SIXTH STORY : I’m Always Yours, Syifa.

Part 1 Hari – hari sebagai Supervisor kunikmati bagai air mengalir. Tugasku memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan tanpa kendala dan masalah. Kalaupun ada, akan dicari solusinya. Meski, lebih intens menghabiskan waktu mengunjungi tempat yang memakai jasa Plumbing, tidak lupa saran dan keluhan selalu aku terima untuk kemajuan perusahaan. Seperti hari – hari sebelumnya, aku rutin melakukan kunjungan di sana – sini. Ponselku berdering. “Halo, dengan Grha.” “Grha, ini aku, Icha.” “Oh, Icha. Ada apa? Tumben kau meneleponku?” Ya, hubunganku dengan Marissa agak sedikit cooldown sejak ia ke rumahku. Sebagai penebus kesalahannya, ia sering mencoba menyenangkanku. Kuterima, walau tidak bisa sepenuhnya memaafkan dirinya. At least, she’s not tricking me again. “Gimana kerjaannya? Kudengar kau kerja di perusahaan Plumbing.” “Tepat sekali. Sekarang aku sedang di daerah Jakarta Barat.” “Oh, bisa benerin pipa aku gak yang di apartemen?” “Kalo apartemen biasanya kan ada maintenancenya. Kalaupun dibenerin, mesti di urutin dulu dan minta izin pengelola.” “Kamu masih aja nanggepin serius, aku kan cuma mau pipa kamu itu ditancepin ke aku.” “Cha, emang lagi sepi job?” “Enggak sih. Sinetron lumayan jalan, MC meeting masih.” “Ngentotin orang masih kan?” “Kalo itu gak perlu di bahas. Oiya, aku lagi di meja no 15 di pojokan cafe. Keluar gih temenin aku.” Kebetulan, aku sedang kunjungan di sebuah cafe di bilangan Jakarta Barat. Aku mengamati pekerjaan anak buahku. Walaupun, sebenarnya ada Area Leader dan aku tinggal duduk terima laporan. Rasanya tidak nyaman saja bekerja seperti itu. “Tahu aku di Cafe darimana?.” “Udah ah. Cepet temuin aku.” Marissa menutup teleponnya. Aku memberi instruksi agar tetap melakukan pekerjaannya. Benar saja, Marissa duduk di meja di pojok Cafe. “Kau mengikutiku kesini?” “Tadi, sebenarnya ada rencana ketemu orang. Tapi, aku melihatmu mengendarai motormu kesini.” “Tidak apa kau mengikutiku.” “Gimana tawaran aku tadi, bisa gak dikerjain? Tenang aja, aku gak videoin kamu koq. Just sexual desire.” “To do point kamu orangnya, Cha.” “Kamu juga orang yang serius dengan pekerjaan. Ini juga “pekerjaan” yang harus diseriusin.” “Iya, aku kerjain koq.” Ia mengambil tas membayar minumannya dan menarik tanganku. “Mau kemana, Cha?” “Ikut aja. Telpon aja anak buahmu nanti.” Ia mengajak ke sebuah gedung. Di ruang tunggu supir di basement terbawah. “Disini aja ngerjainnya.” “Yakin aman? Ini ruang tunggu loh.” “Aman koq. Orang paling males kalo parkir di basement sini. Kejauhan.” “Tahu dari mana?” “Soal itu gak penting. Pokoknya aman.” Aku mengamati sekitar. Tidak ada semacam benda yang menjadi CCTV. Marissa sudah memperlihatkan sebagian payudaranya kepadaku. Aku melingkarkan jemariku menyentuh payudaranya. “Ooohhh……kerangsang banget akunya kalo diginiin.” Marissa menggapai celana dan membuka restsletingnya. Penisku masih mengendur. “Aaahhhh…..kocokanmu bikin gak tahan, Cha.” Jemarinya lentik menggenggam mesra membimbingnya agar mengeras. Sementara, aku masih sibuk dengan payudaranya dan sesekali melumat bibirnya. Penisku dilumuri ludahnya dan ia mengangkang lebar memperlihatkan Vaginanya. Aku melakukan penetrasi. “Aaaahhhh…….ooooohhhhh……kering….kering…..vagina aku kering…” Kurasakan vaginanya tidak basah. Ia memaksakan vaginanya menerima penisku. “Aku basahin dulu punya kamu.” “Gak usah. Sodok aja nanti basah sendiri.” Penetrasi ini menyakitkan bagi Marissa. Ia menikmatinya dengan meringis. Penisku merasakan kasarnya vagina Marissa yang kurang basah. Pelan tapi pasti, aku mulai terbantu dengan cairan yang melumasi vaginanya. Rasa sakit kini berganti menjadi erangan nikmat penuh arti. “Aaaahhhhhh……..oooooooccccchhhhh…..terus…..terusssss……..sodokin terus….” “Ah….ah…..ah….ah…..ah….ah…..ah…..ah….ah” Sial, ponselku berdering. Dari anak buahku. Aku menjawab teleponnya tanpa melepaskan Marissa. “Halo….ada apa?” “Pak, sudah selesai pekerjaannya. Manager Cafe ingin bertemu bapak.” “Ohh….iya….tunggu sebentar….saya kesana?” “Bapak tidak apa – apa? Sepertinya bapak sedang kelelahan?” “Iya, aku sedang menuju kesana sambil berlari…..aaahh.” “Baik, Pak. Kami sekalian nunggu bapak.” Setelah menelepon. Aku menggenjot Marissa membabi buta. Ku kerahkan segenap tenagaku. Aku mencabut penisku keluar dan mengocok penisku di depan liang vaginanya.

“Aaaaaahhhhh…….cccccrrrroooottttt……cccccrrrroooottttt…..ccccccrrroooottttt….cccccccrrrrooootttttt.” Spermaku berhamburan di vaginanya. Marissa melihat vaginanya basah oleh sperma. Ia juga kelelahan. “Aku harus balik, Cha.” “Tungguin aku juga capek.” Aku menyetir mobil Marissa menuju Cafe. “Kerasa panas vagina aku. Apalagi, kamu pejuhin aku di luar.” “Aku gak mau pejuhin kamu di dalem asal – asalan. Habis ini kan, kamu bisa crot di dalem sama orang lain.” “Aku juga gak sembarangan kali.” “Selesai kan kerjaanku.” “Iya, lain kali bisa dikerjain lagi. Pasti butuh lagi. Dan, berikutnya harus dibuang yang bener.” Aku menuju Cafe dan menyelesaikan pekerjaanku disana. Marissa langsung pergi ke tempat yang ia tuju. Beberapa sejak Marissa menemuiku. Aku menemui Pak Hasan selaku Manager Area. Ia memanggilku karena ada masalah dengan Area tertentu. “Selamat siang Pak Hasan.” “Oh, Grha. Masuklah.” “Ada apa ya pak? Sampai memanggil saya kesini.” “Saya melihat performa anda di area jakarta barat. Saya puas dengan pekerjaan anda. Anda tidak sungkan untuk turun ke lapangan.” “Saya hanya bekerja sesuai standar saya. Mendengar keluhan pelanggan dan saran mereka sekaligus menjalin komunikasi baik secara struktural dan manajerial.” “Langsung ke permasalahan. Ada masalah yang datang di mejaku. Masalahnya, ada sebuah restoran yang sudah lama menjadi klien. Sudah dari beberapa bulan yang lalu, mereka selalu mengeluhkan buruknya pelayanan jasa yang dilakukan. Langkah perbaikan tidak kunjung menyelesaikan masalah yang ada. Perusahaan ini akan rugi karena restoran ini adalah klien besar. Jika kita tidak bisa menyelesaikannya, aku takut hal ini akan merugikan perusahaan dan kredibilitas perusahaan. Aku mencegah hal ini terjadi.” “Baik, Pak. Saya akan menangani masalahnya.” “Ini dokumen mengenai data – data yang diperlukan.” Aku mendapat tugas untuk menangani sebuah proyek pemipaan di sebuah restoran yang sedikit bermasalah. Besoknya, aku menuju ke restoran yang dituju. Seorang waitress menyambutku begitu aku memasuki tempat itu. “Silahkan pak mau pesan apa?” “Tidak. Saya dari Perusahaan Plumbing PT. Xxxx. Saya kesini ingin bertemu dengan Manajer disini.” “Mohon ditunggu.” Waitress itu menuju ke dapur dan ia kembali dengan menyuruhku menunggu di ruangan khusus untuk tamu. Aku duduk dan seorang perempuan masuk. Wajahnya cantik. Namun, cukup antagonis. Ia masuk dan menatapku dengan kebencian. Ia membentakku. “Bapak. Saya sudah berkali – kali menghadapi orang – orang dari perusahaan itu. Bapak mau apa? Tagihan Invoice? Maintenance asal – asalan? Bapak sudah membuat saya tidak nyaman dengan kedatangan bapak.” Ia marah besar dan mengamuk sambil menggebrak meja. Aku masih terdiam menunggu mereda. Ia mencengkram kerah bajuku. Kebetulan, aku memakai seragam perusahaan. “Asal bapak tahu, saya sudah capek dengan anak buah bapak dan jasa bapak. Apa bapak akan melakukan teror kepada saya?” Ia melepaskanku dan duduk di depanku. Ia mengatur nafasnya agar tidak berkeringat. “Bapak diem aja. Bapak ada urusan apa?” Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Perkenalkan, saya Grha.” “Langsung aja gak usah basa – basi. Saya gak punya banyak waktu.” Ia menolak untuk berjabat tangan. Aku mengeluarkan dokumen dan sebuah kertas. Alat tulis tergenggam di tangan kananku. “Saya kesini diutus untuk mencoba menyelesaikan masalah yang ada.” “Nanti setelah ini apa? Ada masalah lagi.” “Bu, saya disini baru pertama kali kesini.” “Semua orang bilang begitu.” “Saya kesini akan berusaha menyelesaikan masalah dan tidak akan terjadi lagi seperti sebelumnya.” “Pembicaraan ini tidak berguna sama sekali.” Aku berdiri. Aku marah atas sikapnya yang tidak hormat. “Sebelumnya, Bu. Saya minta maaf apabila kedatangan saya mengganggu ketenangan anda. Tetapi, saya disini berusaha untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Jika Ibu memiliki masalah dengan orang sebelumnya, saya akan membantu Ibu selesaikan masalahnya. Ibu boleh saja menganggap semua orang yang mendatangi Ibu sebelumnya sama. Tetapi, tidak kali ini. Saya disini murni karena masalah anda.” Aku kembali memasukkan dokumenku. Aku mengeluarkan form kunjungan dan meninggalkannya. “Silahkan Ibu mengisi form ini. Mohon maaf saya tidak mau berlama – lama karena Ibu disini juga tidak dalam kondisi yang baik. Terima kasih telah menemui saya.” Aku keluar dari restoran dan kembali fokus dengan area ku sendiri. Shit, baru kali ini aku menjadi bulan – bulanan cewek sialan. Untung cewek. Kalo tidak, berantem pasti. Sore hari mulai bersambut. Waktunya untuk pulang. Baru aku ingin pulang, seseorang meneleponku. Private number. “Halo.” “Halo, benar ini Grha dari Perusahaan Plumbing?” “Iya. Tepat sekali. Saya bicara dengan siapa?” “Saya Syifa. Saya orang yang di restoran tadi.” Suaranya berbeda saat marah – marah dan kalem seperti ini. “Iya, Bu Syifa. Saya bisa ambil form nya?” “Silahkan, Pak. Saya sudah mengisinya.” “Baik, Bu. Saya segera kesana.” Aku sampai disana petang. Kembali di ruangan dimana aku dimarahi tadi. Ia sendiri menghampiriku dengan pakaian santai. Kaos putih bercelana jeans pendek dengan kacamata besar. “Mohon maaf saya tadi dari rumah terus kesini.” “Saya minta maaf telah merepotkan Ibu.” “Panggil Syifa aja. Saya belum Ibu – ibu.” “Baik, Syifa.” Penampilan Nerdy-nya natural. Ingin rasanya aku menerkamnya. “Sehubungan dengan peristiwa tadi pagi. Saya dari lubuk hati terdalam, menyampaikan maaf. Saya sudah bertindak dengan kasar dan tidak sopan. Saya tidak mendengarkan anda.” “Tidak apa – apa, Syifa. Itu perilaku normal yang terjadi saat offensif.” “Saya sudah capek dengan kejadian beberapa bulan terakhir. Rasanya, saya sudah ingin melepaskan jasa plumbing dari perusahaan anda.” “Saya akan mencoba

menyelesaikan mengapa hal ini bisa terjadi seperti janji saya tadi.” “Saya benci ada yang meneror saya yang mengatasnamakan perusahaan anda. Tetapi, saya tidak dapat membuktikan siapa dia?” “Saya berjanji akan menuntaskan masalah ini demi anda.” Syifa terperangah mendengar perkataanku. “Maksud saya, demi restoran anda.” Ia tersenyum mendengarku. Kami mulai ngobrol apa saja yang terjadi. “Saya sepertinya pernah liat di sinetron dan majalah.” “Iya, saya pernah jadi bintang sinetron dan Miss Indonesia 2010. Asyifa Latief pakai ef. Di browsing aja nanti.” “Pantas saja. Saya pernah lihat wajah anda. Tapi, beda ya.” “Orang – orang kadang bisa ngenalin saya. Anda cukup hebat bisa ngenalin saya.” “Di televisi, anda jadi perannya antagonis.” “Seperti ini?” Ia melepas kacamata dan menatapku persis seperti orang yang dendam. “Aduh, gak kuat di liatinnya kaya gitu.” “Kenapa?” “Terintimidasi banget.” “Anda bisa saja. Nama kamu juga aneh, Grha.” “Nama itu menjadi hoki buat saya.” “Hoki? Emang hoki apaan?” “Sekarang bisa ketemu Syifa.” “Udah mantan Miss kali.” “Tetap saja Miss Indonesia. Itu hal yang patut dibanggakan.” “Ah. Kamu memuji aku terus.” Setelah chit chat dan menikmati minuman yang disediakan. Aku bergegas pulang. “Tunggu. Scan barcode bbm biar nanti gampang ngehubunginnya.” “Baiklah.” Aku membuka barcode bbm di ponselku dan di scan olehnya. “Terima kasih, Pak Grha.” “Terima kasih juga, Ibu Syifa.” Aku harus menyelesaikan masalah yang terjadi padanya. Pagi esoknya, aku memanggil para pekerja yang menangani restoran Syifa. Ada 2 orang yang bertanggung jawab. Yaitu Siagian dan Narda. “Pak Siagian dan Pak Narda. Dari data yang saya peroleh, kalian yang bertugas selama beberapa bulan ini untuk melakukan maintenance Plumbing pada Restoran Xxxx. Saya sudah melihat teknik, skema, dan bahan digunakan. Saya rasa tidak ada masalah. Tapi, mengapa ada hal yang tidak beres? Saya ingin tahu sebabnya.” “Anu, Pak. Saya bersama Narda sudah melakukan pekerjaan sesuai SOP. Dan, hasilnya baik. Saya sendiri tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kami.” “Ada sesuatu yang bisa diceritakan?” “Tidak ada, Pak.” “Kalian akan melakukan Maintenance Plumbing di tempat itu kapan?” “Hari kamis, Pak.” “Aku akan ikut dengan kalian.” “Baik, Pak.” Aku bersama mereka melakukan pekerjaan Maintenance Plumbing. Aku mengawasi pekerjaan mereka. Syifa sendiri mengapresiasi kehadiranku disana. “Saya tidak menyangka anda akan terjun langsung kali ini, Grha.” “Saya hanya menjalankan tugas. Saya sudah janji kepada Syifa menyelesaikan masalah ini.” “Boleh aku berbicara sesuatu?” “Boleh saja.” “Ayo ikut ke ruangan aku.” Aku masuk ke sebuah ruangan yang cukup nyaman. “Maaf, tempat kerja yang ala kadarnya.” “Tidak apa – apa, Syifa. Oiya, ada apa ya?” “Aku ingin mengajakmu menunggui pekerjaan mereka.” “Tapi, ini ruangan kerja kamu, Syifa.” “Udah gak apa – apa. Lagian capek formal terus di depan kamu.” “Iya deh. Kamu kenapa murung?” “Semoga hal ini bisa selesai.” “Pasti koq.” Aku melihat parasnya yang sedikit tenang. “Apaan sih kamu liatin akunya kaya gitu. Ntar naksir loh.” “Maaf. Soalnya kamu juga masih murung juga tadi.” “Sekarang enggak koq.” Ia melemparkan senyum manisnya. Shit, aku bisa jatuh cinta kepadanya. “Senyuman kamu bikin aku naksir loh.” “Oiya? Berarti aku cantik dunk.” “Kamu udah cantik juga, Syifa.” Tangannya berpagut pada kedua pipinya. Ia melihatku yang sibuk mencari form kunjungan. “Jadi, bisa bantu isi form aku?” Ia memainkan pulpen ditangannya. Di genggam dan diremasnya. Diusap – usapnya di mukanya. Diciumi dan dijilatnya. Sambil ia mengisi formku. Aku sendiri sampai berpikiran yang tidak – tidak kepadanya dan penisku memberontak di dalam celana. “Syifa, bisakah….” “Maaf. Aku tidak tahu kau masih disini. Ini jadi kebiasaanku.” Ia mengisi form dengan singkat. Aku melihat kalungnya yang unik. Bentuknya seperti batang tipis dan berwarna perak dengan ujung keemasan diatasnya. “Kalung kamu unik, Syifa.” “Oh. Ini. Unik gimana?” “Ya unik aja.” Waitress masuk dan memberitahukan pekerjaan sudah selesai. Aku mengecek pekerjaan mereka dan pamit kepada Syifa. “Syifa. Aku balik dulu. Aku udah ngecek dan semuanya baik – baik aja.” “Malem ini, ikut aku yuk.” “Kemana?” “Nanti aku hubungin.” “Oke.” Malam harinya, aku kembali ke restoran. Kulihat ia tengah berdiri di luar restoran. “Sudah lama, Syifa?” “Lumayan sih.” “Tadi agak telat keluar soalnya.” “Pake motor kamu boleh? Bosen, naik mobil terus – terusan.” “Iya boleh.” Syifa mengajakku ke acara Urban Street Food. Setelah berkeliling, kami menikmati Ice Cream Rolls dengan rasa yang kami sukai. Syifa sendiri sudah mencicipi berbagai jajanan yang disediakan disini. “Kamu suka green tea, Syifa?” “Pengen coba aja. Kamu sendiri mainstream banget rasa coklat.” “Aku gak pandai milih. Adik aku sering aku beliin es krim rasa coklat.” “Dimana adik kamu sekarang?” “Di kampung halaman. Entah masih mengenaliku atau tidak, karena aku meninggalkan adikku berumur 3 tahun. Mungkin, saat ini sedang sekolah dasar.” “Kamu belum pernah pulang?” “Udah pernah. Namun, adik aku gak ngenalin. Wajar aja lah aku lama disini.” “Sorry dengernya.” “Gak apa. Kamu makannya pelan – pelan. Belepotan kena baju nanti.” Aku mengelap bibirnya dengan tisu dan memegangi rambutnya. “Makasih.” Kami salah tingkah. Ia masih meneruskan makannya hingga tersisa sedikit. “Nih, aku suapin. Gak boleh makan pake tangan kiri.” Ia menyendok es krim dari tempatku dan menyuapinya. “Sekali – kali, coba rasa green tea. Nih, makan yah.” Aku patuh saja dengan perintahnya. Cuaca cerah malam ini menjadi saksi kami berdua dan memutuskan untuk pulang ke rumah. “Makasih yah udah mau nemenin aku.” “Aku yang makasih udah diajak.” “Kamu orangnya asyik ternyata.” “Biasa aja, Syifa. Kamu juga asyik koq.” Aku berhenti di sebuah gerobak penjual nasi goreng. “Bentar, ya. Tunggu disini.” Aku menghampirinya dan memberikannya sejumlah uang untuk ditukarkan nasi goreng. “Grha, sini.” “Iya, Syifa.” “Tadi kan udah makan? Mau makan lagi?” “Enggak. Bukan buat aku. Tuh, liat. Ada kakek – kakek tukang semir sama istrinya. Makanan ini buat mereka.” Aku menyeberang jalan dan menyerahkan makanan dan minuman untuk mereka. “Yuk dilanjutin lagi. Dari tadi berangkat, aku lihat mereka gak ada yang make jasa mereka. Sekejam – kejamnya Ibukota jangan sampe bikin nurani kita ikutan kaya gitu.” “Kenapa baru muncul sih orang seperti kamu di hidup aku.” Gumam Syifa. “Syifa, dipake helmnya dunk.” “Ah. Iya. Bentar ada telepon.” Ia mengangkat telepon dan menjauhiku. Ia mendekatiku dalam kondisi panik. “Bisa tolongin anterin aku ke Mall Xxxx?” “Ada apa?” “Nanti dijelasin.” Aku memacu motorku bersama Syifa. “Cepetan, Grha.” “Iya, Syifa.” Setelah sampai, Syifa terburu – buru menuju lantai LG yang sudah sepi. “Syifa, tunggu. Ada apa sebenarnya?” Aku menahan tangannya menghentikan langkahnya. “Keponakan cewek tante-ku berulah lagi. Aku harus bikin dia pulang.” Ia melepaskanku dan terus menuju sebuah ruko yang cukup besar. Tidak terlihat seorang security pun disini. Ia membuka rolling door dan muda mudi seusia anak SMP berkerumun menyaksikan tarian yang dilakukan oleh mudi SMP. Syifa menyeret seorang penari dan sempat menyalak – nyalak meluapkan emosi. “Syifa. Mengapa keponakanmu?” “Aku gak sanggup buat ngejelasinnya.” Syifa berlinang air mata. Tangisnya akan segera pecah. Keponakannya yang memakai pakaian minim ditutupinya dengan jaket yang ia pakai. Di luar, aku mencegat taksi untuk Syifa. “Syifa, kamu tenangin diri kamu. Ini pakai aja jaket aku biar gak dingin.” Aku berpesan kepada supir taksi mengantarkannya ke rumah dalam keadaan selamat. 2 hari kemudian, Syifa menghubungiku. “Hey, Grha.” “Hey, Syifa. Gimana keadaan kamu?” “Baik koq. Bisa datang ke restoran? Aku pengen ngobrol sesuatu.” “Hmmm….nanti jam 2 an aku kesana. Tanggung aku selesein dulu kerjaan aku.” “Aku tunggu ya.” Semoga saja ia tidak apa – apa. Waktu berlalu. Kini, aku bersamanya di ruang kerjanya. “Jadi begitu ceritanya. Pantes aja kamu kuatir kemarin.” “Makanya, tante aku selalu kuatir dengan pergaulan keponakanku itu.” “Itu jaket aku? Kamu pake terus ya.” “Abis enak sih. Gak mau aku balikin pokoknya.”

“Tapi jangan lupa dicuci. Bau badan aku itu.” “Biarin aja.” Ia menghirup kerah jaketku dalam. Ia menikmati bau lelaki yang melekat. “Jadi iri akunya. Coba aja aku jadi jaketnya.” “Ngarep ya kamunya? Hayo?” “Aku kan normal, Syifa.” “Hihihi…..” “Oiya, gimana Plumbingnya. Ada sesuatu?” “Baru keinget. Soal Plumbing, aku pengen nanya ke kamu. Emang ada kunjungan kedua?” “Kunjungan kedua? Seinget aku jadwal mereka masih minggu depan.” “Setiap kali aku gak ada di tempat. Biasanya ada kunjungan ke dua. Aku sudah pernah nanya ini ke Pak Antos. Dia bilang itu kunjungan tentatif aja. Gak setiap saat.” “Aku sebenernya gak megang area sini. Tapi, di areaku. Setiap pekerjaan harus selesai dalam sekali datang kalo urusan Plumbing. Beda urusan kalo Instalasi Plumbing atau ubah Plumbing yang rumit. Kalo maintenance sih gak perlu 2 kali kunjungan. Kalopun ada, harus sesuai persetujuan dari vendor dan klien.” “Mereka kesini nuangin semacam cairan. Katanya sih buat ngebersihin pipanya.” “Boleh aku liat?” Aku mengecek saluran air di dapur dan kamar mandi. Aku melihat ada yang tidak beres. “Sepertinya tempat ini sering dibongkar?” “Ya begitulah. Katanya air sini ngerusak pipa yang dipasang. Pernah sampe merembes keluar.” “Baiklah. Aku akan telepon teknisinya.” Aku menelepon Pak Hasan meminta izin untuk memanggil teknisi di areaku. “Nanti teknisi dari areaku datang kemari. Dia akan memberitahu apa yang terjadi.” “Haruskah aku isi form lagi?” “Tentu saja, Syifa.” Kembali ke ruangan. Ia segera mengisi form yang kuberikan. “Deketan dunk. Bener gak ngisinya.” Aku berdiri di sampingnya. Wangi rambutnya terendus di dekatku. Di dekatkannya hidungku dengan kepalanya. Wajahku berada di samping wajahnya. Nafasnya dan hidungnya menyentuh pipiku. Sontak, nafsuku perlahan naik. “Kalau begini bener gak sih?” Dikecupnya pipiku. Aku terkejut. “Syifa, kamu.” “Itu terima kasih aku udah nganterin aku nemuin keponakan aku.” Aku mengusap – usap kepalanya. “Ih, poni aku rusak nih.” “Biar bisa kecup kening kamu.” Aku mengecup keningnya dan merapikan kembali poninya. Bersambung Pada Post Selanjutnya.

 

Part 2 Suasana menjadi sangat canggung kali ini. Aku sibuk dengan formku. Syifa sendiri menyibukkan diri dengan apa yang bisa dikerjakannya. Dengan sigap, aku memegang tangannya. Ia pun terkesiap. “Aku minta maaf jika perbuatanku tidak menyenangkan.” “Kurasa kita tidak perlu seperti ini, Grha. Aku menyukai seorang pria bersikap manis seperti tadi.” Waitress masuk memberitahukan bahwa teknisi Plumbing telah datang. Setelah berbicara dengannya, aku mengawasinya hingga Syifa menyambangiku. “Aku tungguin di ruangan tadi.” “Lagi nungguin teknisi kerja sekalian.” “Bosen tau di ruangan sendirian.” Teknisiku memberikan rekomendasi pekerjaan dan aku menyetujuinya. Ia kembali pada pekerjaannya. “Syifa. Sepertinya pekerjaan ini agak lama. Aku harus melaporkan penggantian beberapa bagian dan maintenance ulang.” “Loh bukannya kemarin udah maintenance?” “Ada cairan yang melapisi bagian dalam pipa. Residu kotoran melekat disana dan menyumbatnya.” “Koq bisa begitu?” “Aku belum bisa memastikan. Mungkin kunjungan kedua yang menyebabkan hal itu terjadi.” “Yaudah kalo gitu. Mau sampe kapan benerinnya?” “Mungkin jam 10 malem baru selesai.” Aku menuju kantor dan meminta surat pekerjaan tambahan dan bahan tambahan yang diperlukan. Aku berjumpa dengan Pak Antos. “Kudengar kau menangani restoran xxx. Dan, kau mendatangkan teknisi areamu di areaku.” “Pak Hasan menyuruhku mengerjakan tempat itu. Jika kau bermasalah dengan itu, silahkan ke Pak Hasan.” “Aku akan ke Pak Hasan nanti.” “Apakah ada kunjungan kedua dalam setiap pekerjaan di areamu? Kau tidak pernah cerita.” “Itu tindakan lanjut saja. Aku tidak selalu menggunakannya.” “Terima kasih atas informasinya.” “Lain kali, gunakan teknisi areaku.” “Baiklah. Itu kesalahanku.” Aku menelepon Siagian. “Halo, Siagian. Apa kau yang melakukan kunjungan kedua? Apa yang kau lakukan dengan Narda?” “Kami bekerja sesuai jadwal. Kami tidak pernah melakukan kunjungan kedua.” “Baiklah. Terima kasih.” Kecurigaanku mengarah ke Pak Antos. Apa yang dia perbuat. Aku belum cukup bukti untuk keterlibatannya. Aku kembali ke restoran dengan sekardus bahan tambahan. Dalam perjalanan, motorku dijegal hingga terjatuh oleh seseorang. Untung, aku masih dapat melanjutkan perjalananku. Aku meminta P3K setelah sampai dan menyerahkan bahan tambahan ke teknisi. Siapa yang berbuat seperti ini kepadaku? Aku harus cari tahu. Syifa tidak di tempat. Ia sedang ada urusan. Aku menungguinya hingga selesai. Entah dari mana, Syifa turun dengan gaun yang anggun. “Loh, kamu kenapa di perban kaya gini?” “Gak apa. Tadi gak ati – ati. Keserempet sampe jatuh aja.” “Baru ditinggal aja udah jatuh.” “Gak apa, Syifa.” “Di kiss biar gak sakit lagi.” Ia mencium perbanku hingga bekas lipsticknya tercetak jelas. Teknisiku selesai melakukan pekerjaannya. Ia pamit pulang. Aku menyadari bahwa restoran sudah sepi. Pegawai restoran telah pulang. “Kamu masih disini ngapain, Syifa?” “Aku mau stok opname bahan yang ada di gudang.” “Aku temenin kalo gitu.” “Udah biasa sendiri koq.” “Sekali – kali, gak apa kan?” Ia tersenyum. Dengan beberapa kertas cek list di papan tulisnya, ia melihat isi gudang dan memberi cek list dan tulisan di kertasnya. Ia serius dengan pekerjaanya. “Kamu sampai keringetan gini.” Aku mengelap dahinya yang berkeringat. Aku sendiri juga berkeringat. “Kamu juga sama tuh.” “Sayang Miss yang cantik ini keringetan.” Selesai stok opname. Kami duduk beristirahat. Dadanya kembang kempis. Belahan dadanya sedikit terlihat naik turun. Mataku mengikuti geraknya. “Liatin apa kamu?” “Ah. Enggak. Enggak capek pake gaun ketat gitu? Sampe sulit nafas itu.” “Tadi belum sempet ke rumah langsung ke sini. Tolong longgarin restleting gaun aku dunk.” Ia balik badan. Tanganku gemetaran memegang restsleting di punggungnya. “Segini?” Kuturunkan setengah. “Terus. Masih sesak.” “Segini?” Tinggal seperempat lagi hingga habis. “Semuanya aja.” Restsleting mentok di ujungnya. Aroma tubuhnya menggelegak hidungku. Jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia berbalik sambil memegangi dadanya. “Masa kamu harus megangin kaya gitu?” Tanyaku. “Abis mau gimana lagi.” “Ada pakaian di restoran ini?” “Sepertinya sih ada. Sebentar.” Ia menuju tempat kerjanya. Ia kembali dengan memakai celemek saja. Tentu saja, hal ini membuatku bernafsu dengan Syifa. “Hey, liat aku, Grha.” “Bukan itu, Syifa. Pakaianmu minim buatku. You know, aku ini laki – laki normal.” “Apa kau tertarik?” “Tentu aku tertarik, Syifa.” “Sebentar aku ke kamar mandi dulu.” Di depan wastafel, aku melihat diriku. Aku menenangkan diri agar ereksiku tidak berlanjut. Aku membasuhnya dengan air dingin. Syifa masuk dan aku segera memasukkan penisku yang setengah tegang ke celana. “Kamu lugu. Kenapa gak bilang kamu tegang aja?” “Aku malu.” Ia memeluk tubuhku. “Hhhhhhaaaaaahhhhh……..lebih nyaman dengan orangnya daripada make jaketnya.” “Syifa, May I…..?” “Go on, Grha.” Aku mencium bibirnya dengan canggung. Sensasi ini terasa indah. Layaknya seorang kekasih. Ciuman ini membuat kami nyaman. “Sorry, I’m not a good kisser. Syifa.” “You do your best. Feels great when you touched me.” Kami ke ruangan dimana pertama kali bertemu. “Biar kamu cepet sembuh, aku akan lakuin sesuatu untuk kamu.” Ia membuka celanaku. Penisku terlihat menegang walau sedikit. “Sorry. For the first time, aku belum ingin memberikan tangan dan tubuh ini. At least, I give you a small gift.” Kakinya yang jenjang terpampang jelas. Ia mengocokku dengan telapak kakinya. Tidak kalah enaknya dengan memakai tangan. “Aaaaaaaaahhhhhh……..Syifa.” Kakinya dengan lihai mengurut penisku seperti telapak tangan. Wajah antagonisnya binal menggodaku. Pijatan lembut dengan injakan keras membuatku melenguh nikmat. “Aaahhhh…..Syifa….jangan disitu….” Shit, ia menemukan titik lemahku. Dipicunya titik itu dan disiksanya. Nafsuku naik turun. Ia memainkan nafsuku hingga aku kelelahan. “Ampun….Syifa….ampun..” Ia mengocokku dengan keras. “Syifa…..Syifa…..Syifa…..aaaaaaaaahhhhhh…” Aku menutup mukaku sendiri. “Cccccrrroooottttt……..ccccccCrrrroooootttttt…….cccCccrrrroooottttt….” Aku menghela nafas berat. Kakinya bersimbah spermaku. Walaupun, badanku juga kena. “Iyuh…banyak pejuh kamu untuk ukuran seorang cowok.” Ia membersihkan kakinya dengan tisu. Aku mengambil tisu dan mengocok sebentar penisku. Masih ada sisa yang belum keluar. “Masih ada?” “Sedikit sih. Makasih udah muasin aku.” “Biar kamu cepet tidur dan cepet sembuh.” Ia menciumku kembali. “Lain kali, mungkin aku butuh bantuan untuk dipuasin, Grha.” “Kamu pake kalung vibrator mana bisa puas?” “Kamu tahu?” Aku memegang kalungnya. “Aku itu orangnya cemburuan. Benda sekecil ini bisa terus muasin kamu.” “Maybe, we’ll see soon. Babe.” “Boleh tanya sesuatu?” “Iya. Boleh.” “Do you masturbating with my jacket?” “Yeah. Honestly, you’re the man I seeks.” “For what?” “Giving me something I cannot tell. Something special. I won’t bring back your jacket. It’s mine.” “My body is yours too.” “I’ll tell you when the time is come.” “Aku tidak perlu dicintai, Syifa. Aku dan kamu berbeda jauh.” “Why? Don’t you love me?” “I love you. But, for some real, you deserve a better. I’m just a comfy for you.” “TTM-an?” “Boleh aja. I won’t push you to love me.” “Thanks, Babe.” Ia memelukku kembali dan kelelahanku berhasil mengalahkan kesadaranku. Pagi, aku masih berada disini. Syifa tidur bersandar denganku di sofa. “Syifa, bangun.” Aku menciumnya. “Morning, Grha.” “Kurasa aku tertidur semalaman disini.” “Aku juga. Kamu mandi gih. Abis itu aku yang mandi.” Kami duduk berdua di dekat dapur. Syifa membawakan sebuah makanan dan kami makan bersama. “Enak masakanmu.” “Masakan rumahan aja. Gak ada di menu.” Para karyawan mulai masuk kerja. Mereka terkejut kami sudah berada disini. Aku juga memastikan tentang pekerjaanku. Siang sedikit, ada teknisi yang datang ke restoran. “Anda siapa pak?” “Saya teknisi Plumbing PT. Xxxx.” “Loh, kemarin juga sudah ada maintenance dari situ juga.” “Saya cuma melakukan perawatan lanjutan saja.” “Mana surat pekerjaannya? Sudah ada janji?” “Itu urusan manajemen, Pak. Saya disini disuruh saja. Melakukan pelapisan anti korosi terhadap pipa.” “Tidak bisa begitu. Tidak ada surat pekerjaan dan ID perusahaan. Saya tidak bisa mengizinkan bapak.” “Bapak siapa ya? Saya tidak pernah melihat bapak sebelumnya disini.” “Saya Field Supervisor Plumbing PT. Xxxx. Ini ID saya. Bapak jangan ngaku – ngaku teknisi jika tidak ada tanda pengenal.” “Saya cuma disuruh saja.” “Siapa yang suruh.” “Pak Antos.” “Bilang sama dia. Pekerjaan kamu udah selesai. Saya yang menghandle disini. Saya minta sample cairan kamu.” “Buat apa pak?” “Untuk memastikan kalau cairan ini dari gudang.” “Saya tidak bisa memberi samplenya.” “Siapa nama kamu? Saya laporkan anda sebagai penipu di kantor polisi.” “Baik, Pak.” Dengan ragu, ia mengeluarkan sebuah cairan di dalam jerigennya. “Mulai sekarang, tidak ada kunjungan kedua. Kunjungan kedua harus izin saya terlebih dahulu.” “Baik. Pak. Saya permisi.” Dari dalam, Syifa langsung mendekatiku. “Kau mengusirnya?” “Aku tidak mengenal pegawai itu. Darimana ia dapatkan cairan ini dan seragam yang ia kenakan? Syifa, aku pergi dulu. Jika ada hal seperti itu lagi, kamu telepon aku. Jangan sampai ia melakukan pekerjaannya.” “Masuk dulu ke ruangan aku. Give me some kiss before you leaving.” Aku memberinya sebuah ciuman di ruangan kerjanya. “Hati – hati, Grha.” “Kamu juga hati – hati disini.” Aku bergegas ke area ku dan menyelidiki cairan yang kini aku pegang. Sepanjang perjalanan, aku merasa dibuntuti. Aku menghindar. Tetap saja, ia membuntutiku. Aku berhenti di depan kantor polisi. Motor itu berlalu begitu saja. Aku kembali berkendara. Aku menemui teknisi area ku dan memberikan samplenya. “Kira – kira ini cairan apa?” “Ini cairan korosif pak. Lengket kalo kena air.” “Kalo ini dimasukkan ke dalam pipa apa yang terjadi.” “Kalo dimasukkin ke pipa lama kelamaan bisa nyumbat. Apalagi, kalo airnya kotor. Bisa mampet total.” “Ada cara ngebersihinnya?” “Kalo belum parah di hantam air aja terus menerus agar tidak menempel di pipa. Kalo sudah terlanjur, harus instalasi ulang.” “Apa pernah di pakai dalam teknis pekerjaan?” “Cairan ini digunakan untuk menutup pipa lama yang tidak terpakai pada instalasi yang sudah ada.” “Terima kasih atas informasinya.” Kali ini, aku menemukan sebuah titik terang. Ada sabotase dalam pekerjaan di restoran itu. Saatnya telusuri lebih lanjut. Sampai di kantor. Aku menuju ke gudang dan menanyakan data log sample yang kubawa. Aku berpapasan dengan Pak Antos. “Pak Grha, tadi pagi anda mengusir teknisi di area ku. Itu tindakan indisipliner.” “Saya mengusirnya karena ia tidak memenuhi syarat pekerjaan. Lain kali, Pak Antos. Bekali teknisi anda dengan tanda pengenal dan surat pekerjaan. Saya sangsi kalau itu adalah teknisi area anda.” “Jangan mengajarkan peraturan yang ada. Saya lebih tahu peraturan daripada anda.” “Baiklah. Kalau begitu, saya minta jadwal semua teknisi di area anda.” “Itu rahasia area. Hanya manager yang bisa melihatnya. Anda tahu itu bukan?” “Sebaiknya bapak berhati – hati. Dan, mungkin anda tidak perlu repot – repot menyuruh orang untuk membuntuti saya. Pak Antos hanya akan mengotori tangan.” “Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa, Pak Grha. Anda beruntung karena izin khusus dari Pak Hasan. Aku akan buat perhitungan dengan anda.” “Saya merasa terintimidasi kali ini. Kita lihat saja nanti.” Aku sudah merasa hal ini saling berkaitan dengan Pak Antos. Aku mengumpulkan bukti sembari mengontrol areaku. Aku harus menjaga intervensi Pak Antos dari areaku. Setelah konsolidasi dengan teknisi areaku bekerja. Aku mengecek perkembangan di restoran tersebut. “Hey, Syifa. Kau nampak cantik hari ini.” “Terima kasih pujiannya, Grha.” “Bagaimana dengan pekerjaan kemarin? Ada masalah lagi?” “Sudah beberapa hari sejak perbaikan. Semuanya normal. Tidak ada masalah yang berarti.” “Syukurlah kalau begitu.” “Kau kesini hanya untuk itu saja? Bukan untuk aku? Ayolah demi aku.” “Aku kesini karena ingin mengecek saja, Syifa. Dan, lagipula. Kau tidak perlu memberikan tambahan biaya ekstra dalam invoice bulanan.” “Iya juga sih. Kau mau pergi lagi setelah ini?” “Iya. Masih ada urusan.” “Aku anter keluar.” Di luar, ia memegang kedua tanganku. Layaknya kekasih. Ia bermanja – manja kepadaku. “Udah beberapa hari gak ketemu nih. Sekalinya ketemu, sebentar doank. Huft.” Ia mengambek dan memasang wajah cemberut yang cute. “Syifa, kalo cemberut makin cantik loh.” “Berarti aku jelek dunk. Ah, kamu mah begitu banget ma aku.” “Kalo tersenyum itu ibaratnya beautiful as angel.” “Ih, kamu ini bisa aja ngegombalnya. Motor kamu dimana? Koq aku gak liat.” “Di seberang. Tadi mampir sebentar di warung.” Sebuah motor melintas di depanku. Ia melempar sebuah tabung kaca ke arah Syifa. Aku melindunginya dengan badanku. Tabung itu pecah di punggungku. Kami berdua tersungkur. Rasa terbakar terasa di punggungku. “Grha, kamu……?” “Gak apa – apa, Syifa. Rasanya seperti terbakar.” Aku ambruk disamping Syifa. Rasa sakit itu hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaranku. Aku terbangun di sebuah klinik. Syifa menungguiku di samping ranjang. “Syukurlah kau sudah sadar. Untung jaketmu menyelamatkanmu dari cairan yang dilemparkan. Kau hanya shock tadi.” “Terima kasih telah membawaku ke klinik.” “Kau telah menyelamatkanku juga.” Punggungku masih terasa nyeri untuk bangun. “Maaf telah membahayakan keadaanmu, Syifa.” “Tidak. Hanya kebetulan saja aku di wrong time wrong place.” “Orang itu mengincarku.” “Siapa yang mengincarmu?” “Entahlah, aku belum tahu. Aku harus lebih berhati – hati.” Ia mencium bibir keringku. Melumatnya hingga basah. Kami saling berpagutan dengan mesra. “This should help you.” Ia melepas kancing baju dan memperlihatkan belahan dadanya yang terbungkus bra. “Take a look. You’ll be fine after you’ve got boner on this.” Tangannya menurunkan bra yang memperlihatkan payudaranya tanpa penutup apapun. “Now, I’ve got the boner.” Ia memegang tanganku dan membimbingnya memegang payudara kanannya. “Touch it. Feels the boobs.” Tanganku empuk memegang payudaranya. “Damn, I can’t felt the boobs with my tongue.” “Next time, babe. I’ll give you a hand.” Tangan kirinya menelusup masuk ke dalam selimut dan menggapai penisku yang terbungkus CD dan membebaskannya. Ia menggenggam penisku yang tercetak di selimut. “Kali ini, aku kocokin tapi dari luar selimut.” Selimut tipis itu menghalangi tangannya bersentuhan dengan penisku. Tetap saja, kenikmatan itu kurasakan.

Tanganku masih memegang empuk payudaranya. Ia juga membalas ciuman – ciuman mesra. “Aaaahhh…..Syifa…” “Ccccrrrrrttttt……..ccccccrrrrrrrttttt……cccccccrrrrrrtttt…….” Selimut itu basah oleh spermaku. Sebuah titik basah tepat diatas penisku. “Feeling better?” “Much better, Babe.” Kami saling tersenyum satu sama lain. Kami saling mesra dari hari ke hari, aku sendiri menyempatkan diri jika tidak sibuk. Walaupun, hanya berciuman dengan ganasnya tanpa ada aktivitas seksual. Aku terus menikmatinya. Aku sudah mendapat perkembangan terbaru, Pak Antos mempekerjakan teknisi non resmi untuk kunjungan keduanya tanpa sepengetahuan perusahaan. Aku masih belum punya bukti kuat. Aku menelusuri keberadaan teknisi non resminya dengan bantuan teknisi lain yang kupercaya. Sebuah malam di hari yang cerah, aku mendapat telepon dari Syifa. Ia mendapat teror dari orang tidak dikenal di rumahnya. Ia mendapat kiriman paket bangkai binatang dan pesan yang ditulis dengan darah “JANGAN GANGGU ACARA KITA”. Ia terlihat murung di taman rumahnya. “Syifa. Kau jangan terlalu memikirkan hal itu. Merek bertindak iseng semata.” “Pengennya seperti itu. Tapi, sulit kayaknya. Orang yang ngirim kayaknya dari orang – orang yang ngadain pesta busuk itu.” “Terus bagaimana keponakanmu itu?” “Tanteku sendiri sepertinya sudah ingin lepas tangan. Ia sudah capek dengan kelakuan keponakannya.” “Tapi, kau sendiri ingin membantu tantemu, bukan?” “Itu pasti, Grha. Keponakanku sudah tidak pulang selama 3 hari ini. Aku kuatir terjadi sesuatu.” “Kau berdoa semoga tidak terjadi apa – apa.” Iphone-nya berbunyi. “Grha, keponakanku mengaktifkan ponselnya dan mengirim lokasi terakhir di ponselku.” “Dimana ia berada sekarang?” “You must be kidding, Syifa.” “What are you talking about? You know the location?” “It’s slum area in suburban area.” “Bawa aku kesana sekarang.” “It’s not safe there.” “Terserah. Aku akan mencarinya tanpa bantuanmu sekalipun.” Ia meninggalkanku menuju mobil dan mengacuhkanku. “Syifa, jangan kesana sendirian. Aku akan menemanimu.” “Gak perlu. Ini urusan keluarga aku.” “It’s my business when it comes to you. Aku mohon, Syifa.” Dengan mobil Syifa, aku berkendara menuju sebuah perkampungan yang berada di area kumuh. Mobil sengaja kuparkirkan jauh agar tidak mengundang kecurigaan. “Kau disini saja, Syifa. Biar aku yang masuk ke dalam sana.” “Enggak. Aku ikut gimanapun caranya. Aku harus nyelametin keponakan aku.” “Pake jaketku. Tutupi kepalamu agar tidak banyak yang tahu kau berada disana.” Kami berjalan kaki masuk menuju perkampungan. Syifa terus mengamati Iphonenya dan mendekati titik pinpointnya. Sebuah diskotik sederhana dan murahan dengan kondisi ala kadarnya. “Keponakanku berada disini? Aku tidak percaya.” “Semoga saja tidak. Kau siap untuk masuk?” “Aku siap kapanpun.” Aku menyelipkan 2 lembar 50 ribuan kepada penjaga. Musik dangdut dengan bass yang menggedor dinding menyambut kami. Gerombolan manusia menikmati alunan musik yang menghentak. Syifa melihat setiap pengunjung apakah ada adiknya disana. Akupun melakukan hal sama. “Siapa nama keponakanmu?” “Namanya Yara.” Aku menghampiri bartender dan menanyainya. “Mau pesan apa, ganteng?” “Kau tahu dimana aku bisa menemukan Yara?” “Oh. Yara. Dia sedang sibuk melayani tamu. Dia berada di kamar 013 setelah lantai ini. Ia sedang menjadi bintang besar.” “Baiklah. Terima kasih.” “Pesan minuman dunk, Ganteng.” Aku menyelipkan beberapa lembar uang ke baju bartender asal – asalan. “Aku ambil botol ini.” “Silahkan. Makasih udah di lebihin.” Syifa melihatku dengan botol minuman di tanganku. “Ya ampun. Kau masih sempat untuk mabuk? Aku tidak menyangka.” “Adikmu berada di kamar atas lantai ini. Aku tidak mabuk, aku hanya bersiap saja.” Kami membuka pintu 013. Terkunci. Aku mendobraknya dengan kakiku. Beberapa pria tidak memakai celana sibuk duduk menikmati pertunjukan dancer wanita. “Yara. Apa yang kau lakukan?” Teriak Syifa sambil menarik keponakannya. Pria yang kutaksir masih sangat muda itu bergegas menutupi tubuhnya. “Siapa lo ganggu acara kita?” Seorang dari mereka menunjukku. “Pergi dari sini, Syifa.” “Kagak bisa begitu.” Orang itu menarik badan Yara. “Lepasin dia.” “Kagak. Dia udah gue bayar. Mau cari mati lo.” Tanpa basa – basi, kupukulkan botol di tanganku tepat di kepalanya. Ia mengaduh dan menggelepar di lantai. “Siapa lagi yang mau kayak dia? Gue jabanin.” Tantangku dengan botol yang sudah pecah namun menyisakan sisa yang tajam di ujungnya. Mereka gentar dengan ancamanku. Syifa bersama Yara keluar dari kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Kami keluar dari diskotik. Namun, beberapa orang mengejar kami. Kami bergegas ke mobil dan keluar dari tempat ini. Mereka mengejar mobil dengan motor. “Grha. Mereka ngikutin kita.” “Iya, aku tahu. Aku berusaha buat ngilangin mereka.” Aku memakai cara lamaku. Aku berhenti di kantor polisi. “Kantor polisi?” “Mereka tidak akan berani memasuki tempat ini. Kita tunggu sampai reda. Kau disini saja. Aku akan berbicara kepada polisi mengapa aku berada disini. Istirahatkan dirimu.” Aku menyapa polisi yang akan menghampiri mobil dan memberi alasan yang aku buat – buat tentunya. Beberapa waktu kemudian, Syifa dan Yara tertidur pulas di kursi belakang. Aku mengendarai mobil menuju rumah Syifa. Aku mengangkat badan Yara masuk ke dalam kamar tamu dan Syifa ke dalam kamarnya. Tubuh Syifa menggodaku. Kukecup keningnya, ia terbangun dengan malas. “Makasih udah anterin aku sampe kamar.” “Kamu istirahat yah.” “Kamu mau kemana?” “Aku mau pulang dulu.” “Disini aja bobo sama aku.” “Jangan, besok kan kerja. Lagian, kamu capek lari – lari tadi.” “Iya deh.” “Besok. Kamu harus lebih hati – hati lagi. Kalo perlu, suruh polisi awasin kamu. Mereka pasti balik lagi untuk balas perbuatan ini.” “Terus kamu gak mau jagain aku?” “Aku juga jagain kamu. Tapi, tambahan orang juga penting kan.” “Iya. Aku ikutin saran kamu.” Syifa bangun dengan malas. Ia menuju lemari dan melepaskan pakaiannya. Ia berganti membelakangiku sehingga punggung dan pantatnya terlihat jelas. Ia memakai kimono tidurnya. “Oiya, kalo mau, ambil aja bra sama CD aku disitu. Gapapa koq.” “Loh. Untuk apa?” “Emang kamu gak nafsu liat aku ganti baju. Bisa dipake juga kamar mandi aku.” “Pikiran kamu ngaco, ah. Udah, kamu tidur gih. Aku pulang dulu.” “Kiss bibir dunk.” Aku pulang dari rumah Syifa. Hidupku semakin berbahaya saja dari hari ke hari. Aku juga harus menjaga diriku sendiri. Aku masih belum bisa membuktikan keterlibatan Pak Antos dalam masalah ini. Teknisi yang tempo hari datang ke restoran tidak juga dapat aku temukan. Aku kembali menemui Syifa untuk sekedar melepaskan rindu. Ia menyambutku dengan hangat dan mesra. Dari balik pintu ruangan kerjanya, kusandarkan tubuhnya. Aku menciumi wajah dan lehernya liar. Ia pun berusaha menciumiku. Kami tidak peduli dengan apapun. Hanya saling usaha memuaskan diri. Pintu ruangan diketuk keras dari luar. “Udah, Grha. Sepertinya ada sesuatu.” “Iya. Tidak seperti biasanya.” Syifa menata rambut wajahnya. Ia merias diri sejenak. Aku sendiri merapikan pakaianku. Kami bersikap profesional di depan karyawan. “Bu, tolong. Ada sekelompok orang yang mengacak – acak restoran.” Waitress panik memasuki ruangan. “Apa! Aku akan kesana.” Suasana restoran kacau balau. Restoran dibuat porak poranda. Syifa tersulut emosi melihat kejadian ini. “Apa – Apaan kalian? Kalian seenaknya merusak tempat ini.” “Urusanku bukan denganmu, Nona.” “Syifa, lebih baik kau mengungsi dengan karyawan.” Kataku membelakanginya. Syifa pergi mengungsikan karyawannya keluar. “Siapa kau? Mengapa kau mengganggu tempat ini.” “Aku kesini karena kau telah mengganggu disini. Hajar dia.” Mereka mengerubutiku menyarangkan pukulan dan tendangan. Tangkisanku sia – sia, sekujur badanku lebam dan berdarah. Terkapar di lantai, mereka senang bisa menghajarku. “Ada pesan untukmu. Kau berurusan dengan orang yang salah.” Ia menendang perutku keras. Ia meninggalkan tempat ini. Aku membuatnya pergi. Meski, aku babak belur. Aku dapat bernafas lega sejenak karena Syifa terhindar dari masalah lebih lanjut. Waktunya aku memejamkan mataku sejenak melupakan rasa sakit yang kurasa. Terakhir kuingat, ada beberapa orang yang menyeret tubuhku. “Kau membuatku panik, Grha.” Suara Syifa lamat – lamat membangunkanku. “Maafkan aku, Syifa. Aku tidak bermaksud untuk itu.” “Gara – gara aku, kamu jadi begini.” “Enggak. Mereka dari awal mau bikin perhitungan sama aku.” “Aku bakal laporin ini ke polisi.” “Gak usah. Kamu jaga diri aja. Maaf, restoran kamu jadi berantakan.” “Yang penting kamu selamat. Soal restoran, bisa kuatasi.” Selang beberapa hari, aku mendapat informasi penting. Mereka mengetahui teknisi yang kucari. Bahkan, tahu siapa yang menyergapku kemarin. Bersamanya, aku berkunjung ke teknisi tersebut mencari informasi. Ia tidak mau berterus terang. Aku membujuknya dan memberikan perlindungan dan pekerjaan sebagai teknisi resmi ke depannya. Ia bercerita bahwa orang yang menyergapku kemarin juga suruhannya atas usulan Pak Antos. Aku menegaskan akan melindunginya. Asal, ia mau membantuku mengungkap perbuatan Pak Antos. Bersambung pada Post Selanjutnya

Part 3 Syifa berinisiatif mengajakku makan bersama sebagai rasa terima kasih. Ia anggun dengan gaun yang dikenakannya. Rambutnya tersanggul cantik. Rona merah pipinya seakan merekah memesona. “Gimana penampilan aku?” “Wow. It’s amazed me. How come?” “It’s for you. Karena kamu udah nyelametin restoran sama pekerjaan plumbing kamu berjalan normal.” “Syukurlah kalo udah normal. Kaget aja, gak seperti biasanya.” “Aku dah usaha banget loh ini make upnya. Kalo bukan untuk kamu, aku gak bakalan.” “Kamu natural aja udah cantik.” “Jadi gak suka kalo make up.” “Suka koq, Syifa.” “Abis ini, anterin aku yuk.” “Boleh.” Setelah berkendara melewati kelokan bukit, kami berhenti disebuah tepi bukit. Dari tempat kami berada. Seluruh penjuru kota terlihat. Duduk santai di atas kap mesin mobil. “Disini tempat aku sering ngabisin waktu dulu.” “Sekarang?” “Baru kali ini sama kamu, Grha.” Aku memandangi wajahnya yang acuh padaku. “Kenapa, Grha?” “Gak apa – apa.” “Don’t you kiss me now?” “It’s okay to you?” Ditindih badanku. Kami berciuman di temani langit temaram. “Cccuuuppp…….ccccuuuupppp……ccccllluuuurrrpppp……cccccuuuuurrrpppp…..” “Masih ganas banget kamunya, Grha.” Ia melepaskan pakaianku dan menyingkap gaunnya. Sepasang bukit kembar menggantung jelas di depanku. Ia menutupnya dengan tangan. “Gak usah ditutupin. Kamu makin cantik.” Mukanya merah malu. Ia masih berada di atasku. Puting itu kuhisap pelan dan merangsangnya. “Cup…cup….cup….cup…” “Aaaaahhhhh……..ssssshhhhhh…..” Syifa berteriak parau lirih. Kumainkan payudaranya dengan tanganku. Begitu empuk di mulutku. Ia menjambak rambutku. “Sssshhhhhh…..ppppppfffffffhhhhhH….” Ia menggigit bibirnya. Payudaranya basah dengan liurku. Putingnya menegang dan kupegang. “Aaaauuucccchhhh……..enak dicubitin.” Aku menghembuskan nafas ke telinga dan lehernya. Gemetaran tubuhnya. “Wooooossshhhh……sssssshhhhhhh…….wwwwwooooooosssshhhhh………ssSsssssshhhhhh……” “Aaahh……aaaahhhh…..aaaaaahhhhh…” Tanganku menjalar di pahanya merayap menuju vaginanya. “May I……?” “Please. Come….pleases me.” CDnya sudah basah. Kuposisikan diriku menikmati vaginanya. Dengan mulutku, kulepas CDnya. Bau harumnya menusuk hidung. Hidungku terbenam di dalamnya. “Aaaahhhh…..sssshhhh….geli….” Kujilatinya liangnya dengan teknik alfabet lembut. Sesekali, kucium dan kugigiti mesra. Rambut jarangnya digelitiki jemariku. “Aaaawwwhhh…..geli banget….geli.” Tubuhnya menggelinjang hebat ketika aku menemukan G-spotnya. Racaunya semakin menggila. “Aaaahhhh……aaaaahhh…….sssshhhh……aaaahhhhh……hhhhhmmmmm…..mmmmhhhhhh……ooooooocccccchhhhhh……..uuuuuuuucccchhhhhh……” “Gak…kkkuuuaatttt……gggg…aaakk…kkkkuuuaaatttt…..pengen…..pipis…..” Paha Syifa menjepit kepalaku. Aku tetap memakan vaginanya. “Pipis….aaaahhh….pipis….” “Cccccrrrrrrssssssssssshhhhhh……..ccccccccrrrrrrsssssssshhhhhhh…..” Mukaku disemprot cairan vaginanya. Ia menjepitku hingga selesai. Tubuhnya lemas dan melepaskan jepitanku. Gaunnya menutupi perutnya. Payudara dan vagina dibiarkan diterpa angin. Aku membenahi dirinya. “Jangan, aku belum puasin kamu. Penis kamu masukkin kesini.” Katanya lirih menunjukkan liang vaginanya. “Enggak, Syifa. Kamu udah lelah banget.” Aku memakaikan CD dan menaikkan gaunnya. Rambutnya kurapikan dan membersihkan wajahnya. Setidaknya, ia tidak terlihat kumal. Bibirku mengecup keningnya. “Thanks for caring me like this.” “Gak apa koq, Syifa.” “Babe dunk manggilnya. Aku ngambek nih.” “Iya, Babe.” “Gitu dunk. But first, I’ll repay this.” Ia menyuruhku duduk dan membuka celanaku. Ia melihat penisku dengan sayu. Diurutnya pelan – pelan. “Babe, gak usah kalo cape. Kasihan kamunya.” “Gapapa. Kamu juga kasihan. Udah tegang gini. Mesti dilemesin.” Mukanya mendekati penisku. Dicium dan dihirupnya. Dijilat – jilatnya penuh mesra. Dibasahinya penis dan zakarku. “Fffuuuuhhh……fffffuuuuhhh…..ffffuuuuhhh…..” “Ccccuuuppppp……cccuuuupppp….cccccclllluuurrrppp…….ccccclllluurrrppp……cccccclllllloooppppppp……..ccccccclllllloooppppphhhh………” Penampilan sayunya membuatku bernafsu. Tangannya membimbing penisku memasuki mulutnya. “Sssslllluuuuurrrrpppp…….ssssssllllluuurrrpppp..” Ia mendorong penisku masuk. “Ssssssllllluuuurrrpppp….uhuk…uuuhhhuuuuukkk……uuuhhhuuukkk…..hhhhoooooeeeekkkkkk……hhhhhoooeeeekkkk….uuuhhhhuuukkkk…..uuuuuhhhhuukkkk….” Ia tersedak batuk – batuk. Ia muntah – muntah. “Babe, kamu….?” “Gak apa – apa. Kaget aja penis kamu bisa mentok banget.” “Gak usah dipaksain ngemutnya.” Ia mengulum penisku sebagian. “Ssssslllloooorrrrrppppppphhhhh……..sssssllllloooooorrrrpppppphhhhh………..sssssslllllloooorrrrrrpppphhhh….” Batang penisku juga ikut dikocoknya. “Aaaaahhhhh……..” Ia berhenti menghela nafas dan kembali mengulum penisku. Kali ini, ia benar – benar menyentuh semuanya. “Syifa….tunggu….aku…..mau….keluar…” Puas mengoral penisku. Jemarinya menguncup kepala penisku. Sedang, tangan lainnya mengocok penisku tidak beraturan. Aku sudah tidak tahan lagi. “Hhhhnnnngggggghhhhhh…………” “Ccccccccrrrrrrtttttttt……..ccccccccccRrrrrtttt…..ccccccrrrrrtttttt…..” Penisku meledakkan sperma di jemarinya. Ia membuka tangannya yang penuh sperma. Ia menjilati dan meminum sperma ditangannya. “Babe, are you okay?” “Me? Fine. It’s sweet and sour cum. Like it so much. You need more fruits.” “I’ll eat it with your pussy later.” Sepanjang malam, aku bergumul dengan Syifa tanpa penetrasi. Ia tertidur di pelukanku. Ia bermanja – manja ketika aku berkendara pulang saat pagi menjelang. “Cepet banget sih udah mau pagi.” “Ya mau gimana lagi.” “Oiya, mengapa kau menolakku tadi malam?” “Aku tidak ingin hubungan seksual berdasarkan atas asas take and give. It should be done with honest. Tidak ada paksaan harus membalas suatu tindakan.” “Aaahhh….makin sayang sama kamu.” “Aku juga sayang sama kamu.” Hari itu kami berpisah dan tenggelam dalam kesibukan kami. Aku mengumpulkan bukti tentang Pak Antos dan menyerahkannya kepada Pak Hasan. Pada akhirnya, aku melihat Pak Antos merapikan meja kerjanya. Aku bingung apakah yang kulakukan benar atau salah. “Pak Antos.” “Pak Grha. Kali ini kau menang. Aku akan membiarkanmu bebas disini.” “Aku tidak bermaksud untuk melakukannya. Kau mengambil jalan yang salah.” “Itu terserah padaku. Aku melakukannya karena pengobatan anakku.” “Maafkan aku, aku tidak mengetahuinya.” “Tapi, tidak penting sekarang. Aku sudah berhenti dari sini. Aku sadar hal yang kulakukan itu salah.” Ia keluar dari kantor dengan barangnya. Aku segera menuju ruangan Pak Hasan. “Pak Hasan, ada waktu untukku sekarang?” “Oh, Iya. Ada apa?” “Saya ingin berbicara dengan anda.” Waktu terus berlalu. Aku hendak mengunjungi Syifa. Aku menuju rumahnya. Aku masuk ke rumah dan seseorang memukulkan balok ke tengkuk hingga pingsan. Aku terbangun dengan samar. Di depanku, Syifa terikat dan keponakannya, Yara diseret oleh 2 orang. Badanku juga terikat. Kakiku mengalami kram. “Kau sudah bangun? Bagus. Jadi, aku tidak perlu capek capek.” Kata orang di dekatku. Temannya menyeret Yara. “Sudah kubilang, kau jangan mengambil Yara dariku. Kau beruntung kemarin. Tapi, tidak sekarang. Kau akan melihat bagaimana Yara begitu menarik.” Tubuh kecil Yara tergolek lemah. Orang itu merobek pakaian Yara. Tubuh khas remaja terlihat menggoda. Orang itu juga bernafsu melihatnya. Orang di dekatku berpindah ke Syifa. “Kau lihat keponakanmu itu? Ia menjadi asset bagi diskotikku. Tentu, kau pernah melihatnya. Tapi, aku akan mencoba menjual tubuhnya nanti?” Yara tidak berdaya. Orang itu mulai memperkosa Yara. “Jangan! Jangan! Jangan dia!” Rengek Syifa. Ia memberontak melepaskan diri. “Hentikan perbuatan kalian. Kalian biadab.” Aku mengata – ngatainya. Tubuh mungil itu berbanding dengan badan orang itu. Teriakan Yara begitu memilukan hati. Ia memerawani Yara. Darah perawan mengalir dari kemaluannya. Aku tidak bisa menghentikan perbuatannya. Suasana di ruangan itu begitu kelam. Ia terus memperkosa Yara. “Berhenti! Berhenti! Jangan apa – apakan keponakanku. Biarkan aku saja yang kalian perkosa.” Syifa pasrah. Aku terkejut. “Tidak. Jangan dia. Bunuh saja aku.” Aku berteriak. “Aku tidak butuh kau. Sepertinya menarik, aku akan menikmati tubuh wanita ini dan kau menjadi saksi dari itu.” Aku memberontak melepaskan diriku. Orang yang kedua melepas ikatan Syifa. Tubuh Yara yang setengah telanjang diikat kembali. Kondisi Yara begitu shock. Shit, Syifa tidak boleh diperkosa oleh orang ini. “Bos, cewek ini perawan gak ya?” “Perawan gak perawan yang ini bikin tegang. Pelan – pelan ngelepasinnya.” Mereka melepas pakaian Syifa. Terlihat branya yang selaras dengan warna kulitnya. Syifa melihat orang itu dengan pasrah. Ia melihatku tersenyum dalam kepedihannya. Aku harus melepaskan diriku dari ikatan ini.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa………” Aku menubruk salah satu dari mereka hingga pingsan. “Oh, ada yang ingin bermain denganku. Baiklah.” Ia meninjuku tepat diperutku. Aku tersungkur. Ia mengeluarkan sebuah pisau lipat. “Kurasa ini akan mengakhirimu.” Ia menusuk perutku. Waktuku seakan terhenti. Benda itu menembus tubuhku begitu cepat. Aku melihatnya berdiri dan Syifa memukul orang itu dengan guci. “Grha, bertahanlah.” “Syifa..syukurlah kau tidak apa…” “Grha, aku gak mau kehilangan kamu. Kamu jangan mati.” “Aakkhh….aku ingin istirahat dulu.” “Grha, jangan….Grhaaaaaaaaaa!” Untuk sesaat, aku kehilangan diriku. Begitu juga dengan Syifa. Ia menangisi tubuhku yang terbujur kaku. Disebuah Cottage di pulau wisata. Di dekatku, Syifa yang memakai bikini menemaniku merasakan indahnya deburan ombak laut. Di bibir pantai, Yara tengah asyik bermain dengan air laut beirlarian kesana kemari. “Grha, gimana luka kamu?” Sapa Syifa lembut. “Tidak apa – apa. Aku sudah sehat. Terima kasih sudah menyelamatkan aku. Maaf, aku tidak dapat menyelamatkan keponakanmu.” “Mungkin harus begitu takdirnya. Aku hanya akan menerima dan terus berusaha agar hal itu tidak terulang lagi.” “Iya, babe.” “Enak pake sayang deh.” “Gak ah. Syifa aja.” “Loh?” “Karena kita sama2 udah dewasa. Nunjukin rasa sayang gak perlu dengan manggil sayang.” “Terus caranya?” “Ya dengan cara lain juga bisa.” “Oh gitu. Tunjukkin aku caranya.” Syifa menarik tubuhku masuk ke dalam kamar. Aku mengerti maksudnya dan menggumulinya. Ciuman – ciuman kecil kusarangkan di tubuhnya mencupangi leher dan tubuhnya. Tidak berhenti disitu, kuremas pantat dan dadanya tidak terkecuali. “I think it’s the right moment. Aku baru memahami apa yang kau katakan saat berkendara di bukit.” “Hah? Menyadari apa?” “It should done by honest. Honestly, I’m falling in love with you.” “Really?” “With my deepest heart.” Aku memeluk tubuhnya yang berkeringat. Bikininya kulepaskan dari tubuhnya. Ia juga melepaskan celana pendekku. “Penis kamu udah tegang sih?” “Aku terangsang saat kamu pake bikini.” “Lama banget dunk udahan. Kasihan penis kamu.” Aku mengarahkan penisku ke mukanya. Ia berbaring dibawahku memanjakan penisku. Dikulumnya seperti permen lolly. Aku mendongak nikmat seperti listrik menjalari tubuhku. Payudaranya menjepit penisku. Dihimpitnya aliran darahku. “Oooooohhhhh……” Payudaranya naik turun atas bawah kanan kiri menggoyang penisku. Lidahnya menjilat lubang kencingku. “Sssssshhhhhh…….” Aku merangsang vaginanya dengan tanganku. Ia mendesis merasakan jemariku disana. Setelah cukup, Syifa melumuri penisku dengan ludahnya. Aku melumuri vaginanya. Ia mengangkang membuka liang kenikmatan. Tangannya memegang sisi kasur dengan erat. “Grha, tunggu. I know you’re not the first in me. But, please care me.” “Yeah. Syifa.” Penisku menembus vaginanya. “Ssssssss…….aaaaaaaakkkkhhhhh……..ah…ah….ah…..ah….ah…ah…..ah….ah…” Penisku meluncur lancar di liang yang sempit. Otot – ototnya memijat penisku di dalamnya. Syifa senang walau wajahnya nampak lelah. “It’s in, Syifa. I really love you.” “Love you too….aaaaakkkhhh.” Vaginanya bergerak seiring dengan penisku yang maju mundur. Kupegangi kakinya ke atas mendesak penisku terus menembus vaginanya. “SssssshhhhhH……..aaaaaakkkkhhhh……hhhhhmmmmmm………oooooooocccccchhhhhh…..uuuuuuuuucccchhhhh……” “Plop…plop…plop…plop…plop…plop…” Puas dengan misionaris, aku membalik tubuhnya. Ia menunggingkan pantatnya. Kepala dan dadanya menempel di kasur. “Aaaakkkhhhhh…..aaaaakkkkhhhh…..aaaakkkhhhh…..aaaaaacccchhh……aaaaccchhh…..aaaaacccchhhh….” Penisku menggetarkan pantatnya. Pantatnya kupegangi dan kutampar – tampar. Rambut dan tangannya kutarik hingga setengah berdiri di dekatku. “Uuuuuggggghhhhhh……naughty boys.” Syifa berada diatas tubuhku. Ia mulai naik turun di atas penisku. Seperti koboi kegirangan, dengan liar ia menunggangiku. Payudaranya kugigit dan menyusuinya. “Oooooooccccchhhhhh……..sssssssshhhhhh…….isep terus….nikmat…..aaaaaaaccchhhh….hhhhhhhmmmmm……” Ia menunggangiku terbalik. Pantatnya bergoyang di depan mataku. Shit, ia benar – benar menyiksa penisku. Aku memiringkan tubuhnya. Satu kakinya kuangkat dan yang lainnya kutindih. Liangnya yang horizontal bertumbuk dengan penisku. “Aaaaaaakkkhhhh…….penis enak…..eeeeennnnaaaaakkk…..oooooocccchhhh…..” Ia melingkarkan tangannya di leherku. Penisku masih di dalam vaginanya. Aku mengangkat tubuhnya dan melakukan penetrasi dalam posisi berdiri. Kaki Syifa mengunci pantatku mengizinkanku untuk penetrasi. “Oooooccccchhhhhh……nikmat banget di fuck begini….” Badan Syifa tersandar di dinding. Tidak kuhentikan penisku. Aku tetap ingin mengerjai Syifa. Aku menciuminya dan memainkan tanganku ditubuhnya merangsang menuju puncak nikmat. “Syifa, I’m gonna cum after this.” “Me too. Cum in my pussy.” Aku kembali ke posisi misionaris. Tanganku di payudaranya meremas – remas. “It’s gonna be my last thrust.” “Do it like whore.” Aku menggenjotnya dengan tenaga penuh. Tubuhnya mengejang nikmat. Ia semakin liar mendesah. Spermaku sudah berada di ujung penisku. “Aaaaaahhhhh….kkkeeelllluuuuuaaaarrrrr….” “Akkkuuuuu…jjjjuuuugggggaaaaa…” “Cccccrrrrroooootttttt……ccccccrrrrrrrssssshhhhhh…….cccccrrrrrroooootttttt…..ccccccrrrrrrrsssshhhhhh…” “Ah….ah….ah…..ah…..ah……ah……ah…..ah…..” Syifa orgasme bersamaan dengan spermaku yang meluber keluar dari vaginanya. Aku bertumpu dengan tanganku. Syifa dan aku mengalami kelelahan. “It’s warm, Grha.” “Smile on me, right?” Kami saling tersenyum. Tiba – tiba, Yara berdiri di depan kami. “Kak Syifa, kakak ngapain sama Kak Grha?” Tanyanya polos. “Yara. Aku sama Grha….” “Aku dengan Syifa itu…..” “Aku udah liat semuanya dari tadi, Kak.” Syifa menghampiri Yara. “Yara, soal ini jangan sampe dikasih tahu sama siapa – siapa.” “Kak. Tapi, koq aneh? Kak Syifa seneng banget tadi waktu Kak Grha ngapa – apain kakak. Tapi, waktu aku……” “Jangan diterusin yah, Yara.” Aku memotongnya “Iyah, kak. Kak Grha. Kak Syifa, boleh gak aku kayak kakak tadi sama kak Grha? Soalnya kemaluan aku basah waktu liat kak Syifa. Janji cuma sekali aja.” Aku memegang pundak Syifa. “It’s up to you, Syifa.” “Yara, nanti turutin kakak sama kak Grha sambil dijelasin.” Hah? Aku harus mengajari Yara? Entah ini anugerah atau apalah untukku. Syifa menidurkan tubuh Yara di kasur. Ia mencubit penisku nakal. “Awas ya kalo sampe demen sama Yara. Aku gak mau saingan sama Yara.” “I’m always yours, Syifa.” “It’s mine too.” Syifa menggenggam penisku. Aku mencium bibirnya. Di cottage itu, aku melayani nafsu Syifa dan mengajari Yara hubungan seksual. Akhir dari pekerjaanku, aku menukar posisiku dengan Pak Antos. Awalnya bersikeras, Pak Hasan menuruti permintaanku sehingga aku kembali resign dari perusahaan. Akibat dari itu, Syifa mengajakku liburan bersama Yara di pulau wisata. Matahari bersinar, tubuh Yara tergeletak di kasur. Ia tertidur pulas setelah semalaman aku bersama Syifa mengajarinya. Aku duduk di kursi sembari Syifa mengocok penisku. Ia sibuk menelpon seseorang. “Hey, Zizi. Gimana siarannya?” “Baik koq. Masih di Lensor?” “Ya. Begitulah.” “Masih di stasiun TV itu kan?” “Masih koq. Kapan nih kita ketemu?” “Ya sekalian promosiin dunk restoran aku.” “Iya, nanti deh aku promosiin.” “Ok deh. Bentar yah lagi sibuk nih.” Ia menutup ponselnya. “Sorry, keep you waiting. Udah keras lagi. Padahal, udah semaleman maen.” “Because I’m always yours.” “So be it.” Aku memeluk tubuh Syifa dan mulai memuaskan diriku. It’s gonna be longday for me. Sekian dan Terima kasih. Apabila menyalahi aturan forum harap PM.