Diam Diam Diam

Aku dan Mama tak pernah dekat. Kami cukup asing untuk tidak pernah menanyakan kabar satu sama lain—bahkan ketika aku mulai merantau ke luar kota untuk kuliah.

Mungkin satu-satunya momen Mama pernah tersenyum kepadaku, memelukku, adalah waktu aku wisuda TK. Cuma itu yang kuingat. Sepanjang waktu setelahnya, yang kulihat hanya raut wajahnya yang minim ekspresi.

Aku tak mengeluh. Sebab, Mama memang pendiam. Aku juga pendiam. Sifat pendiam Mama hanya menurun padaku dan tidak menurun pada dua adikku.

Dua adikku seperti Bapak. Periang. Senang bercanda. Saking kontrasnya kepribadian kami bersaudara, kalau sedang kumpul keluarga besar, terasa seperti ada dua kubu. Aku dan Mama. Bapak dan kedua adikku. Kami seperti berasal dari dua rumah terpisah.

Bapak kerja sebagai mandor. Dia cukup disukai di tempat kerjanya sebab kerjanya bagus. Orangnya sangat telaten jika menyangkut pekerjaan. Mungkin jika menunggu beberapa tahun lagi Bapak sangat mungkin menjadi kepala proyek—ini menurut angan-angannya. Pada kenyataannya, hal itu tidak mungkin karena ijazah Bapak cuma STM. Mau sehebat apapun dia, sebagus apapun kerjanya, tidak akan pernah diangkat menjadi kepala proyek sebab dia bukan sarjana. Kenyataan pahit ini harus ditelan Bapak pelan-pelan di tahun-tahun paling lambat dalam hidupnya.

Sementara Mama seorang guru SMP. Sejak gadisnya dia sudah mengabdi pada pendidikan. Sebagai anak seorang guru, anak-anak Mama mendapat pengajaran yang sangat baik di masa kecil.

Ketika aku masuk usia SMP, aku tidak sekolah di tempat Mama mengajar. Sempat ada cekcok hebat antara Mama dan Bapak waktu itu. Karena aku anak laki, Bapak ingin memasukkanku ke pesantren. Dia sendiri orang yang cukup religius, tapi dari segi pengetahuan agama memang tidak seberapa. Dia berharap kelak aku bisa membimbing adik-adikku yang padahal pada saat itu belum pada lahir.

Mama, di sisi lain, ingin aku sekolah di jalur “biasa”. SMP, SMA, lalu kuliah. Mama berpendapat aku tidak perlu belajar agama secara khusus di pesantren. Cukup di rumah saja. Atau di tempat mengaji di kampung. Menurutnya lebih baik aku menorehkan prestasiku di sekolah umum, supaya nanti mudah masuk kuliah.

Pada saat itu—baru lulus SD—aku belum memahami bahwa di situlah awal ketidakharmonisan kedua orang tuaku. Entah sejauh mana mereka berselisih. Yang jelas, Bapak menang, dan akhirnya aku masuk pesantren.

Tapi di penghujung masa SMP (MTs kalau di pesantren), terjadi sebuah kasus. Aku difitnah mengkorupsi uang kas pondok. Jumlahnya lumayan. Aku jelas tidak terima sebab tak ada bukti. Bahkan kenyataannya akulah yang selalu kehilangan uang. Aku tahu siapa orangnya tapi aku tidak enteng melapor kalau tidak ada bukti.

Pendek kata, kasus menjadi cukup besar, hingga dipanggil kedua orang tuaku. Setelah perselisihan dan perdebatan yang sangat alot, akhirnya terkuak bahwa justru si penuduh yang telah menggasak uang kas itu, sekaligus uang pribadiku. Tapi apa tindak lanjutnya? Dia hanya disuruh bersih-bersih area masjid selama satu minggu. Sebab dia ada saudara dengan pengurus pondok. Klise.

Kejadian itu menjadi argumen sangat kuat untuk Mama akhirnya bisa mengeluarkanku dari pesantren. Padahal tinggal tiga bulan lagi ujian kelulusan. Artinya, aku terancam tidak dapat ijazah.

Tapi Mama tak habis akal. Didaftarkannya aku di ujian paket B. Karena daftar tepat beberapa hari sebelum ditutup, ada biaya yang harus dikeluarkan. Di kemudian hari aku tahu Mama menjual salah satu perhiasannya demi melunasi uang pendaftaranku. Bapak tak mau keluar duit karena sebetulnya dalam hati dia masih berat aku meninggalkan pesantren.

Pulang ke rumah, aku banyak menghabiskan waktu mengasuh adikku yang berusia tiga tahun. Ketika aku SMA kelas tiga, lahir adikku yang kedua.

Di SMA aku belajar dengan giat. Selain sebagai rasa terima kasih kepada Mama karena telah bersikeras mengeluarkanku dari pesantren, aku juga ada hasrat ingin membuktikan sesuatu kepada Bapak. Entah apa itu. Pada saat itu aku sama sekali tidak mengerti. Ada perasaan tak jelas, seperti kabut tebal, menggumpal dalam dadaku.

Karena kegigihan dan motivasi yang jelas, alhasil aku selalu juara kelas. Beberapa kali aku mengikuti lomba, bahkan sampai tingkat nasional, dan menang.

Setiap kali aku menang lomba, Mama selalu memasak semur daging—makanan kesukaanku. Begitulah caranya mengungkapkan rasa bangga tanpa kata-kata.

Aku pernah kecewa dengan reaksi Mama ketika kuberi kabar tentang kemenanganku. Dia hanya mengangguk, lalu memberiku uang jajan. Entah mengapa hatiku terasa ada yang mengganjal. Tapi itu tak berlangsung lama. Aku langsung senang begitu semur daging mendarat di lidahku. Lama-lama aku mengerti cara Mama menunjukkan perasaannya.

Ketika turun berita aku diterima kuliah, Mama mengadakan acara syukuran di rumah. Diundangnya semua saudara dan tetangga. Pada hari itu kulihat raut wajahnya lebih ringan dari biasanya.

Hari keberangkatanku ke luar kota menjadi momen yang selalu kuingat. Mungkin hanya pada hari itu Mama membiarkan emosi dan rasa sentimental menguasai dirinya. Mama memelukku sebentar, lalu mengecup pipiku, tercium aroma shampo dari rambutnya yang tertutup kerudung. Lalu dia berpesan supaya aku hati-hati di jalan.

Beberapa meter dari tempat kami berdiri, ada juga seorang ibu yang sedang melepas anaknya merantau. Ibu itu menangis tersedu-sedu, berkali-kali memeluk dan menciumi anaknya sampai kurasa si anak menahan malu.

Aku nyengir dalam hati. Berlebihan sekali, pikirku. Lalu terpaksa kutelan ludah sendiri. Selang beberapa menit keberangkatan, tanpa kusadari dan tanpa bisa kubendung, air mataku meluber. Aku sendiri kaget.

Aku akan sangat merindukan Mama. Tapi aku tahu, tak mungkin mengungkapkannya.

***

Kuliah di jurusan teknik tidak memberiku kesempatan untuk berleha-leha. Rasa sentimen di hari-hari awal kuliah, kangen rumah, dan kesepian, menguap dengan begitu cepat. Tugas-tugas kuliah segera menumpuk. Praktikum berjejalan. Aku bahkan tak sempat potong rambut.

Dalam video call pertama sejak aku merantau, itulah yang pertama kali dikomentari oleh Mama. Belum dia menanyakan kabarku, belum dia menyoal kuliahku, atau apakah aku betah hidup di kota baru, tanpa fafifu langsung disuruhnya aku potong rambut. Klasik. Kuanggap itu sebagai ungkapan rasa kangen.

Liburan di akhir semester satu, aku tak pulang. Seorang senior mengajakku magang di sebuah proyek dosen yang sedang dikerjakannya. Dia bilang sertifikat magang itu bisa digunakan untuk mendaftar seminar proposal lebih cepat di semester-semester yang akan datang. Tanpa pikir tiga kali, aku terima tawaran itu.

Bisa daftar sempro lebih cepat, artinya bisa lulus lebih cepat. Bisa lulus lebih cepat, artinya bisa bekerja lebih cepat.

Awalnya Mama kurang setuju. Dia pikir aku terlalu ngebut di awal, khawatirnya energiku habis dan kelelahan di tengah-tengah, lalu kuliahku kacau. Sebagai sponsor utama kuliahku (biaya kuliah dan biaya hidup ditanggung Mama sepenuhnya), wajar baginya untuk punya concern terkait tuntasnya studiku.

Kujelaskan dengan rinci hal apa saja yang bisa kudapatkan dari magang ini. Kujelaskan rencana kuliahku dan target-target akademik yang ingin kucapai. Tanpa menyinggung motif paling dalamku, yaitu ingin segera membalas budi kepadanya.

Mama akhirnya setuju. Jadilah aku tak pulang semester itu. Juga semester setelahnya. Dan setelahnya. Targetku adalah lulus 3,5 tahun. Harus kugunakan waktu libur untuk mengambil semester pendek.

Hampir aku tak akan pulang selama dua tahun. Tapi suatu malam di tahun keduaku, berita duka menyusup masuk secepat kilat, menghancurkan rencana yang telah kubangun sedemikian rapi.

Bapak meninggal.

***

Aku segera melesat pulang. Tengah malam lewat sedikit, aku sudah meluncur di jalan tol. Sepanjang jalan, pikiranku tidak karuan. Aku masih tak percaya.

Rasanya seperti sedang diisengi oleh takdir.

Aku tidak dekat dengan Mama, dan aku jauh lebih jauh lagi dengan Bapak. Sejak peristiwa di pondok pesantren itu, sedikit sekali dia berinteraksi denganku. Aku pun tidak pernah berusaha mendekatinya. Mungkin kami berdua sama-sama kecewa, pada satu sama lain. Aku kecewa karena dia seperti tak rela aku berhenti di pesantren. Hidupku seakan tak menarik lagi baginya. Dia kecewa karena aku tidak terus pesantren.

Kalau bukan karena Mama, aku tak mungkin melanjutkan sekolahku, apalagi kuliah. Bapak tidak sudi mengeluarkan uang buat sekolahku, karena baginya, keluarnya aku dari pondok adalah kekalahan dalam egonya. Belakangan aku juga tahu bahwa dia semakin sering marah-marah tidak jelas di rumah.

Untuk menanggung uang kuliah dan biaya hidupku di luar kota, Mama mengajar privat ke sekeliling kota. Pekerjaan rumah jadi sedikit terbengkalai. Tapi sebetulnya Mama mengkompensasi itu dengan cara menyewa ART seminggu sekali.

Bapak tak terima. Mentang-mentang punya uang, jadi bisa bayar untuk menggugurkan kewajiban seorang ibu dan istri, pikirnya.

Aku sampai di rumah sekitar pukul 05.00. Orang-orang berkumpul, di halaman, di ruang tamu, di dapur. Di semua tempat. Rumah menjadi ruang publik.

Aku melihat banyak sanak-saudara, paman dan bibiku, sepupu, sebagian sedang membaca yasin, sebagian sedang menangis tersedu-sedan. Tetangga-tetangga dekat sibuk mengatur ini-itu.

Beberapa keluarga langsung menghampiriku, menepuk punggungku, berkata supaya aku sabar.

Di antara lautan manusia penuh emosi itu, Mama duduk bersandar pada dinding. Adik bungsuku tertidur pulas di pangkuannya. Pandangannya entah ke mana.

Mama tidak menangis. Tidak sedikit pun. Tidak setetes pun. Tapi wajahnya lebih berat dari biasanya.

Aku menghampiri Mama. Cium tangan. Begitu melihatku, yang pertama diucapkannya adalah pertanyaan apakah aku sudah makan. Lalu disuruhnya aku segera makan.

Aku bersih-bersih, makan, lalu nimbrung dengan orang-orang yang sedang mengaji. Mama menyuruhku untuk istirahat dulu. Kukatakan aku sudah tidur di bis.

Pukul 09.00 Bapak dikebumikan. Aku mengumandangkan azan terakhir di telinganya. Menangis aku setelahnya. Paman-paman memelukku.

Mama menggendong adik bungsu, tatapannya lurus ke liang lahat, seraya tanah merah diurug menutupinya. Tatapan itu diam. Tanpa isyarat. Tapi aku mungkin tahu dalam hatinya bergejolak. Sudah semestinya diriku tahu. Sebab dia ibuku.

Selepas pemakaman, rumah masih ramai. Aku nimbrung dalam kegiatan apapun yang bisa kuikuti. Kendati lelahku sudah di ujung kaki, rasanya tak betah kalau tidak bantu-bantu.

Mama menerima banyak sekali tamu. Dia guru yang sangat dikenal baik oleh semua orang di bidang pendidikan, bahkan kepala dinas datang. Rombongan demi rombongan menyampaikan bela sungkawa. Juga orang-orang yang mengenal Bapak dari tempat kerjanya. Semua orang datang menumpahkan luapan emosi mereka.

Aku bisa merasakan lelahnya Mama. Hanya aku yang tahu. Karena hanya aku yang sepertinya.

Aku ingin memintanya istirahat tapi aku tahu jawabannya akan persis seperti jawabanku kalau diminta istirahat pada situasi semacam itu.

Tapi walau bagaimanapun, tubuhku memiliki batasnya sendiri. Rasanya sudah tak bisa kuhitung jumlah jari tanganku sendiri. Pandangan mulai berkunang-kunang.

Dengan langkah gontai aku naik ke lantai dua, menuju kamarku—satu-satunya area rumah yang tidak dimasuki orang-orang karena terkunci, juga karena posisinya di lantai 2.

Tak banyak pikir aku langsung rebah, ambruk, lantas cepat sekali melayang tidur. Tak ada pikiranku tersisa.

Dalam tidur yang awalnya sangat hening itu, mimpiku mewujud nyata.

***

Entah karena aku masih sangat kelelahan. Atau kebingungan. Awalnya aku yakin yang kualami hanyalah mimpi.

Ketika kubuka mataku, kudapati kepala Mama sedang rebah di dadaku. Tubuhnya menindihku. Lalu, meski awalnya samar-samar, kurasakan dia sesenggukan.

Mama menangis. Dengan sangat lirih, selirih yang dia bisa.

Refleks—atau karena kuyakin itu mimpi—tanganku membelai rambutnya. Aroma shampo itu tercium. Aroma shampo yang sama ketika dia dulu dengan canggung mencium pipiku saat melepasku merantau.

Merasakan tanganku menyentuh kepalanya, Mama sedikit awas. Isak tangisnya terjeda. Namun, karena aku terus mengusap-usap kepalanya dengan lembut tanpa berkata-kata, dia lanjut menangis. Kini lebih tegas. Lebih lepas.

Lengan Mama merengkuhku sangat erat. Wajahnya membenam di dadaku, seiring dengan isak tangisnya yang semakin keras. Mungkin dia tak ingin sampai terdengar ke luar.

Aku terus mengusap rambutnya, lalu satu tanganku lagi mengusap punggungnya. Pada saat itu jantungku mulai bersikap aneh. Ia berdebar. Untuk apa?

Pada titik waktu yang entah sudah berapa lama, Mama mengangkat wajahnya dari dadaku. Kami bersitatap. Baru kali itu kulihat warna di wajahnya. Seakan-akan baru saat itu aku bertemu dengannya.

Diamku. Diamnya. Diam kami berdua. Diam seluruh dunia begitu menghanyutkan.

Aku menghirup napas yang Mama hembuskan. Aroma air matanya. Aroma wajahnya yang sembab. Serta… aroma bibirnya yang basah mengkilap.

Wajahnya merah ranum. Tak ubah seorang anak gadis yang sedang merajuk. Rambutnya yang sedikit kusut. Sehelai-dua helai yang menjuntai di depan wajahnya.

Dalam keberlangsungan yang kuanggap mimpi itu, kumajukan wajahku. Seperti gravitasi. Kurasa wajar saja kalau akhirnya kucium pipi Mama yang bergenang air mata itu. Sedikit asin menyusup di lidahku.

Mama terkejut. Tapi bukan terkejut takut. Terkejut mungkin hanya 10% saja, sisanya penasaran.

Kumajukan lagi wajahku, kali ini mendarat di pipi satunya lagi. Lebih tepatnya di bawah mata.

Setelah itu kami berpandang-pandangan lagi. Menyelam lagi. Diam lagi.

Aku berkeyakinan bahwa Mama juga merasa bahwa semua hanya mimpi. Sebab momen selanjutnya yang kuketahui adalah bibirnya bersentuhan dengan bibirku.

Amat cepat, tapi juga sangat perlahan. Sulit kujelaskan. Ciuman itu seperti sangat spontan tapi sekaligus penuh perhitungan.

Aku berhitung-hitung dalam kepala, tapi bibirku lebih paham keinginannya.

Aku maju lagi. Sempat ragu. Tadinya ingin kukecup pipinya lagi, tapi aku tiba-tiba ingin bertaruh. Maka kubelokkan arah bibirku, tepat menubruk bibir Mama. Itu ciuman balasanku.

Mata kami saling mengunci. Aku mencium aroma air liurnya sebab ciuman kedua ini lebih terbuka.

Napas kami mulai naik.

Ciuman ketiga Mama yang maju. Lebih yakin dari sebelumnya. Ciuman keempat aku lagi. Ciuman kelima. Keenam. Ketujuh. Dan seterusnya… aku sudah tidak mengerti. Yang kutahu bibir kami bercipokan, lidahku dan lidahnya berpagutan, lengan kami saling merengkuh penuh hasrat campur perasaan.

Jantungku tidak karuan—jangan ditanya. Tapi yang mesti dikhawatirkan adalah yang di bawah sana.

Mama mengangkat wajahnya. Raut itu baru. Di kemudian hari baru akan kutahu artinya. Lama sekali Mama memandangiku, dalam diamnya dan juga diamku. Lalu, seakan menyadari sesuatu, Mama beranjak cepat dari atasku, melesat ke arah pintu.

Dengan cepat dia buka pintu kamarku, mengambil kunci yang menempel dari luar, menutup pintu kembali, lalu menguncinya dari dalam.

Sedikit terburu-buru, Mama berjalan krmbali menghampiriku. Lalu kami berciuman lagi seperti sepasang kekasih yang tak bersua 100 tahun lamanya. Tangan Mama memegang kepalaku, mengarahkan.

Ciuman kami semakin basah dan berlumuran air liur. Sementara tubuhku masih bergeming karena shock mengantisipasi apapun yang akan terjadi, kepalaku menghitung dengan sangat keras, berusaha memutuskan apakah ini mimpi atau nyata, tapi begitu tangan Mama menyentuh penisku dari luar, seluruhnya tunduk bubar jalan. Tak ada lagi pertanyaan. Yang tersisa hanya keinginan.

Mama mengusap penisku pelan tapi dengan tekanan yang menyampaikan pesan. Tanganku tiba-tiba saja menempel di salah satu payudaranya. Seperti ditarik oleh magnet.

Sambil terus berciuman kami terus mengusap. Napas Mama mulai memburu, kenaikannya mulai terburu-buru.

Mama tiba-tiba melepas ciuman. Terlihat jelas air liur melambai dari bibir, entah milik siapa. Jantungku meletup-letup, menanti apa yang hendak dia lakukan. Sambil tak henti menatap mataku, Mama perlahan membuka resleting celanaku. Dia ambil dari belakang, lalu memelorotkan celanaku sekaligus celana dalamku.

Aku sudah gila. Ini pasti mimpi. Penisku mengacung tegang di hadapan ibuku sendiri.

Mama meraih penis tegangku dan mengusap-usapnya. Mengocoknya perlahan. Tak putus matanya memandang wajahku.

Kocokan itu, dengan perlahan, semakin cepat dan cepat. Kepalaku bertambah pening ketika Mama, dengan tangannya yang satu lagi, mulai mengusap-usap area vaginanya sendiri. Pemandangan yang tak pernah kubayangkan dalam hampir dua dekade hidupku di bumi ini.

Rasanya aku hampir mau menangis ketika Mama tiba-tiba berhenti mengocok penisku, lalu dengan grusa-grusu, seperti orang yang terlambat masuk kerja, dia membuka resleting celananya sendiri, lalu memelorotkannya sekalian dengan celana dalamnya.

Bulu kemaluan Mama terpampang jelas, diterangi cahaya lampu tidur yang terletak di samping kepalaku. Mama mengangkat selangkangannya, lalu menyibak vaginanya di depanku.

Basah. Dan merekah.

Mama menatap mataku, lalu vaginanya, lalu mataku lagi. Apa maksudnya? Aku tak mengerti harus bagaimana.

Lalu dia kembali melakukan yang sebelumnya. Mengocok penisku dan mengobel vaginanya sendiri. Bibirnya mulai melenguh. Suara erangan Mama menempatkanku di ambang batas kegilaan.

Kurasakan kocokan itu semakin cepat dan cepat di penisku. Seperti secepat yang dia bisa. Aku, entah kenapa, mendeteksi ada semacam niatnya untuk segera menuntaskan apapun yang sedang terjadi ini.

Menyadari itu, tubuhku segera bereaksi. Tanganku sigap menghentikan tangan Mama yang tengah mengocok penisku. Kuhentikan kocokan itu. Kulepaskan tangannya.

Sedikit mengangkat tubuhku, tanganku maju, lalu dengan yakin kuusap vagina Mama. Mama tampak sedikit terkejut. Satu persen terkejut 99% sudah menantikan hadirnya tanganku di sana.

Tak lama, jari tengahku berusaha menyusup masuk ke dalam. Tangan Mama bereaksi dengan menggenggam erat pergelangan tanganku, matanya memejam, dan mulutnya mengerang tertahan.

Becek sekali di dalam sana.

Perlahan, kugerakkan tanganku keluar masuk.

Mama terus mengerang tertahan. Mataku berbinar-binar menyaksikannya.

Kukocokkan jariku semakin cepat dan cepat. Genggaman Mama di tanganku semakin erat. Hingga tiba-tiba Mama menahan tanganku sekuat yang dia bisa. Matanya nyalang menatapku.

Yang terjadi selanjutnya berlangsung sangat cepat.

Tapi gerakan yang kulihat seperti dalam slow-motion. Mama naik ke atas ranjang, ngangkang di atas penisku yang mengacung tegang. Lalu dia turunkan pinggulnya. Kini dia berjongkok. Kemaluannya terpapar begitu jelas.

Mama meraih penis tegangku, dia usap-usapkan ke bibir vaginanya yang sudah basah, becek, penuh pelumas kenikmatan. Lalu pada kali kesekian dia mengusap, Mama menyusupkan penis tegang itu ke dalam vaginanya.

Tak terkontrol, Mama mengerang lebih keras dari sebelumnya. Segera ia tutup mulutnya dengan tangannya sendiri.

Vagina Mama melahap penisku sampai ke pangkalnya. Sulit kubedakan apakah ini dunia nyata, alam mimpi, atau aku ada di surga.

Begitu penisku ambles seluruhnya, hampir saja Mama rubuh menindihku, tapi kedua lengannya menopang di atas pundakku.

Kami berpandangan lagi. Kali ini terasa amat begitu tenteram. Teduh. Seperti kusaksikan padang bebungaan yang sedang mekar penuh.

Lalu momen magis itu pun terjadi. Setelah sekian tahun mengendap dalam ingatanku. Mama tersenyum lagi kepadaku. Dulu saat aku lulus TK, sekarang saat aku lulus dari keperjakaanku.

Wajah Mama turun, bibirnya pertama-tama mengecup pipiku kiri-kanan, lalu kami berciuman lagi. Mama menjelajahi mulutku dengan lahap. Bersamaan dengan itu, pinggulnya perlahan naik dan turun, dan dinding vaginanya mengurut penisku yang sedang kelimpungan mengabarkan kenikmatan hubungan intim pertamaku.

Tanganku tergerak dan melingkar di pundak Mama.

Semakin lama hentakan Mama semakin keras. Erangannya diredam bibir dan mulutku. Tapi jika ini bukan mimpi, tidak diragukan bahwa siapapun yang berdiri di balik pintu pasti akan mendengarnya.

Mama mengangkat wajahnya sambil terus menggenjot. Tanganku terlepas dari pundaknya, lalu Mama membimbing tangan itu untuk meremas payudaranya.

Ternyata Mama masih pakai baju. Lalu dengan tak sabaran dia buka satu per satu kancing bajunya, dia tanggalkan baju itu (dengan cara dilempar sembarang), BH yang dipakainya berwarna krem, susah payah dia berusaha melepaskan pengaitnya, lalu tak lama dia campakkan juga BH itu, dan kini Mama telanjang bulat sambil turun-naik menggenjot penisku.

Seluruh adegan itu mustahil hilang. Aku terkena sihirnya.

Tanpa disuruh, tanganku langsung patuh, bahkan kedua-duanya, kukerahkan untuk meremas, mengusap, menggerayangi buah dada Mama.

Mama mati-matian menutup mulutnya demi menahan suara erangan supaya tidak terlalu keras.

Aku mati-matian menahan senyuman. Sulit bukan bualan. Bagaimana mungkin? Kebahagiaan tengah menjalar di seluruh lapisan kulit, setiap sel dan pembuluh darah, bahkan segenap bagian jiwa dan ragaku.

Rasanya begitu tak tertandingi bisa terhubung lagi dengan sumber asalku. Akar keberadaanku. Biang nyawaku. Ibuku.

Keringat bercucuran di sekujur tubuh Mama. Di perutnya, di lengannya, di pelipisnya. Ingin kusesap setiap butir cairan tubuh itu demi mereguk kenikmatan yang semakin tak terkira ini.

Ingin kuteriakkan, ingin kukabarkan pada seluruh dunia. Nikmatnya bersenggama dengan Mama.

Genjotan Mama semakin cepat. Semakin tak beraturan.

Seperti orang kehausan, Mama melumat lidahku dan menyedot-nyedotnya. Aku hampir sesak napas. Erangan Mama semakin tak bisa dibendung.

Pada momen mendekati puncak, Mama melepas ciuman, lalu menempelkan keningnya di keningku. Napas bergejolaknya menyapu wajahku.

Kami saling tatap sangat lekat. Begitu dekat.

Dari lenguhannya, Mama seperti memberi isyarat bahwa dia akan segera tiba di puncak kenikmatannya.

Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku mau menerimanya. Akan kurengkuh jiwa Mama yang hendak melejit ke angkasa. Kupeluk tubuh telanjang Mama seerat yang kubisa. Punggungnya licin oleh basah keringat.

Mama hampir berteriak ketika hentakan pinggulnya tiba-tiba melambat, lalu dia merengkuhku sekuat dia masih punya tenaga. Ditekannya selangkanganku begitu hebat, seakan ingin dia menelan aku.

Pada saat itu aku tahu. Meski tanpa berkata-kata. Meski tanpa bahasa-bahasa. Perasaan Mama telah luluh melumuri sekujur jiwaku.