The Fortune Teller
Aku bukan Tuhan.
Bukan Dia yang tahu segalanya.
Aku hanya tahu beberapa.
Tentang Dunia.
Tidak, aku hanya sekedar memberitahumu keberuntungan.
Kau hanya perlu berbekal percaya,
Bukan padaku.
Tapi percayalah pada keajaiban.
Karena keajaiban akan datang, terselip diantara kegelapan.
Ada diantara masa-masa sulit kehidupan.
Mari, akan kuberi tahu sebuah keberuntungan.
Aku mengenalnya sebagai Fe, seorang pria aneh yang berprofesi sebagai peramal jalanan. Ia biasa duduk dibalik meja pada satu persimpangan, memaparkan masa lalu dan masa depan orang-orang yang minta diramal, atau sekedar menebak kepribadian mereka. Lucunya, Fe tak pernah meminta imbalan. Yap, ia kadang dibayar, lebih sering disalami dan diucapkan ‘terima kasih’. Aku kadang berpikir, bagaimana ia hidup dari hasil yang tak tentu seperti itu?
Awal perkenalan kami, terjadi sekitar sebulan lalu. Waktu itu aku melihatnya, sedang membebat perban kecil pada kaki burung yang terluka. Ya ampun, itu hanya burung. Andaikan mati, satu burung tak berpengaruh apapun terhadap roda kehidupan ini. Tapi ia bersikeras bahwa semua yang bernyawa pantas untuk dihargai. Dan oh, konotasiku tentang dihargai berarti itu menyangkut tentang nominal. Jadi, buat apa memberi nominal untuk makhluk yang akan mati?
“Tapi, kamu kok tahan ya aku nyinyirin gitu?” tanyaku pada Fe, ketika kami mengingat-ingat kembali momen pertama kali kami bertemu.
Fe tersenyum kecil. Seperti biasa, disertai tatapan seribu makna. Mata zamrudnya benar-benar menawan, andaikan aku tak punya sifat gengsi yang tinggi, maka aku akan benar-benar jatuh dalam pesonanya.
“Tidak semua yang panas harus dibalas panas,” katanya. Singkat, tersirat namun jelas, mengena.
Aku mencibir. Sindiran lagi. Selalu saja ada sindiran yang dialamatkannya padaku tiap kali kami bertemu. “Terus, burungnya gimana nasibnya sekarang?” balasku, mengalihkan topik.
Fe, mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi. “Terbang. Mungkin awalnya ia kesulitan, tapi aku percaya, selalu ada kemudahan untuk hal-hal sulit sekalipun.” Fe kembali melirikku, “Jadi apa yang kamu mau ketahui hari ini?”
Ah, ia memang peramal ulung. Bahkan sebelum aku mengutarakan maksudku, ia sudah tahu.
“Dua minggu lagi kan Hari Valentine, tapi aku belum punya pasangan. Fe, aku bakal malu banget kalau jadi jomblo pas hari H nanti. Kira-kira, aku bisa dapet pasangan sebelum Valentine?”
Fe, lagi-lagi tersenyum. Ia mendesah ringan, kemudian memegang tanganku seraya memejamkan mata. “Bisa,” katanya, “pasangan yang kamu mau seperti apa?”
“Yang ganteng, atletis, maskulin, ga usah tajir ga apa-apa, aku kan udah tajir ya, hehe. Terus…,” aku berusaha mengingat-ingat, “agak badboy keren kali ya. Ada tuh yang begitu, Fe?”
Fe mengangguk. “Ikuti saranku. Rubah gaya berpakaianmu dari gadis girly ini menjadi lebih kasual. Mereka sering membicarakan sneakers akhir-akhir ini, kenapa tak kamu coba? Oh iya, lebih aktif lah dalam bersosialisasi, sedikit lebih enerjik, dan kurangi marah-marah.” Fe, menatapku dalam-dalam. “Saranku, berhenti mengerjai adik kelasmu, Gina. Aku serius tentang hal ini.”
Deg! Dalam kalimatnya, seakan tersirat pedang yang menusuk langsung ke hatiku. Entah kenapa, Fe terlihat lebih gelap dan menyeramkan tadi.
Aku mengangguk, lalu pamit pada Fe. Tapi tepat ketika aku beranjak, ia memanggilku.
“Biar kuberi tahu, Gina. Vino tak sebaik yang terlihat,” katanya.
Aku terkejut, yah… tapi tak seterkejut saat-saat pertama diramalnya. Fe memang lihai dalam menebak pikiran orang lain, termasuk aku. Bahkan, mungkin ia tahu ketika aku membayangkan Vino saat bertelanjang dada bermandikan keringat tadi. Ah, terserah.
“Thanks but, i know him.”
Aku kemudian menuju Jazz hitamku yang terparkir di depan minimarket. Masuk, nyalakan mesin, kemudian melaju pelan. Meninggalkan Fe, yang masih nyaman duduk melipat tangan diatas meja. Menunggu pasien selanjutnya.
-The Fortune Teller-
Aku mengikuti sarannya, mulai memburu beberapa pakaian baru untuk dipakai sehari-hari saat kuliah nanti. Masuk butik yang satu, keluar lalu masuk sebelahnya. Mencoba beberapa setelan, cancel, ambil setelan baru, bolak-balik fitting room, terus begitu selama sekitar empat jam. Apa aku merasa capek? Oh, jangan bercanda. Tentu tidak. Kepuasan seorang wanita terletak pada momen ketika ia berbelanja, lagipula aku membawa kacung—atau mungkin aku akan menyebutnya asisten, untuk memperhalus. Semua belanjaanku dibawa oleh gadis cupu, kuper, dan kikuk yang selalu mengekor dibelakangku ini. Namanya Retno, adik kelas di semester pertama. Penurut, mudah diintimidasi, cengeng. Kacung sempurna.
Retno tak pernah mengeluh, bahkan ketika aku menangkap ekspresi lelahnya. Sesaat, pesan Fe terngiang di benakku. Jika aku tak memberinya makan atau minum ketika ia membantuku, berarti secara teknis aku disebut mengerjai? Huh, tak sudi. Maka, aku kemudian mengajaknya ke satu restoran cepat saji. Ia kubebaskan memesan sesukanya, sementara aku hanya pesan fish fillet burger. Hei, aku sedang diet!
“Kak…,” panggil Retno takut-takut, disela kegiatan makan kami.
Sebenarnya aku agak kasihan padanya. Tapi lagi-lagi, gengsi sebagai superior mendominasi. “Apa? Kurang makannya? Pesen aja lagi,” balasku, jutek.
Retno menggeleng. “Bukan, tapi….”
“Tapi apaan?”
“Kok aku diajak makan? Bu…bukan ndak mau terima kasih, tapi….” Kalimatnya tertahan, seakan ragu untuk bicara karena akan kubentak.
“Tapi tumben gitu, maksudnya?”
Kali ini, ia menangguk.
“Gue kasian aja sama lo, abis muka lo udah capek banget gitu. Nanti kalo gue ga ngasih makan, lo kenapa-kenapa lagi. Terus gue yang kerepotan? Ih, males banget.”
Retno menunduk, tapi sedikit bisa kulihat ada senyum terkembang di wajahnya. Mungkin dia merasa dihargai. Eh, dihargai? Dia bahagia hanya dengan kutraktir seharga selembaran uang merah. Dasar gadis dusun. Menyedihkan.
“Oh iya, beliin gue Milo ya.” Aku menyerahkan selembar lima puluh ribu, “Terus nanti bawain belanjaan gue. Kita cabut, udah sore.”
Aku pun menunggu seraya berdiri di samping meja, sementara Retno memesan segelas Milo dingin. Ketika selesai dan ia berjalan ke arahku, bisa kulihat dari arah kanan pergerakan seorang anak laki-laki yang berlarian asal. Saat Retno semakin dekat menuju kearahku, begitupun dengan anak kecil itu. Dan, ow! Si anak menyenggol Retno, tapi…
“Hyaaaaa! Baju gue…!” teriakku seraya melotot ke arah gaun yang kupakai. Cairan coklat dingin tumpah, membasahi dadaku. Aku seketika melotot ke arah Retno. “LO TUH YA—”
“Ma…maaf, Kak. Maaf ba—”
“DASAR KAMPUNG! TOLOL! BEGO!” dan hinaan, cacian, sumpah serapah lain, juga sepertiga isi kebun binatang meluncur deras dari mulutku. Aku begitu murka! Ini gaun hadiah dari Papa, salah satu yang limited edition! Aku saja begitu menjaganya agar tak rusak, tapi gadis ini… ah, dasar orang kampung!
Aku tak peduli, jika semua perlakuan kasarku padanya ditonton banyak pasang mata. Persetan! Memangnya mereka tahu apa? Harta gadis ini dikumpulkan saja tak mampu untuk mengganti biaya perawatan gaunku. Kalau memang masih punya kesempatan untuk nyinyir, lakukan ke diri kalian sendiri, yang tak bisa lebih kaya dariku.
Ah, tapi kuping ini panas juga lama-lama.
Aku mengambil seluruh belanjaanku, lalu melotot selebar-lebarnya ke Retno. “Awas lo besok, gue pastiin lo mampus,” ancamku, sebelum akhirnya aku melenggang pergi. Penuh murka, wajah memerah menahan marah, dan dada panas.
Aku berjalan ke parkiran, meninggalkan Retno sendiri di restoran. Persetan bagaimana dia pulang. Gunakan saja kedua kakinya, dia masih punya itu.
Selama perjalanan pulang, aku memikirkan cara untuk membuat perhitungan dengan si gadis cupu.
-The Fortune Teller-
Saran Fe benar-benar tepat! Tadi Vino menghampiriku, lalu memuji penampilan kasualku hari ini. Katanya, aku terlihat lebih cantik, juga sporty dengan balutan jersey Arsenal dipadu dengan joggerpant dan sepasang sneakers yang melekat di kaki. Begitu menggemaskan, tambahnya. Aku tersipu, bangga, dan melayang-layang di saat bersamaan.
“Kamu keliatan boring kalo dandan pake dress gitu, Gin. Mirip tante-tante, jadi lebih tua dari umur kamu aslinya,” begitu kata Vino saat di kantin tadi.
And you know what? Dia terlihat begitu mempesona ketika dilihat lebih dekat! Oh my gosh, aku harus apa? Nafasku sudah wangi? Ah, bagaimana dengan parfumnya? Aduh, aku harus apa? Atau… apa aku memakai pakaian dalam yang tepat? Eh, i-itu…
Dan inilah alasan kenapa aku kembali ke tempat Fe. Sarannya jitu, dan aku butuh lebih banyak saran darinya.
“Jadi, kamu butuh saran apa lagi dariku?” tanya Fe. Seperti biasa, gestur-nya tenang.
“Gimana caranya supaya aku bisa jadian sama Vino?” tanyaku balik, frontal.
Fe, mengambil setumpuk kartu tarot dari sisi meja. Lalu ia mengocok kartu-kartu itu, dan menebarnya di depanku. “Pilih salah satu,” katanya.
Aku pun melakukan yang ia perintahkan. Kartu yang kini kupegang bergambar seorang wanita yang berdiri di tepian, menjunjung tongkat di tangan kanan, dan bunga di tangan kiri. Kartu bernama “The Fool” dengan posisi terbalik.
“Ini artinya apa?”
Fe tersenyum. “Artinya, jangan membuat keputusan dengan cepat sampai kamu tahu semua fakta. Apa yang terlihat bukanlah apa yang menjadi kebenarannya.” Ia kemudian menatapku, tajam. “Keputusanmu untuk membina hubungan lebih jauh dengan dia tidak tepat, Gina. Tapi, aku hanya menyarankan. Keputusan ada di tanganmu.”
Aku sebenarnya tak terima dengan apa yang Fe bilang. Berarti secara tak langsung, ia menekankan bahwa Vino tak cocok untukku. Harusnya aku bisa saja marah saat ini juga, tapi mengingat ia telah membantuku untuk lebih dekat dengan Vino, aku masih menahan diri.
“Ah, aku ga percaya. Lagi, aku yang ngejalanin, Fe. Jadi apapun resikonya, itu tanggung jawab aku,” jawabku, tegas. “Aku cuma nanya, gimana caranya supaya aku bisa jadian sama Vino? Udah.”
“Oh.” Fe mengetuk-ngetukkan dua jarinya ke meja. Ia tampak gusar. “Sebenarnya, itu akan terjadi secara alami. But if you want to make sure, berikan dia sesuatu; satu yang akan menyenangkannya. Tapi aku mohon, jangan sesuatu yang buruk. Atau…,” Fe tampak ragu meneruskan kalimatnya.
“Atau?”
“…Atau akan berakhir buruk juga.”
Akhirnya, setelah beberapa kali diskusi ringan, aku pamit pulang. Kalimat Fe terngiang-ngiang, apalagi tentang memberi Vino sesuatu? Haruskah aku se-agresif itu? Secepat ini? Bahkan aku hampir tak menjajaki proses pedekate. Tapi, kalimat terakhir dari sarannya, malah memberiku satu ide.
Aku akan memberi Vino kado paling spesial, juga memberikan hukuman paling sadis yang tak pernah si cupu Retno bayangkan.
-The Fortune Teller-
Tanpa diduga, rencanaku berjalan lebih mulus dari yang kukira. Vino datang ke kelas, tepat ketika aku sedang membereskan sisa-sisa kekacauan yang dibuat si dosen killer di mejaku. Aku terpaksa harus mengerjakan makalah secara manual, karena makalah yang sudah aku buat dirobek-robek oleh si dosen brengsek—karena tentu saja itu hasil mengutip dari internet. Alhasil, kini aku berada di kelas, sendirian, dan… aaargh! Harus mengumpulkan sobekan kertas hanya demi mengumpulkan poin-poin penting dari isi makalahnya. Tepat saat aku sedang sibuk, Vino datang. Ia mencariku.
“Gin, sibuk ya?”
Aku sesaat menatapnya, lalu kembali berkutat dengan sobekan kertas. “Iya, bantuin dong.”
“Pentingan mana, kertasnya atau aku?”
Deg. Aku menoleh seketika. Apa maksud pertanyaannya? “Kamu nanya apa sih?”
“Kertasnya, atau aku?” kembali Vino mengulang pertanyaan yang sama.
“Kamu.” Pyash! Pipiku bersemu merah. Aku tahu tentang reputasinya yang playboy dan sering menaklukkan wanita. Tapi ketika berada kurang dari satu meter dengannya, siapa yang bisa menolak pesona cowok ganteng ini? “Kok nanya gitu?”
“Yaudah liat aku dong,” katanya, sambil menatapku lekat-lekat. “Aku aja ga pernah berhenti liatin kamu dari tadi. Soalnya kamu lebih penting dari semua hal basi ini.”
Astagaaa! Vino Vino Vino Vino Vino Vino Vino Vinooo! Duh, aku harus apa? Tapi… tapi…
“Gina, aku… suka. Sama kamu.”
WHAAAT?! “Serius? Kamu… aku? E-eh?” Aku hampir saja terlena ke dalam jeratannya, jika saja…, “Nanti dulu! Aku ga percaya! Playboy macem kamu gampang aja bilang suka ke siapa aja! Mana buktinya kalau—”
Vino menempelkan bibirnya di bibirku. Lembut dan perlahan. Astaga, ini kecupan paling mesra yang pernah kuterima!
“Itu buktinya. Kamu mau bukti lagi?” tanyanya, setelah kecupannya terlepas dari bibirku.
Aku mengangguk, dan ciuman selanjutnya kembali mendarat. Kali ini lebih bergairah, naik perlahan-lahan. Bibirnya berulang kali mengulum bibirku, lembut namun menggelora. Perasaan yang tak bisa kulukiskan. Kadang, dia menggigit bibirku dengan lembutnya, mengecup ringan, lalu kembali melancarkan ciuman intensitas tinggi yang panas membara. Kuakui, he’s a good kisser. Dari semua yang pernah merasakan bibir ini, Vino lah yang paling mampu membuatku lupa daratan.
“Pacaran yuk?” ajaknya, disela ciuman kami. Aku hanya bisa mengangguk malu.
“Eeeh, tapi…,” aku mendorong Vino menjauh. “Aku tetep ga percaya! Aku butuh bukti lain, yang lebih serius.”
“Apa sih yang kamu mau buat buktinya? Apapun aku sanggup deh.”
“Bener?”
“Iya. Apapun.”
Lalu, aku teringat akan rencana yang kususun kemarin. Kejadian saat ini, mempermudah semuanya. Bukan aku yang harus memberikan sesuatu padanya, tapi dia yang akan menuruti apapun yang kupinta.
“Kamu mau tahu buktiinnya gimana? Aku punya permintaan, tapi kamu sanggup ga?” Aku tersenyum padanya, satu senyum sarat makna.
“Sanggup kok. Apapun. Suwer deh.”
“Oke,” aku mengangguk. “Jadi gini….”
-The Fortune Teller-
“Nah, jadi sekarang lo mesti tanggung jawab atas kerusakan yang lo buat ke gaun gue. Ayo ikut,” perintahku pada Retno. Gadis dusun ini kuculik dari Klub Puisi, untuk menemaniku.
“Temenin gue pulang, sekalian urusin baju-baju yang mau gue laundry. Tuh,” aku menunjuk ke mobil Fortuner yang terparkir di pelataran kampus. Sengaja. “Lo duduk di belakang aja, sortir baju-baju gue. Ga usah ngerasa ga enak, soalnya gue sendiri yang nyuruh. Oke?”
Aku lebih dulu masuk ke mobil, disusul Retno yang membuka pintu belakang. Aku menoleh ke belakang, melihat gadis dusun ini selalu menunduk, bahkan ketika saat seperti ini, sehingga tidak melihat apa yang ada di hadapannya sekarang.
“Hai, adek kelas. Apa kabar?” Nah, ini kejutannya. Vino!
Vino, sang senior berlabel cassanova adalah mimpi buruk bagi Retno. Waktu ospek dulu, Vino pernah beberapa kali melakukan tindak pelecehan pada Retno. Jadi, aku kira hal itu akan menjadi trauma untuk si gadis dusun.
Vino langsung menarik tangan Retno, memaksa masuk. Lalu ia menutup pintu mobil, bersamaan denganku yang menghidupkan mesin. Pintu kukunci, lalu aku parkir keluar sementara Vino meredam perlawan Retno yang meronta-ronta.
“Abis lo, cewek kampung. Dibaikin malah ngelunjak, dasar ga tau diri!” makiku, disertai gelak tawa.
Sambil menyetir, aku melihat ke belakang lewat kaca. Retno meronta, namun berkali-kali ditampar Vino. Bajunya dirobek, dan wow! Ternyata badannya bagus juga. Buah dada yang cukup besar, lebih besar dari punyaku. Dan hal ini, makin membuatku membencinya.
“Abisin aja cewek kayak gitu. Pake sepuas kamu aja, Vin.”
Aku sengaja melaju di sisi jalan, karena ingin juga menikmati adegan dua insan di belakangku. Sengaja pula kuambil jalan memutar, jauh, dan sepi, agar terhindar dari warga yang curiga. Kulihat dari kaca, Vino sekarang sedang menindih Retno, memainkan kedua payudaranya bergantian sementara sebelah tangan Vino memegangi kedua tangan Retno. Cowok bengal ini juga kadang memainkan lidahnya di sekitar puting Retno, sesekali membuat tanda merah disana. Retno terus meronta, tapi percuma, tenaganya tak ada apa-apanya dibanding Vino yang atletis.
“Gin, bener ga apa-apa aku pake ini cewek? Kamu ga cemburu?” tanya Vino. Ah, so sweet.
“Pake aja sepuas kamu, ancurin kalo perlu. Aku benci banget sama dia, buat apa cemburu? Justru aku puas kalo liat dia ancur.”
Mendapat persetujuan, Vino makin beringas. Ia merobek rok si gadis dusun, disusul dengan celana dalam yang bernasib serupa. Memperlihatkan kemaluan Retno yang rapat dan berbulu lebat. Retno pun, kini mulai lemas—entah karena kehabisan tenaga, bisa juga karena dirangsang terus-menerus. Ini mempermudah Vino untuk menindihnya, sambil mengangkangkan kaki Retno. Aku semakin bersemangat melihat ini. Dan oh! Penisnya mulai masuk ke celah kemaluan Retno. Sedikit lagi, dan…
“SAAAAAAKKKIIIIITTTT!” Begitu teriakan Retno, bagai melodi yang mengalun indah di telingaku.
“Gin, dia masih perawan loh ternyata! Aduh, aku lucky banget,” celoteh Vino, nakal.
“SAKIT! UDAH! AMPUN! LEPASIN AKU! LEPASIN, BRENGSEK! INI SA—”
Satu tamparan mendarat lagi di pipi Retno. Duh, kasihan.
“Lo bilang apa tadi? LO BILANG APA TADI? BRENGSEK?! NIH, MAKAN NIH GENJOTAN GUE! MAMPUS LO! MAMPUS!”
Suara desah, teriakan putus asa, dan tangisan mewarnai suasana di mobilku sore ini. Aku tak usah menyalakan mp3 untuk menghalau sepi. Ada Retno, dengan tangis desperate-nya, dan juga pemandangan menggairahkan dari kaca. Ah, ini bagai sedang menonton film porno kualitas blu-ray; begitu jernih, dan jelas.
Pssst. Celana dalamku basah.
-The Fortune Teller-
Valentine tinggal dua hari lagi. Kini, aku dan Vino sudah resmi jadian. Ini semua berkat Fe yang selalu menjawab hal-hal yang kutanyakan seputar apa yang harus kulakukan, aku mesti berdandan seperti apa, langkah-langkah selanjutnya di hubungan kami, dan banyak hal. Aku jadi sering main ke booth-nya, sekedar bertanya hal-hal remeh, lalu pergi saat sudah puas akan jawaban yang kudapat. Aku juga jadi tahu bahwa kartu tarot itu ada tujuh puluh delapan kartu; dibagi menjadi Major Arcana sebanyak dua puluh dua (karena nol dihitung), dan Minor Arcana sebanyak lima puluh enam. Itupun dibagi menjadi empat urutan; dari Wands, Pentacles, Cups, dan Swords.
“Pergi lagi?” tanya Fe, ketika melihat gelagatku yang akan pulang.
Aku mengangguk. “Iya, mau pulang. Aku capek, mau berendam air anget. Kenapa?”
“Tidak, bukan apa-apa. Hati-hati, kalau begitu.”
Aku hendak beranjak, namun entah kenapa malah berdiri mematung. Sebenarnya, ada perasaan mengganjal yang sedang kurasakan. Penat, juga datar. Itu yang sedang kurasakan, sekarang.
“Sebenernya, aku mau cerita.” Aku kembali duduk. “Bisa ga sih, kamu nebak pikiran aku aja jadi aku ga usah ngomong?”
Fe, tertawa kecil. Ah, aku jarang melihatnya tertawa. “Tentang Vino? Kamu bosan? Lalu mempertanyakan kemana euforia yang kamu rasakan di awal?”
Aku mengangguk. Tepat, itu yang kurasakan. “Iya, Fe. Makin kesini, malah makin boring. Bukan rasa sayang yang aku dapet, tapi cuma pemuasan nafsu sama ngabisin waktu aja. Apa… aku ga bener-bener suka Vino, ya?”
“Kamu menjawab apa yang kamu tanyakan.”
Ah, iya. Memang. Fe benar, perasaan tak semudah itu bisa pergi. Jika cepat menghilang, pastilah ia hanya euforia, atau sekedar efek pesona. Ternyata aku yang bodoh. Jika dipikir ulang, Vino hanya memanfaatkanku saja. Tubuhku, uangku, mobilku, koneksi-koneksiku. Jika dipikir ulang, aku merasa tak dihargai, hanya sebagai pemuas kebutuhannya saja. Miris, aku pernah nyinyir tentang definisi menghargai, dan kukonotasikan dengan materi. Sekarang, aku ditaksir, dengan dilihat dari segi yang sama: materi.
“Terima kasih atas jawabannya, Fe. Oh iya, aku mau nanya lagi dong.” Aku menggenggam tangannya, erat. “Bisa ga, aku dapet kado Valentine paling indah, tahun ini?”
Fe tampak menerawang sekilas, lalu mata zamrudnya kembali menatapku. “Bisa. Tapi, kali ini kamu harus benar-benar ikuti saranku. Jangan membantah, tanpa terkecuali.”
Aku mengangguk, mantap.
“Besok, jangan pergi dengan dia untuk menghabiskan malam Valentine kalian. Percayalah, tanpa kamu hadir pun, dia punya banyak cadangan. Sehabis kuliah, pulang saja. Disitu lah hadiahmu kan datang,” jelas Fe. “Life’s round like a circle. You pay to get, and you’ll pay what you get.”
Aku mengangguk, lalu pamit pulang. Sepanjang perjalanan, kegusaran melanda. Sebenarnya ada satu lagi yang ingin ku utarakan. Tentang Retno. Aku… merasa bersalah. Dan ini mengganggu, menghantui serta membuat tak nyaman.
Bagaimana kabar si gadis cupu ya?
-The Fortune Teller-
Tanggal 13 Februari. H-1 dari Valentine. Entah kenapa, aku begitu yakin akan saran Fe, dan lebih memilih untuk pulang. Aku juga menolak mentah-mentah ajakan Vino, plus dengan gaya sombongku. Sepertinya, ritme hidupku kembali. Dan aku bahagia karenanya.
Ya, aku masih percaya akan kata-kata Fe. Setidaknya, sampai sepuluh menit lalu, ketika ban mobilku bocor. Berada di pinggir jalan, tanpa bantuan, dan kebingungan. Oh, ini sengsara. Harusnya aku setujui saja ajakan Vino tadi. Persetan Fe, seburuk-buruknya Vino, paling ia hanya akan menggarapku semalam suntuk.
Aku merogoh tas untuk mencari ponsel, dan… tertinggal di kelas! Sempurna. Untuk sepuluh menit berikutnya aku kebingungan, sampai seorang pria kurus dan dekil mengendarai motor bebek butut, menawariku jasa ojek.
“Berapa bang jadinya?” tanyaku, menawar harga.
“Terserah neng aja, asal harganya pantes.”
Terserah aku? Oke, kalau begitu. Aku pun naik di jok belakang. Sepeda motor, melaju membelah jalan.
Lewat jalan ini dan itu, ke gang-gang sempit, tapi tunggu. Ini bukan arah rumahku! Ke kompleknya pun tidak. Lalu, aku akan dibawa kemana?
Aku mulai panik, tapi terlambat, kepanikanku tak berguna ketika motor berhenti di depan bangunan bekas rumah yang lama ditinggalkan.
“Turun!” bentak si pria kurus.
Ya, aku memang berniat turun. Tapi untuk lari! Aku berlari sekuat tenaga, tapi sayang…
“Gue mau diapain?! Jangan macem-macem ya!” rontaku, tapi si pria kurus bersikeras menahan pergerakanku dalam dekapnya. Aku diseret masuk ke rumah tua…
-The Fortune Teller-
Satu tamparan lagi mendarat di pipi. Tapi aku tak bergeming, sampai matipun najis bagiku untuk mengulum penis jelek di depanku ini. Bahkan ketika ia mendorong-dorong penisnya di mulutku, rasanya jijik! Seperti ingin muntah!
“Aw!” Ia memencet hidungku, membuatku terpaksa membuka mulut, dan…
Rasa mual itu merangkak naik ke dada ketika penis jelek ini ada di dalam mulutku. Tanpa ampun, si pria kurus menjambak rambutku, lalu memaju-mundurkan kepalaku sesukanya. Semakin aku menolak, semakin ia memaksa dengan menekan dalam-dalam penisnya hingga sampai kerongkongan.
“Aahh… aaahh…”
Tubuhnya bergetar! Tidak, ia akan menyemburkan sperma menjijikannya di…
“Mmffhhh…!” Percuma, teriakanku tertahan. Spermanya menyembur deras beberapa kali, mengalir langsung ke kerongkongan, dan terpaksa kutelan walau aku ingin muntah.
Setelah orgasmenya mereda, si pria mencabut penisnya dari mulutku. Aku yang lemas, langsung terbaring dengan nafas tersengal. Aku butuh udara. Sebanyak-banyaknya. Tapi belum sempat menikmati jeda, ia datang lagi padaku. Kali ini kembali meremas-remas kedua payudaraku. Percuma, brengsek! Aku tak akan bisa dirangsang jika bukan kemauanku!
Ia meremas dengan kasar, menampar-nampar payudaraku, memelintir putingnya sehingga aku berteriak kesakitan. Sakit, hanya ada rasa perih. Bukan kenikmatan, sama sekali bukan. Aku kembali menangis, tapi hal ini malah membuatnya menyeringai. Seakan, ia menikmati wajah menderitaku.
“Mohon ampun dulu dong, eneng nanti abang lepasin deh,” katanya, dengan nada mengejek.
Aku masih menangis. Sekalipun tak sudi memohon padanya. Tak akan pernah!
“Cepetan bilang ampun!” bentaknya, disertai tamparan keras di payudaraku. Aku berteriak seketika.
“Ampun bang, iya ampun…”
“Neng mau abang lepasin? Ada syaratnya. Mau tau ga?”
Harga diri kembali naik. Aku diam tak menanggapinya.
Si pria, mendekatkan wajahnya ke wajahku. “MAU TAU GA APAAN SYARATNYA? HAH?!”
Aku tak kuat! Aku menangis sejadi-jadinya. Siksaan mentalnya jauh lebih mengerikan dari derita fisik yang kuterima. Ternyata ini rasanya diperkosa. Ini yang Retno rasakan dulu. Dilecehkan. Dinodai. Direndahkan. Diperlakukan bak binatang. Benar kata Fe, hidup berputar bagai roda. Kita membayar untuk mendapatkan sesuatu, dan akan membayar atas sesuatu yang kita dapatkan.
“Neng abang entotin ya?” katanya, sambil mengangkangkan pahaku yang kini polos tak tertutup sehelai benangpun. Kemudian, ia menempelkan kepala penisnya di mulut kemaluanku. Percuma, tak basah. Ini malah akan terasa sangat sakit, jadi tolong hentikan.
“Tolong bang, jangan… jangan… percuma, ga basah. Malah sakit jadi—”
Tamparan lagi. Sepertinya, aku mulai terbiasa dengan ini.
“Neng bisa pilih, ngelawan pas abang entotin terus abang matiin nanti, apa eneng pasrah dan nikmatin aja tapi abang jamin nyawa eneng selamat. Gimana?”
Haha. Itu bukan pilihan. Jawabannya jelas, tolol. Aku muak, ingin rasanya kuakhiri derita ini cepat-cepat.
“Iya bang, saya nurut aja…”
“Bagus kalo gitu. Mohon dulu dong minta dientotinnya,” katanya lagi, disertai tawa terbahak-bahak.
Harga diri, maaf. Mengalah sebentar ya, ini demi keselamatanku. “Iya, entotin saya ya bang.” Aku sejenak berpikir, mungkin bagus jika ditambah sedikit provokasi. “Entotin sampe lemes, pake sepuas abang,” balasku, dengan nada lirih menggoda.
Penis menembus celah kemaluanku, menimbulkan perih tak terkira. Aku ingin teriak sekuat tenaga, tapi tertahan oleh telapak tangan si pria kurus yang kini menindihku. Gerakannya cepat-cepat, menggenjotku kasar tanpa ampun. Aku menangis, tapi juga membuat desah-desah birahi. Bukan, bukan karena menikmati. Hanya pura-pura, berharap ini cepat selesai, dan aku bisa pergi.
“Aaaaah…!”
Penisnya menancap dalam-dalam, ketika sperma menyembur kencang. Astaga, orang ini benar-benar brengsek! Tapi aku bisa lega, karena berpikir bahwa ia akan menyudahi pemerkosaan ini. Tapi ternyata salah, ia tak juga beranjak dari menindihku. Menunggu penisnya tegang kembali, lalu menggenjotku lagi.
Tolong. Aku diperkosa.
-The Fortune Teller-
Satu bulan sejak peristiwa itu. Malam Valentine paling kelabu di sepanjang 22 tahun sejarah hidupku. Aku sempat depresi, mengkonsumsi obat-obatan penenang, merasa kotor, sering menyendiri dan melamun. Tiap kali mandi, aku ingat bagaiman pria bangsat itu menjamah tiap inchi dari tubuhku. Meskipun sudah tak perawan, bukan berarti aku rela dinodai. Ingin mati saja rasanya.
Aku ingat, bagaimana aku terbangun dari pingsan pada pagi hari. Ditolong oleh ibu-ibu baik hati, aku diberi pakaian layak dan diantarkan pulang. Ternyata, derita tak juga pergi. Rumahku, habis terbakar. Menyisakan puing-puing yang menggosong dan masih berasap. Dari tetangga, kuketahui bahwa rumahku terbakar karena korsleting listrik. Penanganan yang lambat, membuat api melahap segalanya.
Papa dan Mama yang berada di Singapura, langsung bertolak ke Jakarta pada siang hari. Mama hampir pingsan, ketika mendengar tiga kabar buruk: aku diperkosa, rumah dan harta benda ludes terbakar, juga satu nyawa melayang menjadi korban kebakaran. Pembantuku, tewas karena musibah itu. Sedangkan Papa harus dilarikan ke rumah sakit, karena tiba-tiba ambruk. Beliau ternyata gagal jantung, dan sayang… harus pergi meninggalkanku dan Mama.
Dan inilah aku, sekarang sedang menyusuri trotoar dengan berjalan kaki. Jangan tanya kemana mobilku. Semua sudah dijual, untuk hidup sehari-hari. Aku jatuh miskin seketika. Tragis.
“Hai, sudah lama.” Begitu sapanya, ketika melihatku untuk kali pertama setelah sebulan menghilang.
Aku mengambil kursi, duduk menghadapnya. Sorot mataku tak lagi setajam dulu, kini di isi oleh kilat redup putus asa.
“Fe, aku kehilangan semuanya,” kataku, lirih. Aku ingin menangis, menumpahkan segalanya. Tapi haruskah disini? Di depannya?
“Aku tahu, Gina. Aku selalu tahu nasib kalian.”
“Maksudnya?” Hore, pertama kalinya dalam sebulan, aku merasa kaget kembali.
“Aku bisa melihat masa depan. Disana jelas, terakhir kita bertemu, aku melihatmu akan dua kemungkinan: mati dan mati. Sudah lihat berita beberapa hari setelah Valentine? Pacarmu, siapa namanya? Ah ya, Vino. Dia tewas kecelakaan bersama seorang wanita, karena mobil yang mereka tumpangi menabrak halte. Andaikan kamu ikut dia, kamu yang mati. Wanita itu anggap saja… penggantimu.
“Andaikan kamu masih berlama-lama di kampus, atau menghabiskan waktu bersama teman-temanmu, kamu akan pulang dan nyaman berada di rumah, maka ketika kebakaran terjadi, kamu akan menemani pembantumu meregang nyawa. Lihat, Gina. Aku menunjukkanmu kado terindah Valentine kali ini.”
Cukup. Aku tak tahan lagi dengan sikap tenangnya. “TAPI GUE DIPERKOSA! LO GA TAU GIMANA RASANYA! ITU KAYAK LO MAU MATI, TAU GA!”
Aku tak peduli lagi dengan banyak pasang mata yang kini terarah padaku. Persetan dengan semuanya. Hidupku hancur, dan tak ada gunanya untuk mempertahankannya lagi.
“Tapi kamu tidak mati, Gina. Kamu hidup. Aku memberikanmu kado yang seharusnya paling bisa kamu syukuri, yaitu nyawamu,” katanya, sambil berusaha menenangkanku. “Coba rubah persepsimu tentang penderitaan. Bahkan kamu bisa menemukan keajaiban diantara masa-masa sulit sekalipun.”
Kalau dipikir, memang benar. Ada alasan kenapa aku harus pulang cepat dari kampus. Itu berarti ban mobilku bocor, sehingga aku bertemu dengan si pria brengsek itu. Lalu diperkosa olehnya, dan menyelamatkanku dari ancaman di rumahku sendiri. Hidup memang punya cara untuk menunjukkan keajaiban. Lewat Fe, salah satunya.
“Ahaha, haha. Lucu, ironis, gila. Aku harus diperkosa supaya bisa selamat? Ha?”
“Life’s round like a circle, kamu menempatkan titik di bulatan dan menyusuri garis lingkaran, maka kamu akan kembali ke titikmu bermula. Apa yang kamu perbuat, akan kamu terima dengan takaran yang sama.”
Equivalent trade. Aku ingat, ketika membuat makalah tentang Alkemi. Retno, itulah alasannya.
“Jadi, aku udah miskin sekarang. Ga punya apa-apa, terus gimana?”
Fe terkekeh. “Kamu diberi kesempatan kedua, Gina. Tak bisakah sesekali berpikir positif dan maju, tanpa mengeluhkan keadaan kiri dan kanan?”
Ada benarnya juga kalimat Fe. “Mungkin bisa, mungkin engga. Tapi aku coba deh. Semuanya masih terlalu berat buat aku, Fe.”
“Waktu, Gina.” Fe, menggenggam kedua tanganku, seraya menatap lekat-lekat. “Waktu yang akan mengikis luka, atau menorehkannya semakin nyata. Semua tergantung dirimu, bagaimana berdamai dengan masa lalu, juga menjalin pertemanan dengan waktu.”
Takjub. Diantara nyala api semangatku yang hampir padam, kini ada pemantik yang kembali menyulut nyalanya. Bagai menanam modal cuma-cuma, Fe memberiku dasar untuk tak menyerah pada keadaan. Pada kehidupan.
“Kamu siapa sih, sebenernya? Tau banget tentang segala hal.”
Bukannya menjawab, Fe memberiku setumpuk kartu tarot. Aku disuruhnya mengocok kartu, lalu menebarnya di meja. Seperti biasa, ia menyuruhku memilih satu.
Di tanganku, kini tergenggam sebuah kartu dengan gambar satu sosok bersayap mirip malaikat. Ia digambarkan begitu terang, tapi seakan terjatuh dari atas awan. Kartu yang tak pernah kulihat sebelumnya, bernama “The Morning Star”.
“Kartu ke-79. Aku punya banyak julukan; Si Pembawa Terang, Cahaya Pagi, Anti-Kristus, dan lainnya. Tapi Alkitab gemar menyebutku…”
“…Lucifer.” Aku terperangah. Sejuta pertanyaan serentak masuk memenuhi benakku, dan Fe tahu akan hal itu. Maka ia tersenyum, menenangkanku sampai ke jiwa ini.
“Heran?”
Aku mengangguk. “Tapi bukannya… kalo di alkitab… kamu… terus… aduh, aku pusing. Engga, kamu pasti bohong!”
Tapi senyumnya yang mantap itu seakan mematahkan penyangkalanku.
“Tapi kamu bukannya… membangkang? Kenapa menolong… ka-kami? Terlebih, aku?”
“How rude. Aku bukan pembangkang, itu hanya kesalahan persepsi. Aku hanya makhluk yang terlampau kritis menyikapi segala macam hal,” kata Fe, seraya tertawa ringan.
“Kritis skala Tuhan? You’ve got to be fucking kidding me.”
“Itulah hebatnya diriku,” candanya. “Ingat, wawasan ada untuk dibagikan, bukan disimpan sendiri. Begitupun dengan kebaikan. Semua punya pilihan; menyimpannya, atau berbagi dengan sesama. Dan aku memilih untuk berbagi.”
Fe kemudian berdiri, dan aku sontak ikut berdiri mengiringinya. Ia menyalamiku, seraya melempar satu senyum tulus dan indah, yang tak pernah kulihat sebelumnya pernah terulas di wajah satu manusia pun.
“Tugasku selesai. Kamu sudah bisa berdiri dengan kedua kakimu sendiri, aku yakin itu. Aku pamit, Gina.”
“Apa kita…”
“Bertemu lagi? Aku yakin suatu saat nanti, jika takdir milik Dia,” ia menunjuk ke langit, “Mempertemukan kita kembali.”
Fe pergi, meninggalkanku yang berdiri mematung. Tapi tanpa sadar, aku memanggilnya. Bibir ini seperti lancar mengucap kata demi kata.
“Terima kasih. Aku sayang kamu.”
Fe tersenyum sekali lagi. “Aku juga. Aku selalu sayang kepada orang-orang yang bisa bangkit dari keterpurukan. Selamat tinggal, Gina.”
Fe pergi, berbaur dengan kerumunan orang-orang yang hilir mudik susuri trotoar. Pria nyentrik dengan ketenangan luar biasa, yang baru aku tahu ternyata adalah…
Ah, sudahlah.
Aku menatap langit, bersamaan dengan jiwaku yang berusaha menata kembali hati. Aku berbisik lembut, “Bukakan aku jalan apapun yang Engkau kehendaki. Maka aku akan berjalan diatasnya, tanpa ragu dan tanpa kesombongan selayaknya dulu kulakukan.”
Ya, aku berjanji.
Ucapan terima kasih ya? Duh, bingung ngucapin apa sih. Ya, sebenernya ini karena pake metode Sistem Kebut Semaleman aja sih, makanya jadi posting. Tadinya pengennya engga, serius deh.
Oh iya, Disclaimer apa artinya sih? Pokoknya gitu lah intinya.
Cerita ini tidak ada maksud sama sekali untuk mendeskreditkan suatu Agama, atau memelintir dari apa yang telah ada, ya. Ini murni imajinasi penulis, yang (maaf) jika menyerempet ke hal-hal berbau Agama. Tapi serius, poinnya bukan disitu sih.
Pertama, saya ucapin terimakasih banyak untuk diri saya sendiri–yang dengan tololnya nyantai selama 29 hari dan keteteran di hari terakhir. Lalu kepada teman-teman seperjuangan yang berulangkali bawel ngingetin untuk post cerita, apalagi pas dua hari terakhir. Mereka ngingetinnya udah bukan main sekedarnya, tapi udah jam-jaman men. 38 Jam sebelum deadline, 24 Jam 16 Menit sebelum deadline, cadas ga tuh? Terus, kepada Moderator koplak kita, the Reditya, yang repot dan pasti akan repot untuk mengurusi event ini. Ke panitia, atas tema kampretnya berupa Rape ft. Valentine. Itu bener-bener maksa otak saya sampe muter abis-abisan. Kepada teman-teman lain, atas semangat yang diberikan. Walaupun cuma semangat, itu rada ngaruh, yah walaupun dikit dan lebih banyak bikin makin berat. Kepada pembaca, yang kalo baca sukur, ga baca juga ga apa-apa, elo elo semua gokil meeen! Kepada siapa lagi ya?
Oh iya, kepada Juri, yang mau ga mau bakal baca ini cerita. Kepada Admin v2 Heddot, yang membantu jalannya acara ini dari sebelum mulai sampe masuk tahap ini. Kepada Admin, selaku yang punya istana. Kepada segelas bandrek yang dari tadi ga abis-abis. Kepada kipas angin dan kasur empuk yang selalu menggoda. Kepada notebook, yang kerja rodi dihajar abis-abisan sama ketikan jari yang membabi buta. Dan kepada udara hampa, yang selalu memberi ruang untuk lepas dari penatnya dunia yang geje ini.
Kepanjangan ya? Bodo.
Nggg… terus… anu…
Udah ya, babai~!