ARFAN, SI PEJANTAN TANGGUH DARI DESA

CERITA INI MERUPAKAN MODIFIKASI (REMAKE) ATAU PENGEMBANGAN DARI CERITA YANG ADA DI siNI DAN DIKOMBINASIKAN DENGAN KISAH NYATA YANG DITUTURKAN OLEH SEORANG PEREMPUAN ARAB KEPADAKU KIRA2 SETAHUN YANG LALU.

SELAMAT MENIKMATI

ARFAN, SI PEJANTAN TANGGUH DARI DESA

Nasib seseorang tiada yang tahu selain tuhan. Itulah sekira yang bisa dipetik dari perjalanan hidup tiga orang yang masih punya hubungan darah ketika di satu malam setelah habis menggeluti tubuh budhenya, Arfan berjalan pulang kearah rumah yang terletak kira-kira 300 meter saja dari tempat tinggal Budhe Warsih.

Saat melewati tikungan jalan desa tepi hutan karet yang sepi nan gelap, ia mendengar teriakan histeris perempuan menjerit minta tolong. Arfan celingukan menengok kearah suara tadi, teriakan itu hanya sekali, namun keras melengking lalu menghilang. Karena penasaran dan berpikir tidak lazim malam hari ada teriakan perempuan di tempat terpencil seperti ini, dengan mengendap Arfan mendekati tempat dibalik pepohonan dan semak yang berjibun disana. Sekira dua menit mencoba mengintip dari balik sebuah pohon besar, ia melihat sebuah mobil terparkir, samar-samar dari balik kaca mobil itu tampak sekelebat bayangan pria yang sedang melakukan kekerasan pada sesosok perempuan.

Arfan mendekat untuk lebih jelas memperhatikan apa yang terjadi, hatinya berdebar, ia pikir dari teriakan minta tolong tadi pastilah perempuan paruhbaya berpakaian putih panjang yang sudah tampak terkoyak itu adalah korban perkosaan lelaki yang kini menindihnya sambil mencekik. Arfan yakin pria bertubuh kekar itu juga ingin membunuh korbannya yang kini meronta berusaha melepaskan diri.

Spontan jiwa penolong Arfan membuatnya menghunus badik yang terselip di pinggang. Tiap kali keluar rumah, anak itu memang selalu membawa badik sebagai alat kerja menyadap getah di kebun pak Haji Latif. Gubraaakkk!!! Arfan membuka pintu mobil dan sekonyong-konyong meletakkan parang yang dipegangnya menempel persis dibelakang kepala pria itu, seakan siap untuk menggorok lehernya.

“Hentikan pak!!! Kalau tidak, saya akan bacok bapak!” Hardik Arfan.

Merasakan sebilah benda tajam menempel di lehernya, pria itu langsung menghentikan cekikan pada perempuan yang tampak hampir sekarat akibat tak bisa bernafas. Sang pria mengangkat tangan keatas, Arfan segera menarik leher baju lelaki itu ke belakang keluar dari pintu mobil.

“Ampun mas ampun jangan bunuh saya mas ampun mas!” Teriak pria itu sembari bersujud di hadapan Arfan, wajahnya yang semula cukup menyeramkan mendadak berubah pucat pasi.

Meskipun bertubuh lebih kecil dari pria kekar dan berkumis tebal itu, nyali Arfan rupanya tinggi juga, ia tak samasekali gentar. Di kampung miskin itu Arfan memang terkenal sebagai anak yang sangat baik, berani dan lagi suka menolong. Justru lelaki yang tinggi besar itulah yang kini memohon ampun bak pengecut menghadapi kegarangan anak kecil dengan tubuh berotot bagai kawat besi di hadapannya, sebilah badik panjang masih menempel di leher pria tadi siap memenggal lehernya kalau sampai ada perlawanan. Dengan garang Arfan mengancam sambil menendang wajah lelaki berkumis yang sedang bersujud di depannya itu hingga ia terjungkal dan berguling ke tanah. Akibatnya juga, darah mengucur dari leher pria itu terkena gesekan badik tajam Arfan saat ia terjungkal. Pria itu meringis kesakitan sembari menempelkan kedua telapak tangannya untuk menghentikan pendarahan yang terjadi. Pelan dan penuh rasa was-was akan kena tebas lagi, ia menjauhi posisi anak muda bertubuh tegap itu…

“Pergi kau dari sini bajingan!!! Kalau tidak, ku penggal leher kau! Cepat!” Ancam Arfan lagi, dan pria itupun langsung kabur berlari menghilang di kegelapan.

Arfan mendekat kearah ibu yang ia tolong, perempuan paruhbaya itu masih terdengar menangis sesenggukan. Si ibu baru saja bisa menarik nafas panjang-panjang. Tangisnya meledak saat sudah agak lega menghirup udara.

“buuuuk buuuk ibuuuuk, ibu tidak apa apa? Ibu kenapa? Siapa pria itu bu?” Tanya Arfan beruntun pada wanita yang kira-kira seumur budhenya, Arfan mencoba membantu ibu itu bangun dan keluar dari mobil tempat dimana ia tadi ditindih dan dicekik.

“Ibu siapa? Ibu dari mana?” Tanya arfan lagi meski ibu itu belum sempat menjawab pertanyaan awalnya.

“Ooohhh terimakasih nak, sudah selamatkan nyawa ibu, itu iii ii itu… itu ta ta ta… tadi… tadi… orang… itu… suruhan mantan suamiku yang ingin mem mem memperkosa… dan dan dan… membunuhku… huk huk uhuk… tee teerr tee terimakasih ya nak…” kata perempuan paruhbaya itu masih dalam keadaan menggigil gemetar, terbatuk-batuk dan sesenggukan menangis, tangannya sibuk merapikan pakaian yang awut2an.

“Badan ibu lemas nak, tolong beri ibu air putih…” Pintanya terbata-bata, ia merasakan tenggorokannya seperti kering.

“Mari bu, saya bantu bangun, ibu harus minum secepatnya, rumah saya dekat dari sini bu…,” Arfan mengulurkan tangan dan segera memapah wanita itu berjalan kearah gubuk milik Leha emaknya yang tinggal 100 meter saja dari tempat kejadian.

“Maaakkk maaakkkk emaaakkk! tolong maak! bukakan pintu maak! ini ada ibu yang kecelakaan!!!” Arfan berteriak memanggil Leha sang emak dari luar pagar.

“Eeeh Arfan ada apa? Siapa ini?” Tanya Leha heran sambil menatapi perempuan itu, diterpa cahaya bulan ia melihat samar-samar terdapat luka goresan kuku di leher si ibu, pertanda kalau perempuan itu baru habis dicekik.

“Ya Alloh buuuu!! Ayo Ar bawa masuk, apa yang terjadi Ar?”

“Tadi waktu Ar jalan dari rumah budhe warsih saya dengar ibu ini teriak minta tolong mak,” Arfan menuturkan kejadian itu pada emaknya.

Cepat-cepat Leha mengambilkan air minum untuk ibu itu dan memintanya berbaring di tempat tidur lapuk satu2nya yang ada di gubuk mereka.

Akibat lelah dan shock, perempuan itu menurut saja, tak memperdulikan keadaan tempat tinggal Leha yang teramat sederhana. Setelah memberi minum berupa air putih Arfan segera membaringkan tubuh lunglai perempuan itu di tempat tidur Leha emaknya. Lalu emaknya memberi pijatan pada kaki dan bahu ibu itu. Belum lagi mereka sempat menanyai lebih jauh, setelah menghabiskan hampir setengah ceret air minum pemberian Leha, ibu itu sudah tertidur lemas. Mungkin karena terlalu lelah dan haus akibat peristiwa yang menimpanya tadi. Belum sempat pula Arfan dan emaknya menanyakan siapa nama perempuan paruhbaya itu.

Dari wajah dan penampilan ibu yang sekarang tergolek lemas di tempat tidurnya, Leha bisa mengira-ngira dia pastilah orang kaya. Wajah dan tubuhnya sangatlah elok, kulitnya pun putih, mulus, bersih dan terawat. Di lengan, leher dan telinga ibu itu ada perhiasan dari emas dan berlian yang Leha tahu berharga sangat mahal. Arfan dan maknya membisu saling tatap menyaksikan gemerlap barang mewah yang dikenakannya. Rona prihatin dan bingung mewarnai wajah mereka.

“Gimana ni mak? Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Arfan memecah kebisuan, ia masih juga tak tenang.

“Kita harus lapor ke polisi Ar, tapi jauh dari sini, 1 jam lebih dan harus pakai motor ojek, ini sudah malam, mak tak yakin ojek masih ada”

“Iya mak, atau sebaiknya saya panggil budhe warsih saja ya mak? Barangkali budhe punya cara menolong ibu ini,” usul Arfan pada maknya.

“ya Ar, boleh, panggil budhemu sana, mak tunggu, tapi jangan lama2, mak takut…”

“Iya mak,” Arfan segera keluar rumah dan berlari menuju tempat budhe Warsih.

Tak berselang lama ia kembali lagi bersama kakak perempuan Leha yang baru saja sebelum kejadian itu habis digenjotnya. Warsih tampak ikut bengong menyaksikan perempuan yang kini terbujur di kasur lapuk milik Leha adiknya, tempat dimana kemarin siang ia dan Leha disetubuhi habis-habisan oleh Arfan.

“Kita harus lapor ke polisi besok pagi juga Leha, kasihan ibu ini,” kata Budhe Warsih sambil membersihkan siku lengan perempuan yang tampak di mata Warsih adalah seorang kaya raya itu. Warsih bisa melihat dari pakaian yang dikenakan ibu ini terbuat dari bahan sutera lembut. Tangan dan telinganya juga ada perhiasan emas yang sangat mahal. Aroma tubuhnya wangi. Kulitnya putih mulus dengan wajah yang sangat cantik terawat. Mereka bertiga saling pandang, Warsih pun yakin, ibu ini pasti bukan orang sembarangan.

Demikian halnya ketika Warsih budhenya meminta Arfan pergi ke mobil tempat dimana ia menemukan peristiwa tadi untuk memeriksa apakah ada barang-barang penting yang perlu diamankan. Mereka semua terkejut melihat satu koper hitam besar berisi penuh uang dollar yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Arfan menyimpan tas itu dibawah tempat tidur lapuk tempat dimana wanita paruhbaya yang ia tolong tergolek lemah, tak berani lebih jauh memeriksa apa isi tas ibu itu.

Walau keluarga Leha miskin, tapi hati mereka amat baik, tak ada sedikitpun terbersit niat buruk mengambil perhiasan perempuan yang sekarang sedang tergolek lemas di gubuk mereka. Arfan dan Leha emaknya kemudian ikut tertidur diatas tikar yang mereka gelar di lantai kayu dan membiarkan ibu itu berbaring nyenyak di kamar gubuknya. Warsih budhenya juga berlalu kembali ke rumahnya dan berjanji akan datang esok pagi.

Ada perasaan menggantung di benak Leha, awalnya tadi ia telah pula tak sabar menunggu Arfan anaknya balik dari rumah Warsih sang kakak. Leha ingin disetubuhi oleh anaknya itu sampai pagi. Memeknya gatal dan terasa sudah tak tahan menunggu kontol Arfan menjejali karena seharian anak kandung Leha itu belum sekalipun menjamah tubuhnya. Akan tetapi karena peristiwa tadi, rencana mengentoti anak itu sampai pagi jadi buyar, dan merekapun tertidur.