BADAI NAFSU
Pak Juha menatap nanar ke sesosok tubuh molek yang tengah merintih kesakitan di atas bale saung ladangna. Sementara petir saling berkelebat susul menyusul diiringi gelegar guntur bersahut-sahutan. Hujan makin deras. Hujan yang diharapkan oleh seluruh penghuni dusun, seolah menjadi kutukan baginya saat ini.
….
BAB I-a
Dusun kecil yang terletak di lereng gunung Papandayan itu begitu terpencil. Jangankan teknologi, listrik pun belum mampu menerangi dusun tersebut. Penerangan mereka berasal dari lampu tempel dengan bahan bakar dari damar atau getah pinus. Televisi adalah suatu barang yang sangat mewah di dusun tersebut. Yang hanya di punyai oleh Juragan Somad yang menjadi lurah kampung sekaligus raja kecil di dusun itu. Sebagian besar masyarakat dusun Cisoka, begitulah nama dusun itu dikenal, sebagian besar hidup dari bertani dan berkebun. Itu juga mereka hanya sebagai penggarap dari Ki Lurah Somad yang ladang dan sawahnya miliknya seluas mata memandang. Tempat mereka berteduh dan beristirahat masih berupa rumah-rumah panggung beratap rumbia berdinding bilik bambu. Jaman seakan tak beranjak maju dari dusun Cisoka.
Petang baru saja tiba, kabut dingin mulai turun menyelimuti lereng Gunung Papandayan. Tubuh-tubuh lelah yang seharian menghela raga di kebun atau sawah sedang menikmati kesenyapan tempat abadi mereka dengan sebatok kopi jagung yang kental dan kepulan tebal selintingan pelepah muda daun aren yang dikeringkan. Sebagian pria dewasa dan anak-anak bersiap dengan kain sarung terlilit untuk pergi ke langgar, menunggu kentongan dan beduk magrib terdengar. Beberapa waktu ini, mereka makin khusyuk berdoa, setelah lebih dari delapan warsih, hujan tak jua kunjung turun membasahi tanah-tanah belahan jiwa mereka. Tanah yang menjadi ibu mereka, tengah sekarat kehausan, entah apa Kehendak dari Gusti Alloh dengan musim yang makin tak menentu itu.
Pak Juha, salah satu penggarap ladang Juragan Somad, baru tiba di rumah bersamaan dengan kentungan langgar yang dilanjut oleh beduk. Letak rumahnya yang jauh dari langgar, membuat kumandang adzan hanya terdengar sayup-sayup. Lentera di beranda rumahnya berkelap-kelip dihembus angin dingin.
Di undakan rumah telah berdiri Bu Esih, istri Pak Juha, dengan raut muka khawatir, “Kenapa dengan tanaman singkongnya, Akang?”
Pak Juha tak menjawab, hanya menghela napas dalam, kemudian mencuci kaki telanjangnya di sebuah pancuran yang terletak di sebelah kiri rumah, air pancuran yang mengalir kecil, bening dan dingin. Tak mampu mendinginkan hatinya yang sudah berhari-hari kesal dengan pikiran yang ruwetnya bukan main. Gagang dan mata cangkul yang biasanya kotor oleh lumpur, kini hanya dipenuhi debu dari tanah kering kerontang ladang garapannya.
Bu Esih tak terlalu banyak bicara. Hingga suaminya selesai mandi dan bersantap malam. Dilayaninya dengan sepenuh hati. Setelah hampir berumah tangga selama tujuh belas tahun, ia sudah hapal benar watak suaminya. Setelah beristirahat sejenak, tanpa diminta pun tentu sudah langsung bercerita tanpa dimintanya. Tugasnya sekarang hanya membuat nyaman sang Suami tercinta dengan menghidangkan sebatok teh tubruk panas dan pijatan lembut dipundaknya.
Rumah pangggung itu hanya terdiri dari tiga petak ruangan. Dua kamar tidur yang diisi oleh Bu Esih dan Pak Juha, yang satu lagi diisi oleh Imas, putri semata wayangnya yang telah berusia hampir tujuh belas tahun. Sementara petak ke tiga adalah ruang keluarga tempat mereka sekeluarga bercengkrama. Hanya berisi sehelai tikar, satu lemari untuk barang-barang dapur. Di tikar itulah kini Pak Juha sedang menelungkup dipijat dengan penuh kelembutan oleh Bu Esih, istrinya. Sementara Imas sudah dari sebelum bapaknya pulang, ia sudah berangkat ke langgar, belajar mengaji sampai waktu Isya menjelang.
Saat itu keadaan sunyi tanpa percakapan, kecuali suara jangkrik dan sejenisnya bernyanyi di sekitar rumah panggung tersebut. Sesekali terdengar suar burung hantu di pohon Kiara di belakang rumah.
Pak Juha membalikkan badannya, kemudian bangkit dan duduk dengan bersandar ke dinding bilik rumahnya. Tangannya meraih batok kelapa berisi teh tubruk buatan istrinya, satu seruputan tiga helaan napas. Dalam sinar lentera minyak damar, dia menatap wajah istrinya yang balas menatap sambil tersenyum lembut. Wajah manis yang tak berubah banyak setelah hampir tujuh belas tahun dinikahinya. Mereka menikah saat Bu Esih masih berusia lima belas tahun lebih lima bulan, dan dia sendiri saat menikahi Bu Esih ketika berusia delapan belas tahun. Pernikahan muda, namun wajar untuk ukuran orang-orang desa. Dinikahkan pun atas perjodohan orang tua mereka. Cinta dan kasih sayang pun muncul setelah berbulan-bulan mereka berumah tangga. Esih yang manis dan lembut, berhasil diperistrinya. Dan wajah manis itu menurun persis ke Imas, putri satu-satunya. Apabila mereka sedang berdampingan, ibu dan anak itu persis seperti pinang dibelah dua. Hanay cahaya kedewasaan dari Esih, dan raut muka kekanak-kanakan dari Imas lah yang membedakan mereka berdua.
“Sekarang ladang ketela yang dihancurkan babi hutan, Ma,” kata Pak Juha tiba-tiba. Membuang pandangannya ke arah api lentera yang berkelap-kelip dihembus angin yang menerobos dari lubang-lubang kecil bilik yang kurang rapat.
“Duh …, Gustiii!” Bu Esih menghela napas panjang.
“Lubang-lubang jebakan sama sekali tak bermanfaat,” lanjut Pak Juha. “Mereka selalu datang dari arah yang lain!” kepalanya menggeleng-geleng sedih.
“Ya sudahlah, Kang. Berdoa sajalah, semoga babi hutan itu tak menghancurkan seluruh ladang kita,” hibur Bu Esih sambil meraih tangan suaminya yang kemudian diusap-usapnya dengan penuh kelembutan.
“Sudah separuh ladang kita hancur, Ma,” Pak Juha tersenyum pahit. “Kalau pun berhasil dipanen, untuk bagian Juragan Somad pun belum tertutupi, tak ada sisa untuk kita, Ma!”
“Tidak apa-apa atuh, Kang. Rejeki, Gusti Allah yang mengatur,” Bu Esih tersenyum bijak. “Ngomong-ngomong, bulan depan Si Imas sudah genap enam belas tahun, dan agaknya sama Solihin sudah dekat. Apa mungkin …,” Bu Esih mencoba mengalihkan percakapan.
“Solihin?” Pak Juha mengerutkan keningnya sambil mengingat-ingat.
“Solihin anak bungsunya Kang Engkos yang sudah lima bulan baru pulang dari pesantren. Kan Solihin yang mengajar mengaji Si Imas sama kawan-kawannya di langgar sehabis maghrib,” jelas Bu Esih.
“Mmm …,” Pak Juha mengangguk-angguk.
“Jadi kapan kita bisa mengajak mengobrol Kang Engkos untuk besanan?” tanya Bu Esih.
Pak Juha malah menghela napas panjang, “Maaa …, Ema. Bagaimana mau hajatan, lah kita sedang susah begini, ladang diobrak-abrik babi hutan, sisa buat kita tidak ada, hutang benih dan pupuk ke Juragan Somad makinmenumpuk. Jangan mengada-ada kamu ah!” nada suara Pak Juha meninggi.
“Bukan …, bukan cepat-cepat maksud Emak mah, Kang. Maksudnya kita rencanakan dulu, kita ngobrol dengan Kang Engkos ….”
“Stop …, heup! Jangan suka menambahkan pikiran yang sedang ruwet!” Pak Juha sedikit membentak. Bu Esih cepat-cepat menunduk, pengalihan pembicaraan dari ladang yang hancur ke topik yang lain ternyata sia-sia. Pak Juha memang sifatnya keras, mudah naik darah. Tapi Bu Esih masih punya cara jitu yang lain untuk meluluhkan hati yang sedang panas dari suaminya itu.
Perlahan-lahan ia merubah posisi duduknya, seolah tak sengaja kain yang dikenakannya tersingkap sampai hampir ke pangkal paha, memperlihatkan kulit paha yang kencang, walau pun tidak seputih kulit wanita kota, namun dikarenakan Bu Esih jarang turun ke ladang dari semenjak perawan, untuk ukuran perempuan desa, termasuk paling putih. Kemudian punggungnya sengaja direngggangkan. Akibatnya, kain kebaya sederhana busana sehari-hari perempuan dusun yang dikenakannya tertarik, menyebabkan satu kancing paling atas terlepas oleh tekanan payudara yang membusung padat.
“Akang …,” kata Bu Esih sedikit mendesah manja.
Agaknya, malam itu Bu Esih memang sedang apes. Pak Juha malah membuang muka dengan rahang mengeras. Keruwetan dan beban pikiran yang bertumpuk, membuat gairahnya benar-benar tenggelam jauh ke dasar lubuk yang tak dapat digapai oleh pemandangan indah dihadapannya.
“Ahhh …,” Bu Esih mengeluh dalam hatinya. Dia benar-benar kalah. Akhirnya, sepasang suami istri itu kembali dalam keheningan bersama pikirannya masing-masing.
Tapi keheningan itu tak berlangsung lama. Ketika sesaat kemudian terdengar derap langkah kaki lebih dari satu orang di halaman rumah mereka. Derit papan beranda terdengar, tanda ada orang yang berjalan di atasnya.
“Ha! …, Juha!” terdengar suara panggilan di depan, disertai ketukan di pintu depan.
“Barep?” gumam Pak Juha ketika mengenal suara yang memanggil namanya itu. Sepasang suami istri itu saling pandang, Bu Esih keheranan, sementara Pak Juha raut mukanya sedikit berubah. Barep adalah hansip sekaligus tukang pukul Juragan Somad, setiap kedatangannya ke rumah warga selalu bukan merupakan kabar baik.
“Haaa! Juhaaa!” suara panggilan makin keras, ketukan berubah menjadi gedoran.
“Iya sebentar!” Bu Esih segera berdiri, kemudian dengan langkah terburu-buru menuju pintu dan membukanya.
Begitu pintu terbuka, tampaklah sesosok tubuh tinggi besar dengan kumis tebal tengah menatapnya dengan mata sedikit melotot dan mendengus dengan napas sedikit sesak. Sementara seseorang yang lain yang bertubuh lebih pendek dan gempal, tengah menyeringai dengan mata menyipit, saat melihat pemandangan indah dari sesosok tubuh yang tengah berdiri sambil tersipu, merapihkan kembali kancing kebayanya.
“Oh …, euh …, a-da Juragan Somad,” Bu Esih sedikit tergagap saat mengenal sosok gempal di belakang Si Tinggi besar berpakaian hansip itu. “Akang …!” yang dipanggilnya ternyata sudah berada di sampingnya.
“Euleuh-euleuh …, Juragan. Mari silahkan masuk,” sambut Pak Juha sedikit membungkuk, melihat lurah dusunnya malam-malam datang ke rumah panggungnya, jelas bukanlah kejadian biasa.
“Ma …, tolong buat kopi atau teh juragan?”
“Apa saja, Ha …,” jawab Juragan Somad, matanya tak lepas dari pinggul padat nan bulat dibalik balutan ketat kain Bu Esih yang berjalan menuju dapur.
Pak Juha dan kedua tamunya masuk ke dalam rumah, lalu duduk bersila di atas tikar pandan, karena di rumah panggung Pak Juha sama sekali tidak ada kursi.
“harap maafkan keadaan kami yang hanya bisa menyajikan makanan sekedarnya seperti ini, Juragan,” kata Pak Juha, ketika Bu Esih datang menghidangkan dua batok berisi kopi dan teh tubruk, disertai sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan uap panas, tanda baru diambil dari panci rebusan.
“Hmmm,” jawab Juragan Somad saat matanya liar menjelajahi dua gundukan padat yang menggantung, menyembul dari balik kain yang dikenakan Bu Esih, saat ia sibuk membungkukkan badannya ketika menaruh hidangan untuk kedua orang tamunya.
“Silahkan, Juragan …,” kata Bu Esih tanpa menyadari dua pasang mata yang tengah melahap hidangan lain yang disajikannya.
“Ahhh …, iya, Esih. Terima kasih …,” sahut Juragan Somad dengan suara agak serak.
“Juragan …,” kata Pak Juha sesaat kemudian.
“Oh, iya, Juha. Eh …, kamu disini saja, Esih. Jangan kemana-mana, temani kami mengobrol,” Juragan Somad meraih tangan Bu Esih saat istri Pak Juha itu hendak beranjak pergi kembali ke dapur.
“Tapi …, Juragan. Saya sedang menjerang air. Khawatir apinya terlalu besar,” jawab Bu Esih sedikit gelisah.
“Tidak apa-apa, dari sini kan kelihatan kalau api membesar,” kata Juragan Somad tanpa melepaskan pegangannya. “Duduklah, ada yang ingin kubicarakan kepada kalian berdua!” lanjutnya dengan suara berwibawa.
Mau tak mau, Bu Esih terpaksa duduk kembali, sambil sesekali menoleh ke arah dapur, takut api membesar tiba-tiba, seperti kejadian seminggu yang lalu terjadi ke rumah Ceu Warsih yang terbakar habis, gara-gara meninggalkan nasi yang sedang ditanak, ketika api dari kayu bakar tempat menanak nasi membesar cepat.
“Begini, Ha …,” Juragan Somad mulai membuka pembicaraan. Sementara Pak Juha yang sedari tadi diam membisu menatap helai tikar yang didudukinya.
“Aku tahu, ladangku yang sedang kau garap itu, tengah dihamai oleh babi hutan. Bahkan kudengar setengah ladang yang siap panen itu telah hancur diporakporandakan binatang itu, bukan begitu, Ha?”
Pak Juha hanya sanggup mengangguk lemah, “Saya sudah berusaha sekuat tenaga, Juragan. Membuat lubang perangkap, tapi binatang itu …”
“Datang dari arah yang lain, bukan?” potong Juragan Somad.
Pak Juha kembali mengangguk.
“Ya …, ya-ya. Aku mengerti kesulitanmu, Juha. Bukan ladang yang sedang kau garap saja yang mengalami kejadian itu. Banyak ladang dan kebun. Dan kedatanganku ini salah satunya adalah untuk membahas cara menghalangi atau kalau bisa menangkap binatang itu agar tidak kembali meruksak ladang,” nada suara Juraga Somad kini terdengar serius. Kemudian lanjutnya;
“Aku bermaksud mengumpulkan warga dusun ini di balai riungan, dan aku sudah memesan dua puluh anjing pemburu untuk nanti kita gunakan memburu binatang perusak ladang itu!”
“Ahhh, bagus sekali, Juragan. Saya sama Si Nana yang punya anjing kampung, pernah memburu babi hutan itu, malah anjingnya Si Nana yang habis dikoyak-koyak taring babi hutan yang lebih besar dari anjingnya,” sahut Pak Juha dengan mata berbinar-binar.
“Seperrti itulah, Juha. Rencana itu kita bicarakan lagi saat kita semua berkumpul nanti. Sekarang aku ingin bicarakan tentang hasil ladang yang sedang kau garap seusai panen nanti …,” ujar Juragan Somad sedikit berdehem.
Raut wajah Pak Juha berubah pucat.
“Ya, Juha. Sesuai perjanjian kita dulu saat kau memohon ijin untuk menggarap ladangku, menurut perhitunganku, hasil ladang yang dipanen nanti, bagianku pun tidak akan sepenuhnya bisa kau penuhi, Juha,” Juragan Somad menatap tajam Pak Juha. Kemudian katanya kembali;
“Memang bukan ladang yang kau garap saja yang mengalami kejadian dihancurkan babi hutan, belasan ladang yang sedang digarap penduduk yang lain juga mengalami kejadian yang sama. Coba kau bayangkan kerugian yang aku alami dalam panen raya kali ini!”
“I-iyya …, Ju-ragan,” sahut Pak Juha dengan suara lemah.
“Hanya saja, ternyata ladang yang sedang kau garap sekarang lah yang paling parah keruksakannya. Bagaimana pertanggungjawabanmu dengan setoran panen kali ini, Juha?”
“Ss-saya mm-mohon mma-af, Juragan,” kepala Pak Juha makin tertunduk rapat.
“Maaf, Juha? Sudah lebih dari sekarung maaf yang aku dapat dari belasan penggarap lainnya!” suara Juragan Somad mulai terdengar ketus.
“La …, lalu apa yang ss-saya dapat lakukan, Juragan?” tanya Pak Juha mulai putus asa.
Bu Esih yang sejak tadi mendengarkan percakapan tersebut, hatinya ikut merasa sedih. Ikut merana dengan nasib yang tengah melanda keluarganya.
“Itu baru dari hitung-hitungan panen, Juha. Belum lagi bagaimana dengan cara kau membayar utang benih dan pupuk kepadaku?” tatapan tajam Juragan Somad menusuk kejam.
“Saya mohon diberi waktu, Juragan,” ujar Pak Juha menghiba.
“Sampai kapan?”
“Sampai …, sampai musim panen raya berikutnya, Juragan.”
“Kau yakin?”
“Yakin, Juragan,” jawab Pak Juha penuh harap.
“Aku yang tidak yakin, Juha!” dengus Juragan Somad.
“Lalu darimana saya dapat membayar utang-utang saya kalau bukan dari panen, Juragan?”
Tersembul senyum licik Ki Lurah Cisoka tersebut.
“Ada cara lain untukmu membayar hutang, Juha!” kata Juragan Somad kembali sambil meraih tangan Bu Esih yang segera menjerit tertahan, mencoba menarik kembali tangannya yang digenggam erat seperti jepitan kepiting.
“Istrimu menemaniku tidur semalam untuk membayar hutang kekurangan setoran panenmu padaku, dan kalau pelayanan istrimu memuaskan aku, hutang benih dan segala macamnya tak perlu lagi kau memikirkan untuk membayarnya. Aku anggap lunas semuanya!”
“Kk-kau …,” suara Pak Juha seakan tercekik. Matanya melotot marah.
Namun saat Baret berdiri dengan sikap mengancam, wajah merah Pak Juha berangsur memucat.
“Ingat, Juha. Utang yang kau tanggung sekarang bisa membuatmu diseret polisi ke tahanan. Dan Si Tarmedi contoh yang perlu kau renungkan karena berhutang tak mau membayar kepadaku!” geram Juragan Somad yang kini sudah muncul wajah iblisnya. Menyeringai kejam.
Tarmedi!
Ya, Tarmedi, sobat sesama pengggarap ladangnya Juragan Somad. Sekarang tanpadaksa setelah dihajar Barep kemudian masuk bui di kota sana. Kabarnya hanya dihukum delapan bulan, tapi saat dia pulang ke dusun, berada dalam gotongan para tetangga yang menjemputnya. Tak mampu berjalan lagi. Sebulan kemudian, Tarmedi menjadi gila. Ciut sudah nyali Pak Juha membayangkan kejadian yang dialami Tarmedi akan menimpanya. Dia melirik istrinya yang tengah berkutat melawan tarikan Juragan Somad yang mencoba menarik tubuh montok ibu muda itu ke pelukannya.
“Juragan, saya mohon di-diberi waktu buat melunasi utang …”
“Sudahlah, Juha! Aku sudah terlanjur rugi banyak!” potong Juragan Somad tanpa mempedulikan lagi Pak Juha yang kini bangkit dari berrsilanya. Namun …, baru saja akan bergerak. Barep sudah menghadang dengan tatapan mengancam.
“Minggir, Barep!” seru Pak Juha mencoba mendorong Barep.
Namun sekali bergerak saja, tubuh Barep yang memang lebih tinggi besar sudah memiting leher Pak Juha.
“Jangan macam-macam, Juha. Relakan saja, daripada bencana lebih menyakitkan menimpamu,” bisik Barep di kuping Pak Juha. Tercium bau tuak keras dari mulut berbibir tebal hansip tangan kanan Ki Lurah Somad itu.
Pak Juha tergeletak tak berdaya dalam pitingan bagai capit besi siku Barep. Dalam keadaan biasa, sebetulnya Pak Juha yang biasa bekerja dengan otot tak akan semudah itu dijatuhkan oleh Barep walau pun tubuhnya lebih kecil. Hanya karena lelah badan setelah seharian bekerja di ladang sekaligus beban pikiran, membuat badannya menjadi lemah tak berdaya.
Posisi tubuh Pak Juha kebetulan menghadap ke arah di mana istrinya tengah meronta-ronta dalam cengkraman Juragan Bengis itu.
“Juragaaan …, aa-mpuun, sa-kiiit!” rintih Bu Esih ketika dengan kasar, jari-jari gemuk Ki Lurah itu meremas-remas keras payudaranya yang masih terbungkus kain kebaya.
“Sssh …, diamlah, Esih. Kau harus ingat apa yang dialami Nyi Warsih dan Si Tarmedi adalah akibat ulahnya menentang hajatku! Kalau kau masih juga membangkang, maka neraka yang lebih ganas dari yang menimpa Si Tarmedi akan kau alami secepatnya!” geram Juragan Somad dengan marah. Saat cakaran Bu Esih menggores lehernya ketika dia mencoba mencium pipi gemuk istri petani itu.
Tubuh Bu Esih tersentak sejenak, matanya menatap memohon pertolongan kepada suaminya yang badannya setengah tergeletak tak berdaya dalam pitingan Barep yang menyeringai seram.
“Juragan!” Bu Esih masih meronta.
Bret!
Kancing atas kain kebayanya terlepas, satu bongkah payudaranya yang montok padat memberojol keluar. Barep yang menyaksikan pergumulan ke dua orang itu matanya menyipit saat melihat sebelah payudara Bu Esih menyembul dari kain kutangnya. Napasnya mendadak sesak. Tanpa sadar, pitingannya terhadap Pak Juha mengendor, sedetik kemudian Pak Juha menggeliat melepaskan diri. Lalu menggulingkan tubuhnya menghindari terkaman Barep yang menerjang sambil menggeram.
Secepat kilat Pak Juha meraih parang yang terselit di dinding bilik rumahnya. Sementara Barep entah kapan sudah mencabut pisau pendek yang berkilau suram dalam cahaya lentera yang berkelap-kelip.
“Juragan! Tolong lepaskan istri saya!” Pak Juha berdiri dengan parang teracung.
Juragan Somad yang tengah meremas sebelah payudara Bu Esih, menggeram marah. Matanya menyala-nyala.
“Kau berani menantangku, Juha?” kata Juragan Somad perlahan-lahan. Dia membiarkan Bu Esih yang meronta kembali dan berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ki Lurah Cisoka tersebut. Sibuk perempuan itu menarik kembali kainnya yang terobek tadi.
“Mohon maaf, Juragan. Tapi …, saya mohon waktu!”
“Tidak ada waktu lagi, Juha!” Juragan Somad membentak. “Kau punya utang sudah menumpuk sampai keubun-ubunmu. Aku hanya memberi satu jalan. Si Esih! Dan kau tak perlu lagi memikirkan hutangmu padaku. Paham?”
“saya mohon, Juragan!”
Juragan Somad menggeleng, “Tidak bisa, Juha. Aku tak akan mengulang kembali penawaranmu. Diambil atau tidak, Si Esih tetap akan aku ambil! Aku masih menghargaimu sebagai peladangku yang paling rajin dan penurut. Kalau lain orang, yang datang bukan aku, tapi polisi! Mengerti kau!”
“Juragan ….”
“Satu lagi, Juha!” kata Juragan Somad dingin, tanpa mempedulikan tatapan permohonan dari petani ladangnya itu. “Kau mendapat keistimewaan dariku kalau kau ingin tahu. Tapi sekali kau membangkang, bukan hanya istrimu, Juha. Tapi Si Imas …, kuperhatikan ia sudah menjadi perawan yang matang, Juha. Tapi aku hanya menginginkan Si Esih saja, Cuma … kalau kau menolak …, he-heh,” Juragan Somad terkekeh-kekeh seram.
“J-jjangaan, Juragan. Kumohon!” gemetar lemas tubuh Pak Juha. Parangnya terlepas jatuh dari genggamannya.
“Akaaang …,” Bu Esih beringsut ke arah suaminya yang gemetaran.
“Nya-iii …,” suara Pak Juha terdengar gemetar.
“Bagaimana? Aku hanya akan memberikan satu penawaran tanpa pilihan, Juha!” kata Juragan Somad sambil duduk bersila dengan santai.
“Saya mohon jangan menganggu anak saya, Juragan. Ss-saya mm-mohon …,” isak Bu Esih penuh permohonan. Sebelah tangannya masih didadanya menahan agar payudaranya tidak memberontak keluar.
“Juha?” Juragan Somad menatap dingin ke Pak Juha yang jatuh terduduk dengan kepala tertunduk. Tak mempedulikan Bu Esih yang meratap memohon-mohon hampir menyembahnya.
“Juha?” Juragan Somad kembali memanggil Pak Juha yang tak menjawab sedikitpun.
“Baiklah, kuanggap kau telah setuju, Juha. Bayangkan keuntungan yang kau dapatkan. Utang-utangmu lunas, kau bisa berladang dengan tenang, anakmu tak kuapa-apakan. Hanya semalam, Juha. Cukup semalam saja. Dan kujamin tidak akan ada orang yang tahu, hanya kita berempat. Semalam, selesai sudah!” kata Juragan Somad sambil menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan.
“Kemari, Esih!” Juragan Somad memberi isarat kepada Bu Esih sambil menepuk pangkuannya.
“J-jangan, Juragan. …, Akaaang!” Bu Esih menatap suaminya yang terduduk dengan kepala makin tertunduk.
“Kau ingin keluargamu aman, Esih? Kau mau anak perawanmu tak kuganggu? Atau seperti yang kukatakan tadi, kau minta neraka kepadaku, Esih?” Juragan Somad menatap tajam Bu Esih yang matanya berlinang-linang. Rambutnya terlihat kusut, sebagian terurai ke wajah bulat telurnya yang kemerah-merahan dalam sorot cahaya lentera, itu sungguh pemandangan yang luar biasa sekali bagi Juragan Somad. Gairahnya makin bergelora.
Dia segera bangkit, “Aku tunggu dikamarmu, Esih!” katanya dengan suara serak. Melangkah mantap tanpa ragu-ragu ke dalam kamar depan yang pintu kamarnya hanya berupa gorden kain.
“Akang …,” Bu Esih kembali memanggi nama suaminya, pak Juha, yang kini duduk bertekuk lutut dengan muka terselip diantara lututnya.
“Pergilah, Esih. Temui Juragan. Kau harus tahu, tak ada seorang pun yang bisa melawannya kecuali dia sudah mempunyai nyawa sembilan,” kekeh Barep memberi isyarat melalui dagunya ke arah kamar.
Membayangkan bencana yang akan menimpa keluarganya nanti apabila ia tidak menuruti kemauan Juragan Somad. Mengingat nasib Ceu Warsih dan Kang Tarmedi. Bergidik tengkuk Bu Esih. Seakan melayang karena pikirannya sudah sangat kalut, Bu Esih bangkit berdiri kemudian melangkah dengan langkah sangat berat, setelah sebelumnya melemparkan tatapan sedih ke arah suaminya yang tetap dalam posisinya semula.
Mendengar derap langkah istrinya di lantai papan rumah panggungnya, ingin rasanya Pak Juha berseru melarang. Setiap derap langkah yang terdengar, seolah sebagian nyawa dan harga dirinya ikut tenggelam perlahan-lahan.
“Sudahlah, Juha. Relakan saja, kau malah mendapat keuntungan besar nanti. Mari, kita ke beranda saja. Kutemani kau malam ini,” kata Barep sambil menepuk bahu Pak Juha yang dengan lemas tak bertenaga, dengan susah payah bangkit dari duduknya. Sekuat tenaga dia tak menatap ke arah kamarnya, namun tetap saja sudut matanya melihat sosok tubuh istrinya yang masuk ditelan gorden kain kamarnya. Dadanya terasa perih sekali membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar tersebut.
Dua sosok pria itu duduk mencakung di beranda rumah panggung yangg biasa disebut golodog itu. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sementara itu di dalam kamar.
Bu Esih berdiri dibalik gorden di kamarnya yang temaram oleh cahaya lentera yang lebih kecil. Kamar yang hanya berisi sebuah lemari tanggung yang terletak di pojok kamar bagian dalam dan satu balai kayu dengan selembar kasur kapuk yang sudah tipis.
Juragan Somad menyambut kedatangan Bu Esih dengan senyum tipis. Dia duduk ditepi balai sambil memberi isyarat agar perempuan itu menghampirinya. Tapi Bu Esih masih berdiri tak bergerak, sebelah tangannya masih menahan kain di bagian dadanya.
Juragan Somad mulai tak sabar. Dia segera bangkit berdiri, kemudian melangkah menghampiri Bu Esih yang segera bersurut mundur dengan raut muka ketakutan.
“Ingat bencana yang akan kau alami bila menolakku, Esih,” bisik Juragan Somad dengan suara serak, sengaja menarik tangan Bu Esih yang tengah menutupi dadanya. Bu Esih hampir berteriak memaki kalau tidak melintas wajah Imas, anaknya. Lunglailah sudah hasrat hatinya untuk melawan. Seperti kerbau dicucuk hidung, Bu Esih menurut digandeng Juragan Somad hingga didudukkan di tepi balai tempat dia dan suaminya beristirahat atau beraktifitas yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Namun, kini di tempat tidur itu ada lelaki lain selain suaminya. Lelaki yang sangat berkuasa di dusunnya. Sedih benar hati Bu Esih saat itu.
Juragan Somad saat itu mulai membuka jas kebanggaannya, lalu mengambil sesuatu dari saku baju kemejanya, sebuah pil hitam sebesar butiran tahi kambing yang segera ditelannya disertai meneguk tuak dari kantung kulit yang selalu dibawa dipinggangnya. Sambil menunggu reaksi dari pil yang diminumnya, dengan santai dia membuka kemejanya, kemudian celana kain panjangnya. Setelah hanya tinggal mengenakan kolor pendeknya, Juragan Somad menghampiri Bu Esih yang masih duduk dengan wajah tertunduk. Kedua bahunya sedikit bergerak-gerak, tanda bahwa perempuan itu sedang menahan isak tangisnya.
“Jangan menangis, Esih. Aku tidak suka mencumbu perempuan yang sedang menangis! Dengarlah, aku sudah lama mengagumimu, kau cantik manis, Esih. Aku bukan orang yang pelit, kalau kau melayaniku dan membuatku puas. Kau akan mendapatkan segala yang kau inginkan dengan mudah!” bujuk Juragan Somad sambil membelai lembut rambut Bu Esih. Kemudain perlahan-lahan menarik kain di bagian bahunya, Bu Esih sedikit merinding ketika Juragan Somad menyibakkan rambutnya yang terurai panjang kemudian mencium lembut tengkuknya. Jari-jari yang lain dari pria itu membuka 3 kancing tersisa dari kain yang dikenakan Bu Esih. Sekali tarik saja, kain itu terlepas, menyisakan tubuh montok yang sedikit berkeringat dingin. Reflek kedua telapak tangannya menutup dua payudaranya yang menggantung tak terhalang ikatan kain kutang.
Juragan Somad yang bertubuh gempal telah menempel erat dengan tubuhnya. Dengusan-dengusan panas dari pria itu berhembus bau tuak saat menelusuri lehernya dan menciumi pipinya. Bu Esih memejamkan matanya, menekan debaran aneh dalam dadanya, mencoba menahan rangsangan dari Juragan Somad yang terus menyerangnya bagai gelombang badai yang tak putus-putusnya menerjang dari segala arah. Kedua telapak tangannya telah ditarik paksa oleh pria itu yang ingin mencumbu sepasang payudara padat nan montoknya.
“A-duhhh, ss-akiiit,” rintih Bu Esih ketika puting payudaranya dipilin gemas oleh jari-jari gempal Ki Lurah itu.
“Hrrrhhh …,” geram Juragan Somad sambil menjilati leher jenjang Bu Esih yang sedikit berkerut kegelian. Pil yang diminum Juragan Somad telah menunjukkan reaksinya, penis di balik kolornya telah ereksi penuh. Dengan satu tangannya, Juragan Somad menurunkan celana kolornya, dengan bantuan kakinya, kolor itu dilemparkan begitu saja entah tersangkut di mana.
Berkali-kali Bu Esih merintih merasa kesakitan atas cumbuan Juragan Somad yang makin lama makin kasar. Remasan keras pada payudaranya, gigitan pada tengkuk dan lehernya hingga remasan pada selangkangannya, ketika tangan Ki Lurah itu menyibakkan kain yang menutupi pinggang. Ketika jari-jari Ki Lurah itu merayap ke selangkangannya, kedua paha Bu Esih bereaksi merapat, namun apa dayanya, kedua paha itu dipaksa terbuka lebar sehingga jari-jari gempal Juragan Somad menyerbu bukit berbulu halus itu yang membusung menantang. Jari-jari pria itu berpesta pora, mencolok, mencabik, mencubit, memilin, menggaruk apa yang teraba dilembah bukit yang hangat dan mulai basah itu.
Bu Esih menggigit bibirnya menahan rangsangan yang menggeliat dari birahinya yang mulai bangkit. Kedua tangannya mencoba bertumpu pada sisi balai, namun karena dalam keadaan memejamkan mata, salah satu tangannya malah menekan sebuah benda seperti tonggak kayu yang berdenyut panas. Ketika ia hendak menarik tangannya, terdengar bisikan serak dikupingnya, “Jangan lepaskan, elus-elus, Esih!”
Bu Esih menggelinjang kegelian ketika kupingnya dijilat-jilat oleh lidah basah Juragan Somad yang menari-nari menelusuri kuping, tengkuk, leher, hingga bongkahan kenyal nan padat dari payudara Bu Esih. Erangan halus mulai terdengar dari bibir perempuan itu setiap cumbuan Juragan Somad menyentuh bagian-bagian sensitif tubuhnya.
Bruk!
Dipan bergetar ketika tubuh montok itu didorong sampai telentang di atas dipan oleh Juragan Somad. Tanpa memberi kesempatan Bu Esih bernapas, Juragan Somad dengan buas menyerang sekujur tubuh montok yang telah telentang pasrah itu. Rintihan demi rintihan terus terdengar di kamar itu. Hingga pada suatu saat, mata Bu Esih terbelalak lebar ketika sebuah benda gempal teracung keras menyentuh bibirnya.
“Ju-juragan?” BU Esih hendak memprotes. Seumur-umur berhubungan badan dengan suaminya, belum pernah penis milik suaminya sekurang ajar itu menyentuh mulutnya.
“Kulum, lumat, hisap, Esih!” perintah Juragan Somad dengan suara makin serak, menahan gelora birahi yang mendesak hendak meledakkan dadanya.
Bu Esih menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba menolak. Mulutnya terkatup rapat, ditekan helm dari kepala penis Juragan Somad.
“Awww!” Bu Esih menjerit kesakitan, ketika jari-jari tangan Juragan Somad menjambak rambutnya. Ketika mulut itu terbuka, penis Juragan Somad menerobos masuk memenuhi dinding-dinding mulut perempuan itu.
“Ehk!” BU Esih sedikit tersedak sekaligus jijik.
“Hisap, Esih! Jilat, Esih! Eghhh …,” erang Juragan Somad meram melek. Menjambak rambut Bu Esih maju mundur. Gesekan dari gigi-gigi Bu Esih yang masih gelagapan membuat keenakan Juragan Somad hingga pria itu meram melek.
“Hhhh, nikmaaat, Esih!” geram Juragan Somad tanpa berniat melepaskan jambakannya.
Dalam rasa kesakitannya atas perlakuan kasar Juragan Somad saat itu, entah kenapa Bu Esih seperti merasakan sensasi lain dari yang lain, yang membuat gairahnya melonjak naik secepat kilat. Merasakan daging keras yang gempal menyumpal mulutnya, jambakan ke rambutnya, Bu Esih seakan tengah mengarungi lautan birahi yang belum pernah dijamahnya ketika melayani birahi Juragan Somad. Tanpa dapat ditahannya, lidahnya kini bergerak di luar kemauannya. Menghisap dan menjilat-jilat daging keras kebanggaan dari Ki lurah dusun Cisoka itu.
Beberapa saat kemudian, “Plop!” terdengar suara pelan saat penis Juragan Somad dicabut dari mulut BU Esih yang tanpa sadar mengerang kecewa. Namun sesaat kemudian ia merasa malu hingga pipi montoknya bersemu merah. Bu Esih memalingkan mukanya, namun matanya melirik diam-diam kepada penis yang teracung belepotan air ludahnya.
“Aku ingin memuaskanmu terlebih dahulu, Esih!” kata Juragan Somad sambil menyeringai penuh arti. Tubuh gempal Juragan Somad menggelesot turun, penisnya turun menelusuri dagu, leher, hingga ke belahan payudaranya yang diremas sangat keras oleh telapak tangan Ki Lurah itu.
Bu Esih menyeringai kesakitan merasakan remasan keras tersebut, namun anehnya, ia menyukainya!
Entah apa yang akan dilakukan oleh pria itu, bisik hati Bu Esih tegang. Tapi tiba-tiba, tubuh montok perempuan itu mengejang seperti mendadak tersetrum listrik.
Augh!” terdengar seruan pendek. Kedua pahanya reflek menjepit, namun terganjal sesuatu, saat menegakkan kepala dengan rasa ingin tahu, ternyata ia melihat kepala pria itu tengah tenggelam dalam selangkangannya.
Entah apa yang tengah dilakukannya, namun ia merasakan geli yang teramat sangat di bagian larangannya. Geli dan sedikit kesakitan, rasa sakit yang ternyata sangat disukainya. Jari-jari Bu Esih meremas-remas kasur menahan rasa geli, sakit dan nikmat secara bersamaan. Birahinya membuncah bagai badai yang tengah mengamuk di tengah samudera. Ombak birahi berdebur dahsyat tak berkeputusan. Berkali-kali pinggulnya mengejang dan menghentak, derit balai papan yang terus menerus berderit, menandakan betapa gelora nikmat yang teramat sangat tengah melanda perempuan itu.
Juragan Somad ternyata seorang pria penakluk yang sangat berpengalaman dalam membangkitkan gairah besar dari seorang perempuan. Seluruh daya panca indranya mampu diberdayakan sepenuhnya dalam mencabik-cabik vagina perempuan itu. Jilatan, gigitan pada dan pelintiran ke daging kecil di dalam vagina yang telah dibanjiri cairan pelumas yang lumayan banyaknya.
Hingga beberapa saat kemudian,
“Ouwhhhh!” erangan keras terdengar dari mulut Bu Esih tanpa sanggup menahan puncak kenikmatan yang digapainya. Pinggulnya menyentak keatas dengan kedua paha menjepit kepala Juragan Somad yang wajahnya disembur cairan kental dari orgasme pertama perempuan itu. Rambut Ki Lurah juga tak luput dari jambakan Bu Esih yang tubuhnya sampai melengkung saking nikmatnya.
Sesaat kemudian, tubuh montok itu ambruk di atas balai dengan napas memburu. Matanya membeliak besar, dada yang membusung itu kembang kempis meredakan gelora badai dahsyat berahi yang baru pertama kali dicapainya.
“He-heh. Nikmat bukan, Esih?” tanya Juragan Somad terkekeh-kekeh sambil mengelap mukanya yang tadi disembur cairan orgasme perempuan itu.
Kemudian dia ikut berbaring di samping tubuh montok Bu Esih yang masih bernapas memburu. Jari-jari gempal itu menelusuri leher dan belahan dada Bu Esih yang banjir keringat.
“Sekarang bagianmu memuaskan aku, Esih!” bisiknya sambil menelusup ke ketek yang ditumbuhi bulu halus. Lidahnya menjilat-jilat menggelitik, sementara telapak tangannya meremas-remas tanpa puas-puasnya di bukit kenyal milik Bu Esih yang menggelinjang kegelian sambil menrintih lirih.
Mulut Juragan Somad terbuka lebar, lalu, hap! Memasukan puting payudara Bu Esih yang masih mengeras. Menghisapnya kuat-kuat, dan gigi-giginya kemudian menggigit-gigit daging kecil yang mengacung itu.
“Awhhh!” Bu Esih menjerit kecil. Ia merasakan rasa sakit, tapi ia suka dengan rasa sakit itu. Entah apa yang tengah merasukinya sehingga ia begitu menyukai perlakuan kasar Juragan Somad dalam mencumbunya. Tubuh gempal pria itu kini menindihnya, tonggak keras dari penis Juragan Somad mengganjal di selangkangannya, ke dua lutut pria itu merenggangkan ke dua paha montok yang telah berbercak merak akibat gigitan gigi Juragan Somad tadi. ke dua paha Bu Esih merenggang sukarela. Merasakan geli ketika kepala tonggak gemuk itu menggeser-geser di belahan vaginanya, lalu tanpa aba-aba, pantat Juragan Somad naik lalu turun secara tiba-tiba, menerobos lubang vagina Bu Esih secara tiba-tiba.
“Hegh!” ulu hati Bu Esih terasa sesak. Rasa sakit yang nikmat membuat seluruh bulu-bulu tubuhnya meremang. Birahinya yang sempat mereda kini menggelegak kembali seiring hunjaman-hunjaman kasar dari penis Juragan Somad mengobrak-abrik vaginanya.
Erangan dan rintihan dari Bu Esih saling bersahutan dengan geraman-geraman Juragan Somad di ruangan kamar itu disertai jeritan dari derit balai dipan yang protes atas kegiatan dua orang yang sedang mengayuh birahi yang menyakitinya.
Vagina gemuk dan penis gempal itu saling terjang dalam lelehan cairan kewanitaan Bu Esih yang membanjir sampai ke atas kasur lepek.
Bau khas birahi menyengat di dalam kamar tersebut.
Kurang lebih dua puluh menit Juragan Somad menggenjot vagina Bu Esih dalam posisi konvensional tanpa henti. Sungguh stamina yang luar biasa, mengingat usia Ki Lurah itu tak lagi muda. Mungkin juga akibat dari pil hitam tahi kambing yang diminumnya tadi sebelum mencumbu Bu Esih. Di waktu itu, Bu Esih sudah mengalami orgasmenya yang ke dua, namun Juragan Somad tak ingin memberi kesempatan perempuan itu untuk beristirahat. Tanpa mencabut penisnya yang masih tenggelam dalam vagina gemuk yang dinding luarnya sudah merah, Juragan Somad membalikkan badannya sambil menarik tubuh Bu Esih dalam posisi bergantian. Kini Bu Esih berada di atas tubuh Juragan Somad, terasa vaginanya makin sesak oleh desakan penis Ki Lurah yang menekan penuh.
“Engghhh,” rintih Bu Esih yang masih merasa melayang-layang dalam buaian orgasmenya yang kedua barusan.
“Ayo, Esih. Aku ingin merasakan genjotanmu seperti yang pernah kulihat di ladang saat sama Si Juha tempo hari!” geram Juragan Somad sambil meremas dan menarik gemas payudara padat Bu Esih yang menggelantung.
Bu Esih sedikit tersentak. Ia seperti diingatkan akan suaminya, kini ia sedang bersetubuh dengan pria lain! Merasa dosa akan kelakuannya membuatnya sedikit meredakan gairahnya, namun ketika gigitan kasar serta jambakan pada rambutnya yang terurai yang disusul dengan hentakan pantat Juragan Somad yang membuat penisnya menyentuh dasar rahimnya. Birahi perempuan itu kembali menggelegak liar, pinggul padat dan bulat itu mulai bergoyang, maju mundur, memutar perlahan.
“Argghhh …, babiii! Nikmaaat sekali, Esiiih!” racau Juragan Somad sambil meremas keras-keras payudara Bu Esih yang menyeringai kesakitan. Penisnya terasa dipilin oleh dinding-dinding panas yang bisa menghisap dan memeras. Nikmatnya tiada tara.
Genjotan dan goyangan pinggul padat Bu Esih seperti alun ombak di lautan yang tenang, mengayun pelan namun mematikan.
Lama kelamaan genjotan itu makin cepat, hentakan dan sentakan makin konstan. Juragan Somad merasakan penisnya semakin terjepin oleh dinding-dinding vagina yang makin merapat dan menghisap.
Desahan disertai napas yang memburu dari keduanya, menandakan keduanya akan segera mencapai puncak badai birahi yang tengah mereka kayuh.
“Ahhh!” tubuh Bu Esih mengejang, disertai pinggulnya yang menyentak tiba-tiba tiga kali. Sebelum akhirnya ambruk di atas tubuh Juragan Somad yang mendengus dan menggeram-geram. Dinding vagina dan penis itu berdenyut-denyut panas saling menyemburkan lahar panas, yang kemudian bercampur meleleh dari bibir vagina, membasahi paha keduanya lalu turun ke kasur yang dari tadi sudah basah oleh cairan birahi keduanya.
Sesaat hanya deru napas dari keduanya yang terdengar. Keringat membanjir dari tubuh mereka berdua.
Sementara di samping kamar mereka, ada sesosok tubuh lain yang ikut ambruk banjir keringat.
Tanpa Juragan Somad dan Bu Esih sadari. Ada dua sosok tubuh yang mengintip persetubuhan mereka. Yang satu adalah Pak Juha yang mengintip dari lubang bilik kamarnya, yang satu lagi adalah …, Imas! Anak perawan Bu Esih dan Pak Juha yang mengintip dari dinding bilik kamarnya yang memang terletak bersebelahan dengan kamar orang tuanya.
Pak Juha bisa mengintip saat Barep tertidur meringkuk di beranda rumah, hingga Pak Juha dengan leluasa bisa masuk diam-diam ke dalam rumahnya. Diam-diam dia mempunyai rencana untuk membunuh Juragan Somad dengan parangnya yang tadi. namun ketika dia mengintip sesaat sebelum menyerbu masuk ke kamarnya. Persetubuhan panas yang tengah berlangsung di dalam kamarnya itu membuatnya seperti dipantek di atas kayu lantai rumah panggungnya.
Dalam rasa perih yang menghancurkan hatinya, ada rasa lain yang terselip. Rasa penasaran, dan gairah yang tak bisa ditahannya menggelora berdebur-debur dalam dadanya.
Bersambung