Ajian manjur Mbah dukun untuk gadis lugu
Perkenalkan dahulu, namaku Darminto. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyebut dirinya dengan istilah keren paranormal atau yang dilingkungan masyarakat kebanyakan dikenal dengan istilah dukun. Ya, aku adalah orang yang bergelar mbah dukun, meskipun sebenarnya aku tidak begitu percaya dengan segala hal mistis. Aneh? nggak juga. Semenjak aku kena PHK dari perusahaan sepatu dua puluh tahun lalu, aku berusaha keras mencari pekerjaan pengganti. Beberapa waktu aku sempat ikut bisnis jual beli mobil bekas, tetapi bangkrut karena ditipu orang. Lalu bisnis tanam cabe, baru sekali panen harga cabe anjlok sehingga aku rugi tidak ketulungan banyaknya. Untung orang tuaku termasuk orang kaya di kampung, jadi semuanya masih bisa ditanggulangi. Cuma aku semakin pusing dan bingung saja. Untung aku belum berkeluarga, kalau tidak pasti tambah repot karena harus menghadapi omelan dan gerutuan istri. Dalam keadaan sebal itulah aku bertemu dengan mbah Narto, kakek tua yang dengan gagahnya memproklamasikan diri sebagai paranormal paling top. Karena masih berhubungan keluarga, ia sering juga datang dan menginap di rumahku ketika dia lagi buka praktek di kotaku. O ya, aku tinggal di sebuah kota kecamatan kecil di Jawa tengah, dekat perbatasan jawa Timur. Meskipun kecil, kotaku termasuk ramai karena dilewati jalan negara yang lebar dan selalu dilewati truk dan bus antar propinsi, siang dan malam. Eh, kembali ke mbah Narto, tampaknya si mbah punya perhatian khusus kepadaku (atau malah karena aku memang kelihatan sekali tidak menyukai dan sinis terhadap gaya perdukunannya?). Suatu hari ia berbicara serius denganku, mengajakku untuk menjadi muridnya. Walah, aku hampir ketawa mendengarnya. Murid? wong aku sama sekali tidak percaya segala hal takhayul macam itu, kok mau diangkat menjadi murid? Tetapi segala keraguanku tiba-tiba hilang ketika mbah Narto menjelaskan, ”Punya ilmu ini bisa buat cari uang, Dar.” ”Apa kamu tahu berapa penghasilan dukun dukun itu? Mereka kaya kaya lho. Meskipun ilmunya, dibandingkan dengan ilmu mbahmu ini, masih cetek banget.” katanya dengan meyakinkan dan mata melotot. Aku menggaruk kepalaku. Apa benar? Akhirnya aku tertarik juga. Meskipun tetap dengan ogah ogahan dan tidak percaya, aku ikut juga menjadi muridnya. Akhirnya, setelah enam bulan berkelana, mbah Narto menyatakan aku sudah lulus ujian (wong sebenarnya aku tidak tahu apaapa). Dan dia memperkenalkan aku sebagai assistennya untuk menyembuhkan pasien dari berbagai penyakit yang aeng-aeng alias aneh-aneh. Bahkan setelah lima tahun aku dipercaya untuk buka praktek sendiri, di rumahku, dengan mempergunakan kamar samping rumah sebagai tempat praktek (meskipun aku harus membuat Yu Mini kakakku marahmarah karena meminta dia pindah kamar tidur). Setelah setahun praktek, nasehat mbah Narto ternyata benar (ini satu satunya nasehatnya yang benar, aku kira) bahwa jadi dukun itu banyak duit! aku baru sadar bahwa salah satu syarat untuk menjadi dukun yang sukses bukanlah terletak pada ilmunya (yang aku nggak percaya sama sekali), tetapi pada kemampuannya untuk meyakinkan pasien. Dukun adalah aktor yang harus bisa membuat pasien setengah mati percaya dan tergantung padanya, dengan segala cara dan tipu daya. Pada mulanya beberapa orang datang minta tolong padaku, katanya menderita sakit aneh, pusing pusing yang tidak tersembuhkan. Aku dengan lagak meyakinkan memberikan mantra, menyuruh mereka menghirup asap dupa, dan minum air kembang (di dalamnya sudah kucampur gerusan obat Paramex). Eh.. mereka sembuh. Dan sejak itulah pasien datang membanjir padaku. Ada yang minta disembuhkan sakitnya (kebanyakan aku suruh mereka ke dokter dulu, kalau nggak sembuh baru kembali. Sebagian besar memang tidak kembali), ada yang minta rejeki (itu mah gampang, tinggal didoain macem macem) ada pula yang mengeluhkan soal jodoh, pertengkaran keluarga dan lain lain (kalau itu tinggal dinasehatin saja). Jadi inilah aku, mbah Dar, dukun ampuh dari lereng Merapi. Setiap hari paling sedikit sepuluh orang antre di rumahku, dari siang sampai malam. Begitu ramainya sampai akhirnya halaman depan rumahku dijadikan pangkalan ojek. Tidak kuperdulikan lagi omelan istri dan pandangan sinis saudara-saudaraku. Yang penting duit masuk terus, lagipula di umurku yang hampir menginjak kepala enam ini mana mungkin bisa dapat pekerjaan mapan lain? Dengan ilmu yang asal hantam, tampang yang meyakinkan (aku sekarang pelihara jenggot panjang, pakai jubah putih kalau praktek) maka orang orang sangat percaya kepadaku. aku mau cerita soal pasien yang paling berkesan buat aku. Malam itu, Pasien sudah sepi, dan aku sudah merasa sangat mengantuk. Sambil menguap aku berdiri dari meja kerjaku, menuju pintu dan bermaksud menutupnya. Tetapi kulihat si Warno sekretarisku menghampiri, ”Ada pasien satu lagi mbah.” bisiknya. ”Cah wadon (anak perempuan), huayuu banget.” Dia nyengir dan menunjuk pelan ke ruang tunggu di depan. Di sana aku melihat seorang gadis dengan memakai T shirt putih dan rok corak batik coklat duduk di bangku. Aku tidak melihat wajahnya karena dia sedang memperhatikan TV yang memang kusediakan di situ. ”Masuk, nduk.” kataku dengan suara berwibawa. Si gadis itu pelan pelan berdiri, dan dengan takzim berjalan kearahku. Aku sekarang dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aduh mak, dia memang betul-betul cantik. Rambutnya yang sebahu bewarna hitam begelombang, matanya seperti mata kijang dan bibirnya seperti delima merekah. Tubuhnya seksi dengan buah dada yang seperti akan memberontak keluar dari baju Tshirtnya. Aku kira umurnya paling banter sekitar 18 tahun. Wah, jarang-jarang aku dapat pasien daun muda seperti ini! ”Sugeng dalu (selamat malam) mbah..” katanya agak bergetar. Wuih, suaranya juga merdu banget. Kecil dan halus, seperti berbisik.
Dengan lagak kebapakan aku menyilahkannya masuk, diiringi sorot mata nakal si Warno yang seperti ingin menelanjangi bulat-bulat gadis itu. Kupelototi dia sehingga dia cepat-cepat lari ngibrit sambil tertawa kecil. Aku segera menutup pintu. Kulihat si gadis duduk dengan sangat hormat di kursi pasien yang kusediakan. Tangannya ngapurancang di pangkuannya, wajahnya menunduk. Cantik sekali. Dengan purapura tidak acuh aku menyiapkan alat-alat perdukunanku, menyalakan lampu minyak (sebagai media pemanggil arwah, purapuranya), menyiapkan baskom kecil berisi air kembang, dan menyalakan dupa. Asap dupa segera memenuhi ruangan kecil itu. ”Siapa namamu, nduk?” tanyaku tanpa memandangnya, tetap sibuk melakukan persiapan. ”Yeyen mbah.” katanya. Wah, nama lokal betul. Aku berdeham, ”berapa umurmu?” Si cantik itu menjawab pelan tetap menunduk, “Lima belas, Mbah.” Wah, aku hampir terlonjak kaget. Lima belas tahun? masih kecil banget, tetapi bagaimana kok tubuhnya sudah demikian seksi, dadanya sudah demikian ranum. Aku menelan ludah, ”Bocah cilik begini kok beraninya malam-malam datang ke sini. Ada masalah apa nduk?” Aku sekarang duduk di kursi di depannya, dibatasi meja yang penuh segala pernik perdukunan. Si Yeyen sekarang mengangkat kepalanya, raut wajahnya tampak sangat gelisah. Matanya jelalatan ke kiri kanan. Suaranya yang kecil bergetar, ”Nyuwun sewu mbah, sebetulnya saya sangat gelisah dan takut. Nyuwun tulung mbah…” suaranya semakin rendah dan bergetar, seperti sedu sedan. Kemudian dengan cepat dan dengan suara tetap bergetar, dia bercerita bahwa ada seorang laki-laki, bernama Kasno, yang sangat ditakutinya. Kasno adalah tetangganya yang sudah punya istri dua dan anak segerendeng, tetapi masih hijau matanya kalau melihat cewek cantik. Karena rumahnya sederetan dengan rumah Yeyen, tiap hari dia bisa melihat Pak Kasno memandangnya seperti tidak berkedip. Lebih celaka lagi, karena kamar mandi rumahnya menjadi satu dengan kamar mandi rumah Pak kasno, maka semakin besar kesempatan lelaki hidung belang itu mencuri pandang pada tubuhnya yang bahenol itu. Bahkan pernah suatu hari Yeyen berteriak-teriak dan lari keluar dari kamar mandi, karena ketika ia sedang mandi melihat kepala Pak kasno mengintip dari bagian atas kamar mandi yang memang tidak tertutup. Itu saja belum cukup. ”Suatu hari Si Kasno tiba-tiba mendatangi saya, mbah.” katanya. Si hidung belang itu katanya bicara baik-baik, bahkan sangat kebapakan. Tetapi yang membuat Yeyen kaget, dia tiba-tiba mengeluarkan sebotol kecil air, entah apa itu. Dengan sangat cepat si hidung belang memercikkan air di botol itu ke wajah dan tubuh Yeyen. Tentu saja si gadis kecil ayu itu berteriak, tetapi Pak kasno cepat-cepat minta maaf dan dengan lembut memberi penjelasan, ”Enggak apa-apa, Yen, itu tadi cuma air kembang kok. Bapak ini lagi belajar ilmu kebatinan, jadi bapak mengerti caracara untuk membahagiakan orang. Bener lho Nem, nanti setelah kena air tadi kamu akan merasa bahagiaa sekali.” kata Kasno dengan tersenyum. Yeyen tentu saja semakin kesal, ”Bahagia bagaimana to Pak?” ”Wong sudah mbasahin baju nggak bilang-bilang, masih juga mbujuk mbujuk segala.” Si Kasno katanya hanya tersenyum senyum saja dan menjawab, ”Wong bocah cilik, durung ngerti. Roso kepenake wong lanang (rasa enaknya laki-laki) Nduk, nduk, nanti saja kamu kan tahu.” Dan dengan bicara begitu si hidung belang ngeloyor pergi. ”Setelah kejadian itu Pikiran saya jadi bingung, mbah.” cerita Yeyen ”Setiap malam saya menjadi terbayang wajahnya Pak Kasno, sepertinya dia itu mau menerkam saya saja.” dia bergidik ngeri. ”Malah saya sampai mimpi…” dia tidak melanjutkan. Aku purapura menghela napas penuh simpati. Sebenarnya, kalau saja yang bicara ini bukan gadis sebahenol Yeyen pasti aku sudah menyuruhnya angkat kaki. Bosen. Tapi melihat anak secantik ini, waduh, kok tibatiba.. rasanya ada yang berteriak-teriak di balik celanaku.. Jangkrik tenan, pikirku. Rasanya aku mulai terangsang pada gadis ini. ”Teruskan Nduk, kamu mimpi apa?” kataku penuh wibawa Yeyen menggigil. Suaranya tersendat-sendat, ”Aduh mbah, nyuwun sewu, mbah, saya lingsem (malu) banget…” Wah, ini dia. Dengan gaya kebapakan aku berdiri dan mendatangi dia, duduk di sebelahnya dan memeluk pundaknya. Lembut dan hangat. Nafsuku tambah naik. ”Wis, wis, ora susah bingung. Ceritakan saja. Si mbah ini siap mendengarkan kok.” kataku menenangkan. Akhirnya setelah mengatur napas, Yeyen melanjutkan ceritanya. ”Anu.., saya sering mimpi, lagi di anu sama Pak Kasno. Bolak balik mbah, bahkan hari-hari terakhir ini rasanya semakin sering.” cerita Yeyen. Aku berusaha menahan tawa, ”Dianu kuwi opo karepe (apa maksudnya) to Nduk?” Dia tampak semakin malu, ”Ya itu lho mbah… seperti katanya kalau suami istri lagi dolanan (bermain) di kamar itu lho…” katanya mbak-mbak aku seperti itu. Waa..nafsuku semakin meningkat tajam. Tambah kugoda, ”Coba to ceritakan yang jelas, seperti apa yang dilakukan si Kasno dalam mimpimu itu?” Akhirnya si Yeyen ini tampaknya berhasil menguatkan hatinya. Suaranya lebih mantap ketika menjelaskan. ”Pertamanya. Saya ngimpi Pak Kasno berdiri di depan saya, wuda blejet (telanjang bulat). Terus, saya tiba-tiba juga wuda blejet juga, terus.. Pak Kasno memeluk saya, menciumi saya, di bibir dan di badan juga…” dadanya naik turun, seakan sesak membayangkan mimpinya yang luar biasa itu. Aku semakin panas mendengar ceritanya itu, ”Apanya saja yang dia cium, Nduk?” Yeyen tampak malu, ”Di sini, Mbah.” katanya sambil menunjuk buah dadanya. ”Dicium dan disedot kanan kiri, bolak balik. Terus ke bawah juga…” ”Ke bawah mana?” tanyaku. ”Ke… ini Mbah, aduh, lingsem aku. Ke ini, temphik saya. Di ciumi dan dijilati juga…” dia semakin menunduk malu. Suaranya terhenti. Nah, tiba-tiba ada pikiran licik di otakku. Segera aku bertindak. ”KASNO KEPARAT!” teriakku tiba-tiba. Aku meloncat berdiri, diikuti si Yeyen yang juga terlonjak kaget mendengar bentakanku. ”Mbah.. Mbah.., kenapa Mbah?” tanyanya bingung. Aku sekarang berdiri di depannya, tanganku memegang pundaknya. Suaraku serak penuh ketegasan tetapi juga bernada kuatir. ”Nduk, Nduk, kamu dalam bahaya besar. Si kasno itu pasti sudah nggendam (menyihir) kamu. Mimpimu itu baru permulaan dari ilmu gendamnya. Setelah ini kamu akan semakin terbayang pada wajahnya, sampai lama-lama kamu tidak akan bisa berpikir lain selain memikirkan dia. Lalu, dia tinggal menguasaimu saja…”mataku mendelik. ”Mesakake banget (kasihan sekali) kowe Nduk…” Si Yeyen tampak sekok (shock) berat mendengar ucapanku yang meluncur seperti senapan mesin itu. ”Terus bagaimana Mbah, tolong saya Mbah…” katanya seperti orang putus asa. Aku menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepala. ”Berat, Nduk. Saya bisa menolongmu, tetapi itu sangat berbahaya. Bisa-bisa ilmu gendamnya berbalik kepadaku. Bisa mati aku.” Kulihat matanya membelalak penuh kengerian. ”Jadi.. lalu bagaimana Mbah? Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aku sekarang memeluknya (aduh, dadanya betul betul menggiurkanl. Kenyal dan hangat). ”Ya sudah Nduk, aku kasihan kepadamu, aku akan mencoba menolongmu, dengan sepenuh ilmuku. Pokoknya, kamu harus mau nglakoni (melaksanakan) semua perintahku, ya Nduk. Kamu bersedia ya Nduk?” kataku kebapakan. kurasakan tubuh gadis dalam pelukanku itu bergetar. Kudengar ia terisak pelan, ”Matur nuwun sanget Mbah.. saya sudah ndak bisa mikir lagi…” Kulepaskan pelukanku. Sekarang suaraku berubah penuh wibawa, ”Sekarang, untuk menghilangkan ilmu hitam itu, kamu harus nglakoni persis sama dengan mimpimu itu.” kataku. ”Buka bajumu, Nduk.” Ku lihat matanya terbeliak heran, tetapi segera meredup dan dia menghela napas, ”Inggih Mbah, sakkerso (terserah) kulo nderek kemawon (saya ikut saja).” Dan dengan cepat ia membuka kaos T-shirtnya, meletakkan di kursi. Aku menelan ludah. Branya crem, berkembang-kembang. Buah dadanya putih sekali, menggelembung di belakang bra 32C yang tampak kekecilan itu. ”Baru lima belas kok sudah besar banget ya?
Anak jaman sekarang memang dewasa terlalu cepat.” pikirku. Sekarang ia membuka roknya, merosot di lantai. Ia berdiri di depanku, tetap dengan sangat hormat. Tangannya ngapurancang di depan celana dalamnya. Dia memandang padaku dengan polos. ”Sudah, Mbah.” katanya. Aku mendeham, ”Belum Nduk” kataku. ”Mbah bilang semuanya. Buka juga pakaian dalammu. Ilmuku nggak bisa masuk kalau bagian tubuhmu yang diciumi si bangsat itu masih terhalang kain.” Yeyen tampak sangat bingung, hampir semenit dia berdiri terpaku dengan berkata apapun. Tetapi akhirnya dia menghela napas, dan mengulangi perkataannya tadi. ”Inggih Mbah, kulo nderek.” Dan dengan cepat ia membuka kaitan branya, dan sebelum kain itu jatuh ke lantai dia melanjutkan membuka celana dalamnya. Sekarang dia benar-benar wudo blejet (telanjang bulat) di depanku. Tubuhnya tidak terlalu tinggi (mungkin 157 cm), kulitnya sungguh halus, kuning agak keputih-putihan. Buah dadanya segar mengkal dengan puting berwarna coklat kemerahan, terlihat agak menonjol ke luar. Pinggangnya bagus, perutnya rata. Pahanya juga berisi dan sangat mulus. Nah, di bawah perutnya, di selangkangannya terlihat segundukan kecil dengan bulu-bulu kemaluan tipis halus, pas dan cocok dengan usianya yang baru lima belas tahun. Bulu-bulu itu belum mampu menutupi belahan kemaluannya yang berwarna kemerahan, tampak agak nyempluk (menonjol) ke depan. Haduuh biyuung.. aku terangsang berat. Ku kedip-kedipkan mataku, dan berkali kali aku menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol nafsuku. Dengan gerakan ditenangtenangkan aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air kembang dari baskom di mejaku. Aku mendekati dia, ”Bagian mana yang diciumi Si Kasno dalam mimpimu itu, Nduk?” Ia tampak berpikir sebentar, dan kemudian meunjuk bibirnya, ”ini Mbah, saya di sun di bibir.” Tanpa ragu-ragu aku mencipratkan air dalam gelas itu ke bibirnya. Aku kemudian menunduk ke bawah, mulutku berkomat-kamit (sebenarnya aku tidak membaca mantera, cuma mengitung satu tambah satu dua, dua tambah dua empat dan seterusnya dengan cepat). Kemudian aku menghela napas dan berkata, ”Aku juga harus melakukan yang sama Nduk. Supaya ngelmu hitamnya bisa kesedot keluar.” Dan tanpa minta ijin lagi, kuseruduk mulutnya dan kucium dengan nafsu berat. Kurasakan si Yeyen berdiri kaku seperti kayu, tampak sangat kaget dengan seranganku itu. Mulutnya terkunci rapat sehingga bibirku tidak menyentuh bibirnya sama sekali. Aku jadi kesal, ”Buka mulutmu Nduk, terima saja. Jangan takut, memang supaya melawan ilmu hitam ini lakunya harus begitu, ”Ing..inggih Mbah…” ucapnya tersengal sengal. Dan dengan canggung dia membuka mulutnya. Sekarang aku menciumnya lagi, kini dengan lembut. Tidak ada perlawanan. Kulumat bibirnya, dan kusedot ke luar. Lidahku masuk ke dalam rongga mulutnya, bergerak ke kiri kanan tetapi tidak mendapat respons dari lidahnya. Tampaknya ia masih sangat kaget dan bingung dengan tindakanku ini. Akhirnya, setengah kecewa, kulepaskan ciumanku. Harus ada cara supaya dia terangsang, pikirku. Aku bertanya, ”Mana lagi Nduk, yang dicium si Kasno?” Yeyen sekarang menunjuk belakang telinganya, dan jarinya turun menyelusur leher, ”Disini Mbah…” Sekali lagi aku memercikkan air bunga dari gelas ke bagian yang ditunjuknya, dan mendekatkan mulutku ke belakang telinganya. Kucium pelan-pelan, dan kupermainkan dengan lidahku. Tenang, jangan terburu nafsu, pikirku. Ku alihkan ciuman dan gesekan lidahku ke lehernya yang mulus. Kukecup kecup halus. Aku merasakan napasnya mulai naik. Nah, ini dia. Dia mulai terangsang. ”Bagaimana rasanya, Nduk?” bisikku. Dia tidak menjawab, tetapi napasnya semakin terengah-engah. ”hegh..eemmh…” erangnya Dan tiba-tiba dia menjauh dariku. Wajahnya menunduk ke bawah. ”Kenapa? Kamu rasa sakit ya Nduk? pusing?” tanyaku penuh kebapakan. Dia menggeleng, ”A.. anu Mbah.. rasanya keri (geli) sekali…” Aku pura pura tertawa lega, ”Naah, kalau kamu nggak rasa sakit, cuma geli saja, artinya ilmunya memang belum masuk terlalu dalam. Syukurlah.” ”Sekarang Mbah teruskan ya. Mana lagi yang di cium si kasno?” Sekarang dia menunjuk buah dadanya, ”Di susuku ini Mbah, dicium bergantian, kiri kanan…” Nah, ini dia. Kupicratkan air kembang ke buah dadanya, dan dengan lagak sok yakin kupegang kedua bukit indah itu. Sekali lagi aku menunduk ke bawah, mulai komat-kamit membaca mantera matematikaku. Aku tampak sangat serius, meskipun sebenarnya aku sekuat tenaga berusaha mengendalikan nafsuku yang sudah tidak ketulungan berkobarnya. Akhirnya aku menundukkan kepalaku, ”Harus kusedot, Nduk. Di sini manteranya kuat sekali. Si Kasno bangsat itu sudah masuk dalam sekali ke tubuhmu.” Kulihat ia mengangguk, mekipun tampak masih sangat ragu. Pertama kukecup buah dada kirinya, merasakan kelembutan kulitnya yang sangat halus. Kecupanku berputar melingkar, hingga bagian bawah susu yang mengkal itupun tak luput dari kecupanku. Akhirnya aku berhenti di putingnya, kupermainkan sedikit dengan lidahku dan akhirnya kukulum dengan lembut. Mulutku menyedotnyedot barang indah itu dengan bernafsu, dan lidahku menarinari di putingnya. Kurasakan puting itu semakin membesar dan mengeras. Sedangkan jari tangan kananku terus meremas remas dada kanannya, mempermainkan putingnya secara berirama sama dengan irama gerakan lidahku di puting kirinya. Nah, akhirnya pertahanan si genduk Yeyen bobol juga. Tubuhnya yang tadinya kaku seperti kayu, sekarang terasa melemah. Tangannya memegang kepalaku, tanpa sadar mengelus elus rambut ubananku yang gondrong. Mulutnya mendesis-desis dan menceracau pelan, ”Mbah..aduuh Mbah.. jangan.. gelii sekali.. aduuhh…” Tetapi aku tidak perduli lagi. Tubuh Yeyen terasa bergoyang goyang, semakin lama semakin keras. Kupindahkan kulumanku ke puting kanannya. Aku melihat ke atas, kulihat kepala Yeyen menunduk dalamdalam sementara tangannya tetap memegang kepalaku. Matanya tertutup rapat dan mulutnya juga terkatup rapat. Ekspresinya seperti dia sedang mengejan atau menahan sesuatu yang sangat nikmat. “Horee, aku berhasil!” teriakku dalam hati. Jelas dia kini juga terangsang berat. Semakin asyik saja nih, pikirku. Kini kulepaskan hisapanku di susunya dan bertanya (pasti suaranya sudah tidak tampak berwibawa lagi, tapi penuh nafsu). ”Terus, habis cium susumu, dia cium lagi di sini ya?” tanyaku, sambil menunjuk pada kemaluannya ”I.. iya Mbah.. di temphik saya.. dicium terus dijilatin.” Aku mengangguk pura pura maklum, dan menghela napas seperti sedih dan terpaksa, ”ya sudah Nduk, karena begitu ya supaya pengaruh setannya hilang, Mbah juga terpaksa harus melakukan yang sama. Coba kamu duduk di meja ini.” Aku bimbing dia duduk di meja praktekku. Dengan canggung dia menurut. ”Buka lebarlebar kakimu Nduk.” kataku. Dia tampak bingung sehingga harus kubantu. Kubentangkan paha kiri dan kanannya sehingga dia duduk mengangkang di mejaku. Kini tampaklah kemaluannya dengan jelas, kemaluan gadis ABG yang baru ditumbuhi sedikit rambut. Warnanya kemerahan dan sangat merangsang. Jelas ini yang belum pernah dijamah lelaki. Mataku berkunang-kunang karena nafsu. Sekarang aku mengambil kursi, meletakkan tepat di depannya. Aku duduk di kursi itu dan mencondongkan tubuhku ke depan, sehingga wajahku sekarang berhadapan langsung dengan kemaluannya, hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter. Bau khas kemaluan perempuan menyebar dan tercium hidungku. Aku menelan ludah, ”Agak naikkan bokongmu Nduk, supaya Mbah gampang nyiumnya.” perintahku. Kini dia menuruti dengan patuh, mengangkat pantatnya sehingga kemaluannya semakin lebar terbuka di depan wajahku. Dengan lembut kugosok-gosok daerah suci wanita itu dengan tanganku, ke atas ke bawah dan sebaliknya. Kuremas-remas halus bulu-bulunya yang jarang, dan akhirnya kukecup kelentitnya dengan bibirku. ”Aaaaggh…” Yeyen mengerang (mana ada sih cewek yang kuat kalau dibegitukan?). Aku semakin menggila. Kukecup-kecup kemaluannya dengan gemas, dari bagian atas hingga bawah, lidahku menyelusuri belahan kemaluannya dan menerobos bagian dalamnya yang berwarna merah muda dan basah. Tubuhnya semakin menggelinjang. Napasnya terdengar semakin memburu. Akhirnya kecupan dan jilatan lidahku berhenti di kelentitnya. Kukecup-kecup terus kelentit yang tampak semakin membesar itu, dan akhirnya kuhisap dengan kuat. Sambil menghisap, lidahku tetap dengan aktif menjilati kelentit itu sementara tanganku terus mengelus elus daerah bawah kemaluannya, kadangkadang jariku menyelusup ke lobang kemaluannya yang terasa semakin lama semakin basah. Yeyen sama sekali sudah lepas kontrol. Erangannya semakin keras (untung saja suara di luar sangat keras dengan lagu dangdut). Tubuhnya berkelojotan ke kiri ke kanan, tangan kanannya menumpu ke meja sedangkan tangan kirinya memegang kepalaku. Di remas-remasnya rambutku dan setiap kali kepalaku agak merenggang, ditekannya lagi ke temphiknya. Jangkrik, pikirku. Aku hampir tidak bisa bernapas. Tetapi bagaimanapun suasananya sangat asyik. Aku semakin tenggelam dalam permainan yang penuh nafsu ini.
Kusungkupkan kepalaku semakin dalam di selangkangannya. Tidak kupedulikan lagi bahwa kursi dan meja reyot yang kami gunakan semakin kuat bergoyang dan berderakderak. Sampai akhirnya, ”Aaakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku..aah…” jeritan yang entah apa artinya itu meluncur keluar dari mulut gadis ayu itu, diikuti dengan semprotan cairan dari lobang kemaluannya. Basah dan hangat, sebagian menempel di dagu dan jenggotku. Akhirnya kuangkat kepalaku dari kemaluannya, dan kucium dahinya yang menunduk dengan napas tersengalsengal. Aku berbisik, ”Piye, Nduk? Kamu sudah merasa enakan sekarang?” Dia mengangguk, ”I..iya Mbah.. enakan sekarang…” Aku hampir ketawa. ****** juga anak ini, sudah sekian jauh belum juga sadar kalau sedang aku kerjain. Sekarang sampailah pada tahap selanjutnya, pikirku. Tanpa basa basi aku melepaskan jubahku dan celana dalamku. Kulihat wajahnya yang tadinya menunduk sayu sekarang terangkat, matanya membeliak melihat aku sudah telanjang bulat di depannya. Aku harus akui tubuh 60 tahunku ini tidak menarik, agak bungkuk, kurus, dan perut buncit, dan sudah tidak begitu fit lagi. Tapi kalau urusan kenthu, tenagaku masih sangat kuat. Batang kemaluanku lumayan besar dan selalu jadi kekaguman cewek-cewek yang pernah main seks denganku. ”Mbah melihat dari pipismu tadi, ternyata ilmu gendamnya si Kasno sudah masuk dalam sekali ke dalamnya. Mbah sudah coba sedot sedot tadi, tidak mau keluar juga. Berbahaya sekali Nduk, nanti kalau dibiarkan jadi ngabar (menguap) masuk ke pembuluh darahmu, bisa mati kowe. Mbah harus mencoba cara yang lebih kuat. Agak sakit mungkin Nduk, nggak apaapa ya?” kataku penuh rasa sayang dan kasihan. Kuelus rambutnya yang sekarang tampak awut-awutan. Dia mengangguk, mengulang lagi kata-katanya yang bego tadi, ”Inggih Mbah, kulo nderek kemawon…” Aku menganggukangguk, ”Anak baik. Kasihan sekali kowe Nduk.” Sekarang aku mengangkat tubuhnya yang sudah lemas dari atas meja, dan dengan lembut membimbingnya ke dipan yang ada di sudut. Kubaringkan tubuh bugil yang sudah lemas itu, dan dengan hati-hati kulebarkan kakinya. Kini dia terbaring mengangkang, kemaluannya terbuka lebar. Aku duduk berlutut, kemaluanku sudah keras terarah ke lobang kemaluannya. Kugesek-gesek kepala jagoanku ke kelentitnya. Dia mengerang pelan, matanya tertutup rapat. Kurendahkan tubuhku, kini aku telungkup di atas badannya. Kukecup bibir gadis desa berparas ayu itu dengan lembut.
”Sudah siap, ya Nduk. Agak sakit, ditahan saja. Pokoknya Mbah usahakan kamu jadi sembuh betul.” Dia mengangguk, tidak membuka matanya, ”Inggih Mbah.” desisnya lirih. Kini aku sudah siap untuk merampas keperawanannya. Aku memegang batang kemaluanku, dengan sangat hati-hati menusukkannya ke kemaluan si Yeyen yang basah kuyup oleh lendir. Satu senti..dua senti.. tiga senti.. sempit sekali. ”Ess.. sakit Mbah…” erang Si Yeyen Tampak wajahnya mengernyit kesakitan. Tangannya memegang dan meremas lenganku. ”Tenang Nduk..tenang.. tahan sedikit.. nanti lamalama sakitnya hilang.” Aku harus mengakui, inilah memek ternikmat yang pernah kurasakan. Seringnya aku hanya bisa bermain dengan pelacur-pelacur, daun muda begini sangat jarang kudapatkan. Sungguh lezat, legit dan super sempit. Dasar anak perawan.. Aku tekan agak keras kemaluanku, diikuti dengan teriakan Yeyen. ”Aauuwww.. saakiit sekali Mbah….” aku cepat-cepat melumat bibirnya, agar teriakannya tidak berkembang menjadi raungan.. Sekarang dengan cepat dan ahli aku menekan kemaluanku, sekalian saja sakitnya pikirku. Dan..bless..masuklah seluruh kemaluanku ke dalam lobang memeknya. Tubuh Yeyen terlonjak di bawahku, tangannya meremas lenganku sangat keras. Matanya terbeliak, tetapi mulutnya tidak bisa memekik karena tersumpal bibirku. Dia sudah aku perawani. Aku diam sejenak, menunggu dia tenang. Akhirnya dia diam, hanya napasnya masih tersengal-sengal. Setelah semua tenang, kulepaskan ciumanku. ”Masih sakit, Nduk?” Dia mengangguk, ”Tapi lama-lama nggak perih kan?” Dia mengangguk lagi. Oh… Lugu sekali anak ini. ”Mbah terusin ya? tidak lama lagi kok.” Sekali lagi dia mengangguk. Kugoyangkan pantatku lagi pelan-pelan, tidak ada respon penolakan darinya. Kogoyangkan lagi semakin kuat, dan tanganku mulai menggerayang memainkan puting susunya. “Aaaah…. Ooouh…. Mbah… sakiiit…. aduuh…” “Ra opo-opo Nduk… itu tandanya ngelmu hitamnya mulai keluar….” “Tapi temphikku ngilu Mbah…. adududuh…” “sudah Nduk… Tahan… Tahan…” Aku pompa temphiknya lebih dalam. “Aduh… Aduh…. Mbah… Mbaaah…. OOOOOOH….” Dia mengeluh dan merengek. Jelas si Yeyen ini mulai menikmati permainan ini. Pinggulnya mulai ikut bergoyang, meskipun agak kaku. Aku tidak berani merubah posisiku ini, takut kalau dia kesakitan lagi. Genjotan aku usahakan seteratur mungkin, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Malah goyongan pinggul Yeyen yang semakin lama semakin tidak teratur. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan, mulutnya mendesis-desis, kakinya menjepit pinggangku dan tangannya mencengkeram erat lenganku. Matanya terpejam dengan raut wajah yang cantik menampakkan campuran kesakitan dan kenikmatan yang amat sangat, membuatku semakin bernafsu menggenjot gadis desa itu. Aku tambah cemat ritme pompaanku. “Uuuuuuh…. Uuuuugh…. Mbaaaaah…..” rengek Yeyen sambil mencakar pundakku. Betapa nikmatnya! Coba para pembaca bayangkan. Aku yang sudah hampir kakek-kakek dengan wajah dan badan yang sudah keriput dan kempot berhasil membuat seorang gadis remaja tanggung yang sedang ranum-ranumnya menggelepar belingsatan di pelukanku. Beruntung sekali aku malam ini! Yeyen tidak mampu lagi menahan kenikmatan yang menyerang tubuhnya, sampai akhirnya, ”Aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku pipis… AAAAAAH….” Ku rasakan cairan hangat menyiram kontolku. Yeyen lemas, kepalanya terkulai ke kiri (sejak kami mulai main tadi, matanya selalu terpejam). Aku mengutuk dalam hati, ”Jangkrik, aku sendiri belum keluar nih!” Kuperkuat genjotanku, kufokuskan pikiranku pada kenikmatan yang kualami sekarang ini. Kuremas-remas juga susunya dengan kencang. “Aaaagh… Aaauuh…. Mbah…. aku mau diapain….? AAAAAAAH…..” Yeyen mendesah-desah tak karuhan. Setelah hampir setengah jam menggoyang anak itu, akhirnya kurasakan desakan dalam batangku, desakan yang sudah sangat aku kenal. Aku sudah mau ejakulasi. ”Nduk, Nduk, Mbah rasa ajiannya si Kasno sudah berhasil Mbah hilangkan. Tetapi Mbah harus masukan ajian baru ini ke tubuh kamu supaya kamu kebal terhadap segala ngelmu hitam macam ini.” kataku tersengal-sengal. Yeyen sudah kewalahan cuma bisa mengangguk lemas, matanya terbuka sedikit memandangku. Tidak tahan milihat kecantikan itu, langsung aku peluk Yeyen dan lumat mulutnya. Lidah kami saling berpagut erat. Meskipun dia sudah lemas dan setengah sadar tapi karena permainanku, secara reflek temphiknya berkedut-kedut dan meremasi batang kontolku. Tubuhku bergetar hebat. Ku peluk tubuhnya semakin erat, kemaluanku memompa keluar masuk semakin cepat. Rasanya kenthu sama daun muda lebih nikmat dibandingkan apapun! Beberapa kali temphiknya mengejan keras, membuat kenikmatan yang kurasakan semakin melambung. Semakin Ku percepat goyanganku, sampai akhirnya tekanan dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi, ”Nduk, ini Nduk.. Mbah pipiiiiis!” Aku hentak kontolku dalam-dalam dan Croooooooooot….. Croooooooooot….. Crooooooooooth….. Muncratlah spermaku ke dalam temphik gadis lima belas tahun itu. Kurasakan hisapan dan kedutan temphiknya tidak mau berhenti. Aku keluarkan maniku di temphiknya dalam tiga semprotan panjang, semuanya tampak tertelan (karena posisi pingulnya terangkat dan tempiknya rapat sekali, membuat sedikit sekali maniku yang terbuang keluar). Kudiamkan posisi ini agak lama, sampai kurasakan kemaluanku mulai mengecil dan akhirnya lepas sendiri dari temphiknya. Aku berguling ke samping, kulihat Yeyen tetap telentang dengan mata tertutup dan nafas tersenggal-senggal. Bibirnya yang seksi kini tampak berlepotan ludahku. Tampaknya terlalu banyak spermaku yang keluar, temphiknya tidak bisa menampung semuanya dan mulai menetes keluar. Aku bangun dan mengambil gelas berisi air kembang tadi, dan menyodorkan kemulutnya dengan lembut. ”Minum Nduk, minum” Biar semua obat Mbah bereaksi di badanmu. Ini air kembang juga berkhasiat kok. Dia menurut dan meneguk habis air itu. Akhirnya kubimbing dia berdiri, dan kubantu dia memakai bajunya. Aku juga memakai bajuku. Kami sama sekali tidak bicara saat itu. ”Bagaimana Nduk? Apakah kamu sudah merasa enakan?” Dia diam saja. Tangannya menyisir rambutnya, dan membetulkan bajunya yang awutawutan. Kuelus rambutnya. ”Mbah, apakah pasti saya sudah sembuh?” tanyanya dengan suara bergetar. Aku mengangguk, ”Pokoknya, semua sudah beres. Tadi Mbah itu mempertaruhkan nyawa Mbah lho. Kalau gagal tadi pasti ilmu hitamnya si Kasno berbalik menghantam Mbah. Untunglah semua sudah berakhir.” Dia mengangguk, wajahnya tetap menunduk, ”Matur nuwun, Mbah. Berapa saya harus bayar Mbah?” Aku tergelak, ”Wis, wis, bocah ayu, Mbah nggak minta bayaran kok. Bisa menyembuhkan kamu saja Mbah sudah bersyukur banget. Tapi besok2 dateng lagi ya kesini biar mbah kasih kamu ajian spy ga gampang kena gendam. Kulihat bibir si Yeyen tersenyum halus, mengangguk dan meminta ijin pulang. Kubuka pintu kamarku dan aku memanggil salah satu tukang ojek yang mangkal untuk mengantarkannya pulang. Dalam beberapa detik, gadis lugu itu hilang tertelan kegelapan malam. Aku menghela napas dan masuk kembali ke kamar. Tiba-tiba aku tertegun. Lha, kok aku sampai tidak menanyakan si Yeyen itu tadi siapa ya? karena sudah terbelit nafsu aku sampai tidak menanyakan pertanyaan pertanyaan standar seorang dukun: rumahmu dimana, bapakmu siapa…? Dan juga aku tadi ceroboh sekali lupa memberinya pil KB. Ah, aku menggeleng. Rasanya aku tidak pernah lihat dia sebagai warga sekitar sini. Mungkin dia dari Wonolayu, desa sebelah sana. Juga kalau cuma crot sekali didalam rasanya masih aman. Jadi biarian saja. Aku masuk kamar praktekku, dan segera menggelosor di dipan yang tadi kugunakan untuk bercinta dengan Yeyen. Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba Bu Yuli, istrinya kepala desa Wonolayu datang ke tempat tempat praktekku. Dia menggandeng seorang anak. “Ada apa Bu? Kok seperti gelagapan begitu…?” tanyaku. “Ini Mbah, Anak saya sakit aneh, kayaknya diguna-guna. Kata dia pernah datang kesini manjur.” Betapa kagetnya aku melihat anak yang dia gandeng ternyata Yeyen. Rupanya dia anak Kades tooh! “Aduh Mbah… gawat ini Mbah….” Yeyen bilang dengan badan bergetar dan menggigit jarinya. “Kenapa tho Nduk? cerita pelan-pelan ke Mbah” tanyaku dengan nada ku buat berwibawa. “Ajian Pak Kasno kembali lagi. Sekarang makin parah.” jawan Yeyen. “Parah Bagaimana?” tanyaku lagi. “Sekarang Pak Kasno muncul lagi di mimpi saya. Tapi…” Yeyen tiba-tiba terdiam. “Tapi… kenapa Nduk” Aku dan Bu Yuli jadi heran. “Mu… mukanya Mbah terbayang-bayang juga.” jawabnya dengan muka merah. Hahahaha. Aku tertawa. Ada-ada saja bocah ini. kenapa dia sekarang? Apa dia terbayang-bayang enaknya aku kenthu atau gimana? “Memangnya mimpi kayak gimana toh Nak?” tanya BU Yuli masih kebingunagan. Aku dan Yeyen cuma diam saja, terlalu aneh kalau dijelaskan nanti. aku coba alhikan pembicaraan. “Terus… Terus apa lagi Nduk…?” Tanyaku lagi sambil usaha keras nahan ketawa. “Sekarang Yeyen sering lapar terus, tapi habis itu mual muntah-muntah.” Perasaanku jadi tidak enak mendengar penjelasan Yeyen terakhir tadi. Aku langsung memasukan tanganku ke bajunya. Perut Yeyen aku elusi, rasanya agak besar dibandingkan dulu. Rasanya jantungku berdetak kencang ketakutan. Yeyen kelihatan ketakutan dan bingung melihat tingkahku. “A… Ada apa Mbah?” Yeyen bertanya dengan nada gemetaran. “Nd… Nduk… Kapan terkahir kali kamu dapet?” tanyaku. “Sudah lama tidak Mbah… Sudah 3 bulan.” Mendengar jawabannya itu, hampir pingsan aku dibuatnya. Sekali Crooth lansung Metengi anak gadis kepala desa!? CILAKAAA!! MATIIIIII AKUUUUU….. TAMAT