Hamilin Aku Mas

Setelah sekian lama jadi silent reader cerita para suhu di sini, akhirnya hari ini bisa ikutan menyumbang cerita. Mudah-mudahan bisa dinikmati sama suhu-suhu sekalian.

Judul: Hamilin Aku Mas

Sinopsis:
Rini, adik iparku, berada dalam keadaan terjepit. HAMIL atau CERAI.

Ya, saat ini hanya ada 2 pilihan baginya. Tentunya ia lebih memilih untuk hamil. Namun sayang, besar kemungkinan kalau suaminya mandul. Untuk itu Rini meminta tolong kepadaku untuk mengantarkannya ke sebuah klinik kehamilan yang katanya ampuh banget. Tapi, sialnya dia malah bertemu dengan dokter gadungan. Untung aku berhasil mencegah aksi dokter tersebut, namun hal itu malah membuat Rini putus asa.

Chapter 1. Sabtu Kelabu​

Hari Sabtu, waktunya aku berkumpul dengan keluarga istriku. Sejak ayah mertuaku meninggal, maka setiap hari Sabtu kami para mantu dan anak-anaknya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung dan berkumpul di rumah mertuaku. Siang itu semuanya hadir, kecuali Abi, suami dari iparku. Kebetulan weekend ini dia harus lembur.

Santap siang hari ini semuanya dibuat oleh adik iparku, Candrarini. Sedangkan istriku, Candramaya, sibuk menyiapkan minuman dibantu oleh asisten kecilnya Kinarian. Tema makan siang hari ini adalah makanan Sunda. Mulai dari ayam goreng, tahu tempe goreng, karedok, sampai sambel terasi. Untuk minumannya Maya dan Kinar membuat teh sereh.

Sekitar pukul setengah satu siang semua makanan sudah tersedia di meja. Mertuaku, Artanti, lantas memanggil kami semua untuk berkumpul.

“Ayo kumpul! Kita makan dulu,” seru mertuaku.

“Deva, Kinar mana?” tanya mertuaku kepadaku.

“Lagi nonton TV mah, sebentar aku panggil.”

Aku pun langsung beranjak ke ruang keluarga untuk mengajak Kinar. Ketika aku kembali bersama Kinar, semuanya sudah berkumpul. Kami pun langsung mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia di atas meja. Menu siang ini memang benar-benar mantap. Dari dulu Rini memang gemar memasak. Makanan yang ia buat dijamin enak. Dia memang istri idaman.

Kami pun menikmati makan siang kami sambil berbagi cerita. Tak terasa satu jam telah berlalu, perutku sudah terisi penuh. Sekarang waktunya mencuci piring. Seperti biasa, aku kebagian tugas untuk cuci piring setelah makan. Aku pun beranjak ke dapur, meninggalkan mereka yang sedang asyik mengobrol. Sementara anakku memilih untuk menonton televisi.

Saking asyiknya, suara mereka bertiga pun samar-samar terdengar sampai ke dapur. Sayangnya, posisi dapur dan ruang makan itu saling berjauhan. Ditambah lagi suara keran air yang cukup kencang membuatku tidak dapat ikut mendengarkan obrolan seru mereka.

Ketika aku selesai mencuci semua peralatan makan, suara riuh yang tadi sempat kudengar pun sudah menghilang. Aku pun langsung kembali dan langsung menuju ke ruang makan. Sesampainya di sana aku hanya mendapati istriku dan iparku saja. Sedangkan mertuaku sudah tidak ada di sana. Aku pun kemudian mendekat ke arah Maya. Saat itu aku baru sadar jika Rini sedang tertunduk dan meneteskan air mata. Maya terlihat sedang menggenggam tangan Rini. Ia terlihat sedang berusaha menguatkan hati adiknya itu.

Maya yang menyadari kedatanganku pun langsung menoleh ke arahku. Aku memberikan isyarat dengan menggerakkan kepalaku beserta bibirku. Aku pun bertanya hanya menggunakan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara, “Kenapa?”. Maya hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia mengusirku dengan sebuah gerakan kepala yang mengisyaratkanku untuk pergi menjauh. Aku pun memahaminya dan memilih untuk menemani anakku menonton televisi.

Baru pada malam harinya, ketika anakku sudah tidur Maya baru mulai bercerita mengenai kejadian tadi siang. Ternyata alasan kenapa Rini menangis karena mertuaku menyuruhnya untuk bercerai dengan suaminya. Maya pun kemudian menceritakan semunya padaku.

Mertuaku itu dari dulu menginginkan seorang cucu laki-laki. Namun sayangnya, waktu itu Maya melahirkan anak perempuan. Mertuaku memang pernah memaksa kami untuk memiliki anak kedua dengan harapan anak yang akan lahir tersebut laki-laki, tetapi Maya yang memiliki watak yang keras pun menolaknya mentah-mentah. Akhirnya mertuaku pun diam dan tidak pernah lagi memaksa kami untuk memiliki anak kedua.

Namun, lain halnya dengan Rini. Rini merupakan orang yang lebih tenang dan penurut. Oleh karena itu mertuaku selalu menekannya untuk segera memiliki anak. Tapi apa mau dikata, sudah dua tahun mereka menikah dan masih tak kunjung diberi keturunan. Hingga akhirnya mertuaku pun tampaknya hilang kesabaran. Jika Rini tak segera memiliki keturunan maka mertuaku menyuruhnya untuk bercerai saja. Mertuaku curiga jika suaminya, Abi, itu mandul.

Kini aku mengerti mengapa siang tadi Rini menangis. Ternyata semua itu karena ulah mertuaku. Hari ini menjadi Sabtu kelabu untuk Rini. Kalau saja Maya bukan orang yang memiliki watak yang keras, sudah pasti kami yang akan ada di posisi Rini sekarang.

Chapter 2. Klinik Kehamilan
“Ting tong”

“Ayang, ada bel tuh. Tolong bukain!” suara Maya terdengar sampai ke lantai dua.

“Iyah, bentar!” sahutku dengan lantang. Aku pun bergegas menuruni tangga dan berlari ke arah pintu.

Ketika pintu kubuka aku melihat Rini sudah berdiri menanti di sana. “Eh Rin, ayo masuk!” ajakku sambil mempersilahkan Rini untuk masuk.

Rini langsung menuju ke ruang keluarga dan duduk di sofa. “Mas Deva, Kak Maya kemana?” tanya Rini sambil melihat ke sekeliling berusaha mencari Maya.

“Oh, Maya tadi lagi mandi, coba bentar dipanggilin yah.” ucapku sambil berjalan ke arah kamar.

Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu, “Rin, kalau mau minum ambil aja sendiri yah. Sama di kulkas ada kue, kalau mau ambil aja yah sendiri.” Rini pun mengangguk, “Siap, masih kenyang tapinya. Nanti ajah.”

Aku pun ke kamar untuk memberitahu Maya kalau adiknya datang. Maya lantas bergegas keluar untuk menyambut Rini.

“Hai, Rin. Loh kok sendirian? Abi mana?” tanya Maya yang merasa heran karena tidak ada Abi di sana.

“Ah iya kak, tadi aku naik ojek sendirian. Abi lagi di rumah, ada kerjaan. Lagi pula aku ke sini mau minta tolong sama. Kak Maya dan Kak Deva, ga enak kalau ada Abi” ucap Rini.

“Ada apa Rin?” tanya Maya bingung. Aku pun langsung mendekati Maya dan duduk di sampingnya.

“Iya kak, semalam aku udah cari-cari di internet tentang kehamilan. Ternyata ada klinik yang katanya bagus kak. Reviewnya yang abis dari sana langsung hamil kak. Aku rencananya mau coba kesana.”

“Wah bagus donk,” sahut Maya gembira mendengar berita tersebut.

“Tapi aku ga mungkin ajak Abi, aku belum cerita masalah kemarin ke Abi.”

Rini kemudian menatap kearahku, “Kalau Mas Deva pasti udah dengerkan?”

Maya mengangguk dengan wajah agak menunduk karena merasa bersalah udah cerita tentang hal kemarin, “Maaf yah Rin, kakak kemarin cerita masalah kamu sama Deva.”

Tangan Rini melambai, “Gak apa-apa kak. Justru aku jadi lebih gampang ngobrolin ini sama Kak Maya dan Mas Deva. Aku rencananya mau minta tolong ke Kak Maya. Bisa ga yah Kak Maya anterin aku ke klinik? Hari Jumat siang kebetulan mereka ada jadwal kosong. Bisa gak yah Kak Maya temenin aku?“

“Aduh Rin, kamu lupa yah? Akhir minggu depan bakalan ada orang dari Singapura itu, kayanya kakak ga bisa nemenin kamu. Salah satu dari kita harus ada di kantor.” ucap Maya mengingatkan Rini. Kebetulan mereka bekerja di kantor yang sama.

“Gimana kalau Mas Deva yang anterin kamu? Apa kamu mau?” saran Maya kepada Rini.

“E-eee… Iya kak boleh, tapi Mas Deva gak apa-apa nemenin Rini ke dokter?” tanyanya ragu.

“Dia mah gak apa-apa, dari dulu juga selalu nganterin aku. Gimana yang? Kamu bisa kluar kantor ga siangnya? Atau cuti setengah hari?” tanya Maya kepadaku sambil menoleh ke arahku.

Karena istriku yang menyuruh, aku pun bersedia membantunya. “Coba yah aku tanyain dulu ke kantor, nanti aku kabarin lagi yah Rin.” ucapku sambil melihat wajah Rini yang tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya ia bahagia karena secercah harapan sedang terbuka untuknya. Semoga saja ia bisa segera memiliki anak.

Untungnya aku diberikan izin untuk cuti setengah hari pada hari tersebut. Jadi, aku pun menjemputnya di kantor tempat Rini bekerja sesuai dengan apa yang sudah aku janjikan satu hari sebelumnya. Ketika aku sampai ke kantornya, Rini sudah menungguku di lobi. Ia pun segera masuk ke dalam mobil.

“Hai Mas, thank you loh udah jemput aku,” ungkap Rini sambil tersenyum.

“Iya, gak apa-apa. Santai aja. Langsung jalan yah,” kataku sambil langsung memacu mobil meninggalkan kantor tempat Rini bekerja.

“Mendingan sekarang kamu makan dulu. Bawa bekel kan?”

“Bawa,” ucap Rini seraya tangannya mengangkat dan mengayun-ayunkan sebuah kresek yang berisi tempat bekal dan botol minum.

Rini pun memakan bekalnya. Ia membawa bekal nasi, ayam suwir, dan tumis buncis. Yang aku tahu, Rini selalu membawa bekal setiap hari. Begitulah kalau orang yang pandai masak. Lagipula itu bisa menghemat pengeluaran juga.

“Mas, aaaaaa…” tiba-tiba saja Rini menyodorkan sendok berisi nasi dan lauknya di dekat mulutku.

“Udah Rin, kamu aja yang makan.” kataku berusaha menolak suapannya.

“Gak apa-apa mas, ini aku sengaja bawa lebih. Aku yakin Mas Deva pasti belum sempat makan siang. Aaaaa…” lagi-lagi ia menyuruhku untuk membuka mulut.

Akhirnya aku pun menyerah. Sepanjang perjalanan Rini makan sambil menyuapiku. Jujur saja aku tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Karena Maya bukan tipe wanita yang seperti ini. Maya itu mandiri, segala sesuatu bisa ia kerjakan sendiri, oleh karena itu ia pun sering menuntut orang lain untuk dapat melakukan segala hal sendiri. Makanya, tidak ada dalam kamus Maya nyuapin aku. Berbeda halnya dengan Rini. Sepengetahuanku Rini itu orangnya lebih lembut, perhatian dan lebih melayani. Aku dapat merasakan kebaikan dalam hatinya. Harapanku hal baik akan selalu melingkupinya sehingga ia dapat mengatasi masalah pelik yang sedang menghampirinya.​

 

Chapter 3. Dokter Gadungan

Satu jam berlalu, akhirnya kami pun sampai di klinik yang Rini mau kunjungi. Dari luar klinik ini tidak terlalu besar. Bentuknya seperti rumah tinggal biasa. Anehnya klinik ini tidak memiliki plang nama layaknya klinik pada umumnya. Hanya saja memang pintunya terbuka, dan dari luar aku bisa melihat ada sebuah meja resepsionis yang dijaga oleh seorang wanita berpakaian putih layaknya perawat.

Kami berdua pun turun dari mobil dan langsung menuju meja resepsionis. Rini kemudian melakukan pendaftaran ulang. Kami pun disuruh menunggu, karena menurut perawatnya di dalam masih ada pasien. Kami harus menunggu kurang lebih 10-15 menit lagi.

Rini dan aku pun menunggu. Sambil menunggu aku pun mencoba untuk melihat ke sekeliling ruangan. Aku merasa ada yang aneh dengan klinik ini. Biasanya klinik itu pasti memiliki papan nama, tapi di klinik ini tidak ada papan nama. Bahkan nama dokter yang praktek pun tidak terpampang di sana.

Ditengah kebingunganku itu, pintu ruangan yang berada di sebelah kanan resepsionis pun terbuka dari dalam. Aku bisa melihat seorang perawat wanita sedang membukakan pintu. Seorang wanita muda yang kuperkirakan berumur 25 tahun pun keluar dari ruangan tersebut. Rambutnya terlihat acak-acakan dan wajahnya terlihat letih seperti seseorang yang habis berolahraga.

Setelah wanita itu lewat di depan kami, perawat yang tadi membuka pintu pun menyerukan nama Rini.

“Ibu Rini, mari silahkan masuk.” ucap perawat tersebut sambil mempersilahkan kami masuk.

Di dalam ruangan tersebut ada seorang dokter yang sudah menunggu kami sambil berdiri. Usianya kuperkirakan berkepala empat. Perawakannya cukup tinggi dan gagah untuk seumurannya.

“Siang pak, bu. Mari silahkan duduk,” dokter itu dengan ramah mempersilahkan kami duduk.

“Gimana, ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter tersebut, yang dari name tag nya akhirnya kuketahui namanya Aristio.

Rini pun mencoba menjelaskan permasalahannya secara detail beserta dengan upaya apa saja yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan momongan. Sementara itu dokter tersebut terlihat menyimak semua penuturan Rini dengan seksama. Sesekali ia seperti mencatat sesuatu di secarik kertar yang berada di hadapannya.

Setelah Rini selesai menjelaskan, akhirnya dokter Aris pun angkat bicara. “Iya bu, saya bisa bantu ibu. Tapi, sebelumnya saya harus memeriksa dulu beberapa bagian tubuh ibu. Tujuannya untuk menentukan apakah tubuh ibu siap dan dapat melahirkan seorang anak.” tutur dokter Aris.

“Jadi, sekarang saya lakukan pemeriksaan dasar dulu yah bu. Silahkan ibu naik ke atas,” tangan Dokter Aris menunjuk ke arah ranjang periksa. “Tapi sebelumnya tolong celananya dibuka dulu yah bu,” kata sang dokter menunjuk pada celana kerja yang dikenakan oleh Rini. Suster yang bernama Arianti pun sudah berdiri di samping ranjang untuk membantu Rini.

“Buka di sini dok?” tanya Rini.

“Iya bu, nanti celananya biar saya yang rapihkan. Oh iya, celana dalamnya juga yah bu.” sahut suster Arianti.

“Ta-tapi…”

“Kalau begitu saya keluar dulu yah,” belum selesai Rini berbicara aku langsung memotongnya. Aku berpikir mungkin Rini malu harus membuka celananya di depanku.

Namun, dokter Aris mencegahku. “Jangan pak, bapak di sini saja. Bapak kan suaminya.”

“Iya bu, gak apa-apa kok bu. Di sini kan ga ada orang lain lagi,” ucap suster Arianti berusaha meyakinkan Rini.

Akhirnya dengan berat hati Rini pun membuka celana beserta celana dalamnya. Aku pun berusaha untuk memalingkan wajahku kesamping. Namun ternyata aku dapat melihat Rini dari cermin yang ada di sampingku. Alhasil aku dapat melihatnya ketika sedang membuka celana dan celana dalamnya. Bahkan, aku dapat melihat rambut kemaluannya yang terlihat tipis.

Selanjutnya Rini pun diarahkan untuk berbaring di atas ranjang. Kemudian Arianti beralih ke arah kaki Rini untuk memposisikan kedua kakinya agar terbuka lebar. Dokter Aris pun berdiri mendekat, ia berdiri di samping Rini.

“Baik bu, kita mulai pemeriksaannya yah. Bajunya diangkat yah bu,”pinta dokter Aris.

Rini pun berusaha untuk menaikkan bajunya dibantu oleh suster Arianti. Baju dinaikkan hingga di atas bra. Kemudian dokter Aris mulai memeriksa tubuh Rini menggunakan stetoskop. Perut Rini pun sempat ditepuk-tepuk.

“Hmmm… bagus bu, sepertinya semua normal. Sekarang saya cek untuk payudaranya yah bu, tolong branya dibuka yah bu. Sus tolong dibantu yah,”kata dokter Aris seraya menginstruksikan suster Arianti untuk membantu Rini.

Suster Arianti pun menyuruh Rini untuk memiringkan tubuhnya sehingga sang suster dapat membuka pengait bra milik Rini. Suster Arianti kemudian menarik bra milik Rani hingga terlepas dari tubuh Rini.

Saat itu mau tidak mau aku pun dapat melihat payudara Rini yang terlihat bulat dan padat. Aku langsung menelan ludah melihatnya. Memang jika dibandingkan dengan Maya milik Rini ini terlihat lebih kecil, tapi tetap saja Rini terlihat seksi.

Rini mencoba untuk menutupi payudaranya dengan tangannya, tapi sang dokter langsung menahan tangan Rini dan mengarahkan tangan Rini ke samping. “Tangannya taruh di samping yah bu. Saya mau periksa payudara ibu,” kata sang dokter sambil mulai menyentuh payudara Rini. Payudara Rini terlihat diraba dan diremas oleh Dokter Aris.

“Oh iya sus, bapaknya juga tolong bantu di cek.” ucap Dokter Aris yang berhenti sejenak untuk meminta pertolongan dari Suster Rianti. Kemudian Dokter Aris pun melanjutkan pemeriksaan terhadap Rini.

“Baik dok. Mari pak ini dibuka dulu,” ucap Suster Arianti sambil langsung berjongkok di hadapanku. Tangannya mencoba meraih retsleting celanaku.

“Eh, b-bentar… i-ini… jangan…”

“Tenang aja pak, saya cuma mau periksa kondisi dari penis bapak supaya kita tahu kira-kira masalahnya di mana.” potong Suster Arianti.

Aduh gimana ini? Aku kan bukan suaminya, ngapain juga aku yang diperiksa.” pikirku sambil aku melihat ke arah Rini.

Rini ternyata sedang melihat ke arahku. Mata kami pun saling beradu pandang. Ia kemudian mengedipkan sebelah matanya mengisyaratkan kalau aku harus mengikuti sandiwara ini. Dengan terpaksa aku membiarkan Suster Arianti melakukan pekerjaannya.

Suster Arianti membuka celanaku dan menurunkannya. Ia juga membuka celana dalamku. Rasanya malu sekali saat penisku keluar dari balik celana dalamku. Aku melihat Rini masih memandang ke arahku. Sepertinya ia penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Suster Arianti.

Setelah Suster Arianti merapihkan celanaku, ia langsung berlutut di hadapanku dan memegang penisku yang sudah agak tegang karena melihat Rini sebelumnya.

“Hmmm… cukup besar ukurannya. Coba kita lihat besarnya bisa sampai mana,” ucap Suster Arianti.

Hah, apa? Mau apa lagi nih suster,” pikirku.

Ternyata Suster Arianti mulai mengocok penisku dengan tangannya. Astaga, rasanya enak banget. Suster Arianti sangat pandai melakukan hal ini.

“Aaahhh… suster…”

“Iya pak, kenapa? Enak pak?” tanya Suster Arianti tanpa menghentikan gerakan tangannya di penisku.

“Kaya udah maksimal yah pak. Untuk ukuran sih normal yah pak. Sekarang coba saya cek kualitas spermanya,” lanjut Suster Arianti.

Hah cek kualitas sperma? Apa-apaan ini?” ingin rasanya aku bilang kepada mereka kalau aku bukan suaminya, tapi demi Rini aku terpaksa berpura-pura.

Suster Rini pun mulai melakukan prosedur pengecekan sperma. Ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Penisku dikulum oleh Suster Rini layaknya sebuah es krim. Tidak dapat aku pungkiri apa yang dilakukan Suster Rini sangatlah enak. Jujur saja aku menyukai dioral oleh Suster Rini.

Sementara aku sedang diperiksa oleh Suster Arianti, Dokter Aris pun melanjutkan pemeriksaannya terhadap Rini. Kata Dokter Aris ukuran payudara Rini cukup ideal, dilihat dari ukuran payudaranya ASI yang dihasilkan akan melimpah. Dokter Aris pun kemudian memeriksa puting Rini.

“Aaaahhhh… dokter… aaaahhhh… jangan…” ucap RIni sambil mendesah.

Ketika kuperhatikan ternyata Dokter Aris sedang mengulum puting dan menghisap payudaranya. Pantas saja tubuh Rini mengejang dan dirinya mendesah penuh kenikmatan. Dokter Aris terus menghisap payudara Rini selama beberapa saat.

“Ok, payudaranya sangat baik bu untuk bisa memenuhi kebutuhan sang bayi nantinya.” ucap Dokter Haris sambil menghentikan hisapannya di payudara Rini.

“Terakhir saya akan memeriksa vagina ibu yah, untuk memastikan kondisinya normal dan menentukan apakah ibu bisa hamil atau tidak.” tutur Dokter Aris dengan wajah yang meyakinkan.

Dokter Aris pun melangkah ke arah tengah-tengah kaki Rini yang sudah terbuka lebar dari awal. Setelah itu, Dokter Aris mencoba untuk meraba bibir vagina milik Rini.

“Ah bagus banget bu, lihat ini!” ucapnya sambil menunjukkan dua buah jarinya yang terlihat mengkilap karena berlumur cairan yang berasal dari vagina Rini. Rini pun memalingkan wajahnya kesamping sambil menggigit bibir bawahnya. Wajahnya memerah karena malu.

“Ahhh! Dokter!” pekik Rini kaget.

Aku pun sempat terkejut. Aku langsung penasaran dan melihat ke arah Dokter Aris. Rupanya sang sokter sedang menjilati bibir vagina Rini. “Pemeriksaan apa lagi itu?” tanyaku dalam hati.

“Aaahhhh… aaahhhh… dok…” desah Rini.

“Iya bu, tahan yah.” ucap sang Dokter sambil terus melanjutkan pemeriksaan.

Dokter Aris pun tidak hanya menjilatinya saja karena berikutnya ia memasukkan jarinya ke dalam vagina Rini.

“Ah dokter… jangan dimasukkin… aaahhhhh…” tolak Rini.

“Tenang aja bu, saya mau memeriksa apakah ibu bisa hamil atau tidak.”

Saat itu aku tidak tahu apakah dokter ini benar-benar hebat atau ia sedang menipu kami. Aku berpikir demikian karena semua pemeriksaan di sini terlihat tidak biasa. Semuanya tidak seperti yang aku alami bersama dengan Maya. Tapi saat itu aku masih belum bisa berpikir jernih karena aku sendiri sedang sibuk menikmati permainan oral yang dilakukan oleh Suster Arianti. Perlu kuakui bahwa Suster Arianti sangat mahir dalam hal ini. Tak perlu waktu lama baginya untuk membuatku merasakan tanda-tanda orgasme.

“Aaahhh… suster saya mau sampe…” ujarku.

“Iya pak, bagus. Keluarin aja pak, jangan ditahan-tahan.” jawabnya sambil tangannya terus mengocok penisku. Ia pun melanjutkan kulumannya hingga akhirnya aku tak kuasa menahannya lagi.

“Aaahhhh… suster…”

“Crottt… crottt…”

Aku pun menyemburkan spermaku di dalam mulut Suster Arianti. Ia menerima semua spermaku di dalam mulutnya. Matanya sempat berkedip saat spermaku menyembur keluar, tapi ia tetap diam dan menampung semuanya di dalam mulutnya.

Setelah itu ia mengeluarkan penisku dari mulutnya. Suster Arianti pun kemudian menelan spermaku yang ada di dalam mulutnya.

Ah gila aku ga nyangka bakal mengalami hal ini di sini. Padahal tujuanku hanya untuk mengantarkan Rini, tapi kenapa sampai kaya begini yah? Aku pun bingung menghadapai kejadian ini. Tapi semua ini kulakukan demi Rini, meskipun dalam hatiku aku menyukai pemeriksaan yang dilakukan oleh Suster Arianti.

“Hmmm pak, berdasarkan pemeriksaan barusan saya bisa merasakan kalau kualitas sperma bapak memang kurang baik. Dorongannya masih kurang. Selain itu berdasarkan rasa spermanya, saya menyimpulkan kalau kualitas sperma bapak juga agak kurang. Mungkin ini yang jadi penyebab bapak dan ibu belum memiliki anak.” tutur Suster Arianti.

Hah diagnosa apa itu? Aku sekarang yakin kalau mereka ini gadungan. Bisa-bisanya spermaku dibilang kualitasnya tidak baik, padahal aku sudah beranak satu.

Namun, aku masih mencoba untuk tenang dan mengamati perkembangan karena Rini masih diperiksa oleh Dokter Aris. Aku pun mengenakan celanaku kembali karena pemeriksaan terhadapku sudah selesai. Setelah itu aku berpindah posisi mendekati sang dokter. Kini aku dapat melihat apa yang sedang dilakukannya terhadap Rini. Rupanya sang dokter sedang memasukkan dua jari miliknya ke dalam vagina Rini dan menstimulasi vagina Rini.

Rini pun terlihat menikmatinya. Aku yang melihatnya pun menjadi bergairah. Ini kesempatan langka karena aku bisa melihat Rini dalam keadaan hampir telanjang. Selain itu aku juga dapat melihatnya yang sedang penuh dengan gairah seksual.

Rini terlihat begitu menikmati permainan jari Dokter Aris. Tak berselang lama aku dapat mendengar seperti suara air. Tampaknya vagina Rini sudah sangat basah. Hal itu pun dapat terlihat dari desahannya yang tampaknya tak dapat ia bendung.

“Dokter… aaaahhhh… yes… aaahhhh…”

Dokter Aris pun terlihat mempercepat gerakkan jarinya. Jarinya terlihat maju mundur di dalam vagina Rini. Semakin cepat dan semakin cepat hingga akhirnya Rini pun tak kuasa menahan rangsangan yang diberikan oleh sang dokter.

“Akkkkhhhh… dokter… udah… stop… aku ga tahan… AAAAKKKKHHHHHH!”

Tubuh Rini bergetar. Ia menggelinjang hebat. Tubuhnya terangkat menahan rasa nikmat yang sedang ia rasakan. Cairan bening pun menyembur keluar dari vaginanya seperti wanita yang sedang pipis. Rupanya Rini squirt akibat permainan jari Dokter Aris.

Dari jari Dokter Aris aku bisa melihat cairan menetes ke lantai. Tangannya basah oleh cairan dari vagina Rini. Ia kemudian menjilat dan mengemut jarinya yang basah itu.

“Hmmm… ibu tampaknya sedang dalam masa subur. Selain itu kondisi ibu sendiri menurut saya normal. Jadi saya pastikan ibu siap untuk hamil,” kata Dokter Aris mencoba menjelaskan kepadaku dan Rini yang tampak masih terkulai lemas.

“Jika ibu bersedia, kita bisa langsung sekarang juga menjalankan prosedur kehamilan.” ucap sang dokter.

“Hah? Sekarang dok?” tanyaku mewakili Rini yang terlihat masih terbaring lemas.

“Iya pak, sekarang.” jawab Dokter Aris singkat.

“Trus bagaimana prosedurnya?” tanyaku kembali dengan penuh kebingungan. “Bagaimana bisa menjalankan program hamil jika suaminya saja tidak ada di sini. Masa sama aku? Aku kan hanya mengantarkan saja.” pikirku.

“Oh begini pak, di sini kami menggunakan prosedur langsung. Maksudnya kami akan membuahi sel telur milik ibu secara langsung. Namun, mengingat kondisi sperma bapak yang kurang baik maka kami akan menggunakan donor sperma.”

“Jadi siapa yang akan menjadi donornya?” tanyaku penasaran.

“Saya sendiri,” jawab sang dokter sambil membuka celananya dan memperlihatkan penisnya.

Rini yang tadi masih memejamkan mata pun langsung membuka matanya usai mendengar ucapan Dokter Aris.

“Tingkat keberhasilannya 98% dan sudah terbukti, selain itu kualitas donornya pun dapat dilihat langsung. Selain itu saya seorang dokter maka dari segi kepintaran pun pasti akan terjamin karena kepintaran itu akan menurun ke anak. Bagaimana bu, kita lanjut? Kebetulan ibu juga kan sedang dalam masa subur, jadi waktunya sangat pas sekali.”

Meskipun Rini terlihat lemas, tapi ia mencoba untuk membuka mulutnya untuk berbicara. “I-iya dok, bo…”

“Maaf dok, saya rasa cukup dulu. Saya masih mau mencoba dengan istri saya. Kebetulan sekarang kata dokter istri saya sedang dalam masa subur, jadi saya ingin mencobanya lagi dengan istri saya.” potongku. Aku sengaja memotong ucapan Rini. Aku merasakan suatu kejanggalan di sini. Selain itu, aku merasa kalau dokter ini adalah dokter gadungan.

Rini yang mendengar ucapanku langsung mencengkram tanganku. Ia pun menatapku dengan tajam seolah ingin mengatakan, “Ngapain sih Mas Deva? Ini kan jalan satu-satunya supaya bisa hamil. Pokoknya aku harus melakukannya sekarang.

Namun, aku sudah teguh dengan keputusanku dan aku harus melindungi Rini. Aku pun memegang tangan Rini dan menarik tangannya agar ia melepaskan cengkramannya dari tanganku. Kemudian aku beranjak mengambil pakaian Rini dan menyuruhnya untuk bangun dan segera menggunakan pakaiannya kembali.

Selama Rini sedang mengenakan pakaiannya, Dokter Aris terus mencoba untuk membujuk kami agar melanjutkan program kehamilan ini. Namun, aku menolaknya dengan tegas. Kami pun akhirnya keluar dari klinik tersebut setelah membayar biaya sebesar dua setengah juta. Aku pun tidak memikirkan jumlah uangnya, yang terpenting aku bisa menyelamatkan Rini dari dokter tersebut.

Namun, Rini tidak sependapat denganku. Ia masih belum dapat berpikir jernih. Yang ada dalam benaknya hanya ada satu hal, ia harus hamil. Rini tidak peduli bagaimana caranya, yang pasti ia harus hamil. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan pulang Rini terlihat sedih. Matanya meneteskan air mata dan ia membisu seribu bahasa, tampaknya ia masih kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Namun, menurutku ini keputusan yang paling tepat meskipun kini Rini mungkin sangat membenciku.