BEDEBAH!
Farhan membungkam semenjak Papanya menikah untuk kali kedua. Mira, ibu tirinya, heran mengapa Farhan tidak mau bicara dengannya. Dia menduga Farhan tidak rela Papanya menikah lagi. Mira yang merasa bersalah terus menerus diyakinkan oleh Herman, Suaminya bahwa sikap diam Farhan hanya masalah waktu semata. Padahal, Mira makin lama mengira bahwa Farhan mengalami depresi. Akan tetapi, Mira belum memahami penyebab depresi Farhan.
Sementara Farhan yang mulai suka melamun serta sedikit bicara ini memendam sesuatu yang belum diungkapkan olehnya. Dia tergoncang jiwanya, meski dia masih sedikit bisa mengendalikan mental yang telah terganggu. Farhan yang betah di rumah lambat laun makin tertekan di rumah. Pun dengan kebiasaan orang tuanya.
Apakah yang selanjutnya terjadi? Apakah Penyebab Semua ini? Bagaimana Farhan bisa keluar dari masalahnya?
PENGANTAR
Berbaring, tercenung, Farhan betah di atas tempat tidurnya. Dia banyak membisu sejak Papanya memutuskan untuk menikah lagi beberapa bulan yang lalu.
“Mau disuapin?”
“…”
“Kamu mau makan apa?“, tanya Mira, Ibu Tiri Farhan. Dia sedang mengecek Farhan di dalam kamar. Hampir setiap kali Mira bertanya, selalu diabaikan oleh Farhan. Anak itu memilih diam, sekedar menengok sekali lalu memejamkan mata atau menatap langit-langit.
“…”
“Kalau begini terus, kamu bisa sakit, Nak…”
“…”
“Farhan mau makan apa? Ayo bilang sama Mama. Nanti Mama belikan. Jangan buat Mama cemas, sayang…”
“…”
“Farhan…”, Mira duduk di samping ranjang Farhan, menyentuh tangan anak tirinya, berharap Farhan mau menanggapi.
“…”
Farhan bukan tak makan sama sekali. Dia masih makan, namun porsinya sedikit. Lagipula Dia akan makan ketika Mira tidak di sampingnya. Saat makan pula, Farhan akan terbangun dan mengunci pintu supaya Mira tidak mengintip atau memerhatikan.
“Mengapa kamu enggak mau makan di depan Mama? Mengapa kamu tidak ceria? Farhan?
“…”
“Apa kamu… belum terima Aku jadi Mama kamu? Iyaaa?”, tanya Mira sambil berkaca-kaca, membelai kening Farhan.
“…”
“Farhan…”
Mira menyerah. Dia lalu keluar dari kamar anak tirinya sambil menyeka air mata yang baru terjatuh. Farhan lalu terbangun untuk memastikan pintu menutup rapat ketika Mira pergi. Ini sudah lebih dari sekian kali Mira membujuk Farhan agar mau bicara dengannya, namun Farhan masih memilih diam, sekalipun Mira harus merasa bersalah.
Farhan kembali ke tempat tidurnya. Dia berbaring. Sekarang giliran Farhan yang meneteskan air mata setetes demi setetes, lalu dia membekap mukanya dengan selimut. Farhan melepas isak tangis sejadinya dalam sunyi dan sepi.
“Dia masih sekedar teringat kepergian Mamanya saja. Farhan perlu waktu”
“Waktu apa Mas? Waktu bagi dia menerimaku sebagai Mama barunya? Begitu maksud kamu?”
“Seperti itu kurang lebih”, jawab Herman, Papa kandung Farhan. Dia baru pulang kerja, disambut Mira yang membantunya melepaskan kancing kemeja.
“Harus sampai kapan? Ini sudah masuk bulan ketiga pernikahan kita loh”
“Kamu bukan Ibu Tiri yang jahat seperti di film-film kan, Yang?”
“Enggak dong. Ya mana mungkin Aku seperti itu….” Mira mengangkut pakaian kotor Herman. Dia menoleh ke suaminya “Masa selama itu sih Mas, Farhan belum bisa menerima kepergian Mamanya? Sudah setahun lebih padahal”
“Farhan itu anak laki-laki… sangat dekat dengan Mamanya”
“Mmm…”
Sebelum menikah dengan Herman, Mira yang berusia 33 tahun merupakan perempuan yang berprofesi sebagai guru honorer. Kemudian dia berhenti bekerja atas permintaan Herman yang gajinya terbilang sudah mencukupi.
Mira sendiri mengenali Herman dari seorang kawan dekat laki-lakinya sesama pengajar. Mira memutuskan menerima pinangan Herman karena sosok Herman yang tinggi, rupawan, baik, dan juga mapan, meskipun statusnya ialah duda berusia 46 tahun.
Saat dikenalkan dengan Farhan oleh Herman di rumah pribadinya, Mira yang memiliki sifat keibuan sangat bersimpati dengan anak tirinya yang sudah menyandang status mahasiswa perguruan tinggi negeri. Sayangnya antusiasme Mira tak mendapatkan respon yang sama dari Farhan.
Ketika berkenalan di rumah, Mira bertegur sapa singkat dengannya. Kemudian Farhan langsung masuk ke kamar. Dia belum bicara banyak. Informasi tentang Farhan lebih banyak didapat Mira dari Herman. Dengan dalih masalah waktu saja sebagaimana dikatakan oleh Herman, Mira meyakini bahwa dia bisa menjadi orang tua pengganti yang baik untuk Farhan. Pada akhirnya Mira memutuskan mau menikah dengan Herman.
“Terus Aku harus bagaimana dengannya? Kalau dia masih tetep memilih diam terus?”
“Waktu yang akan bicara. Aku yakin enggak akan selamanya dia diam”, tutur Herman menjumput manja dagu Mira. Ia berusaha meyakini istrinya.
“Kamu sudah makan?”
“Belum, makan di luar yuk?”
“Ajak Farhan ya?”
“Enggak akan mau juga dia”, ucap Herman menggandeng Mira.
“Enghh…”
“Aku mau bicarakan soal ulang tahunku Minggu besok”
“Oh ya, hari Minggu besok kamu ulang tahun kan Mas?”
“Betul, Ah jangan bilang kamu baru ingat?”
“Enggak kok, Aku inget. “Mau hadiah apa?”, tanya Mira memeluk pinggang Herman. Mereka berpelukan.
“Aku mau… engghhh… nanti saja kuberitahukan. Jangan di sini”
“Ishhh bikin penasaran aja. Kamu pakai baju dulu”
“Iyaaa, kamu begini saja ya”
“Masa Aku cuman pakai kaos seperti ini, dalemanku dilihat orang-orang, mau?”
“Aku sukanya begitu, hehehe…”
“Henngh, Yaudah deh kalau kamu maunya begini, Mas”
Mira mengetahui bahwa Herman senang dirinya berpakaian seksi lalu dilihat oleh laki-laki lain dari segala umur. Hal itu telah diungkapkan oleh Herman sebelum menikahi Mira. Mira bisa menerima kenakalan Herman yang menurutnya masih wajar. Menurut penuturan Herman, Almarhumah istrinya dahulu tidak bisa seperti Mira yang memiliki pandangan lebih luwes dan bebas. Itulah mengapa Herman bersyukur bisa menikahi Mira yang juga lebih muda darinya, status perawan pula.
“Aku yakin mata penjualnya langsung melek, hehe. Kalau Aku ke sana sendirian, Bang Pepen suka banget nanyain kenapa kamu enggak diajak, hahaha”
“Apaaan sih kamu, kenapa harus Bang Pepen terus sih, sekali kali Aku sama yang ganteng napa…”
“Memangnya kamu mau dengan siapa diledekkinnya? Sadam Jordan?
“Adam… bukan Sadam… Tua banget, generasi kamu tuh. Aku maunya diledekin sama yang muda atau yang wajahnya ganteng setara Vino Bastian, Reza Rahadian, Ario Wahab…”.
“Genit banget…”
“Giliran gitu, bilangnya genit… ck, gimana sih”
“Yaudah yuk buru jalan, debatnya nanti saja”, timpal Herman sudah tak sabar kaos biru muda yang tengah dipakai oleh Mira diterawang oleh laki-laki di luar sana. Mereka akan menerawangkan pakaian dalam Mira. Dia sudah seringkali seperti itu. Mira juga memakluminya saja, tak pernah ada protes.
“Baru berdiri di depan rumah saja, sudah ada yaa menoleh-noleh, haha”
“Seneng banget kamu, kelihatannya”
“Harus seneng, supaya awet muda”, Herman menepuk bokong Mira. Istrinya mengenakan celana legging pendek ketat saat keluar rumah menjelang malam. Mereka berdua berencana makan malam di sebuah warung kaki lima yang menjajakan seafood sebagai menu utamanya. Herman dan Mira berjalan kaki ke sana.
“Kok baru muncul, kemarin ke mana aja, Neng?”
“Ih Bang Pepen, jangan megang-megang dong”, Mira menyalami tangan Bang Pepen, tetapi tangannya dicengkeram lama. Dielus-elus pula punggung tangan Mira. Ia pun menggerutu. Sementara Herman sang suami malah tersenyam senyum saat Istrinya hendak berusaha meloloskan.
“Eh iya bener, maaf, maaf… kangen sih, kamu lama enggak ke sini”
“Bosen juga kali makan di sini terus”
“Tapi enggak bosen kan kalau ketemu Bang Pepen? Hehe”, Bang Pepen memandangi badan Mira sebagaimana yang telah diharapkan oleh Herman. Penjualnya mendatangi langsung meja Mira dan Herman. Bang Pepen menarik kursi duduk bersebelahan dengan Herman, menghadap Mira.
“Bosen juga. Makanannya aja bosen dimakan terus, apalagi ketemu pemiliknya”, sindir Mira.
“Hehehe bisa aja kamu Neng. Farhan enggak sekalian diajak kemari”
“Tidur dia di kamarnya”, sahut Herman.
“Kasihan dia ya, belum juga bisa lupa dari Almarhum ibuknya”
“Sudah Bang, jangan diungkit lagi…”
“Maaf, Maaf… Mas”.
“Enggak apa, karena Bang Pepen enggak tahu saja. Ya sudah mau makan apa ini? Kalau sudah banyak pembeli dapat belakangan ini. Ayo segera dipesan, Yang”
“Pesen apa jadinya Neng?”, Bang Pepen, memegang tangan Mira kembali, mengelus-ngelusnya lagi. Mira pun tidak mengelak. Sementara Herman menghayati.
“Demen banget megang-megang ihh…”
“Kangen anak…”, ungkap Bang Pepen.
“Kangen Anak tapi kok sama kayak megang kemarin yang ngakunya kangen istri?”
“Oh sama ya? Hahaha”, tawa Bang Pepen, acapkali melirik serius ke gunung kembar Mira yang tertutupi BH berwarna biru gelap.
“Matanya dijaga Mang…”
SLLEEEEPPH!|Mira mencoba mengusap muka Bang Pepen. Namun laki-laki itu justru menangkap tangan Mira, serta menciumi telapak tangannya.
“HUUUMMHH… HARRRRUMMM!”
“AIHH… BENERAN GENIT BANGET BANG PEPEN… LEPASIN DONG… MAS, BANG PEPEN NIH…”
“KENA PERANGKAP, SUSAH LEPAS, HAHAHA”
Herman menyaksikannya seolah-olah itu semua bercanda. Padahal, dia menyadari bahwa dia memang benar-benar menginginkan hal itu terjadi.
“Aku mau pulang ganti kaos aja Mas. Bang Pepen aku pakai baju begini malah makin genit”, jengkel Mira.
“Sudah jangan diganti, sudah cakep kamu ah. Sudah bagus itu… seneng suamimu lihatnya juga, saya pun demikian, hehehe”
“Mas?”
“sudah enggak usah, gini aja. Hehehe…”, Herman malah membela pemilik warung kaki lima langganannya.
GLEEKH… [Bang Pepen mencengkeram erat tangan Mira, namun untuk melepasnya lagi seolah lupa]
Mira menyahut, “kamu dan Bang Pepen mirip, Mas…”
“mirip apanya?”, Herman menyimak ucapan Mira.
“Sama-sama miring otaknya!”
“tumpul?”
“Mesum!”
“Cabul? gapapa kan?
“Sejauh ini, Aman…”
Dari kejauhan seseorang tiba-tiba berteriak, “WOY BEDEBAH! MATA KERANJANG! BINI GUA ITU!” Keributan terjadi di warung kaki lima milik Bang Pepen. Seorang laki-laki memergoki istrinya sedang berduaan dengan laki-laki lain. Bang Pepen sontak melepas pegangan tangannya dari Mira. Dia terkaget-kaget. Dikira dirinya yang sedang diteriakki. Bang Pepen lantas syok. Dia balik ke dapur memasaknya.
SSOOMMPPRRAAAKKK!!!|Kursi plastik melayang, dilemparkan seseorang ke laki-laki mencoba-coba selingkuh dengan istrinya.
MAMPUS KAU!!
RIBUT DI LUAR SANA! JANGAN DI SINI!|Anak buah Bang Pepen melerai.
“Enggak cari tempat lain aja Mas?”, Mira terbawa panik melihatnya.
“Mau ke mana lagi?”
“Tempat lain, yang gak ada orang genit”
“Bang Pepen sudah terlanjur masak”
“Hhhhmmm…”
BERSAMBUNG…