T e r g o d a
AKU sudah duduk di bangku SMA kelas XII sewaktu Mama meninggal dunia akibat payudaranya yang indah digerogoti kanker ganas. Penyakit itu baru diketahui ketika puting susu Mama sudah mengeluarkan cairan nanah.
Tadinya disangka kista, tetapi setelah dilakukan mammografi, lalu dilanjutkan dengan biopsi, ternyata kanker payudara dan sudah stadium 4.
Kemudian oleh keluarga segala cara dilakukan untuk mendapatkan kesembuhan termasuk pengangkatan kedua payudara (mastectomy) Mama, dan kemudian kemoterapi sampai rambut di kepala Mama rontok semua.
Perjuangan Mama untuk kesembuhannya sangat besar ditambah dengan dukungan seluruh keluarga, namun yang di atas berkata lain. Mama dipanggil dalam usia 43 tahun setelah ia berjuang melawan penyakitnya selama hampir 2 tahun.
Setelah Mama meninggal 1 tahun, Papa menikah dengan seorang janda berumur 35 tahun yang tidak mempunyai anak. Pada waktu itu Papa baru berusia 46 tahun.
Aku sempat tinggal dengan ibu tiriku selama 4 bulan. Orangnya tidak cantik, hidungnya bulat besar dan wajahnya kasar berbeda 180 derajat dengan almarhum Mama. Yang bisa disejajarkan dengan Mama hanya orangnya baik dan payudaranya montok.
Setelah itu aku pergi kuliah di luar kota. Liburan semester pertama aku tidak bisa pulang ke rumah, tetapi aku mendapat kabar dari Papa bahwa mama tiriku sedang hamil.
Liburan semester kedua aku juga tidak bisa pulang ke rumah. Pada akhirnya liburan semester ketiga, aku baru berhasil pulang. Adik tiriku pada waktu itu sudah berusia 4 bulan, jenis kelaminnya laki-laki, wajahnya mirip aku, kata mama tiriku mencocokkan wajahku dengan wajah anaknya. He..he..
Aku sampai di rumah pada siang hari. Dan pada sore harinya aku bangun dari istirahat tidur siang, aku disuguhi pemandangan yang sangat indah oleh ibu tiriku yang sedang menetek adik tiriku. Kedua susunya dikeluarkannya dari kaosnya sambil duduk di sofa yang berada di ruang tengah.
Payudaranya montok dua-duanya dan dari payudara yang tidak dihisap aku bisa melihat putingnya yang teramat besar dan di bawah putingnya terdapat pelataran bundar yang menyebar luas berwarna hitam berbintik-bintik putih.
Oh… selama 1,5 tahun aku kuliah di luar kota, aku bukan anak yang culun lagi. Aku sungguh tergoda dengan ibu tiriku.
Aku duduk di samping ibu tiriku.
“Dedek rakus ya Mam, neteknya…” kataku.
“Iyaa… untung ASI Mama banyak…” jawab ibu tiriku.
Aku ingin menjawab, “Tabung susu Mama besar sih,” tapi buru-buru kutahan mulutku.
“Dulu dari suami pertama Mama kok Mama nggak dapat anak sih?” tanyaku sambil memandang mulut adik tiriku yang sedang mengenyot puting susu mamanya.
Aku membayangkan bahwa akulah yang sedang mengenyot puting susu ibu tiriku.
“Aku menyuruh ia periksa ke dokter, ia menuduh aku yang mandul. Kami jadi sering bertengkar hampir setiap hari… sudahlah, lebih baik Mama cerai.” jawab mama tiriku. “Setelah 5 bulan cerai, Mama ketemu papamu dan ini buktinya Mama nggak mandul. Baru empat kali maen, Mama sudah nggak mens…”
“Mantan suami Mama, tau Mama hamil?”
“Tau… kami cerai baik-baik kok, Mama telepon dia sewaktu Mama hamil.”
Pembicaraan kami tidak bisa dilanjutkan karena Papa sudah pulang. Aku salaman dengan Papa dan kami duduk ngobrol tentang kuliahku.
Paginya aku sedang sarapan, mama tiriku keluar dari kamar mandi berbalut handuk.
Selesai sarapan, aku mencuci peraratan makanku sendiri, lalu ingin pergi ke halaman melihat pohon mangga yang berbuah lebat. Dan sewaktu kakiku melangkah sampai di depan kamar kedua orang tuaku, aku tidak sempat melangkah mundur lagi, karena sudah dipanggil mama tiriku, “Hen, kalo kamu mau makan manisan mangga, petik aja yang sudah setengah matang, nanti Mama bikinin.”
“O… ng..nggak Mam, aku mau pergi ke mini market beli cemilan. Mama mau nitip apa?” alasanku, karena aku melihat mama tiriku sedang menetek anaknya hanya mengenakan celana dalam.
“Nggak, Mama nggak nitip apa-apa.” jawab mama tiriku.
Aku segera pergi naik sepeda motor, tetapi aku bukan mampir ke mini market membeli cemilan, melainkan aku pergi ke kedai kopi membeli segelas kopi capuccino duduk disana membayangkan ketelanjangan mama tiriku.
Mama tiriku bukan lagi seorang wanita yang berhidung besar, melainkan seorang bidadari cantik yang memiliki selangkangan yang montok, padat dan menggiurkan.
Siang aku baru pulang ke rumah. Tidak ingin aku melihat mama tiriku yang sedang menetek, aku langsung masuk ke kamar.
Sampai Papa pulang aku baru keluar dari kamarku untuk mandi, lalu pergi makan malam diajak oleh Papa sambil Papa mengajak aku ngobrol tentang emas dan perhiasan almarhumah Mama yang masih disimpan Papa.
Semua warisan Mama tersebut untukku, kata Papa. Papa tidak mengambil 1 grampun untuk dirinya sendiri dan tidak 1 grampun pula Papa memberikan pada istri keduanya.
Aku melewati malamku dengan sedih membayangkan kasih sayang almarhumah Mama padaku, dan kasih sayang Papa pada anak tunggalnya ini supaya tidak kehilangan masa depan. Papa ingin menguliahkan aku sampai S2 jika Papa masih memiliki kekuatan.
Pagi harinya aku buru-buru sarapan saat aku melihat ibu tiriku masuk ke kamar mandi membawa handuk.
Selesai makan aku masuk ke kamar orang tuaku main dengan adikku tiriku sampai ia menangis, sehingga mama tiriku mempercepat mandinya.
Mama tiriku buru-buru masuk ke kamar masih dengan pundak yang basah. “Cup…cup… cup… sayang, laper, ya…” kata ibu tiriku selekasnya melepaskan handuk yang membalut tubuhnya, lalu naik ke tempat tidur mengangkat anaknya.
Seperti kemarin pagi, ia duduk di tepi tempat tidur menetek adik tiriku hanya mengenakan celana dalam, tetapi celana dalamnya berbeda warna dengan celana dalam yang dikenakannya kemarin.
“Tadi bangun tidur ia netek hanya sebentar.” kata ibu tiriku padaku yang duduk di sampingnya dan aku bisa melihat tubuh mama tiriku yang hampir telanjang itu sampai sedetil-detilnya, karena ia mengenakan celana dalam mini.
Bagaimana tidak membuat aku ‘konak’ sekonak-konaknya?
Adik tiriku seperti tau aku mengganggunya, ia melepaskan ‘anggur manis’ yang sedang dikenyotnya memandang aku dengan mata melotot.
“Sudah nggak mau minum, ya?” tanya mamanya. “Ayo cepet, nanti Mama kasih sama Kakak, ya…?”
Horeee…
Buru-buru aku menunduk. Adik tiriku seperti ngeledek aku. Secepatnya ia kembali mengulum puting susu mamanya.
“Sebelah sini saja…” kataku berani memegang payudara ibu tiriku yang satu lagi.
Jantungku berdebar-debar bagaikan dipukul oleh palu 100 kilogram. “Dulu, kamu berapa lama minum ASI Mama?” tanya ibu tiriku.
“Nggak tau, sudah lupa.” jawabku. “Boleh nostalgia nih…” kataku kembali memegang payudara mama tiriku.
“Nggak jijik…?” tanyanya.
“Nggaklah…! Papa… ngisap, nggak?” tanyaku.
“Nggak… dari sejak menikah juga nggak! Mungkin ia masih trauma kali dengan payudara almalhumah…” balas Mama tiriku.
“Kalau aku melihat payudara Mama ini, aku teringat dengan Mama juga sih, Mam.” kataku. “Payudara Mama dulu juga begini, montok.”
“Ia sudah tidur.” kata Mama tiriku, “Mama taroh dulu, ya…”
Pelan-pelan mama tiriku mencopot putingnya dari mulut anaknya. Ternyata dari puting susu mama tiriku, ASI-nya menetes. “Tolong ambilin Mama tissu.” suruh ibu tiriku.
Setelah aku mengambilkan tissu di atas meja, aku tidak memberikan pada mama tiriku, melainkan aku membersihkan putingnya. Ia memandangku, aku mengecup pipinya.
Lalu ia meletakkan anaknya di sebelah kiri tempat tidur.
Kalau aku dibilang beruntung pagi itu, aku memang sangat beruntung, Tetapi kalau aku dibilang bahwa aku adalah seorang anak yang menghinati papaku, aku juga harus mengakuinya dengan jujur.
Sebab setelah mama tiriku menaroh bayinya, ia kembali duduk di tepi tempat tidur, ia memelukku, kami berciuman.
Tidak hanya bibir kami saja yang saling melumat, tetapi lidah kami ikut saling menjalin. Mama tiriku pasti sangat haus akan belaian laki-laki.
Aku tidak berani meremas payudaranya takut ASI-nya muncrat. Aku hanya memegang perutnya, lalu turun mengelus pahanya.
“Apakah Papa sudah pernah setelah Mama melahirkan?” tanyaku.
“Papamu kaku…” jawabnya.
“Kalau begitu sama aku, ya…?”
“Mama malu memberikannya padamu bekas yang sudah pernah melahirkan, Hen… dan sudah pernah dengan 2 laki-laki…” jawab mama tiriku.
“He.. he…” aku tertawa kecil. “Kalau aku berani minta, aku siap menerima segala resikonya, Mam…?” jawabku diplomatis menjulurkan tanganku memegang celana dalamnya. “Boleh dilepas?”
Mama tiriku langsung berdiri dengan kedua tangan memegang celana dalamnya, sreettt… celana dalam mininya yang berwarna hitam itu diturunkannya dan bulu kemaluannya tampak halus-halus pendek menghiasi ‘segitiga bermuda’nya seperti bulu kemaluan yang baru saja tumbuh.
Aku melepaskan celana pendek dan celana dalamku.
Selesai aku melepaskan, mama tiriku sudah berbaring telanjang bulat di tempat tidur menutupi selangkangannya dengan bantal guling.
Aku menarik bantal gulingnya, “Nggak boleh!” katanya manja, lalu ia menggulingkan tubuh telanjang miring.
Aku mencium belahan pantatnya, ia tertawa geli, “Hi..hii..” lalu melepaskan batal gulingnya berbaring tengkurap.
Aku membuka lebar belahan pantatnya, kemudian menjilat anusnya yang berkerut-kerut bau sesuatu, karena memang tidak ada persiapan kami mau ngentot.
“Hii… hii… hikks… hikss… ngg… nggg…” rintihnya sampai berlutut nungging di tempat tidur sambil wajahnya tertelungkup di bantal kepala.
Aku menjilat belahan vaginanya yang sepertinya masih bonyok sehabis melahirkan baru 4 bulan. Tentu saja juga bau.
“Mmmm…. mmmm… mmmmm… mmmm…” lenguhnya di bantal kepala.
Aku dorong masuk lidahku ke dalam lubangnya dan melilitnya. “Ooooooo…. mmmmm… ooooooo….”
Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan terlentang. “Badung…!” katanya.
Terserah ia mau mengatakan aku apapun. Ibu tiriku kini sudah menjadi milikku, selain milik papaku. Lalu aku segera memasukkan penisku yang tegang ke dalam lubang vaginanya dan mengentotinya maju-mundur keluar-masuk.
Lubangnya sangat licin dan basah. “Ahhh… ahhh… ahhh… sayang, ooohh… bawa aku ke surga, sayang… uooohh…. yesss… yesss… uuuooohh…”
Mama tiriku mengimbangi tusukan penisku dengan meliuk-liukkan pantatnya. Penisku seperti bermain di dalam ombak, diombang-ambingkan, dibesot-besot dan diurut-urut…
“Ternyata enak sekali sayang… memek lo…” kataku. “Kamu menikah dengan laki-laki yang gak bisa ngentot sih… bagaimana kalau kamu menikah dengan aku…?” tanyaku sambil ngentot.
“Boleh, kalau ada jaminan dari kamu…” jawabnya.
Aku masih memompa lubang vaginanya untuk beberapa saat, sudah sangat basah sekali… sampai berbunyi cepret…. ceprett… ceprettt… cepret… lendir vaginanya menciprat ke pahanya.
Aku harus akui bahwa persetubuhan yang hebat antara ibu tiri dan anak tirinya ini sangat fantastis. Mama tiriku sangat menikmatinya.
Aku memeluknya erat-erat dan ia juga memelukku, kami berciuman sambil kugelontorkan air maniku yang kental pekat ke rahimnya.
Crrrooottt…. crrrooootttt…. crrroootttt…. crrrooottt… crrrooottt…. crrroottt….
“Ohhhh…”
Crrrooottt…. crrrooootttt…. crrroootttt…. crrrooottt… crrrooottt….
Aku berguling turun dari tubuhnya dan berbaring di sampingnya dengan tubuh basah berkeringat dan napas tersengal.
“Puas…?” tanyaku.
“Pasti dong… dengan anak muda… dulu suami pertamaku umur 40, Papamu juga 40-an, kamu… baru 21…” jawabnya. “Aku hamilpun rela, sayang…”
Entah bagaimana aku menghadapi Papa nanti. Tapi Papa mengajak aku keluar makan lagi sambil ngobrol. Papa mengatakan bahwa ia tidak menyangka istrinya itu akan hamil.
“Sedikit nyesal…” kata Papa padaku. “Padahal Papa sudah nggak mau punya anak lagi…”
“Berikan saja padaku, Pa…” jawabku.
“Bersama ibunya…?” tanya Papa. “Tapi kamu harus mempersiapkan dirimu baik-baik ya kalau mau bawa… kuliahmu harus berhasil…” kata Papa memberikan istrinya padaku.
“Kok Papa tega sih menyerahkan istrinya padaku…?” tanyaku dalam hati.
Pertanyaan ini tidak pernah terjawab sampai hari ini. Mantan istrinya itu kini sudah berpindah tangan menjadi istriku dan sudah melahirkan 2 anak untukku. Satu anak dari papa, sehingga rumahku diramaikan oleh 3 orang anak.