10th Story : Fair Price, Nikita
Part 1 Aku memutuskan untuk bekerja sebagai supir taksi online. Berbekal dari hasil tabungan dan bekerja dengan Selena, aku mencicil kendaraanku sendiri. Sebuah MPV keluarga berwarna abu – abu gunmetal. Aku tidak menutup peluang untuk bekerja lainnya. Yang penting menghasilkan uang untukku membayar cicilan mobil dan kebutuhan sehari – hari. Setelah mengantar penumpang, aku mengistirahatkan diri di SPBU terdekat sekalian isi bensin. “capek seharian narik penumpang kemana – mana.” Keluhku. Order antar masuk di ponselku. “Shit! Lupa matiin aplikasi. Mana jauh lagi. Haduh.” Terpaksa, aku harus pick up di tempatnya. Jika tidak, itu akan mempengaruhi bonus yang kuterima. Aku segera berangkat setelah beristirahat sebentar. Di perjalanan, aku menghubungi pelanggan yang mengorderku. “Halo.” Sambutan pertama di ujung telepon. “Halo, selamat malam. Ibu Nikita, saya driver yang akan menjemput anda. Kira – kira saya akan datang sekitar 10 menit lagi.” “Tolong cepat ya. Soalnya, saya buru – buru.” “Baiklah, Bu. Akan saya usahakan.” Baru saja berbelok, jalanan yang menuju ke tempat itu macet. “Ahh….macet lagi. Ada apa coba? Semoga enggak telat – telat banget.” Kesalku memukul setir mobil. Setelah melewati kemacetan itu, aku sampai di tempat di mana pelangganku menunggu. “tempat macam apa ini? Aku harus waspada.” Aku melihat sekitaran kawasan ruko yang tertutup. Dia menghubungiku, “Halo, Pak. Saya cancel ya ordernya.” Suaranya tergesa – gesa. “Bu, saya sudah sampe langsung main cancel…..” “tut…tut…tut…tut…tut…” Belum sempat aku menyelesaikan pembicaraanku, dia menutup telepon. “Shit! Di cancel lagi. Ahhh!” Aku menyalakan mobil dan berniat untuk mencari tempat istirahat. Tidak terbersit di pikiranku untuk berhenti di tempat ini. “tolong….tolong…..tolong…” Seseorang berlari menuju ke mobilku. Orang itu mengetuk pintu mobilku keras dari luar. “tolongin…..tolongin gue….bukain pintunya buat gue….” Paniknya. Aku masih menahan egoku untuk memastikan apakah dia benar – benar membutuhkan pertolongan atau berbuat jahat. Dari kejauhan, segerombol orang memergokinya dan langsung mengejarnya. “bukain pintunya…..cepetan…..buka pintunya…..” digedornya pintuku keras. “cepet tangkep dia sebelum kabur…” teriak salah seorang dari gerombolan. “Shit happens again.” Aku membuka kunci dan membiarkannya masuk. Untuk berjaga, aku membawanya pergi. Di jalan, aku menyadari bahwa dia seorang perempuan. Aku masih skeptis siapa dirinya. “sekarang udah aman. Sebaiknya mulai cerita.” Kataku tajam. “brengsek lah elo enggak bukain pintunya cepet – cepet!” Dia kesal padaku. “Nona, itu jaga – jaga. Kalo pun mau marah, harusnya gue yang marah.” Aku tidak mengalah. “sorry. Gue udah panik banget tadi.” Sesalnya. Aku berhenti di Convenience Store 24 jam. “Here, take a sip. Gives you better mood.” Aku menyerahkan segelas kopi seduh. “Makasih.” Diseruputnya perlahan. Dia tengah memikirkan sesuatu sambil menenangkan diri. Aku membiarkannya dan menikmati kopiku sendiri. Kali ini, tidak ada pemaksaan. “maaf udah ngebatalin orderannya. Gue dikejar – kejar orang.” Dia mulai bercerita. “jadi, elo Nikita? Ya ampun! Apa yang terjadi? Balikin bonusan gue!” “gue enggak tahu harus mulai darimana. Pusing.” “elo mau kemana? Gue anterin balik sekarang.” “gue masih ada job malem ini.” “job? Job apaan jam segini?” “elo pasti tahu lah. Ngapain lagi kalo enggak nyewain memek.” Katanya yang vulgar menyimpulkan dirinya yang apa adanya. Aku berusaha untuk tidak memikirkannya. “anterin gue yuk sekarang.” “bayarnya nambah loh tambah bonusan yang elo ilangin.” “iya. Di lebihin nanti.” Dia duduk di kursi belakang. Ia membuka mantel gerahnya dan mulai merias diri senatural mungkin. Gaun sleeveless dengan paduan kemben yang ketat. Mungkin, dia memakai push up bra. Dia merapikan tatanan rambut dan make up wajahnya. Rok mini dengan stoking hitam transparan. “ngapain liatin gue? Lagi dandan juga.” “biar enggak ngantuk.” “ya enggak sampe segitunya kali.” “jaga – jaga kalo tiba – tiba elo nyelakain gue, gue kan udah antisipasi.” “serah elo aja dah.” Kupandangi wajahnya. Rasanya wajahnya tidak asing. Entah dimana aku pernah melihatnya. “elo Nikita Mirzani itu ya?” “baru nyadar sekarang. Iya, gue Nikita Mirzani. Emang kenapa?” “ya enggak apa – apa sih. Sorry nih bukan maksud ikut campur, emang lagi sepi job?” “dunia hiburan enggak selamanya manis. Mau enggak mau, nyari penghidupan dari beginian. Ini juga saing – saingan sama yang mudaan.” “elo masih cakep. Tuh, buktinya masih ada yang nyewa elo.” “apa aja sekarang mesti diembat sebelum keduluan.” “kenapa elo dikejar sama tadi orang?” “itu orangnya si Obbie. Mucikari yang ketangkep itu. Dia usaha banget mau nyeret gue ke polisi lagi.” “enggak berhenti aja?” “mau makan apa entar? Elo mikirin emangnya? Enggak usah nyuruh gue buat berenti. Munafik kalo elo enggak doyan memek. Gue nyari duit pake mulut, toket, sama memek gue sendiri. Enggak ngerepotin orang lain.” “gue enggak akan berdebat lagi.” Sampai di lokasi, Nikita turun dari mobil. “gue udah save nomer elo. Kayaknya, gue cocok dianterin sama elo.” Ujar Nikita. Bertambah lagi pelanggan tetapku. Tapi, kelelahan yang menderaku memaksa badan untuk istirahat. Aku tidak terlalu memikirkannya. Di rumah, aku baru saja selesai mandi. “Dari Zizi…” Pesan teks itu kubuka. “bisa nganterin aku ke xxx? Lagi enggak ada driver. Sekalian temu kangen. Hihihi…..” Lumayan bisa dapat uang. Jika beruntung, sekecup dua kecup bisa kudapatkan. Di apartemennya, Nikita tengah bengong tanpa alasan yang jelas. “kenapa gue mikirin tuh supir ya? Duh…” Dia kembali ke kamar dan mengambil dildo dari lacinya. Benda itu bergetar – getar dipegangnya. Ia mengambil posisi nyaman dan membiarkan benda itu melesak di vaginanya. “uuuuuggggghhhhhh……ooooooohhhhhhh…….yyyyyyyeeeeeeaaaaahhhhhh……….mmmmmmhhhhhhh…….” Benda itu menimbulkan kenikmatan seksual di pikiran Nikita. Digerakkannya dengan tangan keluar masuk dan menggelitiki bagian luarnya. Bagai kesetanan, benda itu terus memenuhi kepuasan seksualnya hingga titik klimaks.
“aaaaahhhhhh……..aaaahhhhhhh…….aaaaahhhhh……” Dipindahkannya dari vagina ke buah dadanya dan dijepit diantaranya. Sementara, mulutnya berusaha melakukan blowjob pada benda tersebut. “mmmmmhhhhhhhhh………mmmmmmmhhhhhhhhh………..sssssssssslllllllllrrrrrrpp……..sssssssslllllllllrrrrrrrrppppppp…….” Dikembalikannya ke sarangnya dan dikocok lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendongak penuh nikmat. Yang dipedulikannya adalah kepuasan dirinya sendiri. “cccccccrrrrrrrrrsssssssss…………ccccccccccrrrrrrrrsssssssss………..” Cairan bening nan lengket keluar dari vaginanya sekaligus membuatnya kelelahan. Benda itu dicabutnya dan dibiarkan saja. “Bangke! Gue malah berasa dientotin tuh supir. Timing enggak tepat nih.” Hari ini, aku mengantar Zizi dan mengambil beberapa order jemputan. Zizi meninggalkan sejumlah uang dan bekas kecupan manjanya. Aku bertukar juice di dalam mulutnya yang tidak ia kembalikan. I hope there’s no more shitty day again. Aku tidak berharap Nikita akan menghubungiku. Saat perjalanan, mobilku di hadang oleh sebuah mobil yang serupa. Dari dalamnya, beberapa orang keluar dan menggebrak kap mobilku. “Keluar lo, Njing!” “Gue ancurin nih mobil kalo enggak keluar!” Aku mengirim pesan SOS ke sesama rekanku meminta bantuan terdekat. Aku keluar dari mobil dan menghadapi mereka. “ada apa kalian ganggu gue? Gue enggak pernah ketemu kalian!” “Bacot lo! Elo enggak tahu ngadepin siapa?” gertaknya. “Gue harus takut gitu?” “Bajingan! Elo minta dikasih pelajaran nih!” Mereka semua maju hendak menghajarku. Shit, aku kalah jumlah. “jalanan itu enggak adil! Inget itu!” Mereka mengeroyokku bersamaan. Aku melakukan penghindaran sambil menangkis serangan. Dari belakang dan depan jalan, beberapa mobil berhenti dan rekan sesama driver keluar dengan apapun yang dapat dijadikan senjata. “Berani keroyokan elo pada! Sikat!” Mereka langsung menyerang orang yang menghadangku. Massa yang datang jauh lebih banyak dan bersenjata. Aku yang tersungkur di bantu oleh rekan sepekerjaan. Preman yang menghadangku pergi setelah mendapat amukan dari beberapa rekan driver. “elo enggak apa – apa?” “thanks banget udah nolongin.” Aku berusaha bangkit. “kalem, bro. Tadi gue ngumpulin dulu orang – orang. Gue di deket sini tadi.” “syukurlah elo tadi ada di deket sini.” “ada masalah apa elo sampe dikeroyok?” “enggak tahu. Gue cuman sempet nolongin orang kemaren.” Jelasku. “laen kali ati – ati. Belum tentu gue bisa nolongin lagi.” Mereka membubarkan diri. Aku beruntung masih bisa selamat. Sedikit upaya kulakukan untuk memulihkan diri. “Shit, masalah Nikita mulai nyeret gue.” Nikita menghubungiku. Dia menyewaku dalam jasa pengantaran. Jika tidak karena uangnya, aku akan sulit untuk menerimanya. Sebaiknya, tidak kuceritakan apa yang terjadi tadi. “malem ini ada 3 tempat yang harus gue kunjungin. Pertama – tama, gue harus nemenin om – om pengusaha makan malem.” “oke. Kita berangkat.” Sebuah restoran eastern yang deluxe. Mobilku berhenti di lobby untuk menurunkan Nikita. “elo enggak ikut?” tanyanya. “enggak. Gue di mobil aja. Istirahat.” Aku menolaknya karena enggan. Sudah terpikirkan di kepalaku akan apa yang terjadi. Makan malam yang diteruskan dengan aktivitas seks. Entah blowjob ataupun quickie. Aku tidak perlu menyebutkan kemungkinannya. Lagipula, badanku masih sakit akibat peristiwa tadi. Aku masih memejamkan mata ketika ponselku berdering. “Halo, Niki.” “gue udah di lobby nih. Buruan!” “oke.” Aku menjemputnya di lobby dan berjalan pergi. “Lama banget ngangkat telponnya.” “sorry ketiduran. Kayaknya cepet banget makan malemnya.” “cuman nemenin mereka makan abis itu ngewe. Mereka lupa bawa viagra, jadi, mereka cepet ngecrotnya. Kita ke family karaoke di xxx. Rencananya mau ngelancarin bisnis.” “oh gitu ceritanya. Ya gue ngerti koq.” “ngerti apanya? Ngecrotnya?” tandangnya. “pake acara dipancing lagi.” “by the way, elo kalo ngecrot cepet enggak?” dia mulai menggodaku. “tergantung sih. Kenapa?” “kalo kontol elo gue jilat tipis – tipis kaya eskrim terus gue emut sampe mentok gimana ya rasanya?” lidahnya menjilat – jilat. “ya enaklah, Niki.” Aku berusaha tetap tenang. “gue jepit pake toket terus diuyel – uyel sama dipijitin kontol elo abis itu elo ngisepin toket gue sambil gue kocokin pasti kerasa banget tuh.” Dipeganginya buah dadanya. “ya bisa sih kalo gitu.” Tetap tenang, pikirku. “satu lagi. Kontol elo ngaceng masuk ngobel – ngobel memek gue terus ngecrot di dalem. Rasanya sampe ke ubun – ubun.” Dia menggigit bibirnya. Aku harus meminggirkan mobilku. Shit, obrolannya benar – benar membuatku tidak fokus konsentrasi. “Sialan elo, bikin gue sange di tengah jalan. Gue nyetir lagi lah.” “siapa yang bikin sange? Biar enggak ngantuk itu.” “ada aja alesannya.” Tempat kedua, tetap aku tidak mengikuti ajakan Nikita. Statusnya sebagai artis yang lekat dengan kontroversi membuatnya mudah dikenali penggemarnya. Hal itu juga jadi nilai jual tersendiri dalam usahanya melakukan job menyewakan vagina sesuai dengan katanya sendiri.
Otakku masih memutar ulang obrolan tadi. Seolah seperti kaset rusak yang terus mengulang hingga aku dibuatnya kesal. “Ya ampun, kenapa begini sih?” Pendapatku, Nikita tidak terlalu buruk. Hanya saja, kontroversi yang dekat dengannya dipergunakan untuk membuat eksis namanya. Istilahnya, cari sensasi. Munafik bila aku menolak keindahannya. Little touch up and it cost your life much. Dia masuk ke mobil setelah urusannya selesai. “ I guess next stop is …….” “Yup! Night Club. Are you ready?” “Aku enggak ikut masuk ke dalem.” “for this time, elo harus ikut. I insist.” Dia berganti pakaian dengan entengnya di belakang dan berganti dengan dress black satin yang seksi. “Wait! Wait! Wait! Wait! Are you fuckin’ kidding me?” “What? Gue ganti pakean dalem gue, koq. Enggak bakalan bau.” “Bukan itu. Elo gampang aja ganti bajunya. Kalo mau ganti bukannya dari tadi sih. Kaca gue enggak sampe 60 persen.” “Takut keintip dari luar? I also like to live dangerously.” “you got me in nerve, Niki.” “got your eyes staring through my body especially this things. Haha….gotcha!” ditunjuk buah dadanya dengan telunjuk. “gue juga normal.” Aku meneruskan untuk menyetir. Night club. Tempat yang harusnya tidak kudatangi. Last time, aku membuat kekacauan sewaktu mengeluarkan Gita dan Yara. Music House dari DJ mendentum setiap sisi ruangan. Tidak kupungkiri, untuk mengatasinya diperlukan drugs semacam ineks atau ekstasi. Semua orang tumpah ruah berdesakan menari di lantai dansa. Iringan sexy dancers menambah semarak suasana. Alkohol terus dituang dan diracik oleh bartender. Selanjutnya, pelayan dengan baki mengantarkan gelas atau botol minuman ke semua meja. “job terakhir kamu apaan, Niki?” “having fun aja disini.” “no more job on this night?” “enggak ada. Kecuali, ada yang ngasih aku tawaran yang lumayan.” “dasar mata duitan.” Sebenarnya, aku tidak tahan di tempat ini. Selain tidak mengonsumsi drugs, suasana di tempat ini berpengaruh pada kondisi tubuhku. “gue ke kamar mandi dulu.” Seru Nikita beranjak. “Gue tunggu di sana kalo mau nyusul.” Bisiknya menggoda. Aku menenggak minumanku keras. Mencoba untuk tetap bertahan, walaupun kupingku sudah terasa sakit. Di kamar mandi, Nikita memergoki pemandangan muda – mudi yang tengah bermesraan. Baginya, ini adalah hal yang biasa. Dia masuk ke dalam WC menuntaskan hasrat pipisnya. “Buka pintunya!” suara berat menggedor pintu WC nya. “sebelah kosong.” Teriaknya. Gedoran pintu semakin keras. “enggak modal amat mau ngentot aja di WC.” Umpatnya sambil membuka pintu. Alangkah terkejutnya, orang yang mengejarnya berada di depannya. “ayo ikut. Elo masih ada urusan yang harus diselesein.” Orang itu membawa paksa Nikita. Di meja, masih saja kutenggak minuman ini. “lama banget Nikita. Kali, dia dapet job di WC.” Pikiranku mulai ngawur. Aku melihat Nikita dibawa oleh orang yang menghadangku tadi. “Aahhhh….shit happens again…” Aku pergi mendekati Nikita dengan gelas minuman. Aku mencegat mereka yang akan membawa Nikita entah kemana. “Elo lagi! Elo lagi! Ngapain bawa dia?” tanyaku sempoyongan. “bukan urusan elo! Jangan sampe gue ngehajar elo habis – habisan. Temen – temen elo enggak pada disini.” Ancamnya. “kalem. Gue cuman mau nanyain aja.” Aku mengambil botol sembarang di sampingku menuangkannya ke gelas dan kuminum segera. “lepasin gue, bangsat!” Nikita melawan. “tuh suruh ngelepasin. Lepasin aja dia biar gampang.” Aku mengoloknya. “Bacot bener elo!” dia akan menyerangku. “open bar is dangerous game, so respect it!” aku memukulkan gelasku ke kepalanya. Pecahan kaca terhambur ke sembarang. Seketika, hiburan terhenti dan aku menjadi pusat perhatian. Pengunjung lain berusaha menjauh dariku mencari tempat aman. Anak buahnya menyerangku dan segera kupatahkan serangannya dengan membantingnya ke tanah. Yang lainnya langsung menyerangku dengan pecahan botol yang berbalik mengenai dirinya setelah kumentahkan hantamannya. “hhhhhuuuugggghhhhhh……..hhhhhhhuuuuuuugggghhhhhhh……” Seseorang mencekikku dari belakang. Aku berusaha melepaskan diri dan meremukkan tulang tangannya. Kesal, dia melepaskan Nikita yang setengah mabuk. “jago juga elo!” orang yang menghadangku. “anggep aja lucky.” Kami beradu pukulan dan tendangan. “Ayo, elo pasti bisa.” Nikita duduk sambil memegangi botol yag dicomot. Nikita tiba – tiba terpengaruh alkohol. Aku mengelak dan menyarangkan serangan begitu ada kesempatan. Dia pun berpikiran sama. Aku terus berkelahi dengannya. Nikita makin ngelantur dengan botol minumannya. “ahh…cemen nih enggak ada yang menang.” Katanya. Kemampuannya sedikit lebih baik dariku. Aku harus mengimbanginya. “begini aja susah…ppprrraaannngggg…” Nikita bertindak konyol dan berani. Dalam keadaan seperti itu, dia memukulkan 2 botol minuman ke kepala orang yang bertarung denganku dari belakang. Sungguh, tindakan yang nekat dari perempuan mabuk. “ayo kita pergi dari sini.” Ajakku ke Nikita keluar dari Night Club. Aku tancap gas pergi dari Night Club. “Hihihi…..gue mukul Mat Podang…..gue menang….” Sikapnya mabuk. “Niki, Sadar! Elo lagi mabuk!” aku menggoyangkan badannya. “Elo siapa ya? Coba gue inget dulu. Oh ya, elo yang nganterin gue hari ini.” Dia berusaha mengingat kejadian hari ini. “Elo lagi mabuk sekarang, Niki.” “Tadi ngentot sama om – om yang langsung ngecrot. Terus, nari – nari seksi gitu sambil digerayangin. Terus di ewe bareng gitu…..” Nikita terus mengoceh. “Shut The Fuck Up!” aku memarahinya. “emang gue salah apa sih?”Dia linglung. “Shut….The…..Fuck…..UP!!!!.” Aku berkendara tanpa arah. Sepertinya, aku harus mengantarnya ke apartemen. “elo tinggal di mana?” “gue…tinggal…di….apartemen….yang…tinggi….tinggi….sekali….” “malah nyanyi. Elo tinggal di mana?” “ha?…kunci gue di tas….” Aku mencari di dalam tasnya. Tertulis nomor dan nama apartemennya. Saatnya mengantar Nikita pulang. Tiba di apartemen, aku membawanya masuk ke kamar. “elo udah sampe rumah, Niki.” Dia menahanku untuk pergi. “Baby, don’t leave so soon..” Aku mendorongnya masuk ke ruang tidur sambil menciuminya. “mmmmmmmhhhhhhhhh……….mmmmmmmmhhhhhhhh…………ooooooooccccccchhhhhhhh……….mmmmmmmmhhhhhh………….oooooooocccccchhhhh…….” Bibir kami saling berpagutan. Terkaman lidah Nikita membuatku takluk di dalamnya. Aku tidak kalah liar terus menekan bibir dan lidahku dalam. Aku tidak berniat melepaskannya dariku. “baby…..don’t…..rush…..” Aku mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur dan terus menciumi bibirnya di atasnya. “mmmmmmmmmhhhhhhhhhh…………..ssssssssssslllllllrrrrrrrppppppp……..mmmmmmmmmmmhhhhhhhh………….oooooooooocccccchhhhhhh……….” Pengaruh alkohol masih kurasakan dalam tubuhku. Nikita terus memberikan sentuhan yang memancing sensual. Aku terus memberikan usaha terbaikku dalam mencumbuinya. “oooooooggggghhhhhh………oooooooggggghhhhhhh………ffffffuuuucccckkkk………ooooooohhhhhh………sssssssshhhhhhhhh………” “yyyyyyeeeeeeaaaaaahhhhhh………..mmmmmmmmhhhhhhh………ssssssssshhhhhhhhhhhh…………oooooooooogggghhnnnnnnnn……..” “oooohhhh…..fffuuuuccckkkk…….ffffffuuuucccckkkk……ooooooohhhhh……..fffffuuuuuuucccckkkkkk…….” “ddddeeeeppppeeerrrrr………..mmmmooorrreeee……….dddddeeeeepppppeeeerrrrrr…….oooooohhhhhh……..ffffffffuuuuuuccccckkkkk…….” “ffffffffffuuuuuuuuccccccccckkkkk…………sssshhhhhiiiiitttttt……….fffffffffffuuuuuuuccccckkkkm………sssssshhhhhhhiiiiiitttttttt………mmmmmmooooorrrreeeee……..dddddeeepppeeeerrrrrr…….dddddeeeeepppppeeeerrrr…….dddddeeeeeppppeeeerrrrr….” To Be Continued
Part 2 Teriakan – teriakan penuh nafsunya yang terngiang di kepalaku. Bersetubuh saat mabuk dan aku tidak dapat mengingat apa yang telah kulakukan. Kepalaku masih terasa sakit. “Niki, elo ngapain?” aku terkejut mendapati dirinya tengah mengoral penisku. Dia memberi isyarat untuk menunggu sebentar. “aahhh…..best wake up is a blowjob, babe.” Dia menciumi penisku dan menjilatnya perlahan. “jadi, tadi malem kita berdua…….” “ngewe. Elo perkasa banget. Kontol elo bikin memek gue nagih pengen terus di ewe.” “ssssssslllllllluuuuuuurrrrrrrppppppphhhhhhh………ssssssssssllllllllluuuuuuurrrrrrrpppppphhhhhhh…………ssssssssssslllllllllluuuuuurrrrrrppppppphhhhhhhhh………..” Dia menghisap penisku dalam sampai tenggorokannya. Aku masih malas untuk menghentikannya. Aku ingin menikmati blowjob Nikita. “memek gue penuh gegara elo ngecrot. Ampe luber keluar – luar.” Dia melanjutkan kulumannya dan membuatku tersengal. “Niki….gue…..mau…..ngecrot….” “ssssssssssllllllooooooooorrrrrrrrppppppphhhhhhhhh……….sssssssssllllllllllooooorrrrrrrrppppppphhhhhh………cccccccccrrrrrrooooottttttsssssss…………cccccccccrrrrrrooooooottttttssssssss……….oooohhhoookkkkk…….ooooohhhhookkk……uuuuhhhhuuuukkkkk…….uuuuhhhhuuuukkkkk……” Dia membiarkanku berejakulasi di mulutnya. Spermaku ditelannya langsung sampai terbatuk – batuk. “blowjob….done.” Dia bangkit dengan memakai pakaian tadi malam yang berantakan. “gue yang ngelakuin itu?” “ya. Elo bener – bener kayak macan laper.” “oh…shit!” aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku dan Nikita duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Sikapnya bermanja – manja membuatku gemas. “babe, soal tadi malem…” “gue harus bayar ya?” celetukku. “huh, dasar! Bukan itu kali.” dicubitnya pipiku. “Soal Mat Podang?” “koq elo tahu sih?” “elo nyebutin namanya waktu ngewe.” Candaku. “enggak lucu deh. Beneran enggak lucu.” Dicubitnya perutku dan ditepuknya berulang. “iya iya maaf.” “Mat Podang ngebet banget nyeret gue lagi di kasusnya Obbie. Niki takut dipenjara.” Nikita melemah. “pasti akan ada jalan keluarnya, Niki.” Aku memeluknya agar tetap tenang. “tolongin banget. Gue bakal kasih apapun. Termasuk harga diri gue.” Ia memohon kepadaku. “jangan ngomong gitu. Gue yakin, elo itu enggak salah.” “Koq jadi mellow gini sih?” herannya. “elo yang mulai duluan.” “iya ya hehehe….” Sedetik kemudian, aku tengah menciumnya mesra di sofa. “mmmmmmmhhhhhhhhhh……….mmmmmmmmmmhhhhhhhhhh……….mmmmmmmmmmhhhhhhhhhh……mmmmmmmmmmhhhhhhhhhh………” Aku memangku tubuhnya sambil terus menekan bibirku lekat. Aku tidak memedulikan sudah berapa banyak bibir yang pernah mencicipinya. She’s just a women. Perlu disayang tanpa melihat apapun yang terjadi. Tubuhnya kugendong dan kutukar posisi duduk. Aku menggapai underwearnya dan melucutinya. “gue bukan cewek baik – baik.” Dia menahanku. “apa gue peduli…..honey? Yang penting sama – sama enak.” Aku melepaskannya dan mengangkat keduda kakinya ke sofa. Posisinya membuat vaginanya terbuka lebar. “aaaaaaahhhhhhhh…….sssssssshhhhhhhhh……… “ racaunya saat jemariku menekan klitorisnya. Aku membuat gerakan melingkar membuatnya geli. “mmmmmmmmmhhhhhhhhh………yyyyyeeeeaaaaaahhhhhhhh……..” “elo suka diginiin, enggak?” “bbbangggeeettttt……….ttteeeerrrrruuuuusssss………mmmmmmmmmhhhhhhhh……oooooooooocccccchhhhhhhhhh………” Jemariku memainkan klitorisnya. Nikita berdesah – desah keenakan. “let…me….kiss….you…..” ujarnya. Dia menciumku lagi. Dipeluknya leherku erat – erat. Perlahan, telunjukku menelusup masuk ke liang vaginanya. “mmmmmmmhhhhh………..sssssssssshhhhhhhhhh……” desisnya. Dia tidak menampik kenikmatan yang berdesir di tubuhnya. Aku merogoh mencari spot terbaik yang dapat kurangsang. Aku mengalihkan perhatiannya dengan terus memandangi sorot matanya lemah. “mmmmmhhhhhhh…….ssssstttttooooppppppp……iiittt…….ssssssttttttoooopppppppp…….” Desahnya membuatku bernafsu terus melakukan fingering di spot yang sama. Kutekan terus menerus hingga tubuhnya menggelinjang. “ssssscccchhhllllliiiiccckkkkk………..ssssscccchhhhhlllllliiiiccccckkkkk………sssssssscccchhhhhllllllliiiiiccccckkkkk……” “sshhiittt….ssshhhiiitttt…..sssshhhhiiitttt….ssssshhhhiiitttt…..oooooooohhhhhh…..ssshhhiitttt…..fffffuuuuuuccccckkkkk…..” Tubuhnya meregang keras. Vaginanya menyemprotkan cairan yang membasahi tanganku. Bekasnya berjatuhan di lantai. “anjing! Bener – bener bangsat elo!” “memek elo juga udah enak dikobelin kali.” “gue enggak mau tahu. Memek gue mesti elo isepin.” Aku memegangi kedua pahanya. Kepalaku terbenam menciumi vaginanya basah. Kujilat – jilat sesuatu yang dijadikan andalan kerja sampingannya. “ccuupphh….cccuuuppphhh…..cccccuuuuppphhhh….sssssuuurrrppppp…..sssssuuurrrrrpppp….ssssslllluuurrrrrppppp…..sssssssllllllluuuurrrrppppp……” Kuciumi klitoris dan memeganginya sampao geli. Kugigit pula bibir di liangnya yang cukup kendur. Hidungku tidak menolak untuk terus menempel menghirup bau kewanitaannya. Nikita terus memegangi kepalaku dan menekannya dalam. “cccccccuuuuuurrrrrrrppppppppp……….cccccccccclllllllluuuuurrrrrrppppppppp……….cccccccccccccrrrrrruuuuuuuppppppphhbhhhh……..cccccccccccllllllluuuuuuuuurrrrrrrrpppphhhhhh…….” Puas aku menyeruput setiap bagiannya, Nikita membangkitkanku. Tanpa ragu, dia melepaskan celanaku dan mengenggam penisku. “come on, big brother! Let’s see what you can do.” Matanya tertuju pada penisku. Mula – mula, dijelajahinya setiap bagian penis dan zakarku dengan kecupan singkat. Setelah itu, lidahnya menjilat mulus bekas kecupannya. Dia benar memanjakanku dengan caranya. “aaaaarrrrgggggghhhhhh…….ooooohhhhhh…..” “mmmmmmmmuuuuuuaaaaahhhhhhhhh……….ccccccccuuuupppphhhhhh………cccccccuuuuuuuurrrrrrrrrppppphhhhhhhhhh………….ccccccrrrrrruuuuuuupppppppphhhhhhhh……” Ingin badanku berkelojotan asal. Tetapi, Nikita memeluk pinggangku dan penisku meluncur masuk di mulutnya licin. Rongga mulutnya menyelimuti seluruh penisku yang keluar masuk. “sssssssssllllllllooooooorrrrrrrrpppppphhhhh………sssssssssllllllllloooooorrrrrrrppppphhhhhh…….ssssssssslllllllloooooorrrrrppppphhhh….” Aku memegangi kepalanya dan mendorong penisku cepat. “do you like it, bitch?” “ggggggaaaaaaaggggggghhhhhhhgh………gggggggaaaaaaaahhhhhhhhggggggg………ggggggggaaaaaaaaaagggggggg……” Aku berhenti dan menampar wajahnya dengan penisku yang berkilap karena basah. “You’re such a good cocksucker, whore.” “yes, I am.” Vaginanya menggodaku untuk menyarangkan penisku di sana. Kedua pahanya kurenggangkan. Terbuka lebar, aku melesakkan penisku ke Nikita. Tidak lupa,aku menanggalkan seluruh pakaianku dan pakaiannya. “sialan, gue diewe sama sopir. Di apartemen gue sendiri pula.” “gue enggak peduli, Niki. Yang penting, memek elo bisa gue rasain.” Dia melenguh. Tubuhnya sedikit meregang ketika seluruh penisku memasuki liang vaginanya. “anjing! Memek gue penuh banget.” “berisik banget, elo.” “ewe gue, sekarang! Ewe gue, njing!” “gue bukan anjing!” Penisku mulai bergerak di dalamnya. Vaginanya memijat lembut benda lelaki yang ada. “uuuuuunnnggggghhhhhh……..uuuuuuunnnnngggggghhhhhh……” Setelah basah, aku mempercepat sodokanku. Kuremas buah dadanya yang menantangku. “sakit elo remes – remes doang. Emutin biar puas.” Dibimbingnya kepalaku menuju dadanya dan bermain dengan sepasang benda yang menggantung santai. Aku menjilati puting dan memasukkannya ke dalam mulut. “cccccccccuuuuuuupppppphhhhhh………ccccccuuuuuuuuupppppppphhhhhhh……….ccccccccuuuuuuupppppppphhhhhhhh…….” “oooooggggghhhhhh…….isep….toket…..gue…..enak…….oooooggggghhhhhhhh…….” Aku tidak memedulikan erangan erotisnya. Aku memuaskan hasratnya bersamaan. Tidak sekalipun aku berhenti menggenjot tubuhnya yang berkeringat. Dadanya memberiku efek doping membuatku enggan berhenti. “ooooooohhhhh…….ffffffffuuuuuuucccccckkkkkkkk……….fffffffffuuuuuuucccccckkkkkk…………ssssssssshhhhhhhhhhiiiiiitttt……” “cccccccclllllleeeeeepppppphhhhhh………ccccccclllllleeeeeeeeppppphhhhhh………ccccccccccllllllllleeeeeeeeeepppppppphhhhhh…….” Aku menampar wajahnya berulang. “artis macem apa elo bisa diewe sopir kayak gue.” Makiku. “kontol…..sopir….enak….banget…..ewe….gue……terus…..” Sengaja, aku berhenti agar dia memohon kepadaku. “jangan diem! Tanggung nih! Udah enak.” “gerakkin aja ndiri.” Pinggangnya mulai bergerak. Aku masih tetap diam. “enggak enak kalo sendirian. Plis, ewein gue! Gue minta ewe ama elo doank nih!” Aku mengangkat kedua pahanya. Aku kembali menggenjotnya yang sudah kepayahan. “ooooogggghhhhhhhh……..fffffffuuuucccckkkkkkk……..yyyyyyeeeeaaaahhhhh………” “jjjjjjjjllllleeeeebbbbbbbhhhhhhh……….jjjjjjjllllllleeeeeebbbbbhhhhhhhh……..jjjjjjjlllllleeeeeebbbbbbhhhhh…….” “dddddeeeeeepppppeeeeeerrrrrrr…………dddddddddeeeeeeepppppppeeeeerrrrrrrr……….ddddddddeeeeeepppppppeeeeerrrrrrrrr…….” “shit! Gue mau ngecrot, Nik….” Aku mencabut penisku dan mengocok penisku sebentar. “nnnnnnggggghhhhhh……” “ccccccccccrrrrrrrrooootttttssss……..cccccccccrrrrrroooooootttttsssss…….” Spermaku bertebaran di sekitar perutnya. Nikita yang kelelahan memandangiku dan meratakannya di sekitar perut. “pejuh apaan nih? Tadi abis gue blowjob masih ada aja.” “ngejek nih?” “enggak. Banyak tau kalo segini mah.” “kayaknya gue harus narik dulu. Entar malem kabarin aja.” Malamnya, Nikita menekuni job malam yang biasa di jalani. “cuman satu doank hari ini.” “berarti bisa istirahat, Niki.” “ya gitu deh.” Aku menurunkannya di sebuah apartment. Tiba – tiba saja, perasaanku mendadak tidak nyaman. “elo yakin mau kerja malem ini?” “iya. Udah ah jangan parno. Aman koq.” “Niki. Tunggu bentar.” Aku memberinya sebuah kunci cadangan mobil dan tempat tinggalku. “Elo simpen kalo ada apa – apa. Pasti berguna koq.” “gue enggak mau nyimpen. Elo titip aja buat malem ini.” “terserah, Niki.” Aku meninggalkannya sendirian di sana. Perasaan was – was masih menggelayuti pikiranku. Seperti ada sesuatu yang tengah terjadi. Apa mungkin kejadian yang sama terulang lagi? Teringat beberapa waktu lalu, Nikita tertangkap basah saat beroperasi. Berhembus kabar konon nilai sewanya 60 juta rupiah. Sixty Million Rupiah for Nikita. It’s a pricey for me. Dia tidak bisa melepaskan kehidupan malamnya secara langsung. Semua butuh proses dan tekad. Selama dia tidak mampu memenuhi hasrat kehidupannya yang glamor, kupikir dia tidak akan berhenti. Ditambah Mat Podang, orang yang selalu menangkap Nikita demi kepentingan orang lain. “Halo, Niki. Kenapa?” aku mengangkat telepon yang berdering. “elo dimana? Tolongin gue! Mat Podang ngejebak gue ternyata.” Nikita panik. “elo dimana sekarang? “masih di tempat yang tadi. Tapi, gue lagi kucing – kucingan sama mereka.” “ya udah gue kesitu.” “buruan! Bisa – bisa di ciduk gue.” Aku melajukan mobilku agar bisa cepat sampai. Suara sirine polisi bergemuruh di sekitar apartment. “Shit! Polisi ikut – ikutan juga.” Semua orang berhamburan di sekitar apartment. Saat yang tepat, aku masuk ke dalam dan mulai menghubungi Nikita. Aku belum mengetahui pasti lokasinya. Satu – satunya cara adalah mencarinya sampai ketemu. Nikita pun berusaha keluar dari tempat itu. Di dalam gedung, kondisinya cukup rusuh. Setiap orang ingin keluar dari apartemen dengan selamat. Aku masih belum menemukan Nikita. Jangan sampai dia tertangkap oleh Mat Podang ataupun polisi. Lanjut, aku malah berpapasan dengan Mat Podang beserta anak buahnya. “jadi elo disini juga? Elo belum nemuin tuh cewek…hahahahaha…..” “kenapa harus elo lagi sih.” Aku menyiapkan diri untuk perkelahian. “sok jagoan elo? Bakalan kalah elo!” dia memunculkan kuda – kudanya. Pertarungan berjalan seimbang. Tinju sana, tinju sini, pukul sana, pukul sini berlangsung intens. Berbagai elakan dan serangan balik terus dilancarkan oleh kami. Mat Podang lebih unggul dariku. Bahkan, dia mulai menyudutkanku. Sebuah pukulan membuatku tersungkur di lantai. “gue udah bilangin elo bakalan kalah dari gue!” Ditinggalkannya aku di sana tanpa pertolongan. Rasa sakit yang kuabaikan mulai terasa. Mereka sudah tidak ada di sana saat aku membangunkan diri. “Elo dimana sih, Niki?” Keputusasaan mulai menakutiku. Ditambah kondisiku yang seperti ini. Mungkin saja, aku tidak dapat menolongnya. “Elo di mana sih? Gue udah mau di basement nih.” Seru Nikita. “gue lagi di dalem gedung. Tadi, fight sama Mat Podang.” “gue enggak bisa nyusul elo kesana.” “elo masih nyimpen kunci gue kan? Elo ngilang aja dulu selama beberapa hari.” “tapi, elo gimana?” “udah jangan mikirin gue. Yang penting, elo selamet aja.” “I’m sorry. Goodbye, Grha.” Aku mengakhiri teleponnya. Aku lega sekali instingku menyelamatkannya. Tinggal, aku menikmati sisa – sisa kedamaianku. Tenang sekali, hingga aku nyaman menutup mataku. Seekor anjing mengendus wajahku. Aku memeluknya dan membiarkannya terlelap di balik jaketku. Malam itu, Nikita yang mabuk begitu bersemangat denganku. Nafsuku membara saat bersamanya. Aku membuka paksa pakaiannya hingga robek. Bibirku terus merengek ciumannya. She looks beautiful tonight. Euforia ambigu memenuhi pikiranku. Efek minuman ini membuatku tidak terkontrol. Bongkahan pantatnya menarik hasratku untuk memasukkan penisku di liangnya. “jjjjjjllllleeeebbbbbbhhhhh……..ssssssssssllllllllppppppphhhhh…….ssssssslllllllppppplhhhhh….” Terasa aneh, sedikit menyakiti penisku. Kupikir liangnya tidak serapat ini. Aku tidak peduli dengan itu. Nikita melemaskan badannya menerima genjotanku. “oooooooggggghhhhhh………oooooooggggghhhhhhh………ffffffuuuucccckkkk………ooooooohhhhhh………sssssssshhhhhhhhh………” Aku masih belum sadar sepenuhnya. Yang kutahu, liangnya menjepitku jauh lebih lekat. Kami berdua sama – sama dalam keadaan tidak terlalu sadar. “yyyyyyeeeeeeaaaaaahhhhhh………..mmmmmmmmhhhhhhh………ssssssssshhhhhhhhhhhh…………oooooooooogggghhnnnnnnnn……..” Penisku terpeleset dan masuk liang di bawahnya. Perasaan saat penetrasi perempuan terasa saat penisku berada di dalamnya. Pijatan lembut basah itu memanjakan penisku. Pantatnya beradu dengan tubuhku menciptakan percik keringat. “oooohhhh…..fffuuuuccckkkk…….ffffffuuuucccckkkk……ooooooohhhhh……..fffffuuuuuuucccckkkkkk…….” Aku membalik tubuhnya dan menggenjotnya lagi. Lebih leluasa memandangi dan menikmati buah dadanya yang kusukai. Berlama – lama aku mengecup, menciumi, memilin dan memuntir putingnya dengan bibir dan jemari. Nikita memberikan belaian yang nyaman di kepalaku “ddddeeeeppppeeerrrrr………..mmmmooorrreeee……….dddddeeeeepppppeeeerrrrrr…….oooooohhhhhh……..ffffffffuuuuuuccccckkkkk……. Desahnya bersahutab dengan erangan yang keluar dari bibirnya tidak tertahankan. Pengaruh alkohol membuat sesi bercinta ini tidak kujelaskan dengan pasti. Untungnya, pengaruh seksual di pikiranku tidak langsung menyertai penisku. “ffffffffffuuuuuuuuccccccccckkkkk…………sssshhhhhiiiiitttttt……….fffffffffffuuuuuuuccccckkkkm………sssssshhhhhhhiiiiiitttttttt………mmmmmmooooorrrreeeee……..dddddeeepppeeeerrrrrr…….dddddeeeeepppppeeeerrrr…….dddddeeeeeppppeeeerrrrr….” Yang kuingat, aku melesakkan penisku sampai berejakulasi seperti yang diceritakan oleh Nikita. “aaaarrrggghhhhh…….ngecccrrooottt…….” “cccccccccrrrrrrrrooooooootttttttttssssss…………cccccccccccrrrrrrrooooottttttsssss……….” Aku tumbang di atas tubuhnya. Spermaku membanjiri setiap ruang di vaginanya. Setelah itu, aku tidak dapat mengingatnya lagi. Aku membuka mata. Langit – langit putih menyambutku. Bau obat menusuk hidung seketika. “Thanks God! It’s you.” Perkataannya asing memunculkan pertanyaan di kepalaku. Seorang perawat? Pakaiannya tidak menggambarkan hal tersebut. “Where am I? And, who are you?” “Relax. You’re in hospital. I came here to see you and say thanks. You saved my dog.” “No problem, Miss…..” dia pemilik anjingnya. “Sydney.” “No problem, Miss Sydney.” Aku mengulangi perkataanku. “Just Sydney. Okay?” Dia mengembangkan wajahnya yang menarik. Aku langsung menyukainya saat itu juga. Aku benar – benar tertarik kepadanya. Tidak secara nafsu. Mungkin terdengar gila. Tapi, I want to marry her. “uhm…can I leave for something? Doctor will treats you better.” “could I ask for your number? I think we should have some dinner.” “oh wow. Sounds interesting. Here, take this.” Dia menyerahkan secarik kertas. “I’ll call you ASAP.” “Bye bye, See you later.” Senyuman di wajahnya begitu berbekas. Sydney, are you love of my life? We’ll see. Beberapa hari sejak Nikita menghilang, aku jadi sedikit merindukannya. Selain mobilku dibawanya, dia tidak mengunjungi rumahku sekalipun. Aku tidak berhak mengatur hidupnya. Kemana pun dia pergi, asal dia selamat. Paling tidak infotainment gagal menemukan jejaknya di insiden beberapa hari yang lalu. Pagi ini, aku masih duduk di teras. Banyak yang ingin menggunakan jasaku. Tapi, Nikita masih membawa mobilku. Jadi, aku meliburkan diri. Sebuah mobil derek berhenti di depan rumah. Seorang petugas terburu – buru menghampiriku dengan dokumen di tangannya. “Permisi, dengan Bapak Grha?” “Iya. Saya sendiri.” “Mobil bapak sudah diperbaiki dan diantar sesuai permintaan. Silahkan ditandatangan dokumennya.” “Diperbaiki? Baiklah. Saya terima.” “Terima kasih, Pak Grha.” “Terima kasih kembali.” Aku mengecek mobil. Tidak ada apapun. Kecuali, sebuah surat di dashboard. “Makasih udah nyelametin gue. Sorry, gua enggak bisa nganterin.” Terlampir juga, tagihan cicilanku sudah dibayar setengahnya dari jumlah nilai kredit. Bisa – bisanya dia melakukan ini. “60 million, huh? Fair price.” Aku kembali bekerja setelah mobilku kembali. Semoga, aku tidak bertemu lagi dengan Mat Podang ataupun berhubungan dengan Nikita.