Dewi Apsari Paninggilan
Aku adalah anak seorang juru kunci sebuah gunung di tengah pulau. Hidupku jauh ditengah hutan lereng gunung. Gunung ini namanya gunung Inggil. Dimana bapakku adalah penjaganya. Waktu aku masih umur 5 tahun, gunung ini sempat meletus. Simbok bercerita kalau diwaktu itu adalah panggilan untuk bapakku. Banyak pesan yang ditinggalkan untuk kami berdua. Semenjak bapak pergi memenuhi panggilan, hingga kini tak pernah kembali. 12 Tahun telah berlalu. Satu pesan yang Simbok selalu sampaikan. Dulu ketika aku kecil, aku selalu bilang ingin menjadi seorang Ratu. Bapak selalu tertawa kalau mendengarnya. Hingga saat panggilan itu tiba, bapak berpamitan sembari mengatakan “aku pergi untuk menjalankan tugasku dan untuk impian anak kita”. Begitulah kata terakhir bapak sembari keluar rumah memecah hujan abu yang mulai berjatuhan. Gubug reot peninggalan bapak ini menjadi tempat berteduh terbaik yang bisa aku dan simbok tempati. Sepetak ladang disamping rumah menjadi sumber makanan selain mengais dihutan dan sedikit kiriman beras dari kerajaan yang tak menentu tibanya. Beras itu dikirim oleh utusan Sang Raja sebagai balas jasa pengabdian Bapak kepada kerajaan. Ketika utusan itu bercerita tentang Raja hyangagung, selalu bersemangat. Nadanya begitu tinggi tat kala menyebutkan Nama Raja yang sangat perkasa. Kemegahan istana dan singgasananya. Kuat tentaranya. Dan cantik nan ayu nya Ratu serta para dayang nya. Lalu??…siapakah aku ini? Bagai pungguk merindukan rembulan. Akankah harapan dan perjuangan Bapakku akan terwujud? Kini aku harus menerima terlebih dahulu takdirku sekarang. Aku adalah … Sari! PART 1 : ‘KERE MUNGGAH BALE”
Eps. 01 Di tempat nan gelap ku duduk terdiam. Tak tahu dimana, harus apa, dan baru apa aku ini. Tiba – tiba seberkas bayangan yang sangat pekat berdiri dihadapanku. “Waktunya telah tiba Sari! Bersiaplah!”. Suaranya keras dan berat membuat tubuhku merinding, mulutku terkunci tak dapat berbicara. Rasa takut berkecamuk. Kupejamkan mata dan kupaksakan mulut ini berteriak minta tolong. “Toloooong… toloooong..” sekuat tenaga kupaksakan. Sari! .. Sari!.. Bangun Sari! Teriak simbok sembari menepuk pipiku. Akhirnya terbuka juga mata ini. Keringat dingin kurasakan di leher dan jidatku. Nafasku terengah – engah. “Mbok, aku dimana mbok? Tanyaku masih setengah sadar. Senyum sumringah Simbok sembari mengelus tanganku. “Ya dirumah to ndok! Mau dimana lagi? Mau di Goa atas sana? Jawab simbok terheran. Kupegang erat tangan simbok. “Mbok. Aku ktemu lagi dengan sosok itu! Sudah 3 malam ini mimpi ketemu dia terus! Aku takut mbok!”. “weeee…… Perawan simbok! Lihat apa hayoo kamuuu…?? Takut itu nya yaaa…??? Cieeee…. “lah… maksud simbok apa sih? Ngimpi mbok… Ngimpi!!! Dia gede… item … Terus…“ jawabku coba menjelaskan. “Waaaaahh…sudah gede.. item lagi… idaman tuh!” sahut simbok sambil cengengesan. “iya mbok… suaranya keras… dia bilang ke sari kalau waktunya sudah tiba. Sosok itu kayak penghuni di Goa lembah Manah sana Mbok! Mbok udah 3 hari ini Sari mimpi ini berulang. Ada apa ya mbok? Aku Takut! Jawabku sambil menatap mata simbok dengan cemas.
Raut wajah simbok terheran – heran. “Loh .. loooh… ketika kamu ngigau, kamu itu gak minta tolong Sari! Kamu bilang kalau kamu itu siap! Sudah siap! Sudah siap! Begitu Sari. Makanya simbok pikir kalo kamu sudah ketemu jodohmu di alam mimpi”. Jawab simbok. Kedua tangaku diraih simbok dan coba menenangkan aku. “Ya sudah. Nanti siang, kamu gak usah bantu simbok cari kayu bakar. Ada bekal sedikit yang simbok petik malam tadi. Bawa itu ke Eyang Resi Wikromo. Lantas, ceritakan semuanya ke Eyang. Jangan lupa, tanyakan juga cara menangkalnya. Simbok kawatir kalau ada sesuatu yang terjadi ke awakmu ndok!”. Ucap simbok menegaskan. Simbok melanjutkan perkataanya. “O..iya. satu lagi. Kalau simbok bilang itu dengerin!. Kalau selendang kotor itu segera cuci. Darah haid gak bagus kalau kamu pakai tidur ndok! Bisa didatengin hantu lho kamu!!” ucap simbok serius. “Ah..simbok.. sukanya nakutin aja!”. jawabku sambil menjewer pipi simbok. Pagi itu kulalui dengan serba tergesa – gesa. Menimba air sambil mandi di belik tengah hutan. Maklum karena jarak belik sampai rumah hampir setengah jam perjalanan, tanpa terasa matahari sudah tegak. Segera aku bersiap. Selendang yang telah aku cuci gak bakalan kering karena baru bisa jemur siang ini. Menurut cerita simbok, selendang ini merupakan barang yang sangat mewah yang hanya bisa dibeli atau diperoleh dari/oleh keluarga kerajaan. Bahkan bapak dulu harus menunggu 5 tahun baru dikasih oleh Raja sebagai hadiah. 2 Selendang, 1 berukuran kecil dan lainnya berukuran besar. “Sini Simbok rapiin penampilanmu ndok!” Kata simbok sambil mendekatiku. “gak seperti biasanya aja mbok? Selendang ku kan belum kering mbok?” jawabku. Sambil senyum simbok memutarku hingga aku berhadapan dengannya. “Ndok.. kamu udah perawan. Kamu udah besar. Kalau mau ketemu siapapun ya dandan apa adanya yang bisa dipakai. Rambut kamu ditata rapi & diikat dengan tali. Susu kamu juga harus ditutup daun talas, juga dah simbok siapin. Pelepah penampung darah haid mu juga sudah simbok siapin. Berikut talinya. Sementara untuk selendang, kamu pakai kain punya simbok. Kecil tak apa, Cuma untuk menutup pelepahnya saja cukup”. “Ya mbok… “ Jawabku. Setelah semua siap, lantas aku berpamitan ke Simbok karena aku harus berangkat sendirian ke rumah Eyang Wikromo. Matahari mulai condong ke barat, tandanya aku harus segera bergegas, supaya tidak kemalaman. Karena kalau kemalaman sangat berbahaya menyusuri hutan dimalam hari. “Seumur – umur ini pakaian paling lengkap yang pernah aku pakai. Tali anyaman dari rotan aku kenakan di kepala, kata simbok ini untuk penanda kalau aku masih perawan. Dada ku juga sudah tertutup dengan anyaman daun talas yang telah diikat dan ditata rapi. Kalau hari biasa mah gak perlu pakai. Simbok juga gak pernah pakai. Iya.. dibiarin menggantung begitu aja. Bedanya sih punya aku lebih kenceng dan bulat, punya simbok dah kayak wewe kata simbok. Puting juga beda warna. Punya simbok coklat kehitaman sedangkan punyaku masih merah muda. Tak apalah semua itu tertutup. Kata simbok ini yang harus dikenakan”. Cetusku dalam hati sembari berjalan menyusuri hutan kearah gunung ke rumah Eyang Resi Wikromo. Beberapa kali aku harus berhenti istirahat. Jalannya menanjak dan menyusuri hutan. Haus, lelah dan lapar harus aku urus sendiri. Sedikit lega karena ini bukan pertama kali aku ke rumah Eyang. Walaupun sebelumnya aku bersama simbok, namun aku sudah sangat hapal arah nya. “Duuuuh….”. Ucapku lirih sambil menahan perut ini yang terkadang merasa sakit tatkala darah kotor keluar dari kemaluanku. Kulihat darah haid mulai mengalir melalui kakiku. Untung saja sudah sampai sungai kecil. Segera kulepas kain ku dan aku cuci daun penampung ini supaya tampungan kosong dan kupakai kembali. “sreeeeekkk…sreeeekkk”. Suara langkah sesuatu diatas dedaunan terdengar tipis ditelingku. Segera ku tengok kebelakang. Anehnya tak ada apapun dibelakangku, hanya jajaran ilalang setinggi perut dan barisan pohon pinus. Tanda – tanda hewan juga tak tampak, apalagi manusia. Segera kuselesaikan ini dan ku sahut bawaanku. Kemudian, berjalan secepat mungkin yang aku bisa. Tak peduli apapun dibelakangku. Tapi sungguh tak bisa ku bohongi. Ada sesuatu sedang mengikutiku. Jika aku berhenti seakan dia juga ikut berhenti, ketika aku berlari, dia juga ikut berlari. Kutengok langit mulai menguning, tanda bahwa malam akan segera tiba. Beruntung rumah Eyang Resi sudah mulai nampak. Obor penanda rumah mulai kelihatan. Tanpa di duga sore itu, dari kejauhan ada puluhan orang berada didepan rumah Eyang. Hal yang jarang aku temui sebelumnya. Setelah aku mendekat,
terlihat beberapa perempuan muda seusiaku berjajar rapi duduk didepan rumah eyang. Diikuti dibelakangnya yang ku kira adalah para orang tua mereka. Sungguh beruntung mereka masih mempunyai penjaga dalam perjalanan melelahkan ini. Sambil menunduk dan berjalan pelan aku mendekati jajaran perempuan itu. Kurasakan semua mata tertuju padaku. Entah apa yang mereka perhatikan. Mereka seakan serius memperhatikanku. Ah.. persetan! tak peduli pada mereka. Setelah aku duduk dibarisan paling kiri, ku lihatlah para perempuan itu. Bisa dikatakan akulah yang paling rapi. Yang lain ada yang dada dan susunya kelihatan. Ada yang tidak pakai pakaian sama sekali. Akhirnya kuberanikan diri bertanya kepada sekelompok gadis itu. “Maaf mbak..sebenarnya ada apa ini? Malam ini kok rame sekali?” tanyaku kepada perempuan terdekat ku. Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, kami yang berjajar semua disuruh untuk memasuki pendopo eyang Resi. Kami para perempuan semua masuk sambil dibagikan batu mantra dan pintu segera ditutup rapat – rapat. Sampai didalam pendopo itu kami disuruh untuk duduk diam. Sepanjang mata memandang isi ruangan, tak tampak eyang Resi, adanya eyang Gimah. Eyang Gimah adalah istri dari eyang Resi Wikromo. Eyang Gimah mulai berdiri. Matanya memandangi kami satu persatu. Setidaknya ada 40 gadis dalam pendopo ini termasuk aku. Kemudian sampailah pandangannya kearah ku. “Sari, kamu berdirilah.. maju kemari!”. Pinta eyang Gimah sembari mengacungkan jari telunjuknya. Mendengar perintah itu ada sesuatu yang janggal kurasakan. Tubuh ini, tangan dan kaki ini seakan – akan ada yang menggerakan. Ringan sekali aku melangkah kedepan kearah eyang Gimah. Setelah sampai, eyang Gimah segera memberikan perintah selanjutnya supaya semua memandangku dengan seksama dan teliti. “Sari.. buka semua apa yang kamu kenakan!” perintah eyang Gimah. “Tapi eyang,.aku sedang ..” / “sekkarang juga!” gertak eyang Gimah. Sembari ketakutan, aku segera melepas kan satu persatu apa yang aku pakai. Penutup dada yang rapi dari simbok terpaksa aku lepas paksa sampai rusak. Begitu pula kain dan daun penampung darah. Anehnya, sama sekali tidak ada darah ditampungan itu. Padahal sebelumnya terus penuh. Kaki dan sekitar selangkangku juga bersih tak ada darah sama sekali. Kini aku benar – benar telanjang bulat berdiri didepan. Dilihat semua perempuan yang duduk didepanku. Perintah selanjutnya dari eyang Gimah. “sekarang semua harus melakukan apa yang Sari lakukan, tapi sambil duduk!” perintah eyang dengan sedikit menaikkan nada. Kini semua tak ada sehelaipun pakaian yang dikenakan. Semua telanjang bulat… Eyang Gimah memastikan semua sudah telanjang dan memberikan perintah selanjutnya. “Tes dimulai !!“… BERSAMBUNG Eps. 02 …
Eps. 02 & 03 Ketegangan kami dimulai. Bagaimana tidak, aku yang berdiri sendirian didepan perempuan lainnya, tak tahu mau diapakan. Perhatian kami mulai tertuju kepada eyang Gimah. Jantung mulai deg degan menanti perintah eyang selanjutnya. Kini eyang Gimah mulai mendekatiku perlahan. Sambil melihat tubuhku dari atas hinggal bawah. Memutari badanku dan berhenti dibelakangku. “Sari. Diamlah. Jangan berkata sepatah apapun”. Kata eyang sedikit lirih dari belakang kepala. Tangan eyang melingkari tubuhku dari belakang seakan – akan ingin memelukku dari belakang. Ini hal yang pertama aku temui sepanjang hidupku. Perasaan ini campur aduk. Antara takut, malu dan canggung. Deg – degan sudah pasti. Tangan eyang Gimah mulai meraba raba lenganku dari belakang. Tangannya sedikit meremas lenganku dan berkata, “Sari..lenganmu terlihat besar dan kencang”. Tutur kata eyang lembut nan lirih. Kemudian setelah meremas lenganku, eyang meneruskan tangannya meraba anggota tubuhku yang lain. Kini tangan hangatnya mengarah ke dadaku. Jari jemari eyang dengan lembut menyentuh susuku dan memutarinya. Sampai satu putaran kemudian eyang mendekapnya dari arah depan putting aku. Karena tak cukup, eyang mulai meremas dari arah lain. Dari arah bawah dekapan tangan eyang sampai seakan – akan susuku yang sudah besar kelihatan makin besar dan menyembul keatas. Guratan guratan biru keliahatan. Setelah selesai meremas dari bawah, tangan eyang berpindah meremas dari samping. Kemudian eyang memberikan penilaiannya. “Sari… dada kamu besar skali. Butuh dua dekapan untuk mengitarinya”. Tutur eyang yang masih dengan kelembutannya. Aku hanya bisa diam dan merasakan jari jemari eyang mengeksplorasi bagian – bagian sensitif tubuhku. Seirama dengan rabaan itu, suhu tubuhku mulai menghangat dan jantungku makin berdebar kencang. Setelah meremas – remas susuku, eyang melanjutkan rabaannya kebagian bawah. ‘Sari… pinggangmu tak kalah bagus. Benar – benar nawon kemit”. Tak lama eyang meraba pinggangku. Lagian juga terasa geli saat eyang merabanya. Kini tangan eyang mulai meraba bokongku. “Sari.. bokongmu sempurna. Besar dan kencang. Tak ada kendornya sama sekali”. Tutur eyang Gimah sembari meremas dan mengelus bokongku berkali – kali. Saat ini aku sedikit bingung karena jika eyang menyentuh bagian kemaluanku, aku merasa gak nyaman karena aku sedang datang bulan. Benar ternyata. Tangan eyang mulai meraba perut bagian bawah. Makin berdesir yang kurasakan. Seraya itu pula keringat dingin mulai keluar dari dahiku. Tiba – tiba eyang pindah posisi jongkok didepanku seraya melihat bagian bawah perut antara perut dan paha. “Sari.. longgarkan pahamu.”. perintah eyang lirih. Aku melonggarkan kakiku hingga kemaluanku terlihat lebih jelas. Sambil melihat kemaluanku dan memegang kedua pahaku, eyang bertanya kembali. “Sari.. umur kamu berapa?” tanya eyang lirih. “17 eyang”. Jawabku sembari melihat apa yang dilakukan eyang Gimah. Sambil memegang bagian atas kemaluanku dengan lembut. “Ooh.. pantesan bulu nya masih tipis sari?”. Tanya eyang heran. Ketika jari eyang ingin menyentuh kemaluan aku, tiba – tiba hal yang tak terduga terjadi. “Brraak!!!”. Kami satu ruangan semua kaget. Eyang bangkit berdiri dan melihat dibelakang aku. Gelas bambu yang tadi berada diatas meja terbanting sendiri dan isinya tumpah semua membasahi meja. “Sebenarnya apa yang terjadi?” gumamku dalam hati. Sadar akan sesuatu terjadi, eyang mempercepat acara ini Kembali eyang Gimah menghadap semua perempuan dan memberikan perintah. “Lihat baik – baik perempuan bernama Sari didepan kalian ini!” perintah eyang dengan nada tegas. “Yang dada nya lebih kecil dari Sari, silahkan keluar sekarang juga!” perintah eyang. Peserta semuanya saling pandang memandang dadanya sendiri dan dada peserta lain. Banyak yang dengan sigap menutup dadanya karena canggung dengan ukurannya. Satu – persatu perempuan yang tidak sesuai keluar dari pendopo. Kini peserta tinggal sekitar belasan orang. Mereka masih berharap ukuran dada mereka masih bisa diterima. Walaupun ya tetap masih besar punya aku. Kini perintah lainnya diberikan eyang. “Batu mantra yang sudah kalian pegang. Letakkan dibagian atas kemaluan kalian” perintah eyang. Batu yang kami pegang mulai kami letakkan tepat diatas kemaluan kami masing – masing. Seraya eyang membaca mantra, batu ini terasa bergetar. Lambat laun getaran ini semakin kencang dan hebat. Semakin kencang getaran ini perasaanku mulai berubah. Dari semula geli kini terasa mulai berubah. Seiring tubuh ini terasa ringan dan rasa ini campur aduk menjadi satu. Entah apa yang menjadikan batu ini bergetar, getarannya membuat nyaman dan membuat tubuh rileks dan ada rasa enak. Rasa ini tak bisa diutarakan hanya bisa dirasakan. Makin lama getaran ini membuat mulutku hampir berucap. Seketika tangan kiriku aku gunakan untuk menutup mulutku. Takut membuat kacau acara. Tapi apa daya, makin lama makin tak kuasa aku menahannya. Seiring rasa enak ini aku rasakan, aku merasa ingin pipis. “Bagaimana ini. Gmna kalau aku malah pipir disini?” ucapku dalam hati. Makin lama rasa enak ini makin naik ke kepala. Mulutku akhirnya gak kuat menahannya. “aaaa…eeeeeekkkkh..” desahan tipis keluar dari mulutku walaupun sudah aku tutup rapat dengan tangan. Akhirnya puncak pun menyapa. “aaaaaakkkkkkkkhh..” Srrroooooootttttt… air keluar dari kemaluanku dengan kencang. Rasa enak yang memuncak dikepala membuat tubuhku lemas seketika dan membuat kakiku tak bisa menahan tubuhku yang ikut bergetar hebat. “bruug!”.. akhirnya aku terduduk di lantai. Lantai yang masih beralas tanah ini menjadi basah karena air pispisku. Namun ternyata tak sampai disitu. Air pipis kaluar lagi. “Srrrooooottt..srrotttt ..srrot.. srrooott…sreet sreeeet”. Kurasakan keenakan yang teramat sangat sampai mataku terpejam. Baru kali ini aku merasakan enak yang sampai ubun – ubun. Aku yang masih terduduk diam dan lemas. Ingin berdiri namun kaki ini belum kuat. Rasa canggung mengahampiriku karena sebagian perempuan melihatku. Sejenak aku diamkan tubuh ini. Menata napas yang masih terengah – engah. Eyang Gimah memberikan perintah lagi. “Bagi yang tidak mengeluarkan air, silahkan keluar!”. Perintahnya sambil menunjuk pintu keluar. Beberapa perempuan yang tidak mengeluarkan air dari kemaluannya segera meninggalkan tempat. Dan kini tinggal 4 gadis beserta diriku yang tersisa. Selang beberapa waktu kami akhirnya dimasukkan kedalam satu ruangan yang dibagian ruang tersebut terdapat patung. Tak jelas itu patung apa karena tempat ini sedikit gelap dan hanya terlihat samar-samar. Terdapat 1 lampu obor dengan api kecil di dinding bambu dan bau kembang yang dibakar sangat menyengat. Sehingga ruangan itu terlihat menyeramkan. Sambil mendudukan kami didepan patung itu, eyang memberikan pesannya. “Kalian duduk disini. Kalian harus jujur. Kalau kalian melihat sosok lain berada disamping patung itu, segera kalian keluar dan menemui aku di luar. Sedangkan yang tidak melihat, harus duduk diam sampai aku menjemput nanti”. Bagitu pesan eyang Gimah sembari keluar ruangan dan menutup pintu rapat – rapat. Sudah sekian lama kami terduduk diam. Hanya saling pandang satu sama lain. Karena bosan tidak ada sosok kami pun mulai sedikit mengobrol. Daripada sepi. “mbak. Sudah ada yang lihat belum?”. Tanyaku ke semuanya. “belum mbak..” sahut gadis kiriku, dan lain juga menggelengkan kepala. Merasa sedikit akrab dengan teman sebelah ini. Saya melanjutkan bertanya. “mbak sebenarnya apa sih kita disini. Tujuannya untuk apaan. Kalau aku, aku hanya disuruh simbokku ke rumah eyang Wikromo”. Kataku membuka obrolan. “kata bapakku, setelah terpilih nanti akan dibawa ke kerajaan untuk dipilih raja sebagai dayang, bahkan kalau beruntung bisa dijadikan selir” kata salah seorang diantara kami. “selir? Apa itu selir? Dan apa itu dayang? “ sahutku. “selir itu istri Raja. Tapi bukan yang utama. Selir tak bisa dijadikan garis keturunan raja. Kalau dayang itu pembantu kerajaan”. Ucap dia meneruskan. Suasana sedikit cair di ruangan itu. Obrolan demi obrolan kami bicarakan. Mulai dari tanya – tanya tentang keluarga dan perjalanan jauh kemari sampai berhari – hari. Sampai hal yang bersifat pribadi mereka tanyakan. Mereka bercerita jerih payah membesarkan dada mereka. ada yang diremas setiap pagi, ada yang diremas sambil pakai ramuan, ada pula yang tiap hari ayah dan ibunya bergantian meremas dada anaknya. Ada pula yang datang ke resi atau dukun untuk membesarkan dada mereka. Gak tau seberapa penting bentuk dada ini sehingga mereka rela mati – matian membesarkannya. “kalau aku gak ada perlakuan khusus kok. Aku dah sejak umur sewindu mulai membesar. Dan simbok bilang normal”. Jawab ku Mungkin ada perasaan iri dari mareka. Tapi dari cerita perjuangan mereka, aku sedikit penasaran tentang sebesar apa urusan ini. Apakah ini sebuah pekerjaan. Atau apa. Sehingga kerajaan menuntut kesempurnaan. Bahkan seleksi ini hanya 1 kali dalam seumur hidup seorang gadis. Sekali gagal maka tidak akan ada kesempatan lagi. Suasana ini tak berlangsung lama. Rekan paling kiri mulai berlagak aneh. Matanya mulai melotot dan sedikit mundur kebelakang. Dia langsung keluar ruangan. Tak berlangsung lama disusul oleh tiga lainnya. Ketika aku bertanya kepada mereka, tak ada satupun kata keluar karena saking takutnya. Sebenarnya aku merasa ketakutan juga dan ingin mengikuti mereka tapi ingat pesan eyang kalau tidak melihat tidak boleh keluar. Aku mantapkan diriku dan mengumpulkan keberanian walaupun itu sangat tipis. Kucoba pandangi kembali sosok patung dihadapanku dan mencari – cari sosok apa yang muncul disekitarnya. Namun tidak ada apa – apa. Aku tidak melihat apapun selain patung itu. Lama kelamaan mata ini sedikit terpejam. Aku rasakan hanya sekian detik aku terpejam dan terbangun kembali karena tidak diizinkan tidur di ruangan ini. Cukup lama aku duduk berdiam sendirian diruangan itu. Sayup – sayup terdengar ayam hutan berkokok. “sudah pagi rupanya” ucapku dalam hati. Hampir semalaman aku tidak tidur. Kemudian pintu terbuka dan eyang pun masuk. “Sari.? Sari? syukurlaaah. sudah selesai.. sekarang kamu duduk didepan.. ini selendang untuk kamu kenakan”. Terang eyang sembari membantu membangunkan aku dari tempat dudukku. Setelah aku menuju pendopo utama, aku terkejut karena melihat simbok sedang duduk bersama eyang Resi Wikromo sedang berbincang. “Siimbooook..!”. ucapku sambil berlari dan menjulurkan tangaku kearah simbok. Kami terhanyut dalam pelukan. Peluk dan cium dari simbok mengisyaratkan kalau simbok benar – benar kangen sama aku. “ndoook. Simbok kawatir. Tapi seneng karena kamu sehat – sehat aja disini” ucap simbok sambil senyum dan mengelus pipiku. “lhoo… kan baru sealam mbok.. Sari perginya..” jawabku sambil mengambil makanan yang dibawa simbok. Entah kenapa aku sangat lapar sekali setelah dari ruangan itu. “Makan yang banyak Nok Sari.!” . ucap eyang Resi kepadaku. “Kamu tahu gak Sari. Kamu sudah 1 hari 2 malam berdiam disana.” Kata eyang Resi melanjutkan. Kuhentikan makanku sambil sedikit bengong. “apa Resi? 2 hari? Padahal Sari Cuma terpejam sebentar Resi…? Masak sudah 2 hari?”. Jawabku heran. “iya.. ketika dari pagi kemarin sampai malam tadi, Resi selalu mengawasi mu. Kamu duduk terpejam. Dan ketika kusentuh badanmu, bdanmu sangat dingin sekali. Dalam ilmu seperti itu, memang tubuhmu tak boleh dipindahkan. Jadi Resi harus menunggu sampai ayam berkok keesokan paginya. Untung kamu Cuma 2 pagi. Ada yang pernah sampai 7 pagi baru bisa dibangunkan.” Ucap eyang Resi menerangkan. “siapa itu Eyang?” tanyaku penasaran. “nanti kamu bakalan tahu kalau sudah sampai istana. Hahahahaha”. Jawab eyang Resi sambil tertawa. Tak terasa hari sudah sore. Simbok mendahului karena hewan ternak simbok harus diurus. Lagi pula ada beberapa acara yang harus aku selesaikan. Ritual formalitas dan uborampe nya. Sampai diwaktu malam. Eyang resi membangunkanku dan memerintahkan sesuatu. “Nok Sari.. malam ini kamu harus turun” perintah resi. “Loh.. ini malam eyang. Aku takut di hutan bawah sana. Banyak hewan malam yang berkeliaran” jawabku seraya memohon. “Nok Sari.. eyang sudah tahu betul keadaan gunung ini. Apa kamu tahu Sari, semua penghuni hutan digunung ini sudah tahu kalau kamu adalah anak dari Resi Wiraksohargo!” jawab eyang meyakinkan. “bapak kah itu eyang?” tanyaku. “betul Sari. Bapak mu bukanlah orang sembarangan Sari. Eyang kenal betul beliau”. Jawab Resi “nah bawalah surat ini. Sampaikanlah kepada Raja Arga Paninggilan. Nah..kain putih ini, pakai saat kamu pulang. Namun ketika kamu sampai di gerbang bilah sawo, lepaslah. Lipat dan berjalanlah sampai memasuki rumah. Ikuti kata hatimu bicara. Jangan hiraukan siapapun yang mendekatimu. Ingat! Yang mendekatimu! Teruslah berjalan” pesan eyang didepan pintu pendopo. “baiklah eyang. Sari mohon pamit! Berkatilah Sari sampai ke rumah”. Pintaku seraya berpamitan. “iya Sari.. eyang sudah tau kalau kami pasti sampai di rumah” pesan terakhir eyang. Malam ini keberuntunganku. Obor yang aku bawa tak begitu banyak membantu. Malah terang bulan membuat jalan makin terlihat. Berbeda dengan waktu naik yang banyak gangguan dijalan. Jalan pulang ini terasa lancar. Setelah beberapa jam berjalan. Sampaikan aku di gerbang bilah sawo. Disini aku harus melepas kain putih ini. Kain satu – satunya yang aku kenakan. Setelah ku tanggalkan kemudian aku lipat dan kubawa. Hawa dingin mulai merasuk kulit. “apa benar telanjang begini aku harus berjalan?” tanyaku dalam hati. “ah..persetan. setan mana yang mau sama org lemah kayak aku ini” gumamku. Belum lama berjalan hawa dingin mulai datang. Bahkan kabut mulai turun. Badanku mulai terasa menggigil. Di persimpangan depan aku harus berhenti sejenak. Ada pohon talas yang besar. Bisa menaungiku hingga kabut ini hilang. Setelah sejenak berteduh malah semakin menambah dingin karena aku tak banyak bergerak. Ingin rasanya aku membuka kain putih ini untuk jadi selimut. Tapi, ketika kain ini kucoba buka, seakan – akan kain ini ada yang menahan. Kain ini sulit untuk direnggangkan. Akhirnya aku urungkan. Teringat pesan eyang Resi. Ku dekap kakiku untuk menahan rasa dingin ini. Namun, kabut malah tambah semakin tebal, bunyi hewan malam semakin menjadi – jadi. Ketakutan tetaplah ada karena gadis malam hari berjalan dihutan itu tidak disarankan. Aku teringat akan batu mantra yang tempo hari dikasih oleh eyang Gimah. Ternyata aku masih menyimpannya di lipatan kain punya simbok. Aku ambil batu itu untuk menghangatkan badan. “tapi apa bekerja batu ini? Kan gak ada mantranya?” gumamku. “ah.. dicoba deh”. Kupegang batu itu dan tidak ada rasa apapun. Getaran tak ada. Aku tak yakin batu itu bekerja. Tapi, mau gimana lagi. Dingin ini sudah tak dapat aku tahan. Daripada aku mati kedinginan disini! Kucoba mendekap batu itu. Sama saja tidak ada reaksi. “apa memang harus baca mantra ya?” gumamku dalam hati. Dari kejauhan terasa banyak sosok yang mngintai. Sengaja tak kupedulikan. Karena mereka sama skali tidak mengamcam. Tidak mendekatiku sama sekali. “baik lah.. coba deh di nanaku aja..barangkali bekerja” gumamku bicara sendirian. Memang dah kelewat dingin. Akhirnya kucoba kuletakkan sama persisi ketika di pendopo eyang. Ketika kutempelkan diatas kemaluanku bagian atas tidak terjadi apa – apa. Gawat!! Dalam batinku. “Dewa..tolonglah.. aku gak mau mati disini!” doaku sambil mataku terpejam. Dengan keyakinan ini.. akhirnya batu ini mulai bekerja. Bahkan tanpa mantra. Batu ini sedikit bergetar. Kuyakinkan hati ini kalau batu sebesar jempol ini bisa bekerja seperti tempo hari. Seakan tahu perasaanku batu ini kembali bekerja seperti semula. Bahkan getarannya bisa menyesuaikan seperti apa kemauanku. Beberapa saat batu ini menempel di kemaluanku tubuhku mulai menghangat. Jantungku mulai bertedak kencang. Aku tak mau terlalu bernafsu karena aku sedang dituhan. Kata simbok dihutan dilarang pipis sembarangan.
Tak lama kabut makin menipis dan kemdian menghilang. Waktunya aku harus melanjutkan perjalanan. Malam ini seakan tak ada habisnya. Ada saja kejadian didalam hutan. Ketika ingin berjalan rasanya tak mungkin aku terus pegang batu ini sambil berjalan. “Ribet amat,, kalau aku lepas, sayang..kalau gak dilepas mengganggu perjalanan. Lagian badanku yang telanjang bulat begini akan kedinginan jika terus – terusan” ucapku lirih. Tak terasa aku sudah mulai kecanduan dengan batu ini. Terbesit pikiran untuk memasukkan batu ini kedalam kemaluankku. “apa dimasukin aja ya. Sakit gak ya?” ucapku dalam hati. Bimbang juga takut kenapa – napa dijalan. Sempet berhenti dan berjalan berkali – kali karena pikiran ini. Akhirnya kulakukan juga. Batu sebesar jempol tangan ini mulai aku dorong ketas masuk kedalam kemaluanku. “dduuuuuuhh… susah juga . ayoo masuk donk batu!. Aku kedinginan kalau gak pake kamu. Bantu dikit donk!” cetusku. “oh iya… aku pernah ngintip simbok waktu dikebon dia duduk sambil regangin paha.. terus simbok masukkan terong ke kemaluan simbok” ucapku lirih sambil mengingat kejadian itu. Aku praktekin gerakan itu untuk masukin batu ini kedalam kemaluanku. Duduklah aku diatas daun talas dipinggir jalan. Kuregangkan pahaku supaya mudah masukin batu ini kedalam. Kubuka bibir kemaluan ini dengan tangan kiri dan kudorong batu ini masuk kedalam. Agak kesulitan memang. Tapi “sleeeeppppt…”. Aaakkkkhh.. lega akhirnya masuk juga. Aku bangkit berdiri dan coba aku perintahkan batu itu untuk bergetar. Dan…. Akhirnya bergetar juga batu itu didalam kemaluanku. Kupijakan langkah pertama. Rasanya agak perih dan risih kurasakan. Tapi mau bagaimana lagi. Tubuh ini harus hangat supaya tetap bisa berjalan sampai rumah. Coba ku kesampingkan rasa perih dan tak nyaman itu kurasakan, aku harus bergegas pulang karena masih jauh. Setelah beberapa waktu berjalan sampailah aku di belik Rampi. Jalan ini melewati depan belik. Ada pohon randu besar diujung belik. Ketika aku melewati pinggir belik itu. Ada sesuatu terjadi. “Sari… Sari.. kemari nak!” suara mendayu – dayu memanggilku dari ujung belik bawah pohon besar itu. Langkah ku terhenti. Mataku tertuju pada sumber suara itu. Kulihat ada sesosok manusia berdiri disana sambil mengayunkan tangannya. Aku yakin sosok ini yang memanggil namaku. “siapa kamu??” tanyaku pada sosok itu. ‘Nak. Apa kamu lupa dengan ku??” sosok itu tanya balik. “Nak .. ini aku nak.. mendekatlah kemari. Aku Rindu nak…” sambung sosok itu masih tetap mengayunkan tangannya. Dari ikat kepala sosok itu aku hapal. Itu sosok bapak. Ya..betul. tidak salah lagi. “apa itu kamu pak? Bapak? Tanyaku ke sosok itu lagi. “Iya nak..kemarilah.. Bapak ada sesuatu untukmu” jawab sosok itu. Kakiku seakan diluar kendaliku. Kaki ku perlahan melangkah ke arah sosok itu. Langkah demi langkah aku menuju pinggir belik. Tak ada jalan lain ke tempat sosok itu kecuali harus menyeberangi belik. Memang belik ini lumayan dalam. Tapi aku sudah terbiasa berenang di belik ini. Aktifitas mandi dan mencuci sesekali ku lakukan disini. Sosok itu terus memanggilku. Dan kaki ini kutahan sebisa mungkin untuk tidak masuk ke dalam air. Ada sesuatu yang melangkahkan kaki ini. Setelah kulihat kakiku samar samar, tak ada apapun yang aneh, tapi ada darah dari paha sampai ke kaki ku. Darah segar ini terus mengalir. Ternyata dari kemaluanku! “sudah gak sakit..tapi kok keluar terus ya. Apa kemaluanku terluka karena batu itu?” Ucapku kebingungan. Kaki ini kembali tergerak masuk ke air. Sebisa mungkin aku tahan. Tapi apalah daya akhirnya kakiku masuk ke air..langkah demi langkah aku menuju sosok itu melewati air. tak terasa air sudah setinggi perut. Kutengok kanan dan kiri tak ada keganjilan. Ketika aku memalingkan wajahku dari sosok itu, tiba – tiba sosok Bapakku itu menghilang. Berganti dengan sesosok belut dibawah pohon. Belut ini tidak asing bagiku. Karena belut ini sering menemaniku sewaktu aku mandi di belik ini. “kok aku ngerasa gak kedinginan di air ini. Ini kah tengah malam” gumamku dalam hati. Aku telah berhenti bergerak namun kakiku terpaku tak bisa digerakkan. Tiba – tiba belut itu bergerak. Kepalanya mengahdapku dan mata belut ini bersinar. Kanan putih dan kiri merah. “itu kamu kan.. belut yang selalu temani aku waktu mandi?” tanyaku pada belut itu. Sambil mendongak. Belut itu mengangguk. Tak ada gerakan lain selain itu. Tiba – tiba kakiku bergerak. Bukan maju. Tetapi perlahan merenggang. Semakin renggang hingga aku hampir tenggelam ke air. Aku sedikit panik. Namun lekas terhenti. Posisiku mengangkang namun didalam air. Tetap menatap belut itu, kini belut itu semakin aneh. Belut itu makin besar dan terus semakin besar sampai hampir seukuran paha aku. Panjangnya hampir sepajang kerbau dewasa. “byuuuuurr..”. si belut masuk kedalam air. Dan terlihat mulai mendekatiku. “hai belut.. siapa kamu! Kamu bukan belut itu!” gertakku kepada sosok itu yang masuk kedalam air. Belut itu tidak membalas apapun. Namun ketakutan mulai menghinggapiku. Takut akan dimakan perlahan atau apapun itu!. Nyawaku terancam. Tiba – tiba. Mulutku terpaku tak dapat bicara. Tubuhku tak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya bisa menggerakkan bola mataku. Leherku pun terpaku. Kurasalan belut itu mengitariku dan sembari mengitari dia semakin mendekat. Kini dia sudah mulai menyentuh tubuhku. Sedikit melilit tubuhku. Lilitannya diluar dugaan. Lilitan belut itu tidaklah kuat. Namun terasa lembut. Lilitanya tidak banyak karena panjangnya hanya 3 meter walaupun besarnya hampir se paha ku. Tiba – tiba dia memunculkan kepalanya dihadapanku sambil tetap melilitku. Dia menatapku dengan mata merah dan putihnya dengan tajam. Namun kurasakan ada makna yang tidak aku ketahui. Sejak saat itu aku tidak merasa takut lagi. Seakan – akan belut ini menyayangiku karena lilitannya yang lembut. Kepala belut ini kembali masuk ke dalam air dan terasa menyundul susuku. Kanan dan kiri disundul bergantian sebanyak 3 kali. Kemudian turun dan menyundul perutku. Kemudian terus kebagian bawah menuju ke kemaluanku. Belut itu kurasakan menjilat kemaluanku. “uuuuuuuuhhhh… “. Tak terasa mulutku mendesah. Aku tak bisa mengontrol semua bagian tubuhku. Serasa jiwa ini keluar dari badan ini. Jilatannya yang lembut terus dilakukan oleh belut itu. Rasanya tidak kalah dengan batu mantra itu. Bahkan rasanya lebih nikmat kurakan karena jilatannya lembut. Hawa yang begitu dingin berubah menjadi hangat karena belut itu menjilati kemaluanku. Kenikmatannya terasa berbeda. Ini lebih kearah dorongan untuk mengharapkan yang lebih dari ini. Tiba – tiba belut itu menghentikan jilatannya. Kemudian kepalanya mulai menyundul tepat ditengah kemaluanku. Sundulan itu semakin keras seakan ingin merobek kemaluanku. Aku hanya melotot merasakan sundulan itu. “ jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku! Ucapku dalam hati. Belut itu terus mendorong keatas seakan memaksa masuk ke kemaluanku. Belut yang hampir segede paha ku itu mau masuk kedalam kemaluanku. Seiring belut itu terus memaksa masuk, bukan sakit yang kurasakan. Aku hanya merasakan renggangan kemaluanku yang sedang menyesuaikan besar dari belut itu. Aku tak bisa melihat proses itu karena didalam air. Renggang dan terus renggang. Penuh dan sesak sekali kemaluanku ini dipaksa masuk si belut. Kurasakan sebagian kepala belut udah masuk kedalam kemaluanku. Sakit pun tak kurasakan, enak juga tidak kurasakan. Yang aku rasakan hanyalah penuh dan sesaknya lobang kemaluanku. Kemaluanku terus berusaha merenggang dan terus merenggang.. sangat sesak sekali. Bahkan posisiku yang sudah mengangkang tubuh belut itu tepat terasa menyenggol kedua pahaku. “ooh dewa… betapa besarnya belut itu..apakah aku akan mati disini? ..egak egak..aku tak mau mati secepat ini.. simbok masih membutuhkanku!.. wahai belut masuklah jika ini inginmu… tapi jangan lukai aku!” jeritku pilu dalam hati. Setelah hatiku bicara seperti itu, seakan akan belut itu makin mudah untuk masuk.”sreeeeettt sreeeeetttt sreeeeettt”. Kurasakan belut itu masuk jengkal demi jengkal kedalam lubang kemaluanku. Aku hanya merasakan sesaknya lubangku. Lubang kemaluanku ini. Seraya belut itu terus masuk. Kurasakan kepala belut ini sudah sampai kedalam perutku. “sreeeeettt…sreeeeeetttt” tubuh si belut terus masuk dan menggesek ketat kemaluanku. Dalam batinku “teruslah belut.. masuklah..” . ekor belut masih melilit pahaku. Artinya belut ini masih panjang. Sekarang kurasakan perutku mulai penuh dimasuki setengah dari tubuh belut. Namun masih belum selesai. Sebagian tubuh belut masih belum masuk.. Tanpa daya aku dibuatnya. Tubuhku yang mungil dipaksa untuk menerima dan menahan sosok belut yang masuk kedalam tubuhku melalui lubang kemaluanku. Kupejamkan mataku ini. Kurasakan sunggut peret dan susahnya belut itu masuk. Renggangan yang tak masuk akal kemaluanku terus menerimanya. Akhirnya seluruh tubuh belut masuk kedalam perutku. Sedikit sesak didada karena belut terus menyundul keatas karena terus masuk kedalam perutku yang kecil ini. Perlahan demi perlahan aku bisa menggerakkan tubuhku. Aku tak percaya akan hal yang barusan terjadi padaku. Aku berusaha sekuat tenaga yang tersisa untuk keluar dari dalam air. Akhirnya aku keluar dari dan naik ke atas ketempat biasanya aku mandi. Aku terduduk lemas dan menselonjorkan kaki ku. “astaga dewa! .. kenapa perutku jadi sebesar ini !” ucapku panik. Perutku terlihat sangat besar. Seakan hamil tua. Kemudian aku elus perutku dan si belut terasa bergerak gerak didalam.
Kemudian aku raba kemaluanku. Dan kagetnya aku. Kemaluanku terasa sobek parah namun aku tak bisa melihatnya karena terhalang perut besarku ini. Masih dalam posisi duduk aku raba keadaan kemaluanku. Lubang kemaluanku menjadi sangat lebar. Bahkan ketika aku memasukkan kedua tangaku bisa masuk dengan mudah. “ya dewaa…apalagi ini!!”.. Terus kucoba menerima nasib ini. Sejenak aku terdiam untuk menata pikiran dan mengusir rasa panik. Kurebahkan tubuhku di tempat pemandian belik ini. Kukumpulkan tenaga. Bagaimanapun aku harus pulang!! Sebelum ayam berkokok!. Aku mulai mengumpulkan keberanianku. Aku mulai bangkit berdiri. Aku sudah tak memperdulikan apapun. Pokoknya aku harus pulang. Selendang dan kain putih pemberian resi tak ku hiraukan. Persetan dengan itu! “srak srak..brug brug..srak!!” suara langkah cepatku menuruni gunung dan menuju rumah. Tak ada apapun yang kubawa. Hanyalah belut raksasa didalam perut dan luka robek parah lubang kemaluan aku yang ada dipikiranku. Obor rumah simbok mulai terlihat. Kupercepat langkah ini menuju rumah gubug itu! “brak!!” pintu rumah simbok aku dobrak dan segera ku jatuhkan tubuh ini didalam rumah simbok. “ndok..kenapa kamu..ada apa?” tanya simbol sambil panik segera menolongku. Nafasku yang terengah – engah dan pikiranku yang sudah mulai kacau. “mbok..perutku mbook… terus nanaku mbook… nana ku…!” keluhku sambil terpejam kelelahan. “kenapa perutmu ndok… kenapa juga nana kamu?” tanya simbok sambil mengelus dan mengecek nanaku. “minum dulu ndok. Ini diminum dulu. Tata pernapasan kamu” ujar simbok sambil membangunkan tubuhku. “sruuuupppp sruuppp” dua tegukan air hangat ku teguk. “ndok..kenapa? ada apa dengan perutmu?” tanya simbok sambil mengelus peruku. Kemudian dengan mata sadar kulihat perutku. Seakan tak percaya dengan yang terjadi ditengah hutan tadi. “kok perutku ndhak kenapa – napa mbok.. tadi itu besar skali mbook.. terus nana ku tadi terluka.” Jawabku sambil aku cek perut dan kemaluanku. Ternyata hal yang ganjil pun kembali terjadi. Seakan tak terjadi apa – apa. Perutku seperti sedia kala. Tetap kecil dan langsing. Dan nanaku juga tidak terjadi apa – apa. “mbok..tolong lihatin lubang nanaku mbok?” suruhku sambil sesenggukan. “kamu ini kenapa to ndok? Gak kenapa napa gini kok..” sambil melihat dan cek kemaluanku. Tangan simbok membuka bibir kemaluanku lebar-lebar dan melihat keadaan dinding nana ku. “gak kenapa kenapa mbok?” tanyaku heran. “gak ada apa – apa ndok. Lecet juga gak ada kok. Kamu kenapa malam – malam begini turun gunung?” tanya simbok heran. “di perintah sama eyang untuk pulang malam ini juga.. oh iya.. ada yg kulupakan dibelik mbok.. selendang simbok sama kain putih pemberian eyang” ucapku kebingungan. “oooh itu dibangku apa bukan?” tanya simbok. Kupalingkan wajahku dan melihat barang – barangku komplit sudah dirumah. Tak ada yang ketinggalan satu pun. Yang jadi pertanyaan, siapakah yang mambawa barang-barang itu? BERSAMBUNG EPS.4
Eps. 04 Pagi ini entah kenapa aku malas banget bangun. Pikiranku seakan linglung atas apa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Untunglah hari ini semakin membaik. Luka – luka di kaki akibat turun gunung asal terabas juga sudah mulai mengering. Pikiran yang sudah sedikit tenang. Mungkin benar apa kata ibuku. Aku mengalami halusinasi berlebihan kala melewati belik rampi. Bukti bahwa ada belut didalam perut sama luka kemaluan juga tidak ada. Tidak aku rasakan sama sekali. “ndok.. bangun.. kok jadi malas sekali kamu sekarang?” ucap simbok sembari mamasukkan kayu bakar. “iya mbok.. Sari dah bangun” jawabku sambil kucek – kucek mata. “bangun kok masih baringan. Tolongin simbok buat api ditungku sana!” ucap ibu sambil menarik kain putih yang aku kenakan untuk selimut tidur. “ya yaa mbook..uaahhemmm”. sejak kepulanganku aku sama skali gak bangun. Sesekali Cuma makan ubi dan tidur lagi. Mungkin sudah saatnya aku harus kembali ke aku yang sebenarnya. ku ambil langkahku yang pertama dan mulai berjalan. Seiring jalan itu ada yang terasa berbeda dengan tubuhku. Sewaktu berjalan susuku terasa lebih berat dan lebih bergoyang. “eh..apa hanya perasaanku saja ya?”. Coba aku perhatikan dengan seksama. Kuambil 3 langkah dan kulihat memang goyangan susuku lebih heboh dari biasanya. Coba aku pegang dan sedikit meremas dari bawah, memang terlihat lebih besar dan kenyal. Bentuk putting juga lebih besar, tapi warna masih sama merah muda. Masih merasa penasaran dengan gunung besar nan menonjol di dadaku ini, kucoba untuk menekan lebih keras susu kiriku dengan kedua tanganku. Memang terlihat lebih besar. Lebih kenyal dan terasa ada isinya. Ku coba tekan lebih keras lagi dan “srooooot!” kaget sambil melotot. Ternyata keluar cairan warna putih dan terlihat lebih kental. Semburannya kencang sampai ke dinding bambu didepanku. Setelah aku perhatiin, “apakah ini benar susu air susu?” gumamku lirih. “Ndok..dah bikin api belum? Simbok lagi bersih – bersih. Kayu didepan sini!”. Tanya simbok dari luar gubug. “ya mbok..” sahutku sambil berjalan. Kuambil kayu bakar disamping rumah. Kebetulan kayu berada dihalaman berceceran. Aku harus jongkok untuk mengumpulkannya. “ndok.. ada yang aneh dr tubuhmu?” ucap simbok sambil bersih – bersih. Kami berdua berada didepan rumah. Simbok pakai kemben dan topless seperti biasa. Sedangkan aku telanjang bulat tak pakai apapun. Tak akan ada yang melihat karena gubug kami jauh ditengah hutan dilereng gunung. “maksud simbok?” tanyaku ke simbok. Simbok segera mendekatiku dan kami sama2 jongkok. “Tubuhmu jadi lebih putih ndok..beberapa hari kamu digubug terus gak keluar..jadinya mungkin kamu gak kena sinar matahari” ucap simbok sambil mengelur pipiku. Mata simbok coba melihat semua sisi dari tubuhku. Memang simbok selalu cek setiap saat. Karena posisiku jongkok, susuku terlihat menggelantung tak karuan. Goyang kanan dan kiri heboh. Ternyata simbok tertarik melihat perubahan yang juga aku rasakan sendiri. “ndok kok dadamu makin besar?” tanya simbok sembari terheran. “iya mbok.. aku juga rasanya begitu.. gak tau kenapa. Padahal gak Sari apa apain” tegasku. “sini coba simbok periksa” jawab simbok seraya menjulurkan tangannya meraih susuku yang sedari tadi gondal gandul. Simbok memegang susuku dengan lembut dan sedikit meremas bagian dekat putting dan bagian pangkal dan bawah bergantian kiri dan kanan. “ndok.. gak ada yang aneh. Tapi setau simbok kalau susu sebesar ini biasanya ada isinya. Ini kenyalnya seperti berisi ndok” terang simbok sambil terus mencoba memeras susuku. Aku sepertinya gak bisa menutupi ini. Ketika simbok meremas lebih kencang, akhirnya putingku menyerah juga. Air susu keluar deras. Dengan kaget simbok bertanya, “Ndok kok ada asinya?” tanya simbok heran. “ya gak tau lah mbok. Apa ini salah ya mbok?” tanyaku penasaran. “simbok gak tahu.. simbok dulu keluar susu ketika kamu baru lahir.” Ucap simbok menerangkan. “ya sudah.***k usah dipikirkan.. katanya kamu mau ke kerajaan dilembah sana.. kapan itu?” tanya simbok “malam bulan sabit lusa mbok” jawabku.. “ya sudah kamu gak boleh capek. Nanti sore mulai persiapan.. perjalananmu jauh ndok.” Terang simbok sembari mendekatiku. —— SKIP —— Tak terasa hari itu tiba. Pagi itu aku cek kembali barang bawaanku. Tak lupa kain putih pemberian eyang ku pakai untuk bungkus bawaan dan bekal. Surat berbentuk daun yang tak ada tulisan apapun yang aneh juga, karena sejak beberapa hari disini tak ada tanda-tanda kering, juga kumasukkan. Selendang simbok satu – satunya yang aku pakai untuk menutupi tubuh bagian bawah. Sedangkan atas tetep telanjang dada. Waktunya berpamitan. Banyak pesan dari simbok. Katanya aku harus fokus dengan apa yang aku lakukan disana. Jangan mikirin sombok. Karena simbok dah meyakinkan aku kalau simbok akan baik – baik saja. Jalan setepak kecil ku lalui. Sunyinya hutan disiang hari aku lewati. Suara hewan khas hutan saling sahut menyahut disana sini. Sejak pagi hingga matahari mulai tenggelam di ufuk barat baru tersadar aku belum berhenti sama sekali. Singkong rebus masih terbungkus rapi di dalam kain. Keringat membasahi hampir seluruh tubuh. Akhirnya kuputuskan untuk istirahat dibawah sebuah pohon melinjo dipinggiran sungai. Jalan paling mudah untuk cepat sampai dibawah adalah dengan susur sungai. Berteguk air sungai aku minum. Rasanya dahaga ini lenyap begitu saja. Singkong rebus dari simbok aku makan sebagian. Sebagian lagi masih aku sisakan untuk bekal. Karena perjalanan masih membutuhkan waktu seharian. Matahari pun mulai tenggelam. Jalan yang kulalui sudah tidak terlihat lagi. Hanya suara gemercik air sungai yang terdengar dan suara hewan hutan malam hari mulai bermunculan. Mungkin karena perut kenyang dan tenaga penuh, jadi semua panca indera kembali normal. Dari kejauhan dibawah sana terdengar sesuatu. “plok tplok plok.” Suara ini terdengar dari ujung aliran sungai dibawah sana. Suaranya lirih senyap seperti langkah kuda. Karena suasananya gelap aku tidak dapat memastikan. Disini aku tetap berdiri dibawah pohon melinjo, dan tiba – tiba secara reflek dengan cepat kepalaku menghindari sesuatu yang melesat dengan sangat cepat. “ssssssssraaattt” sesuatu itu dengan cepat dari arah depan kebelakang. Tidak tau darimana reflek ini berasal. Seakan – akan ada yang menggerakkan kepala dan tubuhku. Keringat dingin mulai keluar. Jantung mulai berdetak kencang. Suara kuda itu semakin mendekat. Aku tetap berada dibawah pohon melinjo dengan waspada. Aku tak bisa melihat apapun dikegepalan hutan ini. Berharap apapun yang mendekatiku juga tak bisa melihat tubuhku. “diamlah Sari..” sesuatu dalam tubuhku ada yang berbicara. Tak terdengar di telinga namun terasa dalam hati, kalau aku harus terdiam tak boleh berbicara dan bergerak. Kedua tanganku meraih pohon yang ada dibelakangku dan kusandarkan punggungku di pohon melinjo tersebut. Langkah kuda terhenti tepat didepanku. Suara nafas kuda terengah seakan memikul beban yang berat. “Grassak!”. Ternyata ada orang yang menunggangi kuda ini dan sekarang dia turun dari pelana nya. “Wuzz” tiba – tiba obor yang dibawa orang itu menyala sendiri. Kini tampak sosok kami diterangi api obor yang cukup besar. Dia adalah pria. Pria pemburu. Dipunggungnya terselempang busur dan menggendong anak panah. Ditangan kanannya pedang tajam dan tangan lain memegang obor. Wajah pria itu tertutup topeng dari semacam kulit lembu. Matanya tajam memandangi mataku. Kemudian dengan suara yang menggetarkan dia berkata, “Siapa kamu!.. manusia atau bukan!!” tutur pria itu. Suaranya yang menggelar benar – benar membangkitkan ketakutanku. Apalagi pedang yang sangat tajam dengan cepat dapat menebas leherku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Kemudian dia semakin mendekatiku. Obor yang dibawanya diarahkan kebawah. Mungkin dia ingin memastikan wujud asliku. Dari kaki dia terus mengarahkan obornya perlahan keatas. Arah perut dan bagian dadaku dia sedikit menghentikan obornya untuk melihat buah dadaku yang besar dan basah karena keringat dingin. Matanya desikit terbelalak untuk sesaat dan kembali berkedip dan mengarahkan obornya keatas menyinari wajahku dengan jelas. Tangaku semakin memegang erat pohon melinjo dibelakangku. Ketakuntan ku makin bertambah tatkala tangannya mengarah ke selendang satu – satunya kukenakan untuk menutupi kemaluanku. “saaat!” dengan cepat dia menyahut selendang itu dan terbukalah kemaluanku. Matanya terlihat makin melotot memandangi kemaluanku yang berjembut tipis ini. “garis itu… warna itu… sempurna!” sebutnya lirih. “ah..apa yang aku katakan!”. Pedang ditangannya ditancapkan ke tanah dan tangannya mulai memegang dagu ku dan mendongakkannya sendikit ketas. Sorot mata tajamnya mengarah ke mataku. Tanpa berkedip sama sekali!. Kemudian dia melepaskan pegangannya dan sedikit mundur kebelakang. Tangan kanannya mengarah ke kain yang dikenakannya. Kain itu ditata dengan sangat rapi dan dari apa yang dikenakannya aku mengira ini pria bangsawan. Perlahan dia mengangkat kainnya. Dari paha mulai kelihatan kemudian ada sesuatu diantara kedua pahanya. “ya dewa..lindungilah aku” ucapku dalam hati. Kini aku tatap sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Semakin dia tarik keatas semakin terlihat jelas bentuknya. Tak berkedip aku menatap barang itu. Kepala burung itu terlihat besar. Disusul batang yang cukup panjang. Burung pria itu mulai bergerak gerak keatas dan mulai mendongak kemudian lekas dipegang oleh tangan kanan pria itu. Mata nya terus memandang susuku yang membuat dia bergairah ini. Tangan pria mulai menggerakkan burungnya kedepan dan kebelakang secara lembut. Matanya tak jemu – jemu memandang susu dan kemaluanku yang sedari tadi sudah basah penuh keringat. “ya..dia mengocok burungnya sendiri..” ucapku dalam hati. Makin rekat aku berpegangan dipohon melinjo ini. Lama kelamaan dia mulai mendesah . “esshhhhh…aaahhh”.. disertai kocokannya yang semakin cepat. Gerakan kocokannya di batang penis dari pangkal hingga batas kepala burung yang semakin lama menjadi semakin besar dan panjang. Suhu tubuhku mulai meningkat. Ada perasaan berbeda dengan kemaluanku. Seperti ingin sekali dengan burung pria itu. Tapi aku kembali sadar, kalau aku tidak boleh bergerak maupun berbicara. Sudah sekian lama aku menyaksikan adegan pria itu, kulihat pria itu semakin menjadi – jadi. Suara desahannya makin keras. Aku mencoba mengendalikan diriku supaya tidak tergoda dengannya. Kuakui sungguh berat. Ada rasa ingin mendekat dan memegang burung pria itu. Tiba – tiba pria pemburu ini memelankan kocokannya dan mengarahkan burungnya ke tubuhku. “Crrrooooottt….crrrooooootttt 20x!” cairan itu keluar dengan kencang puluhan kali kearah tubuhku dibarengi dengan suara mendesah kenikmatan pria itu. Kini tubuhku terasa penuh dengan cairan yang keluar dari burung pria itu. Rasanya hangat dan terasa menjijikkan. Baru pertama kali aku kena cairan beginian. Setelah puas dengan apa yang pria itu lakukan. Ia segera menutup kembali burungnya dengan kain. “hai setan! Kuhinakan kamu! Memang pantas kamu menerimanya!” ucap dia dengan nada kasar. Seketika emosiku tersulut mendengar perkataannya. “Siapa yang kamu bilang setan! Aku manusia! Beraninya kamu berbuat itu didepanku!” jawabku dengan nada tinggi. “jangan berdusta kamu setan! Tidak pernah aku temui wanita sesempurna kamu selaman ini! Hanya setan yang bisa membuat dirinya sesempurna mungkin dimata pria! Lagipula mana ada wanita berani berdiam sendiri dalam hutan ini! Ini bukan sembarangan! Hutan dilereng gunung ini sangatlah berbahaya!” kata pria itu sembari menghardik dengan omongan dan tangannya. “wahai setan. Taukah kamu siapa aku ini! Aku adalah seorang pangeran perang! Kalau aku sedang bermain dengan dayangku, tak ada yang bisa membuat aku keluar secepat ini! Tak ada seorang pun yang bisa membuatku keluar! Kamu pasti setan!” pungkasnya. “apa hanya itu yang kamu ketahui?” tanyaku balik. Pria itu mengucapkan lirih yang aku pun tak tahu apapun yang dia katakan. Perkataannya acak dan cepat. Tak berapa lama mulutnya semakin pelan dan akhirnya diam. Dia masih menatapku dengan keheranan. Sorot matanya kelihatan kalau pria itu kebingungan. Sadar akan sesuatu yang salah dengan semua ini, pria itu langsung menaiki kuda tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Setelah memutar balik kudanya, dia melemparkan obor itu kepadaku. Langsung saja aku tangkap. Kemudian pria itu segera pergi dengan kudanya. Terus kutatap kepergiannya dikegelapan. Tapi tak jauh dari ini, obor – obor lain menyala. Dan ikut pergi dengan pria pemburu itu. “brengsek..! bikin kesel! Dan nuduh orang sembarangan, gak senonoh pula! Mana harus mandi lagi!” gumamku sambil melihat keadaan tubuhku yang penuh dengan cairan pria itu. Cairan ini lengket dan warnanya putih. Segera aku mendekati sungai didekatku untuk membersihkan cairan ini. Namun ada yang bergerak dalam perutku. Gerakanya memutar dan turun ke arah kelaminku. Terasa sekali ini mendesak ingin keluar dari lubang kelaminku. Rasanya seperti ingin pipis ketika sesuatu itu terus mendorong ingin keluar dari lubang kelaminku yang kecil ini. Rasa ingin pipis ini dibarengi dengan rasa yang enak. Sesaat aku ingin merasakannya lebih lama. Tapi kurasakan dorongan ini makin kuat. Segera aku ambil posisi duduk dan mengangkang supaya benda itu segera keluar. “mungkin ini batu yang pernah aku masukin?” ucapku lirih. Ternyata diperut terasa kalau benda ini panjang. Serasa panjang sampai menyenggol bagian dalam dadaku. “apakah ini belut itu?” ucapku lirih. Rasa enak karena ditekan terus – terusan ini kunikmati. Rasanya tak ingin cepat cepat berakhir. Namun karena suasane gelap dan ditengah hutan, aku harus segera melakukan apa yang bisa aku lakukan. “apapun itu, keluarlah..jangan sakiti aku” pintaku kepada benda ini. Kemudian setelah aku relakan benda ini keluar, seakan desakannya segera menerobos lubang. “aaaaaaaahhhh,,,, ooooh…” desahku lirih. Sensasi ini benar – benar berbeda dengan keluarnya air ketika memakai batu mantra. Sensasi ini terus kurasakan bersamaan dengan sebuah benda keluar. Kulihat kemaluanku mulai terbuka dan semakin lebar. Sosok itu mulai nampak. Moncongnya seperti belut yang kemarin masuk kedalam perutku. Seraya kepala itu keluar, sensasi rasa ini semakin memuncak sampai ubun – ubun. Mulutku mendesah tak karuan. Tanpa sadar lubang kemaluanku sudah mengeluarkan kepala belut itu. Dan sedikit kaget karena besarnya tak seperti dulu. Hanya sebesar lengan tanganku. “tlooosoooooorrr…..sreeeeeetttt”. oooh mulutku meracau. Belut ini belum seluruh tubuhnya keluar dari lobang kemaluanku. Mungkin baru setengah. Kepala mendongak kearahku dengan mata merah dan putih. Kemudian dia mulai menjilati cairan dari pria yang membasahi tubuhku ini. Dikit demi sedikit belut ini menjilati dari paha, area perut kemudian kedua susuku dan terakhir leherku. Sampai benar – benar bersih. Selama si belut membersihkan tubuhku, kulihat tubuhnya yang sebagian masih didalam tubuhku. Kulihat begitu lebarnya kemaluanku ini. Merenggang menyesuaikan besar tubuh si belut. Tak sedikitpun sakit kurasakan. Bahkan sebaliknya. Aku merasakan sensasi ketika merenggangnya lubang kemaluanku. Setiap dinding kemaluan benar – benar kurasakan sensasi itu. Setelah bersih belut itu memandangku seolah – olah dia puas dengan cairan itu. “Masuklah kembali jika kamu mau.” Perintahku seraya sedikit meraba bagian atas kepala belut itu. Belut itu kemudian memutari pinggangku sampai semua tubuhnya keluar dari lubang kemaluanku, setelah keluar seluruhnya kemudian berputar dan kembali masuk kedalam kemaluanku lagi. “aaaaah….” Sensasinya kurasakan ketika kepala si belut mendorong masuk kedalam lubang kemaluanku. Sampai merem aku merasakan sensasi itu. Jengkal demi jengkal tubuhnya kurasakan menggesek dinding kemaluanku yang merenggang. Setelah semua masuk dan belut itu sudah tenang didalam perut ini, kulihat kembali kemaluanku. Entah apa yang terjadi kemaluan ini dikit demi sekit mengecil ukurannya dan kembali ke semula. Seakan tak terjadi apa – apa dengan kemaluanku. Ku elus elus perutku sambil kuajak bicara belut ini. “kalau kamu suka dengan cairan seperti itu, mungkin diperjalanan nanti akan ada pria yang senang hati melakukan apa yang seperti pria tadi lakukan” ucapku sembari tersenyum puas setelah merasakan sensasi keluar masuknya si belut. Belut itu bergerak seakan senang dengan apa yang aku ucapkan. Segeralah aku beres – beres. Tubuhku yang penuh cairan menjijikan sudah bersih dan enak. Segera aku melanjutkan perjalanan. Mumpung obor yang diberikan pria pemburu itu masih menyala dengan terang. Cukup lama aku berjalan. Menyusuri tengah hutan yang lebat. Panjang sungai yang aku pun tak tahu sampai dimana. Langit ufuk timur mulai menguning. Jalan yang tadinya gelap sudah mulai kelihatan, berbarengan dengan obor ini yang mulai habis api nya. Kulihat dari lereng, hamparan persawahan penduduk mulai terlihat. Aku duduk istirahat sejenak sambil melihat pemandangan ini. Pemandangan yang jarang aku lihat sebelumnya… BERSAMSUNG EPS. 05