebih liar, hingga akhirnya kami saling berpagutan. Tak ingin ketinggalan momen, kini kedua tanganku bergerilya di gunung kembar legendaris Rina. Kuremas lembut kedua payudara itu, sungguh bulat dengan areola yang tidak terlalu lebar tapi juga tidak terlalu sempit, ditambah putingnya yang hanya segede kacang, sungguh perpaduan yang sangat menggoda. Aku yang tak tahan melihat kedua payudara legendaris itu, kini jadi sungguh tertantang untuk mencicipinya. Kuhentikan aksiku di bibir Rina, kugeserkan kecupanku menurun, hingga berhenti di dadanya, tepat di tengah kedua gunung legendaris. Rina membusungkan dadanya bagai tanda restu untuk menikmati gunung legendarisnya. Kuciumi gundukan lembut itu kiri dan kanan kemudian kujilati putingnya dan kusedot layaknya bayi meminum ASI, sementara tanganku masih asik mengusap, meremas, dan memijatnya. Puas meremas dan bermain di gunung legendaris Rina, tangan kananku kini bergeser kebawah, mengusap-usap selangkangan Rina yang ditumbuhi bulu-bulu halus, sepertinya ia rajin mencukur bagian itu. Kuusap dan kumainkan klitorisnya, Rina menggeliat bagai cacing kepanasan, kuteruskan sebentar aksiku hingga vaginanya terasa semakin basah, lalu kucelupkan jari tengahku masuk ke liang cintanya, sementara tangan kiriku masih asik meremas dan bibirku masih asik menjilati gunung legendarisnya. Kukocok pelan vagina Rina, ia makin menggeliat tak karuan, kemudian meremas rambutku dan mengacak-acaknya. Kupercepat kocokan jariku, hingga beberapa menit kemudian Rina tak hanya menggeliat, tapi juga mengejang tanda ia mencapai orgasmenya.
Kuhentikan aksiku sejenak, kubiarkan Rina menikmati orgasmenya. Kulihat raut wajahnya, tatapan sayunya seakan memintaku untuk segera memulai pertandingan utama. Kulihat tubuhku sendiri, entah apa yang terjadi, seingatku Rina tak melepas pakaianku sedari tadi, begitupun aku, sejak mengintipnyapun aku masih berpakaian, namun kini, tak sehelai benangpun melindungi tubuhku. Sihir apa ini, pikirku, tapi sudahlah, yang penting nikmatin moving melons dulu.
Tatapan Rina masih sayu, tapi kini ia bergeser ke sofa yang lebih lebar dan pajang, cukup lebar untuk membuatnya merebahkan seluruh tubuhnya, kakinya kini dibuka lebar, tangannya kembali melambai menarikku untuk segera memulai pertandingan utama.
Otong yang sudah berdiri tegak sedari tadi kini mulai menyiapkan diri, kugesek-gesekkan ujung kepalanya di bibir vagina Rina, lalu kugesek-gesekkan pungungnya. Rina mulai menggeliat, kemudian menatapku dengan tatapan maut yang tak dapat kujelaskan seperti apa, yang jelas tatapan itu membuatku terhipnotis, dan membuat si otong mulai masuk ke liang cinta Rina. Sleb, mulai masuklah ujung kepala si otong masuk ke liang itu, kudiamkan sejenak, lalu kugerakan maju mundur, membuat kepala si otong keluar-masuk ke liang cinta Rina. Belum lama kulakukan aksi itu, tiba-tiba Rina menarik tanganku, hingga seluruh tubuhku tertarik padanya. Tak terima diperlakukan seperti itu, segera kusambar lagi bibir Rina, lalu kumainkan kedua gunung kembar miliknya yang sungguh menggoda itu. Sementara itu si otong pun kini tertarik masuk sampai setengah badannya. Mendapat perlakuan seperti itu, otongku seakan tak terima, kini ia benamkan seluruh tubuhnya masuk ke liang Rina, terus keluar-masuk, bahkan kini ia mempercepat temponya, hingga Rina tak kuat lagi menahan orgasmenya. Rina mengejang lagi, kuhentikan aksiku sebentar, kulihat Rina sepertinya mulai kelelahan. Aku berniat menghentikan aksi otong dibawah sana, tapi apa daya, si otong berontak, seolah kini ia mengambil alih tubuhku, tanganku menggerakkan tubuh Rina, memintanya berganti ke posisi doggy, dengan kepala otong tetap tenggelam di liang cinta Rina, pinggulku kemudian bergerak maju mundur perlahan. Rina melirik kearahku, tatapannya kembali sayu, tapi kali ini lebih menggoda, karena ia memberi tatapan itu sambil menggigit bibirnya sendiri. Kurasakan gerakan otong semakin cepat mengobok-obok vagina Rina, dan tak lama berselang, ia mencapai puncaknya. Dengan sigap kukeluarkan otong dari liang Rina, lalu kumuncratkan spermaku ke tubuhnya, dari atas pantat hingga sebagian punggungnya.
Kusandarkan tubuh tambunku di atas sofa, sedang Rina beranjak dari sofa lalu berlutut menghadapku. Keringat kami bercucuran membasahi tubuh masing-masing. Kulihat wajah Rina, ia tersenyum padaku, sedari tadi tak ada pembicaraan sama sekali dari kami, hanya bahasa isyarat yang menuntun kami melakukan aksi yang cukup gila, mengingat bahwa Rina ini statusnya pacar sohibku sendiri. Melihat si otong masih mengeluarkan sisa-sisa spermaku, Rina bukannya mengambil lap untuk membersihkannya, dipegangnya si otong dengan gemas, lalu dijilati dan dihisapnya kencang-kencang, membuatku benar-benar keenakan. Beberapa menit ia lakukan itu pada si otong, hingga akhirnya iapun ikutan menyandarkan tubuh di sofa, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Tak sepatah katapun keluar dari bibir Rina. Aku termenung, kembali teringat, sedari awal aku mengintipnya tadi aku memang tak mendengarkan suaranya sama sekali. Apa orang di sebelahku ini benar-benar Rina? Atau jangan-jangaaaaan…..

Kutolehkan kepalaku memandang Rina. Aku kembali terkejut. Bukan Rina yang ada disisiku! Sosok Rina yang tadi kugauli kini berubah. Wanita di sampingku sekarang adalah Dian! Ah, bagaimana mungkin, aku masih sadar betul sedari tadi yang kugauli itu Rina, kenapa sekarang jadi Dian? Kami berpakaian lengkap lagi, tak seperti tadi, “no strings attached”. Di tengah kebingunganku, tiba-tiba Dian menarikku sambil berlari, tapi kemudian aku terpeleset…

Kedua mataku terbuka, kulihat sekitar, aku tak lagi di ruangan tadi, tapi aku kenal ruangan ini, ini kamar kosku. Hmmm, ternyata aku bermimpi lagi. Kulihat jam, pukul tiga pagi. Kunyalakan laptopku sejenak yang sudah beberapa hari ini tak pernah kumatikan, hanya kupindah ke mode standby. Layar laptopku menyala, kutancapkan modemku, lalu kubuka facebookku. Kugeser mouse pointerku ke bagian atas, ku klik, lalu dengan sigap kutekan beberapa tombol keyboardku. D I A N, itulah yang kuketikkan di bagian “search for people, places, and things”. Kutemukan beberapa user dengan nama tersebut, lalu kulihat ada satu user yang cukup familiar bagiku. Ya, itu adalah Dian yang kutemui kemarin. Karena cukup penasaran, kubuka saja halaman facebooknya itu.

Hmmm, sekilas tak ada yang spesial dari halaman itu. Kulihat sejenak profile picture yang dipajangnya, foto saat ia berada di depan kampus, hmmm, cukup standar. Kualihkan sejenak pandanganku ke covernya. Ia menampilkan panorama sebuah pantai, sangat indah, dengan pasir yang cukup putih dan air laut yang sangat bening, biru kehijauan. Kuhentikan aksiku. Kututup browserku, lalu kumatikan laptopku. Kurebahkan lagi tubuhku di kasur, entah berapa lama hingga aku terlelap.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 7 – The soulmate appears…​
Mataku terbuka, kulihat jam, pukul setengah delapan. Buru-buru kulangkahkan kakiku menuju ke kamar mandi, hari ini ada jadwal kuliah pengganti dari dosen killer yang kemarin batal. Segera setelah semua persiapan beres, kupacu harimau kesayanganku ke kampus. Setiba di parkiran, aku hendak berlari menuju kelas secepatnya, tapi…

Bruk! Aku terjatuh, kulihat disekitarku berserakan beberapa kertas dan buku. Segera kubangkitkan diri, lalu kuambil kertas dan buku yang berserakan itu. Kulihat didekatku ada seorang wanita yang tadi jatuh kutabrak, ia juga sedang memungut kertas-kertas dan buku yang berserakan itu. Ah, semua ini pasti miliknya, kuserahkan semua kertas dan buku di tanganku pada wanita itu, lalu kami saling berpandangan. Betapa terkejutnya aku, ternyata yang tadi kutabrak adalah Dian! Segera saja aku meminta maaf atas kejadian itu, lalu kujelaskan kalau aku buru-buru.

Saat aku hendak berlari meninggalkan tempat parkir, Dian menarik tanganku. Aku menoleh, “Boleh minta nomer hapemu?” katanya. Kubuka dompetku sejenak, lalu kuserahkan kartu namaku padanya. “Maaf atas kejadian ini, aku duluan ya, bener-bener buru-buru nih” kataku seraya berlari menuju kelasku.

Sesampainya di kelas, kulihat dosen belum ada, aku segera mencari tempat duduk. Belum jauh kakiku melangkah terdengar suara yang cukup tebal dan kencang. “Selamat pagi semua, kita lanjutkan kuliah yang kemarin tertunda” Kata dosenku memulai perkuliahan. Sepanjang perkuliahan hari itu, aku benar-benar tak bisa berkonsentrasi, berulang kali bayangan Dian muncul di pikiranku. Langit biru telah berubah menjadi jingga senja, akhirnya perkuliahan selesai, lalu kulihat handphoneku sejenak.

“Kalau udah nganggur, cepet ke taman ya, p e n t i n g” begitulah isi sms dari nomor tak dikenal yang masuk ke handphoneku. Hmmm, siapa ya kira-kira, masa Dian? Gak mungkin ah, masa dia mau hubungin aku.

Ditengah rasa penasaranku, akhirnya kulangkahkan juga harimauku ke taman. Entah mengapa, suasana taman senja itu cukup sepi, padahal biasanya masih cukup ramai diisi kegiatan-kegiatan mahasiswa. Kulihat sesosok wanita duduk sendirian di sebuah bangku di bawah pohon. Ah, ternyata memang Dian, segera kulangkahkan kakiku mendekati bangku tersebut.

“Sore-sore dan sepi begini sendirian aja nih. Mbaknya penunggu taman ini ya?” Godaku pada wanita itu.
“Sialan, udah main tabrak lari sekarang masih ngeledekin lagi, huh” jawabnya sebal. “Hmmm, sebagai permintaan maaf, kutraktir aja gimana?”
“Boleh, tapi harus janji, berapa porsi pun boleh”
“Beres”
Dengan kendaraan masing-masing, kami menuju ke sebuah depot yang menjadi langgananku. Sesampainya disana, segera kuambilkan tempat duduk yang masih kosong dan kebetulan letaknya strategis, bisa memandang suasana luar jalan yang cukup indah di waktu petang.
“Dah, pesen apa aja yang kamu mau, tapi inget, harus diabisin lho, aku gak mau dijadiin vacuum cleaner makanan.” Ujarku
“Beres, tapi nanti jangan kaget juga lho ya” jawabnya enteng
Petugas depot pun menghampiri kami, aku memesan sup tom yam, salah satu menu yang belum pernah kucoba, itung-itung nyoba makanan baru. Aku terkaget ketika Dian menyebutkan menu yang dipesannya. Satu ekor penyetan bebek dan satu ekor gurame asam manis. Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Laper banget ya, sampe pesen dua ekor gitu, hahaha” ledekku. “Ih, biarin, siapa suruh juga minta maafnya ganti traktir makan, sekalian aja aku banyakin biar perbaikan gizi, wek” jawabnya lalu menjulurkan lidah.

Aku kembali tersenyum, ada hal lain yang sebenarnya membuatku terkaget, bukan tentang porsi yang dipesan Dian, tapi pilihan makanannya itu sendiri. Dari berbagai macam jenis masakan yang ada di depot itu, ia memilih menu favoritku.
Beberapa saat kemudian, makanan kamipun datang. Dengan lahap Dian segera menyantap bebek goreng didepannya, akupun segera mencicipi sup tom yam dihadapanku.
“Enak? Itu makanan terenak disini lho, favoritku lagi” Dian tak menjawab, ia hanya mengangguk sambil terus melahap makanannya. Melihatnya menikmati makanan itu, aku tersenyum, membayangkan aku yang ada di posisinya. *TS : Dasar badak tambun, ini cerita panas cuk, jangan belokin ke kuliner deh* *Indra : Hehehehe, sori pak bos, ngeliat Dian jadi kelaperan nih*

“Eh, Ndra, omong-omong, disini bagus juga ya, bisa ngeliat gemerlapnya kota ini”
“Iya, itulah hebatnya depot ini, walaupun gak gede, tapi makanannya enak-enak dan viewnya bagus banget”
“Makasih ya udah ngajak kesini”
“Santai, lagian ini kan sebagai permintaan maaf juga”
“Hmmm, tunggu, kalo kamu pikir aku bisa ngasih maaf cuma pake sogok makan, kamu salah. Aku gak segampang itu. Hahahaha.” jawabnya sambil ketawa setan.
“Lhoh, lha tadi udah setuju, kok sekarang ganti aturan lagi sih?”
“Biarin, kamu sih, pake acara nabrak, terus pas di sms bukannya langsung dateng, malah bikin aku nunggu sampe sore, huh!”
“Mati aku, kenapa Dian jadi berubah gini? Jangan-jangan anak ini punya mental disorder, yang seketika bisa positif banget, tiba-tiba jadi down banget jadi marah banget gini, duh, gimana nih?” batinku
“Oi! Ngelamun aja, udah mulai malem nih. Lagian, aku cuma mau minta barengin pulang kok, gak lebih.” Katanya membuyarkan lamunanku
“Oh, nganter pulang toh, kirain mau minta bungkusin lagi, bisa bangkrut gue, hahaha.”

Setelah menyantap habis makanan kami, Dian pun segera mengajakku mengantarnya pulang. Masih dengan kendaraan kami masing-masing, kamipun melesat menuju kos-kosan Dian. Beberapa saat kami melangkahkan kendaraan, kami melintasi sebuah jalan yang cukup sepi, dengan penerangan yang sangat minim, bahkan penerangan yang ada pun hanya mampu memancarkan sedikit cahaya, mungkin inilah alasan Dian memintaku membarenginya pulang.

Beberapa ratus meter kemudian, kami kembali bertemu cahaya terang kota ini, kami melintasi jalan raya yang cukup lebar, dengan penerangan yang sangat terang. Tak berapa lama, kami pun tiba di sebuah perumahan yang cukup asri. Dian menghentikan motornya di sebuah rumah. Melihat lingkungan rumah sekitarnya, aku ragu rumah itu adalah kos-kosan, tetapi, saat melihat dengan jeli arsitektur rumah itu beserta beberapa penghuni yang sedang duduk-duduk di luar, barulah aku yakin itu memang kos-kosan.

“Ndra, makasih ya udah nemenin pulang, jalanan disini kalau malem memang gitu, serem, makanya tadi aku minta temenin”
“Oh, iya, gapapa kok. Santai aja. Omong-omong, ini beneran kos-kosan?”
“Ya iyalah, walaupun dari luar keliatannya masih seperti rumah biasa, tapi dalemannya diubah jadi kos-kosan sama pemiliknya”
“Oh, gitu, yaudah deh. Aku pamit dulu ya, keburu larut malem, gak enak sama tetanggamu”
“Oke, ati-ati ya”

Kupacu harimauku kembali ke kos-kosan, sepanjang perjalanan, aku mengingat kejadian sedari tadi. Hmmmm, baru kali ini aku ketemu cewek yang juga suka menu favoritku, makannya pun serakus itu. Setiba di kosan, aku langsung mandi lalu merebahkan diri di tempat tidur, sudah cukup lelah rasanya tubuhku melalui semua kegiatan di hari ini.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 8 – A new world waits up ahead…​
Tiit tit tiit tit tiit tit
Tiit tit tiit tit tiit tit Alarm pagiku kembali berbunyi, begitu porno, masih pagi sudah panggil-panggil tiii…. Ah sudahlah, gak penting bahas ginian.

Kulihat handphoneku sebentar, ada sebuah sms. “Lupa kan kemaren mau bahas hal penting? Kamu sih pake acara telat terus traktir segala. Hari ini temuin aku jam sepuluh di perpus.” Begitulah isi sms dari Dian.

Kulihat jam, pukul sembilan. Bergegas kulangkahkan kakiku ke kamar mandi, kupersiapkan diriku sebaik mungkin. Segera setelah semua persiapan usai, kupacu harimau kesayanganku ke perpustakaan kampus.

Setiba di perpustakaan, tak kulihat ada motor Dian disana, “Ah, palingan juga belum dateng, masih jam sepuluh kurang”, pikirku. Kulangkahkan kakiku memasuki perpustakaan. Tak kusangka, ternyata Dian telah berada di ruang baca, di dekatnya beberapa buku saling bertumpuk seakan mengantri untuk dibaca. Belum jauh kakiku melangkah mendekatinya, ia menoleh kearahku lalu beranjak dan membawa tumpukan buku di dekatnya. Segera kuhampiri dan kubantu ia membawa buku-buku itu. Sempat kulihat beberapa judul buku yang ia bawa, ada buku akuntansi, bisnis, bahkan pemrograman.

“Mau ngapain sih bawa buku segini banyak?” tanyaku
“Udah, aku jelasin nanti aja”
Segera setelah mengurus peminjaman buku, Dian mengajakku ke taman kampus.
“Ndra, aku nebeng ya, motorku lagi dibawa temenku”
“Boleh, yuk”

Setibanya di taman kampus…

“Jadi, hal penting apa yang dari kemarin kamu mau bilang itu?”
“Gini, dosenku ngasih tugas akhir sekaligus sayembara, disuruh bikin paper tentang business plan, hasil terbaik selain dapet nilai tinggi juga dimodalin biar ga jadi plan doang.”
“Oh, terus hubungannya sama aku?”
“Aku mau bikin tim kecil untuk ngerjain tugas ini, kamu bantuin ya”
“Oke, tapi nanti bayarannya menu yang kamu pesen kemaren yah. Hahahaha.”
“Ih, apasih, pamrih banget.”
“Yaudah kalo gak mau, aku sih santai, kan gak butuh”
“Iiih, iya-iyaaaa…”

Hari-hari berikutnya aku mulai sering bertemu dengan Dian, kami sering membicarakan tentang tugas akhirnya itu, tetapi hanya berdua, tak ada anggota lain dari tim yang hadir, saat kutanya mengapa Dian mengatakan anggota tim yang lain masih sibuk dengan joblistnya masing-masing. Hari demi hari berlalu, kami makin sering bertemu dan berkomunikasi baik via telpon ataupun sms, aku pun sering menanyakan kabarnya, menyemangatinya, ya walau beberapa kali juga sempat kugoda, kugombali, bahkan kuledek juga, hahaha. Beberapa minggu sejak kejadian ditaman itu kulihat Dian sepertinya telah berubah. Ia mulai bisa melupakan kenangan pahit yang menimpanya, kini aku bisa melihat sosok wanita cantik yang lemah lembut nan ceria, bahkan lebih cantik dari saat pertama kali kulihat ia di taman kampus.

Suatu hari, ia mengajakku untuk menemui anggota tim lainnya di taman kampus. Aku terkaget, ada Rina disitu, begitu juga Dion, dan satu orang lagi, namanya Fia. Mereka duduk di sebuah tikar yang cukup lebar untuk kami berlima

“Hai, kenalin, ini Indra, anggota tim kita yang baru kali ini bisa hadir bareng kita.” Kata Dian mengawali pembicaraan. Aku menoleh ke arah Dian, lalu menundukkan kepalaku sedikit sambil mengangkat alis, “Lah, kok, kenapa gue dibilang baru kali ini bisa dateng?” kode itu kusampaikan pada Dian. Dian hanya mengangguk sekali, seakan memberiku kode, “Udah, nurut aja, kemarin aku bilang gitu ke anak-anak.”

“Hai Ndra, Fia, Teknik Industri” Fia mengulurkan tangannya memulai sesi perkenalan.
“Indra, Akuntansi” jawabku singkat sambil menjabat tangannya
“Hai Mas Badak Tambun, apa gerangan urusan tuan ku ancuk datang kemari?” Dion menyerobot sambil mengulurkan tangannya, bergaya seakan mengajak kenalan, sedang Rina mencubit pinggang pacarnya itu. Aku terdiam, memelototi kelakuan sohibku yang gak tau situasi itu. Ah, sial, si cungkring ini ngapain sih pake ikutan disini segala, berabe dah.
“Lho, kalian udah saling kenal toh” Dian tersenyum
“Indra ini temen kami semasa SMA, malahan dia ini temen baiknya Dion” kata Rina mencoba menjelaskan.
“Ooh, gitu toh, terus tadi kamu panggil dia apa Yon?” tanya Dian
“Badak tambun Yan, BADAK TAMBUN, itu julukan jomblo akut seumur idup ini sedari dia SMA hahaha” jawab Dion diiringi tawa kecil nan kecut dari Fia, Rina, dan Dian. Aku semakin terdiam menunduk, kemudian kembali memelototi kelakuan sohibku yang satu itu. Ah sial, dibuka dah kehinaanku di depan Dian.

Sepanjang hari kami mengerjakan dan membahas mini project yang sedang menjadi tugas akhir bidadari-bidadari cantik Teknik Industri ini. Rina dibantu Dion mengerjakan sisi efektifitas dan efesiensi penggunaan IT, Fia mengerjakan sisi risk and gain, Dian mengerjakan pengendalian produk dan keuangan perusahaan. Sebuah pembagian tugas yang cukup adil menurutku, dan aku pun sebisa mungkin membantu Dian di bidang keuangan perusahaan dengan ilmu yang telah kudapat.

Hari menjelang sore, Fia izin pamit, ia hendak pergi dengan pacarnya. “Ya udah, ati-ati ya Fia,” kata Dian “Rin, udahan dulu yuk, hari ini sampe sini aja dulu, sisanya kerjain sendiri-sendiri dulu, ntar pas ketemu lagi kita gabungin” lanjutnya. “Siaap bos” jawab Rina enteng lalu membantu Dian membereskan pekerjaan mereka.

“Yan, kami duluan yah, Rina katanya mau ada perlu ke toko buku tadi” kata Dion “Ohiya, ati-ati ya sama badak tambun, awas keseruduk, hahahaha” selorohnya sambil menggandeng Rina pergi. Rina kembali mencubit pinggang Cungkring, “Daaah Yan, gak usah peduliin omongan Dion yah, kadang dia emang suka gini kalo obatnya abis” katanya sambil meninggalkan kami pergi.

Sekarang taman kampus kembali sepi, hanya tinggal kami berdua.
“Ndra, anterin aku pulang yah”
“Iya. Udah selese? Gak ada yang ketinggalan kan?”
“Udah, yuk”

Hari-hari berikutnya terasa begitu padat selain kuliah, kini aku punya kesibukan lain, membantu Dian menyelesaikan tugas akhirnya. Tapi anehnya, aku tak terlalu terbeban dengan hal itu. Entahlah, mungkin aku menikmatinya.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 9 – The sweetest thing…​
Kubuka kedua mataku, kudengar suara rintik hujan. Kulihat sejenak langit senja yang tertutup awan gelap melalui jendela kamar kos-kosanku. Kuambil sebuah tas panjang di sebelah lemariku, kukeluarkan isinya, sebuah gitar yang cukup lama tak kumainkan.
Oh her eyes, her eyes make stars look like they’re not shining
Her hair, her hair, falls perfectly without her trying
She’s so beautiful, and I tell her everyday…​
“CIIEEEEEEE, tukang seruduk makanan lagi falling in love nih” suara si Cungkring tiba-tiba mengagetkanku, membuatku berhenti memainkan gitarku.
“Kampret, kaya gabisa ngeliat orang seneng aja lu ah” jawabku ketus
“Santai aja lagi brooo, apalagi kalo lu jatuh cintanya sama yang kemaren ntu” cerocosnya
“Ah, apaan dah, kepo banget lu ah”
“Hmmm, terserah dah, kalo kata gue sih, mending cepetan tembak deh, keburu diseruduk yang laen, ngahahahahahak, ehiya, gue cabut dulu yak, mau nemenin nyonya belanja bulanan” Cungkring pun ngeloyor pergi. Aku terdiam, melamun, memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Hmmm, bisa saja sih aku ngajak Dian kencan, atau nembak, tapi, apa dia mau dengan lelaki sepertiku… Hhhhhh…

Belum usai lamunanku, aku terkaget, ada sms masuk ke hpku. Kubaca sejenak.
“Ndra, boleh aku ke tempatmu sekarang?”
Kumainkan jariku menekan tombol-tombol keypad hapeku.
“Ada apa? Hujan lho, jalanannya licin.”
Tak ada balasan dari Dian. Yang kutahu, sekitar setengah jam setelah kubalas sms itu kudengar ada yang mengetok pintu pagar di tengah derasnya hujan. Kuintip sejenak siapa orang dibalik pagar itu. Dian! Ngapain dia hujan datang kemari? Ah, pasti urusan penting. Aku segera berlari membawa payung dan membukakan pintu untuknya. Kulihat dia berdiri sendirian di depan pintu pagar, tak ada orang lain ataupun kendaraannya menemaninya. Dari raut wajahnya kulihat ia memancarkan sebuah kesedihan.

“Kamu kenapa? Masuk yuk” tanyaku sambil mengajaknya duduk di kursi tamu teras. “Hiks, hiks” Dian mulai sesenggukan “Boleh aku disini sampe hujan reda?” tanyanya. Aku tak menjawab, kulangkahkan kakiku masuk menuju kamar, kuambil kaos beserta sweater dan celana pendek, lalu kusodorkan pada Dian. “Nih, ganti aja dulu baju kamu, daripada masuk angin, tapi sorry ya, adanya yang jumbo size doang, ukuranku.” Kataku sambil tersenyum kecut. “Kamar mandinya dimana?” tanyanya singkat. “Oh iya, ada di dalem kamar” jawabku sambil menunjukkan arah ke kamar mandi kamar kosku.

Sejenak kemudian, Dian telah mengganti dress berbalut jaket jeans dan celana panjang yang ia pakai dengan bajuku. Sungguh kedodoran pemirsa…. Ya iyalah, ukuran dia palingan M, paling gede L, lah ukuran gue XXXL. Hahaha. Tapi, walau begitu, ia berhasil membuatku berdecak kagum, bahkan dengan baju kedodoranku ia masih menampakkan keanggunan seorang wanita, meskipun raut wajahnya masih menyisakan kesedihan. Dian melangkahkan kakinya mendekatiku, lalu duduk di atas kasur dan bersandar di dinding, tepat di sebelah kananku. Suasana hening sejenak, hingga ia memecah keheningan itu.

“Dunia ini gak adil yah Ndra” celetuknya. Aku terdiam, aku tak menjawab pernyataannya. Menyadari ucapannya, Dian ikutan terdiam, kemudian ia melihat-lihat sekeliling kamarku, tatapannya berhenti pada gitar yang tadi kumainkan. “Ndra, mainin lagu buat aku dong” pintanya sambil menyerahkan gitar padaku. Mendengarnya memintaku memainkan lagu, aku sedikit was-was, mainin lagu apa nih, bisa berabe kalo gak bisa bikin suasanya malah tenang. Sejenak kemudian, kupetik gitarku memainkan lagu untuknya.
Lihat aku disini, kau lukai, hati dan perasaan ini
tapi entah mengapa, aku bisa memberikan maaf padamu
Mungkin karenaa… Cinta… Padamu tulus dari dasar hatiku…
Mungkin karenaa… Aku… berharap kau dapat mengerti cintaku…​
“STOP Ndra, STOP!” katanya memintaku berhenti. Dian kembali menangis sesenggukan. Aku yang merasa bersalah, mencoba mendekatinya, memegang pundaknya, lalu berkata
“Maaf ya, laguku bikin kamu jadi sedih”
“Udah Ndra, gapapa kok, hiks, aku yang minta maaf, minta dimainin lagu, terus nyetop gitu aja”
“Hmmm, yaudah, emang kamu sedih gini ada apa sih?”

Dian pun menceritakan kejadian pahit yang ia alami hari itu. Mulai dari dateng telat di kelas dosen killer, motor dirampok pas perjalanan pulang, sampai kejadian klimaksnya, dimana ia bertemu dengan mantannya. Dengan gelagat cukup memaksa, mantannya mengutarakan keinginannya balikan sama Dian. Tapi dasar udah sakit hati, Dian menolak mentah-mentah. Geram karena keinginannya ditolak begitu saja, si mantan pun kembali menampar Dian.

“Begitulah kira-kira ceritanya Ndra. Hiks. Makanya aku bilang, gak adil ya dunia ini. Aku udah berusaha mati-matian buat beli motor itu, dari nabung recehan sampe kerja sampingan, hiks, eh, ilang dalam sekejap gara-gara dirampok. Dan gara-gara itu aku terancam dapet nilai jelek di dosen killer soalnya dateng telat banget, hiks. Belum lagi si brengsek itu, masih aja pengen ngungkit kenangan lama. Gak puas apa dia udah ngancurin perasaanku, hiks hiks” kata Dian menutup ceritanya sambil sesenggukan lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku.
Kucoba menenangkan perasaannya, kugerakkan tangan kananku meraih kepalanya, sambil mengelusnya aku berkata “Kamu sabar ya Yan, mungkin kamu memang lagi dicoba. Terkadang dunia ini memang seperti itu. Ia terkesan sangat tak adil. Tapi percayalah, tak selamanya dunia akan memperlakukanmu seperti itu. Suatu saat semuanya akan berubah ketika kamu terus berusaha memperjuangkannya. Kalau perlu aku temani kamu sampai hari i…….”

Cuppp, sebuah ciuman mendarat ke bibirku berbarengan dengan tangan Dian yang memelukku erat. “Maaf Ndra, aku kebablasan… Andai saja semua cowok sepertimu Ndra…” katanya tiba-tiba melepas ciuman dan pelukannya. “Emang apa spesialnya badak tambun kayak aku?” tanyaku penasaran. “Kurasa kamu itu gentle, dan cukup tegar juga dewasa ngadepin permasalahan hidup” katanya sambil tersenyum memandangku. “Ah, kamu belum pernah ngerasain jadi aku sih, hahahaha” kataku mencoba menghiburnya. Lalu, kuceritakan sedikit banyak pengalaman hidupku yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Dian menyimaknya dengan seksama. Hingga akhirnya kami sepakat, hidup itu harus terus diperjuangkan sampai ajal memanggil.

“Ndraaaaa”
“Hmmmm?”
“Malem ini aku nginep disini yah, aku takut pulang, di kosan gak ada siapa-siapa, cuma ada baygon, molto, sunlight…”
Deg. Mimpi apa semalam, Dian tiba-tiba meminta tidur disini. Sebagai pria normal, pikiranku sebenarnya mulai menjurus ke hubungan seks yang dapat terjadi saat sepasang pria dan wanita tak saling mengenal tidur dalam satu ruang. Tapi akal sehatku masih waras, dan masih bisa mengendalikan suasana. Lagipula, kondisi hati Dian sedang buruk-buruknya, tak pantas rasanya kalau kugunakan kesempatan ini untuk memuaskan nafsu liarku saja. Akhirnya kupersilahkan Dian tidur di kasurku. Sedang aku mengambil bed cover yang biasa kujadikan selimut untuk menjadi pengganti kasurku. Kumatikan lampu kamarku dengan alasan hemat energi. Lalu, demi menjaga akal sehatku tetap memegang kendali, aku tidur menghadap arah lemari. Kurasa Dian pun melakukan hal serupa, kurasa ia tidur menghadap ke arah dinding, entahlah, aku tak melihatnya.

Entah bagaimana, suasana malam itu begitu dingin. Padahal aku tak menyalakan AC. Bahkan, kipas angin yang biasanya kuarahkan tepat ke tubuh pun kini kupantulkan dari sudut ruangan. Apa ini perasaanku saja? Atau memang suasana malam ini yang berbeda dari biasanya? Ah entahlah, aku tak pernah tahu jawabannya, sampai….

“Ndraaa…”
“Hmmmm?”
“Aku gabisa bubuk… Dingin banget… Pinjem selimut dong…”
“Sama, aku juga, tapi selimutku cuma satu ini. Kalo kamu pake, aku yang makin kedinginan dong… tega kamu?” kudengar suara gerakan dari kasurku sejenak kemudian, tangan halusnya menempel di lenganku. Waduh, ngapain nih Dian, jangan-jangan selimutku beneran mau diambil. “Kalo gitu, kamu pindah ke kasur aja, selimutnya dipake berdua” bisiknya

Mendengar bisikan seperti itu, hatiku berdesir. Tapi akal sehatku masih memegang kendali. Akhirnya aku mengalah, kuserahkan saja selimutku padanya, lalu aku tidur di lantai. Belum lama kurebahkan kembali tubuhku, Dian kembali bergerak. Kali ini ia duduk bersandar di dinding, lalu memandangi indahnya cahaya bulan yang sedikit tertutup awan gelap dan masih menitikkan air hujannya.

“Ndraaa…. Kamu belum tidur kan?”
“belum… ada apa Yan?”
“Beruntung banget yah cewek yang bisa jadi pacarmu… Masih ada ternyata cowok yang mau ngebiarin cewek yang dia gak terlalu kenal buat tidur ditempatnya, gak diapa-apain lagi. Coba ini kamar cowok lain, pasti udah diapa-apain….”
Kubalikkan badanku menghadap Dian. Kutatap wajahnya sambil tetap tiduran di lantai, Dian pun menatapku, kami saling bertatapan, lalu aku bersenyum, kuberikan senyuman paling tulus dan indah yang pernah kumiliki. Dian pun membalas senyumku. Sejenak suasana kembali hening.

“Ndra… Sekarang aku tau… Aku bisa percaya kamu…” katanya memecah keheningan malam. “Aku percaya kalau badak tambun sepertimu gak akan apa-apain aku, soalnya meskipun aku perempuan, aku kan manusia, hihihihihihi” lanjutnya sambil ketawa setan.

Suasana malam yang hening itu berubah menjadi penuh misteri dan aura horror seakan memenuhi kamarku secara tiba-tiba. Tidaaaaaaaaak! Ngomong apa aku tadi. Kenapa suasananya jadi horror gini sih…

“Ndra…”
“Hmmmm”
“Pindah sini dong ah, aku gak mau ngerepotin tuan rumah, apalagi nyusahin gini”
“Iyadeh”

Perlahan-lahan kugerakkan tubuhku kearah kasur, lalu kurebahkan lagi tubuhku tepat di sisi ujung kasur itu dan menghadap ke arah lemari. Aku masih ingin mengontrol diri.

“hiks… hiks…” Dian mulai sesenggukan lagi. “Cowok itu brengsek ya Ndra…” katanya. Aku tak menjawab, hanya kubalikkan badanku, lalu kugerakkan tanganku menyentuh kepala Dian yang telah merebah menghadapku. Kuelus sejenak kepalanya, berharap itu bisa menenangkannya. Harapanku itu padam, Dian masih tenggelam dalam kesedihannya.

“Aku heran deh, apa sih kurangnya aku di mata dia. Aku udah berusaha sebaik mungkin buat nyenengin dia. Aku udah berusaha sebaik mungkin buat setia sama dia. Tapi dia malah selingkuh blak-blakan di depanku. Udah gitu, malah aku yang dituduh selingkuh duluan, padahal selama kami bersama gak ada orang lain di hatiku selain dia. Hatiku sakit Ndra… Sakiiiiit… Hiks… Hiks… Kalau kayak gini pengen mati aja rasanya… Hiks… Hiks…” Dian kembali bercerita. Malam itu, Dian benar-benar menampakkan kerapuhan yang selama ini ia sembunyikan dalam-dalam. Dian memelukku erat-erat, sejenak kemudian ia beranjak mengambil gitar yang tadi kumainkan. “Pinjam bentar yah Ndra….” Aku hanya mengangguk menuruti permintaannya. Kurasa saat itu tak ada hal lain yang lebih pantas selain membuatnya tenang dengan menuruti keinginannya.
Harus kuakui semuanya telah berbeda
Lelah menjalani semua serba salah
Apalagi salahku, apalagi salahku, ku tak mengerti
Apalagi salahku, tak kah itu salahmu, apa lagi…..

Suuuuuudaaaah lupakan segala ceriiiitaaaaa…
Antara kitaaaa ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin ku terluka…
Karna cintaaaaaa….
Raaaasaaa itu kini memang tlah siiirnaaa, maafkanlah
Ku sungguh tak ingin, ku tak ingin, kita tuk tetap bersama, ku tlah terluuuukaaaa​
Begitulah sepenggal bait pemecah keheningan malam yang dinyanyikan Dian saat itu. Kurasakan betapa dalamnya ia menghayati lagu yang dinyanyikannya. Apalagi di bagian yang liriknya ia ubah sesuai suasana hatinya saat itu. Hatiku begitu trenyuh, tapi, apa yang dapat dilakukan badak tambun hina sepertiku.

“Ndra…. Makasih ya udah bolehin aku disini….” kata Dian begitu menyelesaikan lagunya.
Kubangkitkan diriku dari kasur, kini aku duduk di sebelah Dian. Kembali tanganku mengelus kepalanya sambil menyenderkannya ke bahuku, mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Dian tak menolak perlakuanku, justru tangannya kini memeluk erat tubuh tambunku. Kubiarkan sejenak ia melakukan hal itu, lalu kuambil gitarku, dan kumainkan sebuah lagu untuknya.
Before you landed
I had a will but didn’t know what it could do
You were abandoned
And still you’re holding on what you don’t wanna lose
You make me drop things
Like all the plans I had for a life without you

Someone to die for
Someone to fall into when the world goes dark
Someone to die for
Someone to tear a hole in this endless night
Someone like you​
Kunyanyikan lagu itu untuknya dengan lirik yang sedikit diubah. Kurasa lagu itu pas di posisi kami saat ini, aku yang sendiri, dan ia yang berjuang move on. Usai menyanyikan lagu itu, kuletakkan gitarku di samping lemari, lalu kembali duduk di samping Dian.

“Ndra…. Makasih banget yah…” katanya. “Makasih banget kamu ada buat aku… Apalagi di saat seperti ini…” lanjutnya. Dian kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku terdiam. Kali ini terjadi pertarungan hebat antara sisi baik dan jahat diriku. Aku pun bingung, aku sebenarnya tak mau memanfaatkan kesempatan ini. Tapi, di lain sisi aku juga tak ingin kehilangan Dian.

“Ndraaaa…”
“Hmmmm?”

Kami saling menatap. Entah apa yang merasukiku dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja bibir kami saling menyentuh. Kurasakan lembutnya bibir Dian. Kami terdiam sejenak, menikmati ciuman yang menjadi penghangat malam yang cukup dingin itu. Kujulurkan lidahku perlahan ke dalam mulutnya, tak kusangka, Dian membalasnya, kami pun berpagutan, dan semakin lama semakin ganas. Desah nafas kami berkejaran, menghiasi heningnya malam yang telah dipenuhi bintang. Tanganku yang sedari tadi bergerilnya mengelus kepala, pundak, punggung, dan pinggang Dian kini berpindah seiring berhentinya ciuman kami. Kini, ciumanku di bibir Dian kugerakkan menurun secara perlahan, mulai dari dagu, menurun ke leher, lalu menurun sedikit lagi ke bagian dadanya yang tak terbungkus kaus kedodoran dariku, sementara tanganku kini menelusup masuk ke dalam kaos mencoba menikmati indahnya kulit wanita secara lebih nyata. Kurasakan tak ada apapun yang menempel di punggung Dian, berarti sedari tadi sore ia melepas seluruh pakaiannya. Pantas saja tadi ia lebih cepat merasakan kedinginan.

Perlahan tapi pasti kulepas kaos yang menempel di tubuh Dian, tak adanya benang lain yang menempel di tubuhnya langsung membuatnya topless. Sementara itu, tanganku kini bergeser, kini ia bergerilya ke sepasang gunung kembar indah yang terpampang di hadapanku. Tak kecil, tetapi juga tak termasuk jumbo abnormal, sebuah ukuran besar yang pas menempel di tubuh Dian. Benar-benar pemandangan yang sungguh menggoda. Aku yang masih asik mencumbui leher dan kepala Dian pun kini merebahkan tubuh indah itu, lalu beralih ke sepasang gunung kembarnya. Sambil mencumbu dan sesekali menjilat, bahkan menggigit kecil di sekitar putingnya, tanganku bergerilya memainkan payudara yang satu lagi. Dian menggelinjang keenakan, tapi ia sedikit menahan desahannya, takut akan membangunkan penghuni lain di kos-kosanku.

“Emmmmmh, sshhhhhhh, hhhhhh, terusin Ndra… iyaaahh disitu… teruuuusssshhhhhh…” cerocosnya menikmati setiap kenikmatan yang kuberi. Kuteruskan sejenak aksiku di gunung kembarnya, kemudian perlahan-lahan semakin turun. Kuciumi bagian perutnya, kupelorot celana pendek yang ia pakai, kemudian kuteruskan ciumanku di perutnya semakin turun, hingga mencapai sebuah bukit berbalut rumput yang tertata rapi. Hidungku mencium suatu aroma baru yang masih asing, aroma yang sangat kental, bukan aroma yang membuatku jijik dan ingin menghentikan aksiku, tetapi sebuah aroma yang membuatku semakin penasaran untuk segera mencicipinya.

Kudekatkan bibirku ke vagina Dian. Kuciumi sejenak, lalu dengan tangan kananku kusibak bulu rambut tipis yang tertata itu, kemudian kujilati bibir vaginanya, sambil sesekali bermain di sekitar klitorisnya. Aksi salah satu tanganku yang tadi masih asyik meremas gunung kembar Dian kuhentikan, ia mendapat tugas baru, yaitu untuk menginvestigasi apa isi vagina Dian, sekaligus mengecek kedalamannya. Maka bergeraklah tangan kiriku masuk menjelajahi vagina Dian, sambil sesekali mengusap-usap bagian luarnya, sedang lidahku kini berfokus pada klitorisnya.

Dian menggelinjang keenakan, bahkan ia melipat pahanya dan menjepitkannya ke kepalaku, tapi ia masih berusaha menahan desahnya agar tak terdengar terlalu keras. “emmmmmmh, uhhhhhsssss… ndraaaaa… enaaaaakkkhhhh… terussssssshhhhin….. uhhhhhsssss…” desahnya pelan. Kuteruskan aksiku hingga kurasakan vagina Dian semakin basah, tak lama kemudian, kurasakan tanganku semakin basah dan semakin terasa cairan cinta Dian mengalir dari dalam vaginanya. Tubuh Dian mengejang sejenak, menikmati orgasmenya.

Kuhentikan aksiku, lalu kurebahkan tubuh tambunku di samping Dian, cukup lelah rasanya tanganku mengocok vaginanya. Ternyata segini parah toh capeknya orang bercinta, pantas saja katanya bisa buat bakar kalori, hahahaha. pikirku ngeres. Dian telah mengumpulkan staminanya kembali, lalu beranjak dari kasur. Kini ia lepaskan semua pakaian yang menempel di tubuhku, lalu memposisikan dirinya menungging di hadapku, seakan meminta gaya 69. Kuturuti saja kemauannya, dengan posisi kepala yang telah kusandarkan pada bantal, kali ini kujilati dan kumainkan vagina Dian sembari memeluk pinggangnya dengan lebih mudah dan relatif lebih rileks. Sedangkan Dian mulai melancarkan aksi serangannya ke otong yang sedari tadi berontak saat melihat payudara indah Dian. Dikocoknya dengan tempo bervariasi dari pelan hingga cepat, sementara lidahnya asik menjilati kepala si otong bagai anak kecil menjilati permen atau eskrim, kemudian sesekali dikulumnya si otong dan dimasukkannya dalam-dalam ke rongga mulutnya. Terkadang kudengar suara seperti batuk atau hampir muntah saat Dian melakukannya, tapi aku yang keenakan tak kuasa menghentikan aksi itu, malah itu semakin kunikmati dan sebagai balasannya, kupeluk pinggang Dian lebih erat, lalu kumainkan lidahku di vaginanya dengan lebih bersemangat lagi, dengan sesekali memainkan hidungku diarea itu.

Tubuh Dian kembali menggelinjang, tak lama kemudian ia menghentikan aksinya, dan mengejang sejenak. Kurasakan sedikit semburan cairan cintanya menetes ke tubuhku. Dian membalikkan badannya, lalu perlahan-lahan, ia gesek-gesekkan kepala otongku yang belum puas permainannya tadi tak tuntas ke vaginanya. Dian berhenti sejenak, ia memandangku, seakan meminta izin untuk memasukkan tanda kejatananku itu ke liang cintanya. Aku tersenyum padanya, lalu kuanggukkan kepalaku menyetujui hal itu. Dengan perlahan namun pasti, dimasukkannya sedikit demi sedikit kepala dan sebagian badan si otong masuk ke vagina Dian. Lubang cinta itu terasa sempit sekali, apa Dian masih perawan yah? Atau si otong aja yang kelebaran jadinya kerasa sempit begini? Batinku bergejolak, bagaimana jika ternyata Dian masih perawan, dan aku adalah orang yang memerawaninya?

Dian diam sejenak, dari raut wajahnya bisa kulihat kalau ia seperti menahan sakit. “Perih toh Yan?” tanyaku sambil berbisik. Dian mengangguk. Hatiku berdesir, jangan-jangan sebenarnya dia ini memang masih perawan. Belum juga selesai kupikirkan segala kemungkinan yang ada, Dian mendekatkan wajahnya padaku, lalu berbisik. “Dari dulu, aku memang selalu nyimpen mahkotaku ini sampai aku temuin orang yang tepat, sekarang aku sudah temuin orang itu Ndra…”
“Kamu yakin? Bisa saja aku cuma lelaki jahat yang pandai memanfaatkan keadaan. Aku gak pengen jadi another person yang ngerusak hidupmu Yan…” jawabku dengan mata mulai sedikit berair.
“Ndra… It’s a choice I’ve made, and you are the one I’ve been looking for all this time… Please, don’t make me change my mind and regret this… I love you… I really really am, Ndraaa…” jawabnya

Kini aku yang terdiam. Kali ini aku benar-benar kepikiran. Sosok wanita cantik yang sedang menunggangiku saat ini adalah orang yang dengan sadar telah menyatakan cintanya padaku. Aku sadar, sebenarnya sejak awal kami saling menyapa di perpustakaan memang aku telah merasakan suatu aura berbeda pada Dian yang membuatku tertarik kepadanya. Tapi, saat itu, aku benar-benar tak menyangka akan jadi seperti ini. Saat itu, aku hanya ingin menjadi pacar baik-baik buatnya, yang selalu ada saat ia senang ataupun sedih, tanpa harus menodai masa pacaran dengan seks yang mengikat. Tapi, semua sudah terlanjur sekarang, kami sudah berada dalam posisi telanjang bulat, bahkan setengah badan otong pun sudah masuk ke dalam liang cintanya. Ah, sudahlah, kunikmati dan kujalani saja hubungan ini. Lagipula, bagaimanapun juga, aku memang jatuh cinta pada Dian sejak pandangan pertamaku di taman. Aku pasti sanggup menjalani dan mempertahankan hubungan ini sampai akhir.

Sementara aku masih terdiam, tenggelam dalam pemikiranku, Dian melanjutkan serangannya, kini ia bergerak naik turun secara perlahan, si otong pun mulai merasakan nikmatnya vagina seorang wanita sungguhan meskipun baru setengah badannya. Semakin lama, semakin cepat gerakan Dian menaik-turunkan badannya, sambil bergerak kadang ia memegang dan mengacak-acak rambutnya lalu meremas kedua gunung kembar indahnya. Tak lama berselang, Dian kembali diam, lalu perlahan-lahan menurunkan badannya lebih dalam lagi hingga si otong masuk sepenuhnya ke dalam vagina Dian. Dian pun kembali diam sejenak, sepertinya ia kembali merasakan perih. Tapi kali ini ia tak menahannya selama tadi, kali ini ia gerakkan badannya walaupun masih kulihat ia meringis menahan sakit. Beberapa saat kemudian, kupengang kedua pahanya, kemudian kutahan.

“Kalau kamu kesakitan, kayaknya mending kita tunggu bentar deh, jangan kamu paksain.” Bisikku pada Dian. Ia pun mengangguk, berdiam sejenak, ketika rasa perihnya mulai menghilang, iapun kembali menggerakkan badannya naik-turun, lalu sesekali memvariasinya dengan menggerakkan pinggulnya maju mundur.

Sensasi yang dihasilkan dari gerakan Dian sungguh nikmat, sulit rasanya kubayangkan dengan kata-kata, mungkin kalau surga ada sepuluh lantai, kini aku sudah masuk lantai ketiganya.

“hhhhhhh, sssssshhhhh, hmmmmhhhh, eennnaaaak Yaaaan… magic holemu heeebaaatssshh” kataku sambil berbisik. “hhhhh, yeeeahhh, Ndraaaa, cula badakmu juga enak bangeeetsshhh… ohhhhhhh, ayooo ssssayaaangghhhhh, tunjukin kalo kammuhhhhh bukan cummmma badak tammbunnhhhhhh, tapi kamu badaaaaakh tambun dengan cula yang perkasssssaaahhhhh” kata Dian sambil mendesah-desah. Dimotivasi seperti itu, semangatku pun membara. Kubangkitkan tubuhku, lalu dengan posisi cula badakku (alias baru kontolku a.k.a. si otong) masih menempel di vagina Dian, kuangkat tubuhnya, lalu gantian kini ia kurebahkan di kasur. Kini, aku menguasai permainan. Kumulai melancarkan serangan awalku ke vagina Dian dengan missonary position. Kugerakkan penisku maju mundur dengan tempo stabil berurutan dari lambat ke cepat. Sementara satu tanganku ku letakkan di samping pinggul Dian untuk menahan beban, tangan satunya lagi kugunakan untuk bergerilya di sekujur tubuh Dian, mulai dari kakinya, perutnya, klitorisnya, payudaranya, hingga kemudian masuk sebentar ke mulut Dian dan diemutnya seperti menikmati lolipop. Tak berapa lama kulancarkan aksi itu, kurasakan penisku mulai kebanjiran cairan orgasme Dian, lalu iapun mengejang, bahkan sesekali sempat kurasakan ada sedikit kedutan memijat kontolku. Kubiarkan Dian menikmati orgasmenya sejenak. Kemudian, saat staminanya sudah cukup pulih, kugerakkan badannya dan kuposisikan dia menungging, cula badakku kini menghajar vagina Dian dalam posisi doggy style. Kugerakkan badanku maju mundur, sesekali kudekatkan tubuhku ke tubuh Dian, kuciumi dan kujilati punggungnya, lalu saat ia menolehkan wajahnya, ku kecup sambil kuremas lembut payudaranya. Kenikmatan yang kurasakan dalam posisi itu membuatku tak mampu bertahan lama, menjelang keluarnya lahar panasku, kubisikkan pada Dian “Yaaaanhhhhh, aku gak tahan lagi….. Aku mau keluarrrrrhhhhhhh…” “hhhhhhh, Ndraaaaa, iyaaahhhhh, aku juga mau keluarhhh… keluarin di dalem aja yah…. Kita keluarin barenganhhhhhh” jawabnya. “ammmannnhh gak Yan?” tanyaku memastikan, aku takut menghamilinya lebih awal, aku belum siap dengan segala konsekuensinya. Dian tersenyum padaku, lalu mengangguk. Cula badakku pun mencapai klimaksnya, begitu pula dengan Dian, cairan orgasme mulai mengalir dari magic holenya, sedang cula badakku tak mau kalah, sebanyak empat kali semprotan masuk ke dalam liang cinta yang nikmat itu.

Dian merebahkan tubuhnya di kasur, begitu juga denganku. Dinginnya malam kembali menyelimuti tubuh kami. Kuambil bed cover disamping bantalku. Lalu kuselimutkan di tubuh kami yang masih sama-sama tak berbalut apapun selain keringat hasil olahraga malam barusan. Kulirik sebentar ke arah jam dinding, pukul tiga pagi. Dian bergeser dari tempatnya mendekat padaku. Digerakkannya tangan mungilnya memeluk pundakku. Sedang aku, kulingkarkan saja tangan kiriku di pinggangnya. Kami berdua pun terlelap dalam heningnya pagi yang makin menjelang.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 10 – A good start for a new life…​
Hari demi hari berlalu, kini setiap hari aku selalu mengantar jemput Dian kemanapun ia pergi. Kini, tiada hari berlalu tanpa kecupan semangat darinya. Ya, setidaknya semua hal itu saat ini membawaku menjadi sebuah pribadi yang lebih baik, lebih percaya diri, dan gak jomblo lagi pastinya.

Sejak kejadian di kamar kosku malam itu hubunganku dengan Dian telah berubah status. Kini kami memasuki masa pacaran. Satu minggu sudah kujalani masa itu dengan Dian, cukup banyak orang yang sepertinya tak percaya. Bagaimana mungkin badak tambun sepertiku bisa mendapatkan putri cantik semacam Dian? Apa ini semacam versi baru Fairy Tale Pangeran Kodok? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Tapi, tak kupikirkan semua itu. Yang ada di pikiranku saat ini adalah bagaimana menjalani hidupku yang baru bersama Dian.

Di suatu siang, aku duduk sendirian di kantin. Saat itu aku tak ada kuliah, hanya menanti usainya kuliah kekasih hatiku, Dian. Daripada suntuk, akhirnya ku sms sahabatku sedari SMA, si Cungkring.

“Kring, ke kantin sekarang gih, penting coy” begitulah smsku pada Cungkring, berharap ia akan segera datang ke kantin, sebelum kebosanan datang lalu membunuhku. halah.

Tak lama berselang, Dion alias Cungkring pun tiba di kantin, dan langsung mengambil tempat duduk di depanku. “Ade ape bray? Tumben-tumbenan elu ngajakin ketemuan disini” katanya membuka percakapan.

“Ah, elu, kayak gak tau aja adat kita apaan kalo kumpulnya disini.” Jawabku enteng sambil menaik-turunkan alisku memberinya kode
“Hmmm, iya sih, tapi apa ya, ulang taun elo masih jauh, utang gue ke elu juga udah lunas” katanya sambil garuk-garuk kepala memikirkan apa alasanku mengajaknya ke kantin.
“Ah, gak peka lu ah, temen sendiri udah jadian masa gak tau sih lu? Nyonya lu gak ngasih tau?” jawabku agak kecewa.
“Oh, itu toh, berarti asumsi gue sebelum kesini tadi bener” jawabnya enteng lalu tertawa.
“Lah, udah tau gitu malah tadi diem, rese lo Kring, hahahaha” balasku.
“Iyee iyee, maap dah, terus terus, pesta apa nih kita?” tanyanya
“Bang, pesen Nasi goreng jumbo dua yak, yang satu super duper pedes yang satu biasa, minumnya teh botol empat” teriakku memesan makanan ke penjual nasi goreng.
“Mbun, udah berapa lama elu jadian sama dia?” tanya Cungkring
“Hmmm, baru seminggu sih sekarang, kenape Kring?” aku balik bertanya
“Dari awal gue pacaran Rina pengen banget pergi liburan yang sekalian dobel date, tapi berhubung gak ada yang mau, dan elunya gak ada pasangan, ya susah dah kita.” Katanya
“Oh, gitu, emang mau liburan kemana? kapan?” tanyaku
“Rencananya sih liburan tengah semester ini, kita ke Bromo, budeku punya beberapa deret homestay disana, yang terdekat sama gunungnya lagi, bisalah kita pake dua, satu pasangan masing-masing satu” jawabnya.
“Hmmm, gitu, ya bilang aja lah ntar ke nyonya-nyonya, kalo gue sih oke aja asal dokumentasi pake kamera masing-masing, dan gak ada hal gila semacam jaman SMA kita dulu, hahahaha” balasku.

Pesanan makananpun datang, segera kami santap nasi goreng jumbo yang telah kupesan tadi. Sambil menikmati hidangan, Dion membagi sedikit banyak kisahnya selama masa pacaran, lalu memberiku sedikit wejangan mengenai perilaku wanita, cara menghadapinya, dan gombalan-gombalan yang kadang terkesan gak mutu, tapi ketika dijalani di masa pacaran akan terasa lain. Cukup lama kami membicarakan hal itu, hingga kemudian dari kejauhan kulihat Rina berjalan dengan Dian menghampiri kami.

“Permisi bapak-bapak, boleh minta waktunya sebentar?” goda Rina pada kami yang sedang asik dengan obrolan kami. Kami pun tersenyum menyambut mereka. Rina pun duduk disamping Cungkring, sedang Dian bergerak ke arahku, lalu duduk tepat di sampingku. Tangan-tangan mungilnya dilingkarkan ke lenganku, sebelum sempat kumasukkan satu suapan kedalam mulutku, ia merengek manja

“Badaaaak, mintaaaaak…. Aaaaaaaak….” Katanya sambil membuka mulutnya

Suapan itupun akhirnya kusuapkan pada Dian. Melihat kemesraan kami, Cungkring dan Rina pun tersenyum. Seakan mereka telah menemukan jawaban atas pencarian mereka selama ini.

“Cieeee, yang lagi anget-angetnya….” goda Cungkring
“Ah elu, kayak elu gak gini aja” balasku
“Tadi ngobrolin apa sih, kok kayaknya asik banget…” tanya Rina diiringi anggukan Dian
“Oh, itu, kami lagi omongin rencana kita yang dulu itu yang….” jawab Cungkring
Rina terdiam sejenak, lalu tersenyum, sedang Dian kini menoleh ke arah kami semua.
“Jadi, gimana kalian? Mau kan? Mau ya?” tanya Rina menghadap kami
Kujelaskan perbincangan kami tadi pada Dian. Setelah mendengar dengan seksama, iapun mengangguk, menyetujui rencana itu. Rina pun tersenyum, lalu menatap Cungkring dengan pandangan penuh arti.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 11 – Sweet Honeymoon​
Hari H liburan pun tiba. Kami pun siap berangkat dengan bawaan kami masing-masing. Perjalanan ke Bromo kami telusuri sejak pagi buta menggunakan sepeda motor. Cungkring sengaja memakai ide ini, selain untuk memangkas biaya, menurutnya sekalian menikmati perjalanannya, lagipula perjalanan tak terlalu jauh dan kami sedang dalam di libur semester yang cukup panjang, secapek-capeknya masih punya banyak waktu istirahat.

Sepanjang perjalanan, motor kami berjalan beriringan. Dengan motor kalajengking miliknya, Dion mengambil posisi depan sebagai penunjuk jalan, sedang aku di belakangnya. Kurasa, masing-masing kami pasti menikmati setiap inchi jarak perjalanan yang kami tempuh. Sepanjang perjalanan itu pula tangan Dian tak sedetikpun melepas pegangannya di perut buncitku, otomatis seluruh tubuh bagian depannya menempel pada punggungku. Walaupun tubuh kami tertutup jaket yang cukup tebal, aku masih bisa merasakan gundukan empuk yang menempel di dadanya. Uh, sungguh membuatku salah tingkah dan terkadang jadi tak fokus mengendalikan harimauku. Sepanjang perjalanan dari gerbang luar Surabaya sampai POM bensin terakhir Malang menuju Bromo aku minta izin berhenti ke toilet beberapa kali untuk membius cula badakku. membius lho ya, bukan muasin, kalo dibius cuma disiram air sampe lemes lagi, hihihi. Dion dan Rina cengar-cengir saja melihatku berkali-kali izin ke toilet, sedang Dian keheranan, seolah tak mengerti semua ini gara-gara gundukan bulat dibalik jaketnya, hahaha.

Menjelang sore hari, kami tiba di area homestay terdekat. Udara dingin khas daerah pegunungan menyambut kami. Dion pun mengarahkan kami menuju homestay milik budenya. Setibanya kami di homestay, kami disambut dengan ramah oleh dua orang yang menurut Dion adalah pasutri yang menjadi pengurus sekaligus penjaga homestay, Pak Joyo dan Bu Ninik.

“Selamat datang mas Dion. Wah lama nggak kesini, sudah tambah tinggi ya sekarang. Tumben kok ndak sama keluarga?” kata pak Joyo.
“Hehehe, iya pak, keluarga lagi sibuk sendiri, sedang saya sama temen-temen saya ini liburan, daripada sumpek di rumah, ya saya ajak aja kesini, sekalian rekreasi pak, hehehe” jawab Dion lalu mengenalkan kami.
“Lho, kok malah ngobrol diluar toh, ayo-ayo silahkan masuk. Di dalam sudah saya siapkan makanan sama wedang buat menghangatkan badan” ajak Bu Ninik.

Rina, Dian, dan aku pun masuk ke dalam homestay. Bu Ninik menghidangkan makanan dan minuman yang memang telah disiapkannya, lalu bercengkerama dengan kami. Cungkring masih di luar, kulihat dia dan Pak Joyo mengobrolkan sesuatu, kemudian Pak Joyo mengangguk sambil tertawa kecil, lalu ia berjalan menjauhi homestay sambil tersenyum, sedang Cungkring masuk ke homestay.

“Masak apa Bu Ninik?” tanya Cungkring selagi melepas sepatu di depan pintu.
“Masak seadanya kok mas, mi rebus anget sama lodeh tewel bonus perkedel, yang penting bisa buat ngusir laper dan ngangetin badan” jawab Bu Ninik.
“Ah, bisa aja Bu Ninik, makanannya sebanyak ini lho kok dibilang seadanya, tapi maturnuwun lho Bu, ngapunten jadi ngerepoti” kata Rina.
“Iya nih, bisa aja Bu Ninik, omong-omong, wedangnya susu jahenya enak banget ini Bu, tapi kok kayaknya agak beda ya rasanya dari yang saya sering bikin” timpal Dian
“Oh, wedang jahenya saya kasih tambahan rempah rahasia Mbak, kalau mbak-mbak mau nanti malam atau besok bisa saya ajarin” jawab Bu Ninik ramah.
“Eh badak, elu udah abis berapa piring tuh, lu sisain gak tuh buat kita, pantesan daritadi diem aje, ngembat makanan mulu ternyata ya” Cungkring sedikit berteriak membuat semua pandangan di ruang tamu homestay tertuju padaku.
“Dingin bwangwet nih… nyam… nyam… mwumpung adwa mwakanwan awngwet yawudah, guwe makawn ajawh..” jawabku sambil terus mengunyah makanan
Mendengar jawabanku, sontak Dion dan Rina yang telah mengenalku sejak SMA secara kompak langsung pasang muka poker face dan mengambil bagian makanan mereka. Melihat hal itu, Dian tertawa cekikikan, lalu ikut mengambil porsi makanannya.
“Saya tinggal dulu ya mas, mbak. Saya mau cari bapak, biar nyiapin mobil jeepnya buat besok” kata Bu Ninik seraya meninggalkan kami.

Dengan lahap kami memakan makanan yang telah disediakan Bu Ninik. Setelah selesai makan, Dion mengajakku ke teras sebentar, membicarakan rencana kami sebelumnya, untuk berada di dua homestay yang berbeda.

“Dah, elu di homestay sini aja, ntar gue yang di homestay satunya. Masalah makan, ngumpul, dll. di sini aja ya basecampnya. Kita berangkat ke gunungnya besok pagi, jam setengah tiga. Oiye, jangan sungkan-sungkan kalo elu lagi pengen, anggep aja honeymoon elu, asal ributnya gak bikin bangun satu kampung gak ada yang bakal ganggu kok. hihihi.” kata Dion
“Oke deh, thank you banget ye sob, pengertian banget elu. Hahaha.” Jawabku

Aku kembali masuk ke dalam homestay. Dion hanya berdiri di depan pintu, lalu memberi kode Rina untuk keluar. Karena cukup lelah, aku pun segera masuk ke dalam kamar homestay. Sementara itu kulihat Dian mengikutiku, meletakkan barang-barangnya, lalu masuk ke kamar mandi di dalam kamar homestay itu. Beberapa saat kemudian, sambil berbaring di sebuah kasur yang lebar, kunikmati suara percikan air yang berasal dari dalam kamar mandi. Karena cukup lelah mengendalikan harimauku hampir seharian, aku pun terlelap.

Sekitar setengah jam kemudian, paha kananku terasa tertindih sesuatu yang berat, entah karena lelah, atau ada yang membebani kakiku. Kucoba mengumpulkan kesadaranku. Saat kubuka kedua bola mataku, barulah aku tau sebab kakiku terasa berat. Ternyata Dian menduduki pahaku. Dengan tubuh hanya berbalut handuk putih yang menutup bagian dada hingga sebagian pahanya, Dian mengeringkan rambutnya, sambil ia menatap cermin meja rias di depannya, lalu menoleh kekiri dan kekanan, mencari ada tidaknya jerawat yang menempel di wajah manisnya. Kubangkitkan tubuhku dari kasur, lalu kulingkarkan tanganku memeluk pinggangnya. “Ngeliatin apa sih kok noleh-noleh gitu, cantiknya gak luntur kok, malah, tambah cantik” pujiku sambil mencoba mengecup keningnya. Dian tersenyum, tapi ia berusaha menjauhi ciumanku, dengan dua jari ia dorong kepalaku jatuh ke bantal. “Mandi dulu sanah, aku gak mau digombalin sama badak tambun kepet” katanya seraya memasang muka jual mahal lalu bangkit dari pahaku dan berpindah ke kursi meja rias. Kulangkahkan kakiku masuk ke kamar mandi. Percikan air hangat dari pemanas cukup membuatku segar kembali. Selesai mandi, kulihat Dian berdiri di samping jendela, mengintip pemandangan yang terpampang di hadapannya, ia masih membalut tubuhnya dengan handuk. Kulangkahkan tubuh tambunku yang tertutup handuk dari perut ke lutut menuju ke arahnya, kulingkarkan tanganku di perutnya, kupeluk lembut sambil kucium punggungnya lalu kukecup keningnya.

“Ndra… Istirahat yuk, kamu pasti capek seharian nyetir motor…” Dian menyeret tanganku menuju kasur. Sebenarnya aku mulai terangsang saat melihat Dian membalut tubuhnya hanya dengan handuk. Tapi apa daya, kata-katanya ada benarnya juga. Lebih baik kami mengistirahatkan sejenak tubuh kami daripada memaksakan diri melakukan hubungan seks.

Dengan tubuh hanya terbalut handuk, kurebahkan tubuh tambunku diatas kasur yang sempat kucicipi tadi, Dian merebahkan tubuhnya tepat di sampingku, dengan posisi miring ia letakkan satu tangannya di atas dadaku, kurasakan hangatnya napas yang keluar dari hidungnya. Sementara itu tangan kananku memeluk kepalanya dan mengelus-elusnya, kemudian dalam sekejap akupun kembali terlelap.

Entah berapa lama aku terlelap dalam tidurku, saat kubuka mata, kurasakan cula badakku mulai mengeras dan sepertinya ingin segera menyeruduk mencari mangsa. Kulihat Dian telah memakai baju piyama ditutup jaket cukup tebal miliknya, kedua tangan mungilnya membawa dua gelas minuman hangat.

“Eh, tukang molor udah bangun, ih, gak sopan, masa baru bangun cula badaknya udah mencungul gitu, gara-gara kedinginan ya, hihihi.” katanya sambil meletakkan minuman. “Nih aku bawain wedang spesial, aku yang bikin lho, diajarin Bu Ninik tadi, minum gih, ntar keburu dingin” katanya sambil menyerahkan wedang ke tanganku. Iapun kemudian duduk di samping tempat tidur dan meminum wedangnya. Kuseruput sedikit demi sedikit wedang buatan Dian. Dari rasanya sih, ini seperti wedang yang tadi sore kami cicipi, tapi ini lebih kaya rasa, pasti yang ini lebih banyak bahan tambahannya, pikirku. “Gimana? Enak?” tanya Dian. Aku hanya mengangguk. Saat wedangku habis, ku geserkan sedikit tubuhku untuk meletakkan gelasku di meja rias.

Saat aku menggeserkan tubuhku ke posisi semula, tiba-tiba Dian telah memposisikan dirinya tepat di depanku, dengan wajah sangat dekat sehingga kami bertatapan dengan sangat jelas. Ia berbisik “Aku punya yang lebih enak, mau?” Mendengar pertanyaannya itu, kulingkarkan tangan kiriku memeluk pinggang Dian. Sementara tangan kananku mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Kukecup kening Dian, lalu kucium mesra bibir manisnya. Sejenak kemudian, Dian memulai serangannya, dijulurkannya lidahnya masuk ke mulutku, kubalas aksinya ini dengan pagutan-pagutan liar, sementara tanganku mulai melepas jaket yang menutup piyamanya. Sambil terus saling berpagutan, tanganku kini menelusup masuk ke dalam baju piyama Dian. Kuraba dan kutelusuri seluruh kulit yang tertutup piyama itu, lalu, pergerakan tanganku berhenti saat menemukan pengait bh yang menempel di punggung Dian. Kugerakkan sedikit kedua tanganku untuk membuka pengait bh Dian, kemudian kulanjutkan aksi liarku, kuremas lembut kedua payudara Dian yang masih tertutup piyama dan bhnya. Sejenak kemudian, kancing penutup piyama Dian kulepas satu per satu, lalu kulepas bh yang telah terlepas pengaitnya itu dan menyembullah gunung kembar Dian. Kuhentikan pagutan liarku di bibirnya, kugeserkan menuruni lehernya dan dadanya. Ketika sampai di gunung kembar Dian yang sungguh menggoda itu, aku tak kuasa lagi menahan nafsu untuk segera melumat habis kedua putingnya sambil kuremas lembut. Sementara itu, Dian yang menikmati rangsangan di gunung kembarnya tak mau tinggal diam, tangan kirinya dengan nakal meraba-raba pinggangku, mencoba melepaskan handuk yang melekat di tubuhku. Dalam sekejap akupun kembali bugil bagai bayi yang baru lahir, Dian memutar tubuhnya, kuturunkan celana pendek piyama yang melekat menutupi kakinya. Kini, kami berdua sama-sama bugil tanpa satu pun benang melekat di tubuh kami. Dian mulai menggencarkan aksinya di cula badakku, dijilatinya kepala kontolku, lalu perlahan-lahan dikulumnya makin lama makin masuk ke dalam hingga tenggokannya, sementara aku tak mau kalah, kudekatkan kepalaku ke magic holenya, lalu kumulai juga seranganku di labia mayora dan labia minoranya. Kemudian tangan kananku menyusup masuk, mengusap dan memainkan klitorisnya, sementara tangan kiriku mengunci posisi Dian agar tak banyak bergerak. “uhssssss, ohhhhhhhh, hmmmmm, yahhhh Ndraa…. Emmmmhhh… terusssshh babbyyhhhhh… ummmmmhhhh akkuhhhhh mau keluarhhhhh ummmhhh….” desahnya pelan “Keluarin aja sayaaaang, cipratin aku pake cairan cintamu…” jawabku. Sejenak kemudian, Dian telah mencapai orgasme pertamanya, tubuhnya pun mengejang lalu merebah di sampingku. Kurasakan wajah dan leherku terkena sedikit cipratan cairan orgasmenya, aromanya khas sekali.

Kumiringkan posisi badanku, kupegang kepala Dian, kumiringkan menoleh kearahku, lalu kukecup lembut bibir manisnya. Dian membalas, ia memiringkan tubuhnya, lalu memeluk pundakku sambil terus berciuman. Kuturunkan tanganku ke arah gunung kembarnya, kuremas lembut, lalu kumainkan puting imutnya. Dian melenguh, tapi ia tak mau tinggal diam, tangannya menari-nari disekitar pungungku lalu bergeser ke arah cula badakku. Diremasnya dengan genit kemaluanku, kemudian, perlahan-lahan namun makin cepat dikocoknya cula badakku.

“Ndraaa…” Dian menghentikan aksinya “gantian… biar aku yang puasin kamu sekarang…” lanjutnya. Bibirku dikecupnya, Dian beranjak dari posisinya lalu duduk nyinden di depanku. Wajahnya didekatkan ke penisku, dijilatinya sampai terasa sangat basah, lalu dikulumnya pelan-pelan. “Emmmmmhhh, enak Yan…” lenguhku. Cukup lama Dian mengulum, menjilati dan mengocok kontolku, tapi aku masih cukup bisa menahan diri untuk tidak segera keluar, tidak sebelum cula badakku puas berkelana ke magic holenya.

Dian menghentikan kulumannya, kini ia menciumi tubuhku, terus naik hingga mencapai bibirku, kupagut lembut bibir manisnya, ia membalas, kini kami saling berpagutan. Sementara itu, tangan kiri Dian masih memegang penisku, bagian ujungnya digesek-gesekan ke bibir vaginanya. Dian melenguh, tapi ia tak melepaskan ciumannya atau menghentikan gesekan di bibir vaginanya. Semakin lama, aku semakin tak tahan ingin segera merasakan magic hole Dian. Kugerakkan tanganku memegang pinggangnya, Dian seakan membaca kodeku. Perlahan-lahan, dimasukkannya cula badakku masuk ke magic holenya. Aku merasakan sensasi yang luar biasa nikmat saat Dian memasukkannya pelan-pelan seperti itu. Dian memegang tanganku, mengarahkannya ke dadanya. Kumainkan lagi sepasang payudara indah yang menggantung di dada Dian, kuremas-remas lembut, lalu kumainkan putingnya, sementara Dian mulai menggerakkan tubuhnya naik turun.

Semakin lama semakin liar gerakan dian mengocok penisku. Aku sendiri makin terangsang melihat payudara indahnya menari-nari di depanku, kubangkitkan tubuhku dari posisi rebah, lalu dalam posisi duduk, kuciumi dan kujilati kedua payudara indah itu, Dian mulai meracau, lalu tangannya meremas dan menjambak rambutku. Beberapa saat kemudian, kurasakan cairan hangat mengaliri kontolku. Dian terdiam dalam pangkuanku, menikmati orgasmenya sendiri. Kubiarkan ia mengumpulkan staminanya kembali, sedang aku asik menciumi dan meremasi kedua payudaranya.
Kubaringkan Dian dalam posisi miring dengan kelamin masih menempel satu sama lain. Kuangkat sedikit kakinya, lalu pelan-pelan kuhujamkan cula badakku masuk ke magic holenya. “Emmmmh, yessssshh, terus Ndra… puasin dirimu sayangghhhh, puasin nafsu kamu…. emhhhh” desah Dian memintaku meneruskan aksiku. Mendengarnya memintaku seperti itu, aku makin semangat menghujamkan penisku keluar-masuk vaginanya. Bosan dengan gaya itu, kuminta Dian pindah ke posisi doggy. Dengan tempo yang tak terlalu cepat, ku kugenjot tubuh molek dihadapanku ini. Kedua tanganku kubiarkan menari-nari diatas punggung Dian, sambil sesekali memengang, meremas, dan memijit lembut pundaknya. Cukup lama kulancarkan serangan di doggy style hingga badanku agak terasa lelah, kurebahkan Dian dalam posisi tetap tengkurap, lalu kutindih pantatnya dan kugerakkan pinggulku naik turun seperti melakukan push up. Tak kusangka, sensasi yang kurasakan dalam posisi inipun sungguh fantastis, dalam waktu kurang dari seperempat jam aku mulai merasakan spermaku akan keluar.
“Emmmmh, Yan… aku mau keluarrrrrh….” Lenguhku
“Keluarin di dalem aja yah Ndra… barengaaaaanhhhh…” jawab Dian sambil mendesah
croot… crooot… crooot… keluarlah spermaku di dalam vagina Dian, sementara itu kurasakan juga aliran hangat cairan cintanya membasahi penisku dan vaginanya berkedut-kedut. Kurebahkan tubuhku di samping Dian, kumiringkan tubuhku, lalu kupeluk dia dari belakang. “makasih yah… You’re the best…” bisikku sambil mengecup kepalanya. Dian tak menjawab, ia mengambil selimut tebal di dekatnya, lalu menyelimuti tubuh kami, tanganku yang masih memeluknya dipegangnya erat-erat. Sejenak kemudian, ia membalikkan badannya. “Mandi yuk, udah malem, dingin banget, pas bikin wedang tadi Rina bilang menjelang tengah malam ini ada acara kumpul-kumpul santai.” Tanpa menjawab dan meminta persetujuannya, kubopong Dian dalam keadaan kami sama-sama bugil masuk kedalam kamar mandi. Kunyalakan pemanas air, sedang Dian memutar-mutar kran. Gemericik air hangat keluar membasahi tubuh kami. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya, lalu kukecup pipinya. Dian menoleh, kucium lembut bibir manisnya, kemudian, kuambil sabun cair di pinggiran bak mandi, kuputar tubuh Dian membelakangiku, lalu kuoleskan sedikit sabun cair di punggungnya, kemudian kuusap hingga merata, sesekali kuremas dan kupijit lagi pundaknya. Dian membalikkan badannya, usai mengusap tubuh bagian depannya dengan sabun, kini ia tuangkan sabun cair itu di tangannya, kemudian diusap-usapkannya ke seluruh punggung dan dadaku. Kami memandikan satu sama lain. Hangatnya percikan air hangat dari shower menyegarkan tubuh kami. Setelah membilas bersih seluruh sisa sabun yang menempel di tubuh kami, kupeluk lagi Dian, lalu kukecup mesra bibir manisnya.
Dian tertawa kecil. “hihihi, dasar nakal, pengennya gitu terus.” Ia pun segera membalut tubuhnya dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 12 – The sweet promise… ​
Malam pun semakin larut, Aku dan Dian telah mengganti pakaian kami masing-masing. Dian beranjak dari kamar menuju ke ruang tamu, diambilnya remote tv yang tergeletak di meja. Kuhampiri Dian, lalu kami duduk di kursi yang cukup panjang. Kurebahkan tubuhku di kursi itu, sementara kepalaku kuletakkan di paha Dian. Dian tak menatapku, sambil menonton tv ia mengelus dan mengacak-acak rambutku. “Makasih ya Ndra kamu hadir di hidupku…” ucapnya sambil menatapku. Kupandangi wajahnya, Dian memberiku sebuah tatapan penuh arti sekaligus misteri. Kubangkitkan tubuhku, lalu kusenderkan kepala Dian ke bahuku. “Nggak Yan, Aku yang terima kasih, kehadiranmu di hidupku bener-bener berarti, kamu berhasil mengubah pandangan ku pada dunia ini, dari yang sebelumnya begitu remang dan abu-abu, kini begitu cerah dan begitu berwarna.” Jawabku sambil memeluknya. Dian terdiam, sejenak kemudian kedua tangan mungilnya memelukku.

“Cieeee… yang lagi anget-angetnyaaaaaa” Teriak Dion mengagetkan kami, spontan aku dan Dian pun melepas pelukan kami, lalu duduk awkward dengan pipi memerah. Entah berapa lama Dion dan Rina berdiri di depan pintu homestay, bahkan aku pun tak mendengar mereka membuka pintu. “Ke halaman samping yuk, Pak Joyo sama Bu Ninik udah nyiapin kayu bakar tadi, lumayan buat angetin badan.” Ajak Rina sambil menggandeng Dion ke halaman. Aku pun beranjak dari tempat dudukku, lalu kugandeng Dian menuju kesana.

Dion dan Rina masing-masing duduk di sebuah kursi yang agak kecil, di depan mereka tertata beberapa tumpuk kayu yang siap dibakar. Aku dan Dian pun duduk di kursi yang tersedia. Dion beranjak dari tempat duduknya, lalu memberikan pidato singkat. “Malam ini, gue ajak kalian semua kesini buat perayaan. Yang pertama, perayaan atas lepasnya status jomblo akut Indra, kedua, perayaan atas jadiannya Indra dan Dian, dan ketiga, Perayaan buat gue dan Rina, yang sekarang jadi punya temen buat double date. For love and friendship!” kata Dion lalu menyalakan api unggun.

Dian menyandarkan kepalanya ke bahuku. “Suasananya jadi syahdu ya Ndra…” kata Dian. “Weits, masih bisa lebih syahdu… Tunggu bentar yah…” Aku beranjak dari tempatku duduk, lalu masuk ke dalam homestay, saat kembali tangan kiriku membawa gitar yang tersandar di ruang tamu homestay.
Look into my eyes, you will see
What you mean to me
Search your heart, search your soul
And when you find me there
You’ll search no more

Don’t tell me, it’s not worth tryin’ for
You can’t tell me, it’s not worth dyin’ for
You know it’s true
Everything I do, I do it for you ​
Kunyanyikan lagu legendaris Everything I Do punya Bryan Adams, Rina dan Dion duduk mendengarkan sambil bergoyang kekiri dan kanan, sedang tangan mereka saling memeluk pinggang. Sedang Rina ikut menyayikan lagu itu bersamaku, bahkan ia melantunkan suara kedua, menjadikan lagu yang kami nyanyikan semakin merdu dan enak didengar. Selesai kunyanyikan lagu itu, Dian segera merebut gitar dari tanganku. “Sini, gantian aku mau nyanyi buat kamu, buat kita” katanya lalu tersenyum.
Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I’ll give my all to you
You’re my end and my beginning
Even when I lose I’m winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh ​
“Cieeeee… romantis banget sih kalian… bikin iri aja…” celetuk Rina saat Dian selesai menyanyikan lagu. Mendengar itu, sepertinya Dion terusik, tapi ia tak marah, ia memegang erat kedua tangan Rina. “Rin, I’ll let you know, aku memang gak seromantis mereka, dan mungkin gak akan bisa, but please, kamu harus tau, hingga saat mawar tak lagi berduri, dan rafflessia arnoldi berubah jadi semerbak mewangi, hati ini gak akan pindah ke lain hati, hati ini tetap milikmu…” kata Dion lalu menempelkan tangan Rina di dada Dion. “Ih, apa sih, ngaco ah, hihihihi…” jawab Rina sambil mendorong Dion. Aku dan Dian tertawa terbahak-bahak melihat aksi mereka. Hari semakin pagi, api unggun pun kini hanya menyisakan abu yang mulai mendingin, kulihat jam tanganku, pukul setengah tiga pagi. Kupanggil Dion, lalu kuberitahu saatnya berangkat.

Dengan diantar Pak Joyo, kami pun berangkat ke Bromo menggunakan jeep yang memang biasa digunakan untuk mengantar turis untuk ke Bromo. Sesampainya di penanjakan, tubuh terserang dinginnya pagi ditambah lokasi yang berada di ketinggian, wuih, serasa membeku seperti es. Aku pun segera mengiyakan ketika beberapa penyewa jaket menawarkan jasanya, bahkan akupun membeli sarung tangan, syal, dan penutup kepala.

“Hahahahaha, dasar badak, gak tau diri lu ah, badan udah paling tebel masa masih kedinginan jugak sih?” ejek Dion diiringi tawa kecil Dian dan Rina.
“Eh kampret, hukum ketebalan tubuh berbanding lurus dengan ketahanan di suhu dingin gak berlaku disini. Tulang gue rasanya udah kaya ketusuk ini cuk, makanya gue dobelin jaketnya” jawabku sedikit ketus.
“Udah-udah. Aku percaya kok. Nih, pakein dong yaaang” Dian menyodorkan syal.

Setelah di briefing Pak Joyo tentang runtutan perjalanan, kami berempat pun berkumpul di sebuah pendopo untuk menantikan indahnya sunrise. Udara sejuk dan suasana yang sangat jauh berbeda dari kota menyegarkan pikiran kami masing-masing. Sejenak kemudian matahari mulai memperlihatkan wujudnya, dan semakin lama semakin naik, udara sekitar pun tak lagi terasa dingin beku. Kami segera turun untuk melanjutkan perjalanan kami. Perjalanan menyusuri Bromo ini memang sangat indah. Setelah penanjakan, kami menyusuri hamparan pasir yang begitu luas, di dekatnya berdiri kokoh gunung Bromo. Usai lautan pasir dan gunung Bromo, selanjutnya kami melintasi lautan pasir yang berbatu, kemudian menlintasi padang ilalang, bagai savana di Afrika. Wah, benar-benar pemandangan yang sungguh indah, tak satupun perhentian kami terlewat dari jepretan-jepretan kamera.

Usai sudah perjalanan kami di Bromo, kami pun kembali ke homestay. Begitu turun dari mobil dan berterimakasih pada Pak Joyo, aku segera membuka pintu, langsung menuju ke kasur dan menikmati pulau kapuk. Dian tertawa kecil saat melihatku. “Hihihihi, dasar badak tambun, tetep aja kelakuannya” Dian pun mengambil handuk lalu bergerak menuju kamar mandi. “Biar badak dan tambun, tapi bisa bikin bidadari cantik macem kamu klepek-klepek kan?” jawabku sekenanya. Kubangkitkan tubuh tambunku, lalu mengikuti Dian masuk kamar mandi. “Ih, badaknya mesum, masa ngikutin orang mau mandi” kata Dian. Aku tak menjawab, kuputar badan Dian yang membelakangiku, lalu sambil melepas pakaiannya satu-satu, kucium lembut bibirnya. Dian membalas ciumanku, kemudian tangannya ikutan melepas pakaianku satu persatu. Saat tak semua pakaian telah terlepas, kubuka kran air di sebelahku. Percikan air hangat kembali membasahi tubuh kami. Dengan lembut tanganku , kulingkarkan memeluk pinggan Dian, sementara bibirku kembali mencumbu bibirnya. Kuremas lembut pantat Dian sambil menempelkan seluruh tubuhnya ke tubuhku.

“Ndraaa… Udahan yuk, mandi dulu…” pinta Dian. Kuambil sabun cair di pinggiran bak, kuoleskan ketubuhnya, kami pun kembali saling memandikan. Seusai membilas seluruh sisa sabun, kulancarkan kembali aksiku yang sempat terhenti tadi. Dalam keadaan shower masih mengucurkan air, kupeluk Dian dari belakang, lalu kutolehkan kepalanya menghadapku. Setiap kali memandangnya, rasanya aku tak pernah sanggup melewatkan untuk mengecup bibir manisnya itu. Sambil mencium bibirnya, tanganku mulai bergerilya meraba-raba perutnya, pinggangnya, lalu meremas kedua bongkahan payudara indah miliknya. “Emmmmh… hmmmhhhh” desah Dian pelan, kurasa ia mulai terangsang. Kuturunkan tangan kananku menuju magic holenya. Kuusap lembut bibir vaginanya, sementara bibirku masih terus menciuminya dan tangan kiriku meremas payudaranya. “Emmmmmh, sssshhhhh, ooohhhhhhh, Ndraaaaa” desahnya makin menjadi-jadi saat jemariku mulai masuk ke dalam liang cintanya. “Ndaaa… Cula badakmu dari tadi udah pengen nyeruduk tuh, masa dianggurin… Aku mau diseruduk pake cula badakmu Ndra…” pinta Dian.

Kuputar kran yang masih mengucurkan air hingga percikannya berhenti. Kuangkat kaki kiri Dian, sementara tangan kirinya memeluk leherku dan tangan kanannya disandarkan ke tembok. Kugesekkan sejenak ujung kontolku di bibir vaginanya. “Emmmh, ayo dong Ndra… Masukin aja… Aku udah pengeeeen..” pinta Dian dengan tatapan sayu. Perlahan-lahan kutancapkan penisku masuk kedalam vaginanya. “Emmh, yeshhhhhh” erang Dian saat penisku masuk sepenuhnya. Kugerakkan badanku maju mundur, penisku pun mulai keluar masuk liang cinta Dian. Tatapan sayunya tadi membuatku buru-buru menyosor bibir manisnya lagi, sementara, tangan kiri ku yang tak memegang kakinya kini meremas-remas payudaranya.

“Emhhhh, hmmmmmpphhh, mmmhhhhh, hhhhhh” desah Dian tertahan karena bibirku terus menyosor bibir manisnya. Beberapa saat kemudian, kurasakan kontolku basah dialiri cairan cintanya. Kuhentikan sejenak aksiku, lalu kupandangi Dian. “Babe, I want more…” Dian malah membisikiku duluan. Kuangkat kedua kakinya dan kupegang kedua tangannya, kini kontolku jauh lebih leluasa mengocok magic hole Dian. Plop plop plop plop plop. Bunyi kulit kami saat saling menempel membuatku melayang jauh, hingga suara Dian kembali memanggilku. “Ndraaaaa… ouhhhhhh… Ndraaaa… emmmmmhhhh… Aku mau nyampeeee… uhhhhh… mmhhhhhh…” erang Dian. “Aku juga Yan, bareng yuk?” jawabku santai. Dian mengangguk, lalu membalikan badannya. Sambil tetap berdiri, kuhujamkan penisku dengan cepat di dalam vagina Dian. Beberapa saat kemudian, kurasakan cairan cintanya mengaliri penisku, kemudian dinding-dindinnya berkedut-kedut seakan memijat batang kontolku. Uh, enaknya, kupercepat gerakan penisku didalam vagina Dian, tak lama kemudian aku pun menyusul, beberapa kali kusemprotkan spermaku masuk ke liang cintanya.

Tubuh kami mulai melemas, kubopong Dian lalu kurebahkan diatas kasur, aku merebah di sebelahnya. Dalam keadaan sama-sama bugil, kutatap mata Dian, ia membalas menatapku. “Ndra… Makasih ya, makasih banget kamu hadir dalam hidupku. Makasih banget kamu mau nemenin hari-hariku yang sempat kelam. I love you Ndra…” air mata Dian mengalir, tapi ia tersenyum. “Dian… Kamu ngomong apa sih… Justru aku yang harus terimakasih sama kamu Yan… Kehadiranmu memberi arti dalam hidupku… Aku gak lagi hidup ngalir ngikutin perginya arus… Kini aku punya tujuan hidup… Karena aku telah menemukan separuh jiwaku, yaitu kamu…” jawabku sambil membelai rambutnya. Kukecup lembut kening Dian, lalu aku beranjak memakai pakaian dan mulai merapikan pakaian untuk packing.

Setelah selesai merapikan baju dan packing untuk perjalanan pulang, kuletakkan barang-barang ke ruang tamu. Kulihat Dion dan Rina juga telah membawa barang mereka masing-masing dan menuju homestay kami. Setelah semua berkumpul dan siap untuk perjalanan pulang, kami pun berpamitan pada Pak Joyo dan Bu Ninik.
================================================== *=*=*=*=*​

Part 13 – The End (?)​
Satu tahun telah berlalu, usai liburan ke Bromo itu, hubunganku dan Dian terasa semakin hangat. Hampir setiap minggu setiap pulang kencan dengannya kami saling melampiaskan rindu dan hasrat birahi yang menumpuk. Kadang kulampiaskan di kamar kosku, kadang juga di hotel di pinggir kota. Acara double date dengan Cungkring dan Rina pun masih sering kami jalani. Kulihat Dion dan Rina pun sepertinya merasakan hal yang sama denganku dan Dian, hubungan mereka semakin hangat.

Oh, indah sekali hidup ini. Menjelang semester akhirku di kampus aku meraih target hidup yang selama ini kucari, “menemukan separuh jiwaku yang lain, yang mencintaiku seutuhnya, dan apa adanya” Semoga saja ini akan terus berlanjut, hingga nanti…
Saat kami tak lagi mampu berdiri…
Saat kami hanya bisa tersenyum di kursi roda…
Memandangi cucu-cicit kami makin bertumbuh dewasa…
Mewarisi harta terbesar yang kami miliki…
Cinta…
================================================== *=*=*=*=*​
Demikianlah Cerita Panas nan Panjang dari saya. Apabila ada yang kurang pas atau kurang berkenan bagi semproters semua saya mohon maaf. Kritik dan saran akan saya tampung dan jadikan bahan pertimbangan untuk cerita panas selanjutnya. Cendol dan GRP akan menjadi penambah semangat dalam melanjutkan aksi berikutnya. Akhir kata, semoga semproters semua terhibur. Saya mimik_cucu, salam semprot, mari kita sehatkan bangsa dengan nyusu toge.

Wah, kelebihan Post nih gara-gara tadi gak sengaja dobelpost pas di part 11, lebihan ini buat apa ya enaknya?​
Ah, aku ada ide… Gimana kalo aku minta penilaian dari mas-mas, mbak-mbak, om-om, tante-tante, suhu-suhu disini semua tentang cerita panjang pertamaku ini… Sebagai awalan aku nanya seputar ini dulu kali ya Plot cerita ini gimana? Grammarnya? Gaya Penulisannya? Sex scenenya? setelah baca, jadi Konak / Kentang? Saran suhu sekalian untuk saya jadikan bahan di sequel cerita ini… itu dulu deh, nanti kalau ada usul tambahan aspek dari pembaca kumasukin lagi kesini…

Gallery for Separuh jiwaku…