Bini Penjual Tanaman 2
WANITA itu sepertinya pernah saya kenal, tetapi di mana, ya? Coba saya ingat-ingat dulu. O… bukahkah itu istri penjual tanaman yang pernah saya gagahi di kebunnya, tetapi akhirnya istri saya tidak jadi membuat taman dengan suaminya karena kemahalan harganya?
Tidak salah lagi, ia adalah istri penjulan tanaman. Saya ingat betul wajahnya, tetapi celana dalamnya yang pernah saya ambil sudah entah dimana karena sudah berlalu kira-kira 4 (empat) bulan yang lalu.
Sekarang saya bertemu dengan ia di mall bersama bayinya yang ditaruh di dalam stroller bayi dan seorang gadis, kemungkinan anak gadisnya.
Saya ragu-ragu untuk mendekatinya, tetapi bagaimanapun beratnya perasaan saya, saya harus mendekatinya. Mungkin saya harus menahan malu jika ia membuang muka tidak mau bertegur sapa dengan saya, atau sudah lupa dengan saya. Wajar, sudah sekian lama…
Lalu saya melangkah mendekatinya dengan jantung berdebar-debar. “Eh… Bapak… dengan siapa, Pak?” ia yang terlebih dahulu melihat saya, dan ia pula yang pertama kali menyapa saya.
“Masih ingat dengan saya…?” tanya saya.
“Masih Pak… ini anak saya dan ini bayi saya yang dulu di kebun masih dalam kandungan… he.. he..”
“Bagaimana kabarnya Pak Arman… apa Pak Arman ikut…?”
“Pak Arman sudah gak ada, Pak… dan saya juga sudah nggak menjual tanaman lagi…”
“Apa…?????” tanya saya kaget. Pak Arman sudah tidak ada, maksudnya Pak Arman sudah meninggal dunia?
“Iya, Pak… bapak sudah gak ada… mendadak, Pak… setelah saya melahirkan dua minggu… sekarang saya sudah menikah lagi, baru sebulan…”
“Kok Mbak nggak mencari saya atau telepon saya…?” kata saya.
“Saya bingung banget waktu itu, Pak… saya terima begitu saja sewaktu ada laki-laki yang mau sama saya, daripada saya susah cari makan, Pak… maaf… ini anak saya, ia mau cari kerjaan, sudah lulus SMK…”
“Jadi taman itu…?”
“Sudah dijual, Pak…” jawabnya, lalu ia menyuruh anak ceweknya membawa adiknya pergi jalan-jalan. Setelah itu ia berkata pada saya, “Kalau Bapak mau ke rumah saya, telepon dulu ya, Pak… suami saya sih, jarang di rumah, ia bawa bus malam…”
“Besok…?” kata saya tak sabar.
“Bapak telepon dulu aja, takut ada anak-anak di rumah, Pak…”
“Maaf… Mbak ada duit buat dipakai sehari-hari…?” tanya saya kemudian.
“He.. he.. ada sih, Pak…” jawabnya, tetapi ia terima juga sewaktu saya memberikan beberapa lembar uang 100 ribu padanya.
Tetapi ia tidak mau saya mengantarnya pulang. Dan dari pertemuan yang tak sengaja ini saya mengetahui bahwa ia bernama Sarimah, atau Bu Imah, jarang dipanggil Bu Sari.
Pulang ke rumah, sepanjang malam saya tidak bisa tidur. Malam rasanya begitu panjang. Saya ingin cepat-cepat hari siang untuk bertemu dengan Mbak Imah.
Untung istri saya tidak curiga.
“Mama pergi sebentar Om…” kata anak gadisnya keluar menyambut saya.
“Namamu siapa, Dek?” tanya saya.
“Elfira, Om… duduk, Om…”
Saya duduk di sofa yang busanya sudah kempes dan berbau pesing. Di depan rumah banyak anak-anak yang bermain sampai ke jalan.
Tak lama saya duduk Elfira keluar membawa segelas teh untuk saya. Sewaktu ia membungkuk menaruh gelas teh di atas meja, terlihat kedua payudaranya yang cukup besar itu terjepit di dalam BH-nya yang berwarna merah.
Tinggi Elfira hanya sekitar 160 sentimeter, berkulit coklat sawo matang seperti ibunya. Dibilang cantik, tidak begitu. Hidungnya bersayap, dan yang mengundang mungkin hanya payudara dan bibirnya yang tipis membasah.
“Kamu ingin bekerja ya, Dek?” tanya saya.
“Saya pengen pergi dari sini, Om… saya tidak tahan tinggal di sini dengan laki-laki bengis itu…”
“Kenapa?” tanya saya.
“Ia pernah mau memperkosa saya, Om… Mama tidak tau, tapi kalau Om minta izin sama Mama mau membawa saya pergi, pasti dikasih… sama adik saya juga, Om… saya takut adik saya mau diperkosa juga sama laki-laki jahanam itu…”
Hati saya trenyuh, jiwa saya memberontak, otak saya berteriak mendengar Elfira berkata begitu, tetapi kemana saya harus membawa Elfira dan adiknya pergi?
Ini menjadikan sebuah pekerjaan rumah untuk saya.
Elfira tau diri sewaktu ibunya sudah pulang. Ia membawa adiknya pergi dan sesampai di depan rumah ia mengusir anak-anak yang bermain, “He… pergi sana, jangan ribut di sini…” kemudian ia menutup pintu rumah.
Mbak Imah duduk di samping saya. Saya memeluknya dengan tak sabar lagi. “Bau keringat…” katanya.
“Siapa suruh duduk di dekat saya…” kata saya.
“Mmmh… “ bibir Mbak Imah mencibir, langsung saja saya terkam dan saya kulum bibir Mbak Imah. Ia tidak memberontak, malah sibuk membuka ikat pinggang saya dan ritsleting celana panjang saya.
Penis saya dikeluarkannya. “Sudah gak tahan…?” tanya saya. “Bagaimana nanti dengan suami Mbak?”
“Bapak datang ke sini untuk saya, atau suami saya…?” ia bertanya pada saya sambil tangannya menggenggam batang penis saya yang keras dan tegang.
“Untuk Mbak dong….” jawab saya. “Karena Mbak kemarin bilang sama saya Mbak baru menikah bulan kemarin, kan masih pengantin baru… masa bulan madunya sama saya?” kata saya.
“Saya nggak mau mendengarnya lagi…” jawabnya sambil melepaskan dasternya.
Sewaktu ia membuka BH-nya teteknya tampak kencang montok merangsang dengan puting berwarna hitam besar dan ereola melingkar luas.
Ohh… saya tidak bisa menahan diri lebih lama lagi menatap payudara Mbak Imah. Saya langsung menghisap puting Mbak Imah. Ternyata keluar ASI.
Mbak Imah memberikan ASI-nya untuk kuhisap sambil ia menadah kepala saya dengan tangannya seperti saya seorang bayi yang sedang menetek.
Saya diberikan menghisap tetek kiri dan tetek kanannya sekitar 20 menit, hingga perut saya dikenyangkan oleh ASI-nya, dan dahaga saya juga hilang tidak perlu saya minum teh yang dihidangkan Elfira.
Kemudian sofa tua itu menjadi saksi bagaimana saya menjilat memek Mbak Imah yang bau sesuatu sambil ia duduk mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan membentangkan pahanya lebar-lebar di depan saya. Erotis…
“Pak… ooohh… mmmh… ooohh…” desahnya sampai wajahnya terdongak menatap langit-langit ruangan rumahnya.
Saya begitu bersemangat dan bernapsu menjilat memek Mbak Imah ingin membalas dendam saya terhadap suaminya mendengar Elfira berkata begitu tadi pada saya.
Saya cucuk-cucuk dengan jari lubang memek Mbak Imah yang basah sampai ia menjerit dan mengerang, napasnya berat terengah-engah seperti habis lomba lari triathlon. “Uhhhooohh… uhhooohh… uhhooohh…”
Kemudian baru saya memasukkan penis saya ke lubang memeknya. Blebbb… bllesssss…
Lubang memek Mbak Imah terasa licin dan longgar tidak bisa menggenggam penis saya dengan erat, mungkin baru melahirkan sekitar 3 bulan yang lalu, jadi lubang memek itu belum kembali normal, langsung saya tikam saja… jlebb… jlebb… jlebb… ooohh… oooh… ohhh, Paa..aakkk… rintih Mbak Imah sambil duduk mengangkang bersandar di sofa.
Tetapi kemudian melihat wajah Mbak Imah yang sayu, saya menjadi kasihan padanya. Saya mencium lembut bibirnya, saya memeluknya erat-erat seperti ingin membawanya terbang dari rumahnya ini menjadikannya istri kedua saya.
Sebodoh amat dengan istri saya jika ia tidak mengizinkan saya menikah lagi. Dan sewaktu napsu saya menggelora, syahwat saya membludak, saya pun melepaskan sperma saya yang hangat nikmat dan kental itu di lubang memek Mbak Imah.
Crrooottt…. crrrooott…. crrrooottt… crrrooottt… begitu sedap rasanya kalau dilakukan dengan penuh cinta, crrooottt…. crrroottt…. crrroottt… oohhh… crrooottt… crrrooott…. crrroottt…
Saya telah menemukan kembali bini penjual tanaman yang sempat hilang beberapa bulan.
Mbak Imah juga tau saya mencintainya, ia memeluk saya erat-erat tidak ingin saya melepaskannya. Tetapi saya harus pulang.
Pulang ingin berkata pada istri saya bagaimana caranya menyelesaikan masalah Elfira dan adiknya. Mungkin istri saya punya gawe untuk Elfira.
Kami berciuman. “Datang lagi ya, Pak.” kata Mbak Imah pada saya.
Elfira bernasib baik. Istri saya mendapatkan pekerjaan untuk Elfira di sebuah restoran fastfood yang terletak di sebuah mall.