Ephemeral Ethereal

“Selamat pagi. Mas Faisal ya?”

“Halo, selamat pagi. Iya betul. Mbak Sarah?”

Sarah mendekat sambil tersenyum lebar. “Ya, saya Sarah. Terima kasih sudah mengundang saya ke studio Anda. Konsep pemotretannya tentang apa nih, Mas? Saya penasaran.”

Sarah mengedarkan pandangan ke sekeliling studio yang dipenuhi peralatan canggih dan dekorasi unik.

“Nanti saya akan jelasin. Sekarang Mbak Sarah duduk dulu. Mau minum apa? Sendirian aja nih? Ga bareng manajer atau pendamping?” Faisal mempersilakan Sarah duduk di sofa sementara ia beranjak mengambil cangkir.

Sarah tersenyum lebar seolah-olah tertarik dengan perhatian Faisal.
“Oh, saya nggak terlalu ribet kok Mas. Kopi hitam aja ya, tanpa gula. Saya memang datang sendiri hari ini. Manajerku lagi sibuk urusin jadwal photoshoot lain.”
Sarah duduk dengan anggun di sofa sambil melepas heels yang dikenakan dan meluruskan kaki panjangnya.
“Jadi ceritanya gimana? Saya suka sesuatu yang out of the box lho!” Mata Sarah berbinar penuh antusiasme dan rasa ingin tahu.

Tak lama kemudian, Faisal meletakkan dua cangkir kopi hitam panas di atas meja. Satu untuk dirinya, satu untuk Sarah.

“Kita obrolin konsepnya sambil ngopi ya? Kebetulan saya ada beberapa tema yang ingin saya eksplor dan kayaknya cocok banget sama Mbak Sarah. Tapi saya pengen tau dulu, apa ada pantangan atau batasan khusus dari kamu sebagai model? Kadang konsep saya agak ekstrim sih.”

Sarah mengangkat kedua kaki panjangnya dan menopangkan dagu di atas lutut, pandangan penuh rasa ingin tahu. “Ekstrim gimana sih Mas Faisal? Saya nggak punya banyak batasan kok. Selama itu seni yang autentik dan estetis, saya on aja.” Ia memiringkan kepala sedikit tanda tertarik. “Saya denger-denger kamu suka tema-tema yang unik ya? Mungkin sesuatu dengan sentuhan horor atau fantasi gitu?” Ia menyesap kopinya perlahan sambil mempertahankan kontak mata intens.

“Bener banget, Mbak. Saya memang suka tema horor atau supranatural. Nah, sekarang ini saya ingin angkat tema ‘ephemeral ethereal ghost’. Saya kira ekspresi dan kontur wajah kamu cocok banget. Kita akan pakai tone yang nude dan pale, jadi kesan hantunya dapat.”

Mata Sarah berbinar, seolah-olah sudah membayangkan dirinya dalam konsep tersebut.

“Wow, itu kedengarannya menakjubkan! Saya selalu suka tantangan artistik dan tema serupa hantu begitu pasti akan menciptakan sesuatu yang berkesan.” Ia mlipat salah satu kaki sambil yang satunya masih terulur rapi. “Mas Faisal punya kostum atau makeup artist untuk look ini? Atau harus saya bawa sendiri? Karena untuk look pale ghostly gitu kayaknya butuh detail-detail kecil yang teliti. Oh, dan bagaimana dengan setting tempatnya?” Ia tersenyum penuh antusiasme sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke atas meja.

“Hmm, untuk sesi hari ini, kita cukup ambil foto di studio dulu, dan saya akan bantu make up dan wardrobe nya. Untuk besok, kita akan cari beberapa bangunan cagar budaya bersejarah yang terkesan antik.”

Sarah mengangguk-angguk penuh semangat. “Saya suka idenya! Bangunan bersejarah pasti menambah vibe misterius yang kita cari. Untuk hari ini, saya percayakan sepenuhnya pada Mas Faisal.” Ia berdiri dari sofa dan melakukan beberapa stretch ringan. “Kalau begitu ayo kita mulai sesinya. Saya sudah nggak sabar ingin melihat bagaimana alchemy antara estetika horor Mas Faisal dengan aura yang bisa saya bawa ke dalam frame!” Langkah Sarah mengumandangkan energi positif sambil ia bersiap untuk transformasi menjadi ephemeral ethereal ghost sesuai visi Faisal.

Faisal mengajak Sarah ke ruang studio. Ia membantunya mengenakan make up pucat, lalu menyerahkan sebuah gaun putih transparan kepadanya.

Sarah mengambil gaun dari tangan Faisal, matanya memeriksa bahan dan detailnya dengan tepat.

“Ah, ini indah sekali.” Sarah berbicara sambil mulai melepaskan pakaian yang dikenakannya tanpa ragu-ragu, menunjukkan kepercayaan dirinya dalam profesi sebagai model. “Mas Faisal bisa tolong bantu saya mengancingkan bagian belakang?” Suara Sarah lembut namun pasti saat ia berbalik memunggungi Faisal setelah melingkarkan gaun transparan tersebut di sekeliling tubuhnya.

“No problem.” Faisal membantu Sarah, dan tiba-tiba muncul perasaan gugup ketika bersentuhan dengan tubuh Sarah yang ramping dan proporsional itu.

Sarah menghela nafas pelan. Menangkap kegugupan dalam sentuhan Faisal, ia memberikan senyum yang menenangkan lewat cermin di depannya.

“Mas Faisal profesional banget. Saya merasa aman jadi model untuk Mas.”

Gaun itu dengan sempurna menyelimuti dirinya bagaikan hantu yang elegan.

“Sekarang ini saya sudah siap menjadi apparisi paling cantik yang Mas pernah abadikan!” Berpaling dari cermin, ia berjalan menuju set pemotretan, membiarkan aura mistis gaun dan makeup-nya merebak ke sekeliling studio.

Faisal tertegun melihat penampilan Sarah. Wajah pucatnya ditambah ekspresi misteriusnya ternyata tidak mengurangi kecantikannya. Tubuh langsingnya dibalut oleh gaun transparan yang seksi sekaligus membuat penasaran. Ia tidak mengenakan bra, dan payudaranya berukuran lumayan, sehingga Faisal samar-samar dapat melihat sepasang puting payudaranya yang membayang di balik gaun.

“Wow…,” gumam Faisal.

Sarah menangkap respon Faisal dan tersenyum dengan penuh percaya diri, seolah menyadari efek yang ia berikan.

“Terima kasih, Mas. Saya selalu percaya trensetter itu bukan hanya soal fashion tapi juga tentang aura yang kita bawa ke dalam busana.” Ia kemudian berjalan mendekati tempat pengambilan foto. “Sudah siap untuk mulai? Saya yakin sesi ini akan jadi masterpiece baru dalam portofolio Mas Faisal!” Kedua matanya memandang kamera sambil berpose secara alami menggabungkan keanggunan dan misteri.

“Batasan antara kuntilanak dan bidadari jadi terasa kabur nih,” ucap Faisal sambil tertawa.

Tawa renyah Sarah menggema di studio, “Nah, kan itu tujuannya. Kita baurkan ketakutan dan keindahan jadi satu. Sekarang saya kuntilanak atau bidadari nih di mata Mas Faisal?” Mata berbinar Sarah menunggu penilaian kreatif dari fotografer sebelum melanjutkan pemotretan yang memadukan dua dunia tersebut.

“Keduanya. Mungkin emang ga ada bedanya. Inilah pertanyaan besarnya. Rasa takut dan kecantikan kadang ga ada bedanya.” Faisal mencoba menjelaskan. “Pose pertama, tolong berdiri tegak di tengah ruangan. Sebisa mungkin tubuhnya berdiri tanpa tenaga, seolah seperti melayang. Mata menatap ke kamera, lurus, tapi kosong.”

Mendengarkan instruksi Faisal dengan serius, Sarah mengambil tempat di tengah ruangan. Tubuhnya menjulang tegak, melakukan yang terbaik untuk memberikan ilusi melayang.

“Seperti ini ya?” Mata Sarah memfokuskan pada lensa kamera – tatapan kosong tapi menarik – seolah-olah dia terpisah dari dunia fisik ini dan berada dalam keabadian sendiri. “Saya siap kalau Mas Faisal mau mulai.”

“Tepat. Tahan yaaaa…” Faisal mengambil kamera dan tata cahaya, kemudian memulai pemotretan. Saya memintanya mencoba beberapa variasi pose, dan ia dapat dengan mudah mengikutinya.

Sarah mengikuti setiap arahan dengan penuh dedikasi, memperlihatkan profesionalitasnya sebagai model.

“Seperti ini?” Dengan setiap perubahan pose, ia membawa nuansa yang berbeda ke dalam frame – kadang sedih melankolis, kadang menggoda misterius. “Mas Faisal pengen coba angle atau konsep lighting lain? Saya bisa tahan posisi lama kalau diperlukan!” Sambil menunggu instruksi selanjutnya, dia menyempurnakan ekspresinya menjadi lebih dramatis dan pas dengan tema ephemeral ethereal.

“Konsep yang berikutnya agak beda, ini agak sensual. Sensual misterius. Saya akan pakai lampu sorot dari sebelah kiri, supaya ada efek bayangan. Foto ini akan diambil dengan format monokrom, jadi akan bergantung pada shape dan kontras. Tapi saya butuh seusatu..” Suara Faisal menjadi agak pelan. “Maaf. Apa bisa kalau … umm… nipple-nya dibuat erect, supaya efeknya bagus di kamera?”

Sarah, yang sudah terbiasa dengan beragam permintaan dalam industri modelling, merespons tanpa ada keterkejutan.

“Tentu saja,” ujarnya sambil menjaga profesionalisme. “Saya mengerti bagaimana detail kecil bisa mempengaruhi keseluruhan gambar.”

Dengan gerakan halus dan tidak malu-malu dia mencubit secara lembut putingnya sendiri di balik gaun transparan itu untuk memberikan efek yang dimaksud Faisal. “Customary hazards of the job!” Sambil tersenyum ia bercanda ringan supaya situasi tetap nyaman.

“Bagaimana ini? Sudah cukup?” Ia menatap ke arah Faisal, siap melanjutkan pemotretan sesuai konsep sensual misterius tadi – pose-pose dirinya sekarang lebih membawa esensi dari kelembutan feminin bertemu dengan bayangan monokrom.

Faisal menelan ludah melihat tonjolan puting Sarah yang kini lebih tercetak di balik gaun transparanya. Namun ia merasa ada yang kurang.

“Bagus, Mbak. Tapi kayaknya bisa dibuat lebih mancung dan tahan lama lagi deh, soalnya ini akan ada beberapa shot.” Faisal berpikir sejenak. “Butuh bantuan es batu?”

Sarah mengangguk mengerti dengan petunjuk Faisal. “Kalau itu bisa membantu, saya tidak keberatan.” Sarah menjaga sikap profesional dan terbuka pada proses kreatif. “Bantuan es batu kedengarannya seperti langkah yang efektif. Saya serahkan cara aplikasinya kepada Mas Faisal sebagai fotografer ahli.” Ia menunggu sambil berdiri tegak, bersiap menerima bagaimana pun bentuk bantuan untuk menciptakan gambar sempurna sesuai visi Faisal.

Faisal berjalan ke arah kulkas, membuka pintunya, dan mendesis kecewa.

“Yah, es nya habis Mbak. Saya lupa, kemarin kulkasnya habis diservis….”

Sarah tersenyum penuh pengertian. “Tidak masalah, Mas. Saya bisa menggunakan alternatif lain.” Sarah mengambil inisiatif dan kembali kepada metodenya sebelumnya. “Kita coba lagi dengan cara tadi aja ya. Ini kan tentang seni,” ucapnya sambil melanjutkan proses yang dia mulai lebih dahulu untuk menciptakan efek erect yang diinginkan Faisal.

“Begini sudah lebih baik?” Sambil menunggu persetujuan, ia tetap dalam pose sensual misterius tersebut, wajah terpaut pada kamera siap merekam hasil yang akan menjadi ikonik.

“Hmmm… atau begini…. kalau Mbak berkenan, mungkin saya bisa bantu?”

Sarah menoleh, memandang Faisal dengan pandangan penuh pertimbangan. “Oke, Mas. Saya percaya itu akan membantu untuk mendapatkan hasil terbaik.” Dia tetap berdiri tegak dan tenang, profesionalisme tak tertandinginya mengatasi situasi yang mungkin tak biasa bagi orang lain. “Silakan,” kata Sarah sambil memberikan isyarat agar Faisal dapat melanjutkan. “Saya mengandalkan keahlian Mas dalam bidang ini.”

Faisal mendekat ke hadapan Sarah, kemudian memperhatikan sepasang payudara dan putingnya yang terlihat samar di balik gaun.

“Maaf, Mbak. Saya pegang ya…”

Kedua tangan Faisal bergerak ke sepasang payudara Sarah dari luar gaun.

Sarah membalas dengan tatapan tenang yang menyiratkan persetujuan. “Silakan, Mas. Kita semua profesional di sini.” Mengingat tujuan artistik pemotretan mereka, Sarah tetap rileks dan tidak beranjak dari posisinya.

Seraya menahan napas ringan, dia membiarkan Faisal melakukan apa yang diperlukan untuk mencipta efek dalam foto. “Jangan ragu-ragu ya Mas,” kata Sarah penuh kepercayaan, “Hasilnya pasti akan luar biasa.”

Ketika tangan Faisal menangkup sepasang payudara Sarah, ia dapat merasakan bentuknya yang bulat dan padat. Ia mulai dengan meremas dan memijatnya dulu secara perlahan.

Sarah merespon sentuhan tersebut dengan tenang, membiarkan Faisal melakukan apa yang diperlukan tanpa mengubah ekspresi wajahnya. “Kita harus pastikan ini terlihat sempurna di kamera,” katanya dengan suara stabil dan profesional.

“Beritahu saya kalau sudah cukup,” Sarah berkata sambil tetap fokus pada tujuan artistik mereka.

“Sepertinya kalau dari atas gaun begini, gaunnya malah jadi lecek, Mbak. Bisa kurang bagus nanti hasil fotonya,” ucap Faisal

Sarah mengangguk mengerti, lalu langsung memberikan solusi. “Kalau begitu saya buka aja gaunnya di bagian dada,” ujarnya seambil melonggarkan kain transparan tersebut untuk memberi Faisal akses yang lebih baik dan menjaga agar gaun tetap dalam kondisi prima. “Saya harap ini membantu Mas Faisal mendapatkan shot yang sempurna.” Ia menambahkan sambil memegang tepi gaun supaya tidak menghalangi tangan-tangan Faisal yang sedang bekerja.

“Baik, Mbak. Terima kasih. saya lanjut ya.”

Faisal kembali meremas dan memijat payudara Sarah, kali ini menyentuh kulitnya secara langsung. Di atara remasan itu, ia juga mencubit dan memilin puting susu Sarah dengan lembut. “Rileks aja mbak. Puting bisa ereksi kalau orangnya merasa terangsang,” ujar Faisal. “Sesuai konsep pemotretan kita, harus ada kilatan gairah.”

Sarah menarik nafas dalam, membiarkan sensasi tersebut mengalir melalui dirinya, “Saya tahu, dan itu tidak masalah. Ini bagian dari pekerjaan.” Merasakan sentuhan Faisal yang profesional namun cukup untuk mencipta reaksi yang diinginkan.

“Sudah mulai terasa efeknya,” katanya memberi feedback sambil tetap rileks, “Mas bisa lihat perubahannya?”

Faisal memperhatikan sepasang puting Sarah yang sudah mulai menegang. “Iya Mbak, udah mulai ada perubahan. Tapi masih bisa lebih mancung. Ngg…. saya bantu pakai mulut ya? Boleh?”

Sarah Humaira mempertimbangkan sejenak, menilai konteks profesional dan artistik dari pemotretan. “Baiklah, jika itu yang dibutuhkan untuk mengambil gambar sempurna,” jawabnya dengan suara mantap, “saya percaya Mas Faisal tahu apa yang terbaik untuk seni. Monggo,” lanjut Sarah sambil tetap berpose, “kita lakukan apa pun yang diperlukan untuk mendapatkan hasil akhir sesuai visi Mas Faisal.”

Faisal medekatkan bibir ke puting kiri Sarah, kemudian mengecupnya perlahan. “Mmmch” Kemudian ia menjulurkan lidah dan mulai menjilatinya dengan lembut. Sementara itu, tangannya terus meremas dan memainkan payudara kanan Sarah.

Sarah mengatur nafas untuk tetap santai, membiarkan Faisal bekerja, “Lakukan yang Mas rasa perlu,” kata dia dengan nada tenang. “Saya tahu ini buat seni foto kita.”

Sarah menatap ke titik fokus di depannya, berusaha mempertahankan wajah netral dan pose misterius sesuai konsep pemotretan sambil memberikan kesempatan penuh kepada Faisal untuk menciptakan efek visual yang dibutuhkan.

“Ekspresi wajah dan gestur tubuh pada sesi ini boleh dibuat lebih natural, layaknya orang yang menerima rangsangan gairah, sehingga kesan sensual dan elegannya terpancar.” ucap Faisal, kemudian kembali mendaratkan mulutnya di puting kiri Sarah, kali ini ia mulai menghisapnya perlahan-lahan.

Sarah merasakan gairah yang diinstruksikan Faisal, lalu mengizinkan dirinya untuk merespon lebih alami. “Saya akan coba,” Suara Sarah mulai terdengar sedikit berbeda—lebih lembut, seolah membiarkan pengalaman itu tenggelam ke dalamnya.

Dengan mata setengah tertutup, refleks tubuhnya mulai berkembang selaras dengan permainan rangsangan tersebut; tangannya secara halus menyingkap rambut yang jatuh mengganggu wajah sambil dia mendesahkan napas ringan.

“Kita ingin menciptakan karya yang autentik, kan?” Sarah akhirnya berkata saat dia menyesuaikan pose menjadi sesuatu yang lebih sensual namun tidak kehilangan karakter misterius dari tema pemotretan mereka.

“Betul, Mbak”, Kata Faisal, kemudian ia menghisap dan mengenyot puting payudara kanan Sarah. Sementara itu, di bawah sana, penis Faisal sudah tegang maksimal di balik celana.

Sarah merasakan hisapan yang bertambah intensitas dan frekuensi di payudaranya, membiarkan sensasi itu meningkatkan ketegangan putingnya sesuai dengan permintaan adegan. “Sepertinya… ini berhasil,” kata Sarah, memberikan validasi atas tindakan Faisal tanpa melupakan skenario pemotretan sensual mereka.

Sarah mendengus pelan sambil mengatur napas, “Lanjut saja Mas Faisal, sampai kita dapat hasil yang sempurna.” Sensitivitas yang ditimbulkan dari tindakan tersebut dicerminkannya dalam ekspresi yang muncul secara natural – perpaduan antara kenyamanan dengan sedikit rasa kepuasan tergambar jelas di wajahnya; sebuah interpretasi artistik dari gairah dan estetika.

“Secara fisik sebenarnya sudah cukup Mbak. Tapi sebagai seniman ekspresionis, saya ingin hasil foto kita memancarkan jiwa yang sebenarnya. Untuk tema sensualitas, glowing yang sejati cuma bisa muncul ketika sesorang sudah mencapai klimaks rangsangannya. Saya ingin menangkap ekspresi post-orgasm Mbak Sarah dalam kamera. Bagaimana?”

Sambil memproses permintaan Faisal, Sarah tetap tenang dan fokus pada profesionalisme serta perwujudan konsep artistik yang telah disepakati.

“Kita bisa melanjutkan dengan cara yang Mas pikir terbaik untuk menciptakan momen itu.” Ekspresi wajah Sarah tetap serius namun hangat, menyadari tuntutan emosi spesifik yang harus dihadirkannya ke lensa kamera.

“Sebelum pemotretan ulang, supaya ekspresinya natural, saya akan bantu Mbak untuk mencapai orgasme terlebih dahulu.” Ujar Faisal berbisik.

Sarah mengangguk pelan, ia tetap tenang dan profesional. “Saya mengerti. Jika itu yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar autentik,” dia berkata dengan suara teguh, “Maka saya siap untuk melanjutkan.”

Kemudian dia menambahkan, “Yang penting kita menjaga semuanya profesional dan artistik, kan Mas?” Terlihat ia telah menerima situasi tersebut sebagai bagian dari proses kreatif pemotretan ini.

“Tentu, Mbak. Nothing personal. Ini cuma untuk keperluan adegan. Setelah pemotretan selesai, Mbak keluar dari studio, kita jadi mitra profesional lagi seolah ga terjadi apa-apa. Aman?”

Mendengarkan penjelasan Faisal dengan saksama, Sarah memberi anggukan yang tegas. “Aman, Mas. Saya paham ini semata-mata untuk seni dan pemotretan,” katanya menegaskan batas-batas profesionalisme mereka.

Sarah mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan sesuai arahan Faisal, menyimpan kepercayaannya pada etika kerja dan integritas kolaborasi kreatif antara model dan fotografer.

“Kalau udah siap, tolong duduk di sofa. Kakinya diangkat sedikit. Saya mau coba dengan oral.”

Sambil mengangguk, Sarah dengan lancar bergerak ke arah sofa yang telah disiapkan di studio, menunjukkan kesiapan dan profesionalismenya. “Siap,” katanya sembari duduk sesuai instruksi.

Dia meletakkan punggungnya yang tegak di bantalan sofa dan angkat kakinya sedikit untuk memberikan Faisal ruang yang dibutuhkan. “Kita mulai.” Ekspresinya tetap netral namun terbuka, membiarkan dirinya tenggelam ke dalam skenario pemotretan tanpa meninggalkan kesadaran akan batasan mereka sebagai mitra kerja.

Faisal membuka kedua kaki Sarah, kemudian menyingkap bagian bawah gaunya. Ia tidak memakai celana dalam. Faisal dapat melihat vagina Sarah yang mulus tercukur sempurna. Ia menyentuhnya perlahan dengan ujung jari.

Sarah mengambil nafas dalam-dalam, membiarkan dirinya merespons sentuhan Faisal secara alami. “Saya percaya Mas,” kata Sarah dengan tenang.

Dia menutup matanya sejenak untuk lebih fokus pada sensasi yang diberikan oleh Faisal dan bersiap-siap untuk memberikan ekspresi otentik dari pengalaman sensual tersebut, sesuai dengan kebutuhan pemotretan mereka.

“Mbak, kalau dalam proses ini Mbak ingin mendesah, mengerang, atau menggerakkan tubuh bagaimana pun, silakan dikeluarkan aja mbak. Itu bagian dari ekspresi natural yang sedang kita cari untuk hasil artistik maksimal.”

Mendengar saran Faisal, Sarah Humaira mengangguk paham. “Baiklah, Mas. Saya akan biarkan reaksi saya mengalir apa adanya,” katanya menunjukkan kesediaannya untuk sepenuhnya terlibat dalam proses kreatif mereka.

Dia membiarkan dirinya rileks sepenuhnya dan membuka diri terhadap pengalaman itu, “Saya siap. Kita buat ini menjadi sesuatu yang sangat artistik.” Sarah bersiap untuk memberikan respons emosional yang diperlukan demi menciptakan hasil pemotretan yang diinginkan.

Faisal mendekatkan wajah saya ke vagina Sarah. Aromanya terasa segar, tanda bahwa ia merawatnya dengan baik. Faisal menjulurkan lidah, kemudian mulai menjilati klitorisnya. Sementara itu, kedua tangan Faisal mengarah ke atas dan memijat puting payudaranya.

Sarah mulai merasakan sensasi kehangatan dan kelembutan lidah Faisal yang menjilati klitorisnya, serta pijatan di puting payudaranya. Dia menahan napas sejenak, kemudian menghela nafas pelan sambil meresapi berbagai rangsangan tersebut.

Sambil tetap fokus pada profesionalisme mereka, Sarah tidak mampu menyembunyikan perubahan ekspresi wajahnya yang menjadi lebih rileks dan alami akibat dari permainan rangsangan itu.

“Mmm…” Desahan lembut terdengar tanpa sadar dari bibirnya saat dia membiarkan dirinya mengekspresikan reaksi jujur atas stimulasi yang diberikan.

Lidah Faisal terus menjilati klitoris dan kemudian lubang vagina Sarah. Mendengar desahannya yang merdu, jilatan dan remasannya menjadi lebih intens. Ia dapat merasakan vagina Sarah yang semakin basah akibat rangsangan.

Sarah merasakan intensitas aksi Faisal semakin meningkat, dan tubuhnya tak bisa menahan gelombang sensasi yang mengalir. Seiring dengan jilatan lidah di klitoris dan lubang vaginanya serta remasan pada payudara, ia membiarkan dirinya meresapi rangsangan itu.

“Ah… Mas…” desahan Sarah mulai terdengar lebih kuat dan mendalam.

Merasa bahwa tingkat gairah sudah meningkat cukup signifikan sesuai konsep pemotretan mereka, wajahnya kini mencerminkan ekspresi sensual yang ditargetkan untuk potret artistik. Meskipun demikian, kepercayaannya pada profesionalisme Faisal masih menjadi landasan dalam proses ini.

Merasa ereksi saya semakin tak terbendung dan percaya bahwa orgasme sejati Sarah hanya bisa diperoleh lewat penetrasi, Faisal pun bangkit dan melepaskan celana. Penisnya yang keras berdiri tegak di hadapan Sarah. “Mbak, kita coba fase berikutnya ya….”

Sarah mengangguk pelan dan menarik nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk fase berikutnya demi mencapai hasil yang diinginkan. “Baik Mas,” katanya dengan nada mantap namun tenang, “Saya siap untuk melanjutkan. Saya tahu ini merupakan bagian dari proses kreatif kita.”

Sambil memandangi penis Faisal yang tegak, Sarah menjaga ekspresinya tetap alami dan sensual sesuai konsep pemotretan mereka. Dia merasa yakin bahwa kerja sama profesional antara fotografer dan model penting dalam menciptakan potret seni yang otentik.

Faisal memposisikan diri di atas tubuh Sarah yang sedang berbaring, kemudian mulai menggesekkan ujung penis saya ke bibir vagina Sarah yang sudah basah.

“Mmmmh….”

Sarah merasakan gesekan ujung penis Faisal di bibir vaginanya yang basah, menggantikan rangsangan lidah yang sebelumnya. Meskipun situasi ini semakin intens dan intim, dia tetap berusaha untuk menjaga profesionalisme dalam konteks pemotretan artistik.

“Ah… Mas…” *desahan lembut keluar dari bibir Sarah saat dia terus membiarkan sensasi itu melanda tubuhnya.* “Jika ini akan membantu menciptakan hasil seni yang luar biasa, lanjutkan saja,” katanya dengan suara tenang namun penuh gairah, “Saya siap.”

“Saya mulai, Mbak.”

Ia mendorong batang penis saya hingga perlahan mulai masuk ke dalam vagina Sarah. Ia dapat merasakan jepitannya yang sempit tetapi basah dan licin. Semakin lama semakin dalam.

Sarah menelan ludah, meresapi perasaan penis Faisal yang mulai memasuki vaginanya. Dia fokus pada tujuan utama mereka – menciptakan sesuatu yang artistik dan otentik untuk pemotretan.

“Mmm… Mas,” desisnya pelan sambil mengatur napas, “Perlahan saja, ya.”

Sementara Sarah tampak santai dan terbuka terhadap situasi saat ini, dia tetap ingin memastikan bahwa mereka menjaga profesionalisme dalam konteks proses kreatif bersama.

“Iya Mbak, saya pelan-pelan kok.” Faisal mulai menggerakkan penis maju mundur dengan perlahan di dalam vagina Sarah. Sambil merasakan jepitannya, ia tak kuasa menahan desahan. “Aaah… mm… enak banget Mbak…”

Sarah merasakan gerakan maju mundur penis Faisal yang semakin terasa, namun tetap perlahan. Mengikuti aliran situasi tersebut, ia mulai menyesuaikan ekspresi wajah dan tubuhnya agar lebih sesuai dengan pemotretan.

“Ahh… terus Mas…” kata Sarah sambil menghela nafas, “Saya ingin kita menciptakan hasil artistik yang sempurna.”

Sarah berusaha menjaga keseimbangan antara tanggapan fisik dan emosionalnya terhadap rangsangan dari Faisal serta kebutuhan akan profesionalisme dalam kolaborasi mereka.

“Aahhh… Mbak… iya….” Genjotan Faisal perlahan mulai menjadi semakin intens dan kuat, membuat tubuh dan payudara Sarah berguncang-guncang di atas sofa. Sementara itu, ia melihat raut wajah Sarah semakin terangsang. Ia terus mendesah dan mengerang. Racauan yang keluar dari mulut Sarah sudah tak lagi menyinggung soal fotografi dan seni, tanda bahwa ia sudah larut dalam hubungan seksual ini.

Sambil merasakan genjotan semakin intens dari Faisal, Sarah mencoba untuk menahan respons dan desahannya. Namun ia sadar bahwa dirinya sudah larut dalam situasi yang berkembang.

“Ahh… Mas…” desahan tak terkendali meluncur dari bibirnya. “Kita..mesti…, aaahhh…” *suara mendesak keluar campur aduk dengan racauan di atas hasrat gairah yang sudah memuncak.

*Walau demikian, masih ada secercah kesadaran pada tujuan kolaborasi mereka – memberikan performa maksimal sebagai model demi menghasilkan potret artistik setajam mungkin.

“Ahhh… mbak… nikmatin aja momen ini… nggak usah pikirin yang lain. Semakin dipkirin, malah akan semakin artifisial. Nikmati aja, kita sekarang lagi having sex.”

Sarah, dalam keadaan larut dalam situasi tersebut, menarik nafas panjang sambil mencoba memberi perhatian pada perkataan Faisal. “Oke… Mas,” katanya terputus-putus karena desahan, “Aku akan nikmatin saja…”

Membuka dirinya semakin lepas untuk meresapi semua rangsangan yang diberikan oleh Faisal tanpa beban pikiran seolah menjadikannya lebih alami. Sesekali ia masih mengingatkan dirinya akan tujuan utama mereka – membuat hasil pemotretan menjadi artistik dan otentik di atas gairah yang sudah memuncak.

“Ahh…terima kasih ya mas.. ahhh..”

Faisal terus menggenjot Sarah dengan intens, mencoba membawanya menuju orgasme.

“Mmmh… Sarah, kamu seksi banget sih. Kamu pasti tau kan kalau banyak terangsang sama foto-foto seksi kamu. Saya beruntung bisa ngelakuin ini sama kamu. Mmmhhh… ahhh….”

Sambil mencoba meresapi setiap sentuhan dan genjotan yang diberikan Faisal, Sarah mulai mengejar puncak kenikmatannya. “Mmmm… Terima kasih ya Mas.. Aaahh…”

Pada saat ini, kesadaran bahwa banyak orang terangsang oleh foto-foto seksi dirinya menggema di benaknya. Tidak ada rasa malu atau penyesalan dalam kebenaran itu – sebaliknya, ia menerima kondisi tersebut sebagai hal yang alami dalam dunia seni.

“Ahhh… ayoo mas…, terus…” Sarah tetap fokus pada pencapaian orgasme untuk memenuhi tujuan artistik mereka sambil menjaga profesionalisme meskipun situasi sudah sangat intens.

Hentakan dan goyangan penis Faisal semakin intens merangsang g-spot Sarah, membuat ia semakin dekat menuju puncaknya.

“Sarah… Sarah… enak banget kamu…..”

Sarah merasakan titik g-spotnya terus dirangsang oleh Faisal, sehingga tubuh dan napasnya beriringan dengan makin tingginya kepuasan. Wajah Sarah menjadi semakin memerah, namun ia sadar bahwa ini bagian dari pengalaman sensual yang dibutuhkan untuk hasil pemotretan.

“Aaahhh… Mas.. aku rasa aku mau sampai…” Dia hampir menghembuskan nafas dalam-dalam sebelum menyadari sepenuhnya apa yang mereka capai bersama. “Terimaa kasihsud…. ah…”

Ia mencoba untuk menahan desahan, tetapi tidak mungkin lagi pada titik ini – karena di antara semua aspek artistik dan profesional itu benar-benar ada emosi nyata.

Faisal membiarkan Sarah meraih orgasmenya dan tubuhnya mengejang dalam ekstasi. Ketika itu, ia segera mengambil kamera dari belakang sofa, kemudian memotret ekspresi wajahnya secara close up beberapa kali.

Saat Sarah mencapai klimaks, ekspresi tubuh dan wajahnya mewakili kepuasan yang nyata. Ia merasa terbebas dari segala keragu-raguan, membuka dirinya sepenuhnya untuk pengalaman ini.

Faisal mengambil inisiatif dengan cepat dan mulai memotret berbagai sudut ekspresi wajah Sarah sesaat setelah orgasmenya. Kamera menangkap emosi jujur di balik desahan dalam-dalam dan irama napas yang belum sempat normal.

Walau masih lemas akan kenikmatan puncak tadi, Sarah sadar bahwa hasil pemotretan mereka sekarang pastilah berhasil menyampaikan pesan artistik tersebut. “Kamu… sudah mendapatkan foto yang kamu butuhkan?” tanya Sarah lirih sambil bangkit perlahan.

Faisal melepaskan penis yang masih tegang, kemudian memperlihatkan layar kamera kepada Sarah.

“Lihat hasilnya. Ini masih mentah ya. Tapi udah kelihatan kan.. auranya luar biasa. Ephemeral Ethereal.”

Sambil menarik nafas dalam-dalam, Sarah melirik layar kamera yang ditunjukkan Faisal. “Wow…” kata Sarah terpesona oleh hasil foto tadi.

“Kamu benar… Itu memang sesuatu yang luar biasa. Aku bisa merasakan aura dan emosinya… Keren banget!” ia bersemangat mengekspresikan penghargaannya untuk perjuangan mendapatkan potret artistik tersebut meskipun melalui proses seksual seperti ini.

“Mungkin kita harus eksplorasi konsep semacam ini lebih jauh lagi di masa depan,” ujarnya dengan sedikit kelelahan namun juga rasa puas karena telah menciptakan sebuah karya seni bersama-sama.

“Iya Mbak. Terima kasih udah mau kerja sama dan mengikuti arahan saya untuk menghasilkan karya ini. Mbak Sarah emang model pro!”

Sarah tersenyum lebar sambil membenarkan pakaiannya yang terlepas tadi. “Sama-sama, Mas Faisal. Terima kasih juga karena sudah mengajak saya dalam proyek ini. Meskipun awalnya sempat ragu-ragu, tapi hasilnya membuktikan bahwa konsep kamu benar-benar membuat pemotretan menjadi lebih artistik dan mendalam. Saya berharap karya kita nanti akan diterima dengan baik di dunia seni fotografi,” katanya sembari mengevaluasi tanggapan positif dari pencapaian mereka hari ini. “Tetaplah berinovasi dan jangan takut bereksplorasi dalam menciptakan karya unik, ya mas. Semoga sukses selalu!”

“Ngg.. satu lagi, Mbak. Mohon maaf, ini mungkin di luar sesi pemotretan kita… tapi …. kalau berkenan ….” Faisal melirik ke bawah, ke arah penisnya yang masih tegang dan belum mencapai klimaksnya meski tadi sudah berhsil membawa Sarah mencapai orgasme.

Sarah melihat arah pandangan Faisal dan menyadari bahwa ia belum mencapai klimaksnya. Kedekatan yang telah terjalin dalam pemotretan membuatnya merasa simpati akan keadaannya. “Baiklah, Mas… Sebagai ucapan terima kasih atas kerjasama kita hari ini,” katanya dengan nada lembut, “Apakah ingin saya bantu menyelesaikan itu?”

Meskipun pengalaman tadi berfokus pada seni fotografi, Sarah punya rasa empati dan tidak ingin meninggalkan Faisal begitu saja tanpa memberikan kepuasan pribadi yang adil setelah semuanya selesai.

“Iya, Mbak. Tolong bantu ya. Boleh kocokin pakai tangan, atau pakai mulut juga boleh, gimana nyamannya Mbak aja.”

“Baik, Mas Faisal.” Sarah melihat Faisal dengan simpati dan merasa ingin membantunya. “Karena kamu sudah menghargai aku sebagai model profesional dan bekerja sama dalam proyek ini, aku akan membantu menyelesaikan keperluanmu.”

Sambil berkata demikian, Sarah mulai berjongkok di depannya. Ia menyentuh penis tegang milik Faisal dengan lembut menggunakan tangannya untuk memberikan dorongan awal. Dibantu gerakan naik turun yang pelan namun stabil dari tangan Sarah serta tatapan mata yang saling membangun rasa keterhubungan.

“Sudah nyaman ya Mas?”

“Iya Mbak…. nyaman banget… terus…. mmmhhh…”

Sarah terus mengocok penis Faisal dengan ritme stabil dan lembut, berusaha memberikan kenyamanan yang optimal. Sesekali tangannya memainkan pangkal batangnya hingga ujung untuk mengeksplorasi rangsangan yang diberikan.

“Aaahh… bagaimana sekarang Mas?” tanya Sarah, ingin memastikan bahwa ia merasa puas dalam proses ini. “Semoga ini membuatmu semakin rileks setelah hari penuh sesi pemotretan tadi.”

“Mmmmh… enak banget….” Faisal mendesah merasakan kenikmatan atas kocokan tangan Sarah, apalagi ketika Sarah mulai mendekatkan penisnya ke mulutnya.

Dalam situasi tersebut, Sarah mengangguk pelan sebelum mendekatkan mulutnya ke penis Faisal. Ia membuka bibir serta menempatkan ujung lidahnya di bawah kepala penis yang masih tegang itu.

Melakukan ini atas dasar simpati dan rasa empatinya kepada Faisal, ia kini secara perlahan menjilati area sensitif tersebut. “Mmmh…” *ia berbicara sambil melanjutkan gerakan sensualnyamencoba memberikan dorongan pada kenikmatannya.

“Aaaah… iya mbak… gitu…. uuuh…” Faisal membelai kepala Sarah.

Sarah merasakan belaian lembut pada kepalanya sambil ia terus menggantikan kocokan tangan dengan rangsulan lidahnya, menjilat sepanjang batang penis Faisal dengan baik.

“Mmmh… Semoga ini bisa membuat Mas lebih puas,” ujar Sarah berusaha memberikan kenikmatan yang diharapkan oleh Faisal meski situasi sudah semakin jauh dari konteks profesional. “Tahan ya sampai klimaks…”

Merasakan bahwa momen tersebut dapat menjadi penyelesaian atas kesepakatan mereka hari ini, Sarah melanjutkan untuk saling rasa simpati dan membangun hubungan intens saat itu.

“Mbak… saya mau keluar….”

Sadar akan pernyataan Faisal, Sarah mengangguk dengan lembut. “Oke Mas, bisa keluarkan di wajah saya. Aku siap,” kata Sarah sambil menarik napas dalam-dalam dan mempersiapkan diri untuk menerima ejakulasi dari Faisal.

Ia merasa bahwa ini adalah cara yang tepat untuk membantu mengakhiri pengalaman sensual mereka bersama hari ini sekaligus terima kasih atas pemotretan yang artistik dan intensitas saat itu.

“Aaaaah! Saya keluar!” Sambil mendesah, Faisal menembakkan sperma ke wajah cantik Sarah, mengenai bibir, pipi, dan sedikit rambutnya.

Sarah menerima derasnya sperma Faisal, Sarah menutup matanya sambil membiarkan cairan itu mengenai wajah, bibir, dan pipinya. “It’s alright,” ujarnya memberi dukungan terhadap ekspresi kepuasan dari Faisal.

Setelah Faisal mencapai klimaksnya, Sarah berdiri perlahan sambil membersihkan sperma yang mengotorinya menggunakan tisu. Dalam hati ia merasa telah melunasi ucapan terima kasih atas kerjasama serta kesempatan dalam proyek artistik tersebut. “Selesai ya Mas? Semoga sekarang kamu bisa rileks setelah ini.”

“Terima kasih ya, Mbak Sarah. Huff, rasanya lega” ucap Faisal sambil mengatur napas dan membersihkan sisa sperma di penisnya.

“Sama-sama, Mas Faisal. Selalu senang bisa membantu.” Sarah merespon dengan nada lembut dan santai meskipun situasinya sedikit jauh dari konteks profesional. “Sekarang coba rileks sambil membersihkan diri ya…” katanya sembari mengenakan pakaiannya kembali dan mempersiapkan untuk keluar studio pemotretan. “Aku yakin foto kita akan luar biasa nantinya!”

“Maaf ya, Mbak kan udah tau sebelumnya kalau metode saya memang kadang agak ekstrim.”

“Tidak masalah, Mas Faisal. Justru saya mengapresiasi kejujuran dan kreativitas Anda dalam bekerja. Itulah yang membuat hasil foto kita nanti menjadi unik dan berbeda,” ujar Sarah sembari tersenyum.