Ibu Kantin Sekolah
DI ANTARA sekian banyak kantin di lingkungan sekolahku, aku dan beberapa temanku lebih suka jajan di kantin milik Ibu Yeti yang terletak di belakang sekolah, karena selain makanan dan minumannya lebih murah, kami juga bisa menikmati pantat bahenol milik Ibu Yeti.
Ibu Yeti adalah istri dari tukang kebun sekolahku, Pak Rahman. Umurnya kurang lebih 40 tahun. Ibu Yeti bukan sosok wanita yang berparas cantik. Badannya agak gemuk dan pendek sekitar 160 senti meter.
Buah dadanya sudah lembek, tetapi yang membuat kami anak ABG bertekuk lutut hanya karena pantatnya yang semok itu dari wanita yang sudah mempunyai 4 orang anak ini.
Kadang-kadang kami hanya membeli 2 gelas es teh manis dan 2 mangkok mie instan dimakan oleh 5 atau 6 orang karena ingin membicarakan dan menikmati pantat Ibu Yeti. Apalagi kalau ia memakai celana jeans yang ketat, atau celana panjang dari bahan kaos yang tipis sampai segitiga celana dalamnya kelihatan tercetak.
Aku sering membayangkan Ibu Yeti berjongkok buang air besar di jamban dan dari anusnya keluar geluntungan kotoran yang besar.
Kalau sudah begitu, pulang ke rumah aku sudah pasti ngocok kontolku yang tegang.
Aku juga membayangkan memeluk Ibu Yeti dan kontolku kuselipkan di belahan pantatnya, wawwhhh… sedaa…aappp…
Pada suatu siang, pulang dari sekolah aku keluar dari sekolah tidak bareng dengan teman-temanku yang suka ngumpul di warung Ibu Yeti. Mereka menyuruh aku menunggu di warung Bu Yeti. Pada jam 1 atau jam 2 siang seperti siang ini, warung Ibu Yeti sudah sepi.
“Lha, kok sendirian saja, Pul? Mana geng kamu?” tanya Ibu Yeti.
“Masih di sekolah, Bu. Aku keluar duluan…”
“Teh manis ya, Pul… atau es teh?” tanya Bu Yeti.
“Es teh boleh, Bu.” jawabku.
Tidak lama kemudian Ibu Yeti sudah membawakan aku segelas es teh. “Sama ini gratisannya, Pul. Hanya untuk kamu, teman-teman kamu nggak dapet, soalnya hanya tinggal satu.” Ibu Yeti mengasongkan aku sebuah pisang goreng yang ditaruhnya di piring kecil.
“Terima kasih, Bu.” jawabku.
Ibu Yeti melangkah belum sampai ke dapur, tiba-tiba sroooooo…ooowwwwwwwww……. air hujan seperti dituang dari atas langit, soalnya langit tidak kelihatan mendung, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya.
Setelah beberapa saat, langit baru kelihatan mulai gelap. Prangggg…. booommmm…. booommmm….. praaanngg… booooooo…oommmmmmm….
“Saepuuu…uuuulllll….” jerit Ibu Yeti kencang ketika petir menggelegar menggoncangkan atap warungnya.
Aku segera mengambil langkah seribu berlari ke dapur kira-kira berjarak 4 meter dari tempat dudukku. “Ibu lagi cuci beras. Tungguin Ibu di sini, Ibu takut….” kata Ibu Yeti.
Pyaarrrrrr….. pyaarrrrr…. pyaaarrrrr…. kali ini kilat yang menyambar. Ekor apinya seperti menjilat dapur Ibu Yeti. “Puuu…uuulllll…..” teriak Ibu Yeti membalik tubuhnya dari tempat cuci piring.
Sebelum Ibu Yeti memeluk aku, aku segera mengembangkan kedua tanganku merangkul tubuh Ibu Yeti dalam pelukanku.
Oo…. betapa hangatnya tubuh Ibu Yeti meskipun berbau asem kecut keringatnya. Kucium rambutnya dan kuelus punggungnya. “Iiihh…. ngambil kesempatan ya kamu?” kata Ibu Yeti setelah rasa takutnya hilang.
“Ibu mau ditungguin apa nggak? Kalau nggak, aku pergi nih!”
“Pul….Ibu lagi sendirian di sini… pergi…. pergi…. pergi… kalo kamu pergi, besok nggak usah ke sini lagiii..iii…!” ancamnya balik.
Air hujan benar-benar seperti tumpah dari langit. Langit gelap seperti malam hari padahal baru sekitar jam 2 siang. Aku memeluk Ibu Yeti. Kali ini Ibu Yeti membalas pelukanku. “Pul… maafkan Ibu, Ya?” kata Ibu Yeti pelan di dadaku.
Kuelus-elus punggungnya. “Ibu aman dalam pelukanku… mau badai kek…. mau petir kek…. mau angin ribut atau… mau gunung rontok…” kataku menggombali Ibu Yeti.
“Iya, Pul…” jawab Ibu Yeti merasakan kehangatan tubuhku, lalu ia menengadahkan wajahnya memandang aku.
Pyaarrrr…. booommmmm….
Mendapat serangan dari kilat bercampur petir yang menggelegar, Ibu Yeti langsung meringkuk dalam pelukanku. Aku memeluk Ibu Yeti lebih erat lagi, kontolku terasa nyut-nyutan di dalam seragam sekolahku.
“Ibu selesaikan dulu cuci beras,” katanya kemudian memandang aku.
Aku tersenyum dan menyentuh bibirnya yang pucat dengan jari telunjukku. Ia membalas senyumku. “Jangan cerita sama teman-temanmu ya, Pul…?!” kata Ibu Yeti, lalu aku menunduk mencium bibirnya. Ia tidak menolak ciumanku.
Sejenak ciuman bibir Ibu Yeti dan bibirku saling bergelut, lidah kami saling melilit dan ia menarik lepas ciumannya ketika tanganku memegang dadanya. “Ibu nggak punya tetek, Pul. Malu… jangan, ya?” kata Ibu Yeti.
Lalu tanganku turun meremas-remas buah pantatnya yang selama ini menjadi fantasi seksku dan juga fantasi temen-temanku, tetapi yang berhasil adalah aku, gara-gara bunyi petir dan cahaya kilat. Huaahh… haahh… haahhh…
Dibanyak tulisan saya, saya banyak mengambil setting kejadian sehari-hari supaya pembaca tidak usah berkhayal setinggi langit, langsung dibaca dan bisa mengerti alur cerita yang saya sampaikan.
Terima kasih, mohon koreksi…
Ibu Yeti kembali melanjutkan pekerjaannya mencuci beras. Hujan tinggal gerimis, tapi langit masih gelap gulita.
“Iya, sebentar lagi aku cabut, Bro… kalo kalian gak mau kemari!” jawabku.
“Pul… jangan pergi dulu… tungguin ya sampai Bapak datang….” timpa Ibu Yeti di depan kompor mendengar aku bicara dengan Irwan di telepon.
“Iya, sayang….”
“Sini!” suruh Ibu Yeti kembali berdiri di depan tempat cuci piring karena ada beberapa potong sayuran yang mau dicucinya.
Aku mendekat. “Tuh… di lemari ada kue… ambil… makan….” suruhnya.
“Nggak, aku mau ini….” jawabku menyelipkan jari telunjukku ke sela pantatnya.
“Pull…. iihhh…. geli tau, memek aku digobel-gobel begitu…”
Saat itu Ibu Yeti memakai celana panjang dari bahan kaos berwarna merah muda bermotif kembang-kembang. Aku berjongkok di belakang pantat Ibu Yeti, lalu kucium belahan pantatnya. Uuuuhhh…. aromanya…. sedap nian…
“Saepulll…. iddihhh…”
“Masukin ya, sayang…”
“Jangan kurang ajar ya, nanti Ibu lapor sama guru kamu…!”
Aku tidak takut. Aku buka ikat pinggangku dan menurunkan ritsleting celana panjang abu-abuku. Kontolku yang siap berperang berdiri tegak 90 derajat.
Sretttt…. nekat, kutarik turun celana panjang Ibu Yeti bersama celana dalamnya sekaligus. Kugenggam kedua teteknya dari belakang sembari kusodorkan kontolku panjang-panjang ke belahan pantatnya.
“Gila lu… kecil-kecil sudah berani ngentot…!” omel Ibu Yeti.
“Enak, Bu…. apalagi pantat Ibu bahenol begini… Ibu e*k di mulut aku, aku juga mau, Bu…” kataku.
Hujan kembali lebat. “Bantu Ibu tutup warung…!” suruh Ibu Yeti.
Aku melepaskan Ibu Yeti dari pelukanku. Karena Ibu Yeti belum mau segera beranjak dari depan tempat cuci piring, aku berjongkok di belakang Ibu Yeti menyibak belahan pantatnya dengan kedua tanganku
“Saepuuu…uuullllllll…” teriak Ibu Yeti, hanya berteriak tidak berusaha melawan, malahan kedua tangannya berpegangan pada pinggir bak cuci piring, bahkan seolah-olah ia nunggjng untukku.
Kujilat saja dubur Ibu Yeti tidak kenal jijik lagi, padahal entah apa aroma dubur Ibu Yeti yang bentuknya berkerut-kerut berwarna hitam itu. Aku yakin Pak Rahman belum pernah menjilat dubur istrinya ini, aku yang pertama kali.
“Pulll…. ooohh… Pulll…. ooohhh… Pulll….” jerit Ibu Yeti dengan suara tertahan-tahan saat lidahku melilit-lilit dan menusuk-nusuk lubang duburnya mencontoh aksi video porno yang pernah kutonton.
“Sudah…. masukin…. Puu..uulll… nanti Bapak keburu datang….” mohon Ibu Yeti kemudian.
Lidahku melaju lebih jauh. Memeknya kujilat. Tidak bisa kujelasin secara detail aroma memek Ibu Yeti saat itu. Lubang memeknya kutusuk dengan lidah sambil hidungku mencium duburnya. “Saepulllll…. oooooo….. Saepulllll… Saepulllll… Saepulllll… oooooooooo…. haaahhhhhh…” rintih Ibu Yeti sambil menarik napas panjang-panjang dan kedua tangannya berpegangan erat-erat pada pinggir bak. “Enakkkk….. Pullllll…. oooohhhh…..! Oooohhhh….. enaaaa…aaakkkk….”
Kelentitnya sangat keras. Aku berpindah menjilat duburnya lagi. “Ssstttt,,,, aiiihhhh… oooohhh…. Pulllll…. Ibu gak tahan…. Ibu gak tahan, Puuuu…uullll….”
Segera kutikam lubang memek Ibu Yeti dari belakang. “Ooohhh… Saepulll…. kontolmu besarrr…” racau Ibu Yeti ketika kontolku menghujam masuk ke dalam lubang memeknya yang basah dan licin.
Jelas sudah longgar lubang yang sudah pernah mengeluarkan 4 kepala bayi itu, tapi ketika Ibu Yeti menggerakkan pantatnya naik-turun, kontolku seperti mendongkrak lubang memeknya itu. Duihhhlaahhh..…. nikmatnya minta ampun….
Kalau teman-temanku tau, pasti mereka akan iri besar padaku. Mereka yang mengejar-ngejar justru aku yang dapat.
Kupompa cepat lubang memek Ibu Yeti ketika merasakan air maniku mau nembak. Ceppp… creppp… cepppp… ceepppp… oooohhhh…
“Saepulll….. enakkkkk….” jerit Ibu Yeti ketika air maniku menembak tepat di rahimnya.
Crrooottt… ccrrroottt… crroottt… crrooottt…. crroootttt….
“Mudah-mudahan jadi bayi ya, Bu….” kataku dengan napas terengah-engah sambil merendam penisku di dalam memek Ibu Yeti yang basah kuyup sampai kontolku lepas sendiri dan pada saat yang sama aku melihat air maniku menetes di celananya.
“Awas lho kalau kamu cerita-cerita….” ancam Ibu Yeti sambil berlari ke kamar mandi.
Setelah aku membersihkan kontolku, aku membantu Ibu Yeti menutup pintu warungnya.
Handphoneku berbunyi. “Pul, kamu di mana?” tanya Bunda.
“Masih di sekolah, Bun. Nggak bisa pulang, hujan lebat…”
“Bunda mau ke mall, nyusul ya?”
Terpaksa aku minjam handuk Ibu Yeti dan numpang mandi supaya nanti kalau ketemu Bunda di mall, tubuhku nggak bau wanita. Biasanya penciuman wanita lebih tajam dari penciuman laki-laki.
Bunda tau juga, kataku dalam hati.
Setelah memastikan tubuhku bersih, aku memakai pakaian yang dibawa Bunda dari rumah, tapi bagaimana pun kontolku yang tadi digoyang Ibu Yeti masih terasa ngilu.
Aku menunggu Bunda di foodcourt.
Tidak berapa lama, Bunda datang menghampiri aku. “Kita nonton yuk, Pul!” ajak Bunda yang kelihatan cantik setelah rambutnya dipotong pendek dan kuku kakinya dicat warna merah.
Buah dadanya yang mungil terbalut kaos ketat berwarna hijau tampak membayang separuh seperti ditampung di sebuah mangkok, karena Bunda memakai bra model ‘half bra’.
“Kenapa kamu mandang dada Bunda trus sih?”
“Bunda kelihatan sexy memakai BH model gitu…” jawabku.
“He..he.. Bunda jadi malu, sayang… dipuji sama kamu… bukannya yang bess..aarrr…. yang montok sexy? Kan kalian anak muda suka yang besar-besar dan yang montok-montok…??”
“Sudah ah Bun, kalo Bunda mau nonton, ayok…” ajakku.
Berjalan menuju ke bioskop Bunda menggandeng tanganku. Sekali-sekali buah dada Bunda terdorong ke lenganku membuat darah mudaku berdesir, apalagi kenikmatan ngentot Ibu Yeti masih terekam jelas di dalam tempurung kepalaku.
Kami langsung duduk tanpa nomor bangku. Aku mengajak Bunda duduk di pinggir sebelah kiri, karena aku melihat lampu hijau bertuliskan ‘EXIT’ berada di sebelah kiri, kalau nanti film sudah selesai kami bisa cepat keluar dari gedung bioskop melalui pintu keluar yang terletak di sebelah kiri.
“Ihh…. dingin….” kata Bunda baru saja film diputar.
Memang ruangan bioskop kurasakan lumayan dingin berhubung penonton hanya sedikit,
Aku mencoba mengangkat lengan kursi yang membatasi aku dengan Bunda. Ternyata lengan kursi bisa ditekuk dan diselipkan di antara sandaran kursi, lalu aku menggeser memeluk Bunda.
Bunda menyandarkan kepalanya di bahuku.
Dialog panjang membuat aku duduk gelisah, karena aku tidak suka nonton film berdialog panjang, tapi kemudian diselingi ciuman panjang sang aktor dengan sang aktris.
“Yang begini ini senang, ya?” kata Bunda memandang aku dengan tersenyum.
“Senang bagaimana, Bunda… aku belum pernah ciuman. Kalau Bunda mau memberikan aku…” jawabku menggoda Bunda.
“Nggak…! Mulutmu bauk… baru pulang sekolah belum mandi, belum sikat gigi…” balas Bunda.
Aku berani nekat dengan Ibu Yeti dan mendapatkannya, masa aku tidak berani dengan Bunda, kataku dalam hari segera kuraup bibir Bunda yang berada di depanku tanpa berpikir bahwa mulutku pernah tadi kupakai bermesraan dengan dubur Ibu Yeti.
Bunda seperti menginginkan ciumanku. Segera menghujani bibir Bunda yang tipis dengan ciumanku. Aku bermesraan dengan Bunda.
Aku mulai terangsang. Dengan pelan tanganku merayap turun ke dada Bunda. Bunda menarik lepas bibirnya. “Kelihatan tuh yang duduk di belakang…” kata Bunda.
“Biarin…” jawabku. “Yang kucium kan bundaku…”
“Tapi tanganmu merayap kemana-mana…” kata Bunda.
“Hee… hee…” aku tertawa cengengesan tanpa merasa bersalah.
“Sudah tuh, nonton…” suruh Bunda.
Tapi mana film masih nikmat di mata, kalau wanita yang duduk di sampingku lebih merangsang?
“Awwwwhh…..” Bunda menjerit melihat tembakan polisi mengenai dada seorang laki-laki, darahnya mucrat dan pecahan kaca menancap di dada laki-laki itu.
Bunda membungkuk ketakutan tidak berani melihat, tanganku ingin menahan tubuhnya justru tergenggam sebelah payudaranya.
“Masih nggak?” tanya Bunda. “Kita keluar yuk, filmnya begini…”
Ciutt… ciuutt… ciuttt… mobil patroli polisi berkejar-kejaran dengan mobil musuh… dorr… dorr… prrangg… dorr…
Bunda menunduk lagi. Kali ini aku sudah siap. Dalam ketakutan, payudara Bunda kugenggam dan kuremas.
Bunda baru sadar sewaktu payudaranya menjadi kencang bersamaan dengan itu suara mobil patroli sudah menghilang, film kembali dengan dialog.
“Kesempatan, ya…?!! Keluar yuk, lama-lama di sini nanti Bunda basah semua deh tetek Bunda kamu remas-remas…”
Aku langsung teringat dengan cerita-cerita seks yang pernah kubaca apa yang disebut Bunda ‘basah‘ itu.
“Keluarin dong, Bunda… kenapa ditahan?” kataku.
“Gila kamu… di bioskop begini…”
“Tapi aku juga nggak tau sih gimana cara keluarinnya… cuma tau wanita itu bisa keluar.”
“Masturbasi…” bisik Bunda ke telingaku. “Kalau laki-laki onani…”
“He.. he..”
“Tertawa berarti sering, ya… sudah yuk, kita keluar…”
Kutarik tangan Bunda ke celanaku. Bunda memandang aku dengan mata tak berkedip. Mau suara tembakan, mau suara kejar-kejaran mobil patroli polisi sudah tidak dihiraukan Bunda.
Kepala Bunda terkulai di pundakku, sedangkan tangannya meremas-remas pelan kontolku yang tegang dari luar celanaku.
Untuk satu detik, pengait BH Bunda kutarik terbuka. Tangan Bunda sudah tidak teratur meremas kontolku, apalagi payudaranya yang lembut mungil itu kuremas…
“Bun… Bun… ohh… Bun…” erangku. “Aku… aku mau…”
Bunda buru-buru mengeluarkan kontolku dari celanaku sembari dinaikkan kaos dan BH-nya. Baru saja mulutku menempel diputing payudara Bunda, air maniku sudah muncat di tangan Bunda.
Saking nikmatnya detik-detik air maniku muncrat membuat aku menghisap puting Bunda dengan kuat.
“Oooohhhh…” desah Bunda menarik lepas putingnya, lalu duduk tersandar di kursi dengan mata terpejam.
Untuk beberapa saat, Bunda baru memberikan punggungnya padaku untuk BH-nya kukait kembali.
“Maafkan aku Bun, aku bersalah!” kataku.
“Dijaga ya, kalau nanti kita pulang ke rumah ditanya papamu, jangan bilang kita nonton, ya?”
Aku jadi malu sewaktu bertemu dengan Pak Rahman di sekolah karena aku telah mencabuli istrinya.
Lalu bagaimana aku menghadapi teman-teman gengku, dan juga guru-guruku?
Aku benar-benar merasa bersalah.
Kemudian aku jadi tenang melihat Ibu Yeti melayani teman-temanku di kantin sekolahnya tetap seperti dahulu, tetapi terhadap aku, aku melihat Bu Yeti suka curi-curi pandang padaku.
Sewaktu aku mau pergi dari kantinnya, sambil mengambil gelas-gelas kosong bekas minum kami di atas meja, Bu Yeti berkata padaku, “Pulang sekolah ke sini ya Pul, Ibu mau nitip.”
Paginya aku mau berangkat ke sekolah, Bunda menyuruh aku minta daun pandan dengan Pak Rahman, Bunda mau bikin kue.
Pulang sekolah aku buru-buru ke kebun Pak Rahman. Pak Rahman sedang duduk di bawah pohon mengipas-ngipas dadanya dengan topi sambil merokok.
Aku masih saja merasa tidak enak dengan Pak Rahman, padahal Pak Rahman tidak apa-apa denganku.
“Pul… nggak ada tempat duduk…” kata Pak Rahman padaku.
Aku berusaha membuat jantungku tenang sewaktu aku duduk di rumput.
Begitulah orang kalau melanggar hukum, hidupnya pasti tidak akan tenang seperti dikejar-kejar kesalahannya.
“Aku mau minta daun pandan, Pak. Bunda mau bikin kue…” kataku.
“Itu banyak, Pul.” tunjuk Pak Rahman, lalu Pak Rahman mengeluarkan sabit dari keranjang perkakas kerjanya.
Pak Rahman pula yang memotong daun-daun pandan itu untukku. “Sudah mau ujian ya, Pul?” kata Pak Rahman duduk kembali di tempatnya. Daun pandan yang sudah dipotong Pak Rahman kumasukkan ke tas sekolahku. “Kalau kamu sudah lulus, kamu sudah tidak kesini lagi ya, Pul?” kata Pak Rahman sedih. “Kamu kuliah dimana, Pul?”
Pak Rahman menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Iya Pak.” jawabku pelan. “Tapi aku kuliahnya masih disini, kok, Pak…”
“Bapak kenal dengan banyak siswa yang sekolah di sini Pul…, satu persatu pergi dan tak kembali, sementara Bapak semakin tua, he..he..”
Daripada aku banyak ngomong dan semakin bersalah melihat wajah Pak Rahman, aku segera mengangkat pantatku dari rumput. “Aku pulang dulu ya, Pak.” kataku.”Terima kasih.”
Berjalan sampai di depan kantin Ibu Yeti aku melihat rolling door warungnya sudah ditutup separuh.
Aman, kataku berusaha menpercepat langkahku.
“Pul…”
Astaga… aku kaget!
Rupanya Ibu Yeti berada di samping kantin sedang memegang keranjang sampah. “Ibu tunggu kamu kemarin, kenapa gak datang, Pul?” suara Bu Yeti kedengaran kecewa.
Melihat wajah Ibu Yeti yang kecewa itu, justru membuat jantungku berdebar-debar napsu padanya membayangkan lubang memeknya yang kumasuki kontol.
“Maaf Bu…”
“Ibu menyediakan makanan buat kamu sampai basi, Pul…”
Mau aku membayar harga makanan Ibu Yeti, pasti tidak akan terbayar olehku, karena nilai Ibu Yeti menunggu aku pasti harganya lebih mahal dari sepiring makanan.
Menunggu itu kata orang, pekerjaan yang membosankan, apalagi menunggu untuk sebuah kemesraan, karena aku yakin Ibu Yeti belum kehilangan rasa kontolku di lubang memeknya.
“Masuk, Pul…” suruh Ibu Yeti.
Langkahku menuju pulangpun terhenti. Masuk ke kantin Ibu Yeti kulihat ada sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah dipan yang diletakkan di samping dapur seperti tempat untuk duduk lesehan karena di depan dipan terdapat sebuah jendela yang menghadap ke kebun Pak Rahman.
Aku meletakkan tas sekolahku di bangku kantin, lalu pergi duduk di dipan. Ibu Yeti yang sudah mencuci tangan juga duduk di dipan.
Aku memandang Ibu Yeti. Ibu Yeti yang memakai celana legging warna hitam itu tampak segumpal daging di selangkangannya.
Aku merasa kontolku tegang melihatnya. Tetapi memandang Pak Rahman di tengah kebun sana sedang mencangkul tanah, masakan aku tega mencabuli bininya?
Tetapi kalau bininya mau dicabuli, kenapa aku harus tidak tega dengan Pak Rahman, pikirku pula.
Memang serba dilematis. Aku harus menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.
Sebaliknya dengan Ibu Yeti, ia tidak bisa menyembunyikan kenikmatan yang pernah ia rasakan dari kontolku yang pernah merampok lubang memeknya, ia pun pergi mengunci pintu rolling door dan menutup jendela.
“Kamu nggak pengen, Pul? Ayo…” ajak Ibu Yeti melepaskan celana lenggingnya.
Aku tidak membiarkan Ibu Yeti lagi. Belum semua pakaiannya dilepaskan, aku sudah merobohkan Ibu Yeti di dipan.
Aku tubruk selangkangannya yang masih tertutup celana dalamnya berwarna krem kumal itu.
Bau selangkangan Ibu Yeti yang seharian sibuk berjualan bolak-balik melayani pembeli bisa dibayangkan…
Bau selangkangan Ibu Yeti bagiku justru sebagai ‘bumbu penyedap‘. Masakan yang tanpa atau kurang bumbu penyedap rasanya pasti kurang ‘afdol’.
“Puu..ull… ayo, Pul… cepet masukin kontolmu…” rintih Ibu Yeti.
“Sabar Bu…” sahutku. “Aku belum puas menikmati tempek Ibu…”
Kulepaskan celana dalam Ibu Yeti. Kaosnya juga dan BH-nya sehingga tubuh Ibu Yeti telanjang di depanku.
Setelah itu kubuka lebar jendela memandang kebun Pak Rahman dan Pak Rahman tampak masih sibuk mencangkul. Aku jadi kepikiran seolah-olah Pak Rahman kusihir jadi blo’on, istrinya ditelanjangi oleh laki-laki lain ia tidak tau.
Jendela sengaja tidak kututup lagi biar Pak Rahman melihat aku menghisap tetek bininya dan jariku mencolok-colok lubang memek bininya.
“Ohhh… oohhh… Puu..uulll… oh, Puu..uull…” rintih Ibu Yeti.
Setelah itu jariku sampai basah dan bau memek Ibu Yeti. Belum puas, kini kumasukkan kontolku ke lubang memek Ibu Yeti.
Aku menghimpit tubuh telanjang Ibu Yeti di atas dipan sambil menggoyang kontolku maju-mundur di lubang memeknya yang basah licin.
Ibu Yeti mengimbangi kocokan maju-mundurku kontolku dengan memutar-mutar pinggulnya sambil mulutnya ngeracau, “Ohhh… enak Pul… kontolmu… cepat keluar… shiittt… ahhhh…. oohhh… enaknyaaa… Pul, nikmat… keluarin Pul, Ibu sudah gak tahan… shiitt… ooohhh… yeaahhh… ooohh… yeaaahhh… Pull…”
Crroootttt…. crrooottt… crroottt.. crroottt…
Selesai sudah, napasku ngos-ngosan dan tubuhku yang loyo seperti terdampar di negeri tak bertuan.
Setelah aku sadar, aku disuruh mandi oleh Ibu Yeti dan Ibu Yeti menyediakan aku handuk bersih.
Selesai mandi aku disuguhi Ibu Yeti jamu, dicampur madu asli dan kuning telor ayam kampung omega3 plus biar kontolku cepet ngaceng lagi, kata Bu Yeti.
Pak Rahman datang dari kebun menemukan aku dengan bininya berdua di kantin, ia duduk saja merokok tak kelihatan sedikitpun ia curiga padaku, bahkan selesai mandi Ibu Yeti keluar dari kamar mandi hanya mengenakan kutang dan celana dalam, malah disuruh oleh Pak Rahman membuatkan kopi.
Kopi kemudian dihidangkan di depan aku dan Pak Rahman, Ibu Yeti juga hanya pakai kutang dan celana dalam saja.
Tidak sampai kopi segelas habis kuminum, aku sudah minta izin pulang membawa kenangan indah ngentot dengan Ibu Yeti untuk yang kedua kalinya.
Berikutnya entah kapan lagi, pasti Ibu Yeti akan nagih…