TIARA… (No Sara)
Sejujurnya, cerita ini tercipta di saat setelah membaca salah satu cerita berjudul “ELENA” karya dari suhu @bekhi yang sampai sekarang belum kelar-kelar. Dan saya sudah keburu baper dengan cerita tersebut, khususnya pada karakter si Elena dalam cerita, karena dulu, sedikit punya pengalaman sama seperti di cerita tersebut.
Well! Karena berdasarkan hal tersebut, akhirnya saya tak mampu di buat tidur beberapa hari. Dan terciptalah kerangka karya ini, mengambil genre dan latarbelakang yang sama dengan cerita Elena itu.
Tapi….
Tentu saja, akan saya kembangkan sesuai dengan imagi saya setelah membaca cerita tersebut, dan juga berdasarkan sebuah pengalaman yang pernah hadir dalam hidup saya. Dan satu lagi, sesuai dengan ciri khas saya dalam membuat cerita selama ini.
Semoga teman-teman reader di mari, tidak menghujat saya sebagai plagiat atau copaser, karena saya sudah menjelaskan hal ini di awal. Dan juga semoga teman-teman terhibur, menyukai cerita ini.
Jadi….
Mari kita memulai cerita ini.
Keluarga Kecilku
Namanya Andini, lebih tepatnya Andini Kirana – adalah wanita yang ku nikahi setahun yang lalu. Wanita yang telah menjalin hubungan ‘Berpacaran’ denganku selama dua tahunan, setelah ku rasa diri ini, serta keuangan, dan pekerjaanku pun telah siap sepenuhnya, maka ku beranikan diri ini untuk melamarnya dihadapan kedua orang tuanya.
Wanita yang memiliki kecantikan yang sangatlah luar biasa.
Jangan tanyakan padaku, kenapa aku bisa se percaya diri itu menyampaikan kecantikan Andini.
Di pekerjaanku sebagai seorang wiraswasta di bidang Material Building ini – hasil dari perpanjangan, lebih tepatnya melanjutkan – usaha kedua orang tua yang telah di jemput sang khaliq 3 tahunan yang lalu, tentulah bukan hal baru bagiku bertemu dengan berbagai jenis wanita, baik itu di mulai dari yang biasa-biasa saja, sampai yang kecantikannya sungguh di luar nalar. Tapi, bagiku, Andini kecantikannya malah lebih di atas lagi. Jangan tanyakan padaku tentang bagaimana kecantikan istriku yah, silahkan kalian menanyakannya pada semesta. Tanyakan pada-NYA, kenapa, wanita yang bersamaku saat ini, yang telah ku taklukkan – cantiknya Masya Allah banget.
Jadi tak adalagi alasan bagiku untuk mencari wanita cantik lainnya di luar sana, serta sebagai alasan terbesar bagiku untuk menghentikan kebiasaanku di kala muda alias bujangan, mencari pesolek liar di luar sana, setelah ku nikahi Andini setahunan yang lalu.
Memiliki rumah sendiri yang lumayan besar, dan luas tanah yang sedemikian rupa, hasil warisan dari kedua orang tua, serta karena aku hanyalah seorang anak tunggal saja, alhasil, hidupku amat sangatlah di rundung keberuntungan, bukan? Serta di gubuk indah peninggalan orang tua ini, pun, di huni oleh sesosok bidadari berkerudung cantik, juga bukanlah sesuatu yang tak dapat di katakan sebagai super keberuntungan.
Ya, hidupku sangatlah beruntung. Amat sangat beruntung malahan. Namun semua keberuntungan itu, tentulah tak sempurna jika tak hadirnya sesosok malaikat kecil dalam rumah tangga kecilku ini, bukan?
Dan itulah yang menjadi masalah kecil di antara kami berdua. Bukan masalah yang sering kami pertengkarkan, sih. Melainkan sepik-sepik halus yang sering di dengar oleh istri, baik itu keluarga, kawan maupun sahabatnya yang kerap kali menyinggung tentang hadirnya malaikat kecil di tengah-tengah kehidupan kami, mencetuskan hadirnya perasaan yang tak mengenakkan dalam diri Andini. Bodohnya, dia jarang menyampaikan kegalauannya itu pada suaminya sendiri.
Keseharian Andini hanya sibuk sebagai konten kreator, yang menjajakkan usaha ‘kecil-kecil’annya melalui platform social media. Pun yang baru ia tekuni selama 4 bulanan ini.
Dulu Andini bekerja sebagai teller Bank Swasta yang cukup terkenal, dan aku juga salah satu nasabah rutin di bank tersebut, serta menjadi tempat pertemuan kali pertama dengannya saat aku menyetorkan hasil usahaku, sehingga perlahan tercetuslah rasa di dalam sana hingga membuat kami sepakat untuk meresmikan rasa yang terbalaskan itu menjadi sebuah hubungan special, bahkan lanjut ke pernikahan – namun karena ku nikahi, serta paham, jika suaminya ini memiliki kemampuan yang teramat sangat layak buat ia tinggalkan pekerjaannya itu, maka Andini menyetujui salah satu syarat receh dariku itu, yaitu, berhenti bekerja.
Dulu juga Andini memiliki pasangan alias kekasih sebelum memutuskan berpindah ke pelukanku. Bahkan, jauh hari sebelum muncul rasa ingin menikahi, Andini telah bercerita tentang masalalunya yang tak lagi berstatus sebagai seorang gadis yang memiliki kemurnian. Karena kemurniannya telah di renggut atas dasar suka sama suka oleh kekasih pertamanya itu, lalu berpindah lagi ke kekasih keduanya. Hingga terjatuh di pelukanku yang sebagai kekasih ketiganya bahkan hingga sekarang. Awalnya memang sakit ketika mendengar ceritanya itu, cuma aku sadar diri, jika aku juga bukanlah pria yang sempurna. Keperjakaanku lepas di tangan pesolek liar, bahkan nyaris seminggu sekali, aku pasti kan menyalurkan hasrat kelelakianku bersama pesolek liar maupun gadis yang tengah menjalin hubungan denganku juga kala itu.
Jadi amat sangatlah tak wajar jika aku tetap mempertahankan ke-egoisanku untuk memikirkan, bisa mendapatkan kemurnian gadisku itu di awal malam pernikahan.
Alhasil, setelah menyadari aku tak boleh egois, akupun menerima Andini apa adanya. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya.
Dan Alhamdulillah….
Keputusan untuk menikahinya adalah keputusan yang teramat sangat benar ku lakukan. Semua masa lalunya yang buruk, terbayarkan dengan memberinya perhatian penuh padaku. Cintanya padaku sangatlah besar, dan aku bisa merasakannya. Andini sangat mencintaiku. Jangan tanyakan mengapa aku bisa seyakin itu terhadapnya, karena hanya aku yang mampu menjawabnya. Karena aku yang merasakan bagaimana sikap, perhatian serta kasih sayang yang Andini berikan padaku selama menjadi istri.
Sudahlah….
Aku tak ingin menceritakan banyak hal, apa saja yang telah ia berikan padaku.
Salah satu contohnya, ialah di kala aku pulang sehabis bekerja. Andini tak akan pernah lupa membasuh sepasang kaki ini dengan air hangat. Selalu yang ia katakan padaku, jika untuk menghilangkan pikiran yang penak mengenai pekerjaan di luar sana, maka selain mandi, cara ini juga akan membuat suaminya tak membawa masalah di luar sana ke dalam rumah. And its work.
Tapi…
Sekali lagi tak akan pernah ku lupakan, yaitu, kami masih punya masalah dalam rumah tangga. Yaitu masalah belum adanya malaikat kecil yang hadir dari rahim Andini untuk menyempurnakan kehidupan kami.
Telah banyak upaya yang kami lakukan, kami sudah berobat ke dokter ahli, kami berdua sama-sama normal. Kami juga tiap malam bekerja keras untuk menghadirkan malaikat kecil itu. Namun nyatanya, apapun usaha yang kami lakukan, jika belum menjadi kehendak-NYA, maka mustahil itu terjadi.
Yang kami lakukan hanyalah, berdoa, berserah diri kepada sang khaliq.
Apalagi pernikahan kami masih seumur jagung, jadi masih mampu kami kejar ketinggalan tersebut.
…
…
…
Sejauh ini, aku belum menyebutkan nama pada kalian ya?
Baiklah…
Aku Rudi Irawan. Silahkan kalian bisa memanggilku Rudi saja.
Umurku masih belum tua. Masih 30 tahun sebulanan yang lalu. Sedangkan Andini, masih berumur 28 tahun, selisih 2 tahun denganku. Jadi kami masih punya banyak waktu untuk meningkatkan usaha lagi, dan ketekunan kami untuk dapat menikmati hidup yang sempurna dengan kehadiran malaikat kecil nantinya. Dan semoga saja, atas dari usaha kami yang semaksimal itu, sang khaliq mengijabah doa dan keinginan kami dalam waktu dekat. Aminn Allahumma Amin.
Namun….
Sekali lagi namun….
Semua itu….
Kehidupan yang nyaris sempurna itu ku dapatkan, rupanya harus berakhir di genapnya 1 tahun 3 bulan pernikahanku.
Hati yang telah menetap pada Andini selama ini, akhirnya mulai terbelah. Aku tak mampu lagi untuk menyembunyikan ini semua pada kalian, jika aku, Rudi Irawan, kalah. Pertahanan ini kalah hanya oleh sesosok yang sama sekali tak pernah terbayangkan, kan hadir dalam hidupku. Hidup kami berdua.
Sosok gadis kecil, periang, manja, lucu, centil tapi tak sarat akan menggoda, memiliki rambut lurus sebahu, yang kerap kali di ikat dua ke atas seperti yang biasa ku lihat pada penampilan para idol Girl band. Senyum yang begitu mempesona, senyum yang membuat sepasang matanya menyipit bahkan nyaris tak terlihat, apalagi saat ia tertawa.
Satu-satunya penyebab, hati ini akhirnya mulai terbelah.
Mulai hadir dan terpikirkan oleh hati ini….
Dialah….
Sosok gadis yang hadir di tengah-tengah kehidupanku dan Andini.
Sosok gadis bertubuh mungil, yang baru berumur 19 tahun, yang melanjutkan kuliahnya di ibu kota, yang pada akhirnya – karena keisengan istri untuk menghadirkan keramaian di dalam rumah bertingkat dua yang sebesar ini, yang memiliki jumlah kamar 6 – tercetuslah untuk membuka jasa kos-kosan di lantai atas, yang jumlah kamarnya terdapat 3 kamar dengan aturan yang ketat dari istri sebagai wanita yang taat agama. Salah satu aturan ialah, kos-kosan hanya khusus putri, berstatus mahasiswi, serta larangan keras untuk membawa pria di dalam kamar. Bertamu hanya sampai jam 10 malam, pun, hanya menerima tamu di ruang tamu bawah. Serta tak lupa, ketiga kamar ku lengkapi dengan toilet dan AC serta beberapa perabot umum di dalamnya, dengan tarif 2,5 juta perbulan.
Jadi tak ada alasan lagi jika tarif kosan yang di cetuskan Andini, bertarif mahal. Apalagi ini ibu kota. Semuanya tak ada yang murah di sini.
…
…
Semua sebabmuasab, berawal dari obrolan kecilku dengan Andini setelah menuntaskan kewajibanku sebagai seorang suami padanya.
“Ayah… belum ada yang datang buat ngekos di sini. Fufufufu” kata istriku setelah kami berupaya untuk mendinginkan suasana dari panasnya suasana pertempuran sebelumnya.
“Sabar. Nanti juga akan ada yang datang, kok, bun” balasku padanya.
“Tapi ini udah hampir sebulan, yah”
“Hmm, mau ayah ngasih masukan?” tanyaku.
“Apa tuh yah?”
“Ganti syaratnya… karena jika kamu mematok tarif 2,5 juta perbulan, mungkin saja yang sekeyakinan dengan kita, agak berat untuk ngekos di tempat kita. Bagaimana jika kamu merubah syaratnya, tak perlu menerima yang sekeyakinan dengan kita. Bisa untuk semua agama. Bagaimana?”
Andini menatapku…
Awalnya dari ekspresi dia, menunjukkan agak berat jika menerima anak kos yang tak seagama dengan kami.
Tapi setelah ku yakinkan, maka pada akhirnya, anggukan kepalanya sebagai bentuk jika ia akhirnya bisa membuka diri, dan mau menerima anak kos yang tak segama dengan kami.
Hingga….
Sore itu, saat aku masih di toko – oh iya, usaha yang ku geluti adalah toko bahan bangunan yang sudah mempunyai cabang sebanyak 4, yang tersebar di beberapa tempat. Tapi aku selalu stay di toko utama yang paling pertama di bangun, dan tentu saja yang omsetnya paling besar – istri dengan suara yang riang, menelfon.
“Assalamualaikum ayaaaaahhhh….”
“Wa’alaikumsalam, bun”
“Akhirnya yahhh”
“Akhirnya apa, bun?” tanyaku, lumayan penasaran.
“Akhirnya ada juga yang mau ngekost di rumah…. hmm…. tapi…” Andini sengaja menggantung. Tapi aku langsung bisa menebak, karena ini semua terjadi karena aku yang memberi jalan padanya.
“Tapi yang mau ngekos bukan muslim ya?”
“Hu um. Kok ayah tahu?”
“Cuma nebak aja. Gak apa-apa bun, selama sopan dan baik, why not”
“Alhamdulillah, kirain ayah gak mau”
“Ayah tidak sekeras keyakinan yang bunda jalankan sekarang, sayang”
“Hehehe, ya udah… jadi bunda mau tanda tangan dulu ama tuh anak”
“Hmm anak? Yang pasti perempuan kan?”
“Iya lah. Bunda gak mau buka buat cowok. Bunda takut…. hehehe”
“Oh ya udah. Silahkan bunda atur…. eh iya, namanya siapa bun?”
“Namanya Tiara… Tiara Nasution, yah. Anaknya lucu…. hihihi, pasti ayah bakal gemas ma tuh anak”
“Ohh…. oke”
“Ya udah yah, udah dulu…. Assalamualaikum” pungkas istriku.
“Wa’alaikumsalam…..”
Setelah mengingat beberapa penggal kejadian di awal-awal itu, aku menghusap wajahku. Hadir perasaan yang menyakiti di dalam sana. Perasaan yang semakin lama, kian menyiksa.