Menodai Mbak Narsih

Part 1:

Ada Untukmu

Dari balkon terlihat jalanan kota mulai sepi, kegiatan di sekitar juga sudah berkurang, waktuku untuk tidur. Mataku sudah tidak tahan bekerja setelah seharian menangani berbagai proyek, kepalaku menerima lembutnya bantal yang akan segera membawa ke alam mimpi.

TRILILILI

Waduh, ada apa ini, tidak biasanya ada telepon selarut ini, dan hanya orang tertentu yang kuset ringtone super keras ini agar aku pasti bangun walau senyenyak apapun. Kulihat layar, Mama, begitu kuangkat beliau langsung menyuruhku berangkat menjemput Mbak Narsih di terminal K. Sambil turun di lift, aku mendengarkan penjelasan kalau pengasuhku sejak kecil itu rupanya sedang mencari kerja di kotaku, namun lalu tersesat saat mencoba mencapai kosan temannya dari tempat interview.

Saat di mobil aku harus menutup telepon, menyisakan pertanyaan kenapa Mbak Narsih sampai perlu mencari kerja di kota, seingatku setelah aku kuliah, Mamaku membelikan peternakan di desa agar dia bisa hidup enak bersama keluarganya, jadi seharusnya Mbak Narsih sudah tidak perlu lagi mengarungi kejamnya perkotaan.

“Den Andiii”, teriak seorang wanita yang langsung berlari kearahku. Orang-orang sekitar menoleh sekilas sambil tertawa, mungkin membayangkan skenario apa yang bisa menjelaskan seorang wanita paruh baya berlari dan memeluk seorang pria muda yang jelas berbeda ras. Setelah video-call dengan Mamaku untuk menunjukkan aku sudah menjemput Mbak Narsih, di mobil Mbak Narsih bercerita kalau ternyata hewan ternak di desanya terkena wabah. Mbak Narsih merasa tidak enak kalau meminta bantuan dari Mamaku, lalu berusaha sendiri mencari kerja, tapi akhirnya malah tersesat karena berasumsi rute kendaraan umum di kotaku masih sama dengan saat terakhir kali dia disini.

Saat bertanya ke orang sekitar Mbak Narsih makin bingung karena tidak paham dengan perubahan di kota, akhirnya dia menyerah dan mencoba bertanya ke Mamaku tentang rute kendaraan umum. Tentu saja Mamaku lalu mengorek kenapa menanyakan hal itu, dan lalu segera menyuruhku untuk menjemputnya. Karena malam sudah larut dan kosan temannya sebenarnya di sisi lain kota, aku lalu menawarkan Mbak Narsih untuk menginap saja di tempatku, toh sebenarnya unit apartemenku memiliki dua kamar, walau kamar yang satu saat ini penuh dengan kardus dan stok dari kantor yang sedang kukerjakan.

Sambil merapikan (tepatnya mengeluarkan semua yang bukan tempat tidur dan lemari) dari kamar-merangkap-gudang itu saat Mbak Narsih mandi, aku juga memesankan soto kesukaanya, supaya dia bisa langsung makan dan tidur setelah mandi. Saat dia keluar dari kamar mandi aku menelan ludah, pahanya yang begitu mulus hampir tidak tertutupi celananya yang sangat pendek, dan kaos yang dia pakai, alih-alih menutupi payudaranya, malah semakin menekankan betapa besar organ yang dulu sering menemani tidurku saat masih kecil.

“Duh, wanginya, ini soto Pak Wirjo ya den? Masih buka aja jam segini”, ujar Mbak Narsih membuyarkan fantasi liar di kepalaku. “Eh, hehe, iya mbak, dimakan dulu mbak, biar badannya enak, pasti mbak dah laper banget tadi”, jawabku. Mamaku sendiri saat ini sedang menunggu konfirmasi dariku bahwa Mbak Narsih sudah makan dan tidur dengan baik, karena beliau juga khawatir kalau Mbak Narsih sakit karena kecapekan. Seperti yang kuduga, Mbak Narsih langsung makan dengan lahap, menandakan dia belum makan berjam-jam sebelum ini, mungkin bahkan sejak jam makan siang, karena dari ceritanya Mbak Narsih mulai tersesat sejak selesai interview dan salah mengambil bus.

“Oooh, jadi sekarang bisnya nggak ada yang lewat pusat lagi ya den”, kata Mbak Narsih setelah aku menjelaskan panjang lebar rute baru yang memang berpotensi menyesatkan untuk mereka yang mengasumsikan rute lama. “Iya mbak, jadi pas mbak lewat itu sebenarnya sudah harus turun sebelum itu. Tapi kalau besok saya antar kok mbak, jadi tenang saja”, ujarku untuk menenangkan pikirannya yang mungkin masih ruwet. “Loh den, emang besok den nggak kerja?”, tanya Mbak Narsih. “Saya kerjanya online kok mbak, jadi asal bawa laptop bisa kerja, atau kadang bawa yang disitu”, jawabku menunjuk tumpukan kardus yang baru kukeluarkan. “Makasih banyak lho den, maaf mbak ngrepotin”, ujar Mbak Narsih. “Ya saya kan udah berutang budi banyak mbak, selama ini kalau apa-apa Mbak yang ngrawat saya, sekarang giliran saya bisa bantu Mbak” balasku.

Walau AC sudah kunyalakan di mode paling dingin, mungkin karena pedasnya soto dan minuman teh hangat, tubuh Mbak Narsih tetap mengeluarkan banyak keringat yang membuat kulitnya yang sawo matang semakin sensual. Duh, berkali kali aku merutuki kepala bagian bawahku yang tidak peduli bahwa yang didepanku ini wanita yang ikut membesarkanku, betapa tidak pantas aku memiliki pikiran kotor, tapi bukannya bekerja sama, kepala bagian atasku malah menyertakan memori tak terlupakan saat Mbak Narsih berganti baju di kamarnya saat aku masih kecil dan tiba-tiba masuk ke kamarnya. Mungkin Mbak Narsih menganggap saat itu aku masih terlalu kecil untuk tertarik pada tubuh wanita, namun ingatan tentang puting hitam Mbak Narsih dan kelaminnya yang tertutup bulu tipis justru menjadi bahan masturbasiku saat aku mulai memasuki masa puber.

Setelah Mbak Narsih bersiap untuk tidur, aku meminta ijin untuk meninggalkannya sebentar di apartemen, beralasan aku mau mencari makan di warung yang agak jauh. Mungkin dia sudah terlalu lelah sehingga hanya mengiyakan, tanpa mempertanyakan kenapa aku tidak memesan antar saja. Sebenarnya aku tidak meninggalkan tower sama sekali, ada cewek BO, Cindy, di lantai lain yang jadi langgananku, dan kondisiku saat ini tidak akan bisa tidur jika belum dipuaskan. Saat di lift aku sudah mengonfirmasi bahwa Cindy memang masih bangun, tidak sedang menunggu pelanggan lain, dan memintanya untuk mengenakan pakaian mirip seperti yang dikenakan Mbak Narsih.

Begitu Cindy membukakan pintu untukku, aku langsung mematikan lampu apartemennya sehingga hanya terlihat sedikit siluet tubuh dan pakaiannya. Dia mengerti maksudku, dan bertanya “dipanggilnya apa koh”, dan kujawab dengan variasi-variasi panggilan Mbak Narsih kepadaku, “den”, “den Andi”, “cah bagus”. Tanpa tertawa atau mempertanyakan alasannya, Cindy langsung menggunakan panggilan tersebut kepadaku, dan mengikuti semua permainan yang kuminta. Kulit Cindy memang jauh lebih putih daripada Mbak Narsih dan pantatnya juga kalah besar, tapi dalam kondisi gelap sambil menyebutkan namanya, aku bisa sedikit menipu diriku bahwa yang yang akan kusetubuhi adalah dia.

Kuremas payudaranya dari balik kaos tipisnya, sambil kugigit lembut telinganya membisikkan “Naar…”, dengan balasan “iya den” dari Cindy, tangannya sigap menurunkan celanaku yang sudah tidak bisa menyembunyikan tegangnya penisku. “Hisap Nar”, perintahku pada Cindy, sekaligus sinyal untuk dia bertindak agresif dalam roleplay ini, tanpa menunggu dia langsung berlutut di lantai dan melayani penisku, menyelimutinya dengan kehangatan mulutnya, rambutnya menghalangi wajahnya sehingga sambil menyebut-nyebut “Enak Nar, pinter kamu Nar”, aku bisa benar-benar membayangkan saat ini penisku sedang mencabuli mulut pengasuhku.

“Sudah lama Andi pengen entotin wajah kamu Nar, Andi sering tidur bayangin wajah kamu kotor kena spermaku Nar”, racauku sambil meremas remas puting Cindy yang terekspos. Kutepuk pelan punggung Cindy sebagai sinyal bagi dia untuk menaikkan pantatnya agar aku bisa memainkan vagina dan anusnya. Kucolok-colok kedua lubang kenikmatan itu sambil bertanya “Andi boleh nodain ini juga Nar?”, Cindi pun bergumam mengiyakan.

Aku tarik penisku dari mulutnya, lalu kubalikkan badan Cindy agar dia membelakangiku dan memamerkan pantatnya yang menungging, kupakai kondom yang sudah dia siapkan lalu kuhujami vaginanya sambil membayangkan aku sedang menyetubuhi Mbak Narsih di dalam apartemenku sendiri. “Sakit Nar?”, tanyaku sambil meremas pantat Cindy dua kali, sebagai sinyal untuk menjawab tidak, “Enggak den, enak den”, balasnya. “Apa yang enak Nar?”, “Dientot kontol den Andi enak”, lanjutnya, membuatku makin terangsang, “yang haram Narsih juga mau?”, “Astagfirullah aladzim, iya den, Narsih mau yang haram”. Memang ini kehebatan Cindy, dia bisa langsung menyesuaikan roleplaynya tanpa banyak persiapan.

Kutarik keluar penisku sambil membiarkan Cindy menyiapkan pelumas untuk pantatnya, lalu setelah dia bertelungkup dan meninggikan pantatnya, tanda bahwa dia sudah siap, aku pelan-pelan menusukkan penisku ke lubang pantatnya yang begitu erat. Wajahnya sedikit meringis saat hampir seluruh penisku masuk, entah bagian dari akting atau memang kesakitan, akupun agak berhati-hati dalam menggerakkan penisku. “Aangh, iya den, terus den, sodomi Narsih den, bikin Narsih berdosa yang banyak den”, racauan Cindy sekaligus sebagai sinyal kalau aku bisa bergerak sedikit lebih kasar, bahwa dia masih bisa menahan rasa sakit yang lebih dari saat ini. Kusodok anusnya dengan makin cepat, sampai dia menepuk lenganku dua kali, tanda bahwa itu batas dia namun aku tidak perlu langsung berhenti, kulanjutkan sodokanku sambil berkata “terima benihku Narsih”, sampai akhirnya aku ejakulasi di dalam kondom.

Pelan-pelan kutarik keluar penisku sambil menikmati denyutan lubang pantat Cindy, dan kubuang kondomnya ke keranjang sampah. Cindy masih terlihat menahan sakit, maka kupeluk dan kuusap-usap wajahnya, “terima kasih ya Nar”. Lumayan lama kami dalam posisi itu, sampai akhirnya sepertinya Cindy sudah berhenti menahan sakit. Jarinya membentuk angka 2, menanyakan apakah aku ingin melanjutkan ke ronde berikutnya, aku menggeleng, agak kasihan mungkin hari ini dia belum pemanasan untuk seks anal. Cindy pun menghentikan roleplaynya dan tersenyum, menanyakan siapa yang dia perankan barusan. Aku lalu menjelaskan kejadian malam itu dan menunjukkan foto Mbak Narsih di ponselku. Cindy berkomentar kalau Mbak Narsih termasuk cantik, dan badannya bahkan lebih bagus. Kujawab dengan diplomatis kalau selera pria berbeda-beda, tapi Cindy dengan santai lalu menunjukkan beberapa foto teman dia yang sesama cewek BO dengan warna kulit dan proporsi badan yang mirip dengan Mbak Narsih, “kalau mau dipanggil kesini bilang aja koh, nanti Cindy yang urus” ujarnya.

Setelah Cindy memiliki cukup kekuatan untuk bergerak dan membersihkan dirinya di kamar mandi, aku lalu bersiap meninggalkan unit apartemennya. Cindy sempat mengingatkanku untuk memfoto perlengkapan mandi dan parfum yang dipakai Mbak Narsih, agar roleplay berikutnya dia bisa meniru aroma Mbak Narsih. Setelah memastikan pembayaran sudah diterima, akupun kembali ke kamarku. Sebenarnya penisku masih berharap ada ronde kedua, tapi aku yang nggak tega melihat Cindy tadi meringis kesakitan. Tidak apa-apa, nanti di kamar aku bisa bermasturbasi sambil membayangkan sesi barusan dan melihat foto Mbak Narsih.

Semuanya buyar saat aku membuka pintu apartemenku dan melihat Mbak Narsih menangis di ruang tengah.