Budak Seks On-Demand

Halo, ini cerpen kedua ane di sini, semoga berkenan. Kritik & saran sangat ditunggu buat karya selanjutnya,
***

BUDAK SEKS ON-DEMAND By Cagok​
Pada suatu malam dalam apartemen studio seorang mahasiswi, pemilik ruangan itu serta satu temannya sedang menghabiskan waktu mengerjakan tugas kuliah mereka dengan bergosip dan bersenda gurau. “…terus pas Pak Husein udah selesai ngelawak, si Hilman nekat ketawa datar gitu! Siapa coba yang nggak jadi ngakak? Ahaha!” ujar Tania. “Hah? Kok bisa sih aku nggak lihat? Perasaan aku kuliah deh, hari itu!” komentar Ana, tertawa sekaligus bertanya-tanya. Ana adalah pemilik kamar apartemen tersebut, dan Tania adalah BFF-nya. Mereka berdua termasuk perempuan paling populer di jurusan kuliah mereka, dan bukan sekadar karena faktor harta atau pun keberuntungan; hal-hal klise: mereka cantik, gaul, dan jual mahal. Ana memiliki rambut berwarna ombre hitam-coklat yang bergelombang menyusuri badannya dari kepala hingga punggung, sedangkan Tania berambut hitam model bob. Keduanya memiliki tinggi badan di atas rata-rata, namun Ana yang lebih tinggi bahkan memiliki tinggi badan seperti model. Keduanya memiliki paras yang cantik, tetapi seperti sebelumnya, Ana lebih terkesan seksi dibanding Tania dengan hidung mancung dan bibir tebalnya. Terbalik mengenai badan mereka, payudara dan bokong Tania agak lebih besar dibanding Ana. Bahkan dalam segi fisik pun mereka saling melengkapi. “Oh! Pas banget, kamu lagi keluar kelas waktu itu Na, ada telepon,” jawab Tania. Ana berekspresi bingung mendengarnya. “Masa? Kenapa aku nggak inget ya?” ucap Ana. “Habis dipikir-pikir…kamu kayaknya sering dapet telepon di kelas akhir-akhir ini, Na, terus kamu keluar agak lama,” “Serius? Ta-tapi aku nggak inget…,” “Kamu juga suka ditelepon kalau kita mau nongki habis kuliah, terus pergi. Kamu…beneran nggak inget?” tanya Tania, mulai khawatir. Ana menggelengkan kepalanya. Ana lalu mulai bercerita tentang telepon yang sering ia terima. Ia mengatakan bahwa ia samar-samar mengingat panggilan-panggilan itu, tapi ia tidak ingat siapa yang meneleponnya dan tentang apa. Kasusnya terdengar seperti kasus hipnotis, dan meskipun takut, Tania tetap bersedia mendengarkan dan mencoba membantunya. Tentu saja, karena Ana adalah teman terdekatnya… dan juga karena alasan tersembunyi lain. “Astaga! Kamu harus stop angkat teleponnya, Na!” ucap Tania dengan nada tinggi. “I-iya, Tan…. Tolong bantu kasih tahu aku kalau aku ditelepo-” *RING!* “Aaahhh!” Teriakan mereka ikut meramaikan ruangan tersebut beserta deringan HP Ana. Beberapa detik kemudian, barulah Ana cukup tenang untuk membaca siapa yang meneleponnya. “Tuan?” kata Ana sambil membaca tulisan di layar HPnya dengan wajah heran. Mata Tania terbelalak. “Jangan diangkat, itu mungkin orangnya!” larang Tania. “Tunggu, gini gini gini. Aku bakal angkat ini. Tan, rekam aku buat bukti,” perintah Ana, yang kemudian diikuti Tania walau ia masih ragu. Setelah Tania menyalakan recorder HPnya, Ana pun mengangkat teleponnya dengan loudspeaker. “Ha-halo…?” tanya Ana. “Ana, mana budakku?” ucap suara di telepon, dengan pengubah suara agar tidak dikenali. Ana kemudian mengubah ekspresi tubuhnya dengan seketika. Tanda-tanda kekhawatiran hilang dari raut wajahnya. Tatapan matanya kini kosong. Duduknya pun sekarang tegak, sehingga dadanya ikut terbusung. Sesuai rencana, Tania hanya memperhatikan perubahan ini tanpa menghentikan aksi hipnotis itu. “Ini budakmu, Tuan,” jawab Ana. Tania kaget ketika temannya menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir dua kali. Nadanya terdengar monoton. “Di kamar?” tanya suara itu. “Ya, Tuan.” Untungnya bagi Tania, suara itu tidak menanyakan apakah Ana sedang sendiri. Apabila itu terjadi, tidak diragukan lagi bahwa lidah temannya itu akan mengkhianatinya. “Ana, ganti mode aktif.” Dengan perintah itu, Ana kembali berubah. Ekspresinya kembali muncul – tidak seperti sebelumnya, saat dia ketakutan setengah mati. Kali ini mata dan bibirnya menunjukkan ekspresi nakal, dengan tatapan yang tajam dan senyum setengahnya. Tangannya bergerak naik ke wilayah dadanya, dan jari telunjuknya secara spesifik bergerak naik-turun membelai garis pemisah di antara payudaranya sendiri yang terbuka, berkat tank top pink berbelahan dada rendah itu. Cukup untuk membuat lelaki mana pun berdegup kencang, bahkan mungkin beberapa perempuan. “Selamat malam, Tuan. Lagi apa? Ana kangen nih….” Suara manja Ana bukan hal yang pernah didengar Tania, sehingga tidak mengejutkan kalau Tania merasa syok. Meskipun Ana telah berpacaran beberapa kali, Tania tahu kalau Ana bukan tipe wanita yang manja dengan pasangannya. “Maaf nggak bisa dateng atau VC malem ini. Ada keperluan.” “Yahhh…” komentar Ana dengan singkat. Penekanan pada desahan itu dapat merangsang telinga semua orang yang mendengarnya. Suara itu, tentu saja terpengaruh. Lalu bagaimana dengan Tania? “Aku bakal gantiin. Weekend ini kita ketemu, ya?” kata suara di telepon itu lagi. “Hmph…. Janji, Tuan? Ana udah nggak tahan…” tanya Ana memastikan dengan mulut yang dibuat-buat cemberut. Kali ini jari tengahnya menelusuri garis vertikal di antara kedua kakinya yang dibuka lebar, memberikan pemandangan yang dapat membuat orang lain iri kepada Tania. Dia menelan ludahnya sendiri. “Ya, Janji. Tapi buat sekarang, aku mau denger suara kamu.” Kalimat itu tidak terdengar seperti kode perintah yang sebelumnya diberikan, namun ekspresi Ana menunjukkan bahwa ia tahu maksud dibalik ucapan itu, dan segera memberikan senyuman yang menurut Tania sepuluh kali lebih nakal daripada wajahnya di awal pembicaraan itu. “Oh, baik Tuan, tapi… bantu Ana ya?” “Oke. Pejamkan mata kamu, dan aku bakal ada di sana.” Setelah si penelepon mengatakan itu, suara petikan jari terdengar dari telepon. Kata-kata yang terdengar tidak masuk akal bagi Tania itu sangat masuk akal bagi Ana yang masih dalam pengaruh suara tersebut. Tania tidak dapat melihatnya, tetapi Ana yang baru saja menutup kedua matanya sekarang dapat merasakan keberadaan sosok yang sedang berbicara dengannya tepat di hadapan dirinya. Membelai lehernya. Menungkup payudaranya. Meraba kemaluannya. Semuanya seperti terasa langsung oleh Ana meskipun ia masih berpakaian. “Mmm… T-terima kasih, Tuan…. Ahhh….” ‘Suara’ yang ingin didengar orang di telepon itu ternyata adalah suara Ana yang dimabuk birahi. Setelah menyalakan mode loudspeaker HPnya dan meletakkannya di posisi yang aman, Ana berkonsentrasi membayangkan suara di telepon hadir di sana, menyetubuhinya langsung. Efek hipnotis yang dirasakan mahasiswi itu memperkuat sensasi remasan tangan imajiner di dadanya dan gesekan penis imajiner di labia majora-nya. “Mmpphh… iyaahhh….” Seakan belum puas dengan pengaruh hipnotis itu, Ana yang sekarang menyandarkan punggung dan kepalanya di sisi kasurnya mulai menggerakkan kedua tangannya. Tangan kirinya menarik belahan tank topnya yang sudah rendah itu semakin ke bawah sehingga memperlihatkan buah dada kirinya, sedangkan tangan kanannya menyusup ke dalam hotpants broken white-nya. Hasilnya adalah panorama ala film biru di hadapan Tania. “Ugh…! Mmm…! Terus, Tuannn….” Cukup jelas bahwa perintah ini diberikan kepada Ana sebagai pengganti berhubungan secara langsung atau video call karena suara di telepon itu sedang tidak bisa melakukannya. Lagipula, mendengarkan suara erangan seorang wanita sudah cukup bagi beberapa laki-laki untuk membantu mereka memuaskan diri sendiri. Karena itu, tidak perlu menerka-nerka apa yang sedang dilakukan suara di telepon: antara diam-diam menikmati suara Ana dengan earphone di ruang publik atau merancap sendiri di tempat tersembunyi. Hal ini berbeda dengan Tania. “A-Ana….” Satu tangannya yang memegang HPnya sendiri tidak berhenti bergemetar, sedangkan tangan kanannya sesekali menyeka keringat di dahi dan lehernya. Mahasiswi itu juga tidak sadar kalau ia sedang menggigit bibirnya sendiri melihat temannya bermasturbasi. Sulit bagi Tania untuk memalingkan wajahnya dari Ana, karena alasan-alasan yang saling berlawanan. Di satu sisi, dia ingin membantu temannya dengan menghentikan aksi gila itu, tetapi di sisi lain melihat Ana setengah telanjang dan memuaskan dirinya sendiri adalah pemandangan yang sudah diimpikan dirinya sejak lama. Tania suka Ana. “Oohhh…. Aaahh…! Tuannn….” Tali kiri tanktop Ana kini sudah turun dari pundaknya, berkat tarikan tangannya sendiri tadi. Sementara itu, walaupun tali kanannya belum terlepas, Tania sudah bisa melihat wujud puting payudara kanan temannya yang keras menembus bahan tank top itu. Mengenai celananya, Ana tidak sedang dalam posisi yang baik untuk benar-benar melepasnya, tapi celana super pendek itu sudah merosot sedikit, sehingga Tania juga dapat melihat tali celana dalam yang berwarna senada dengan tank top Ana… beserta tangan kanannya yang terus menggesek kemaluannya sendiri. “Hahhh… mmmhh….” Tania tidak dapat menahan dirinya lagi. Sementara tangan kanannya terus memegang HP, dia berganti posisi duduknya sehingga ia dapat dengan mudah memasukkan tangan kirinya ke dalam celana dalamnya. Gerakan tangannya itu membuat kaus berlengan pendek Tania sedikit kusut walaupun tidak dibuka, dan celana pendeknya yang tidak sependek milik Ana miring. Dia tidak lagi berpikir panjang mengenai salahnya perbuatan dirinya. Sebagai penyangkalan, ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa selama ia tetap merekam Ana, Tania tetap membantunya. Ia berusaha untuk menikmati kejadian ini tanpa diketahui orang di telepon, sehingga dia berusaha keras menahan mulutnya terus tertutup, walaupun sesekali ada suara yang berhasil keluar seperti tadi. “Aaahhh…! Tuannnnn… tolong, Anaaaa… mauuuu….!” Pada akhirnya, masturbasi Ana tidak terlalu bertahan lama. Ia terus memutar-mutarkan jarinya di klitorisnya sendiri, sehingga Ana pun cepat sampai. Atau mungkin saja sang pendengar yang biasanya tidak bertahan lama, sehingga waktu Ana menyenangkan dirinya pun dipersingkat, siapa yang tahu. “Aaaaahhhh…!!!” “Ugh…!” Suara mendengus terdengar pelan dari telepon. Si penelepon tampaknya selesai pada waktu yang bersamaan dengan Ana. “Cukup… Makasih, Ana. Aku udah puas buat malem ini,” ucap si penelepon dengan suara yang sedikit terengah-engah.

“Hahhh…. T-tapi Ana masih belum selesai, Tuannn…. Ayo Tuan, biar Ana puasin Tuan lagiii….” pinta Ana, suara mengemisnya menggelitik nafsu Tania dan si penelepon sekaligus. Sayangnya bagi Ana, suara dari telepon mencukupkan permainan kecil mereka. “Ana, ganti mode pasif.” Setelah komando itu diberikan, Ana yang sebelumnya berlaku manja berubah kembali menjadi diam. Ekspresi wajahnya kini mendadak kaku, tanpa ada sisa rasa nikmat yang sebelumnya ia tunjukkan sepenuhnya tanpa sengaja kepada teman di hadapannya. Posisi duduknya yang sebelumnya bersandar pada sisi tempat tidur menjadi tegak lagi, tetapi ia tidak memperbaiki tanktop dan hotpantsnya yang berantakan. Payudara kiri dan celana dalam yang masih terekspos itu masih memberikan pemandangan yang indah bagi Tania. “…Ya, Tuan.” “Seperti biasa: setelah telepon ini dimatikan, kamu bakal ngebetulin semua pakaian dan barang yang berubah posisi sejak kamu dalam pengaruhku, lalu kamu bakal melupakan semua yang terjadi selama telepon,” jelas suara itu. Ana menjawabnya seperti biasa untuk terakhir kalinya. Dan ditutuplah sambungan telepon itu dari sisi penelepon misterius. Tanpa menunggu lama, Ana yang masih belum sadar segera memperbaiki pakaiannya. Temannya, Tania, baru saja menyadari selesainya telepon itu pada waktu yang bersamaan. Ia melihat kondisinya sendiri: tangan kirinya masih berada di dalam celana dalamnya yang basah hingga melembapkan celana pendek di luarnya, dan kaus yang kusut. “A-ah!” Terkejut, ia menjatuhkan HPnya dan segera membenarkan pakaiannya sendiri sebelum Ana sadar. Untungnya, Ana masih perlu mengeringkan kemaluannya, jadi Tania memiliki lebih banyak waktu untuk menutupi ulahnya sendiri. Seperti mendapat pencerahan a la post-nut clarity, Tania mempertanyakan dalam hati mengapa dirinya menikmati adegan bejat tersebut. Melihat Ana berlaku berbeda dari biasanya, bahkan melihat teman terdekatnya itu menyenangkan dirinya sendiri membangkitkan sesuatu dalam diri Tania, yang selama ini selalu menahan perasaannya. Ia tentunya masih tidak mengakui hal ini, dan karena hipnotis terhadap Ana sudah selesai, Tania pun bersumpah kalau ia akan membantu Ana bebas dari orang tidak dikenal itu. Lucu bagaimana sebuah sumpah yang spesifik itu dapat melepaskannya dari ide buruk yang lain. “Hm? Tan? Kenapa muka kamu kayak gitu?” Ana akhirnya sadar, menemukan wajah teman baiknya yang cemas di hadapannya. Tania ingin memastikan kondisinya. “A-Ana? Kamu inget kejadian tadi?” tanya Tania. “Hah, ‘kejadian tadi’? Ada apa?” Ana bertanya kembali. Tania pun menjelaskan apa yang terjadi baru beberapa saat yang lalu, ketika Ana dihipnotis dari telepon. Ana tidak mempercayai Tania, tetapi ia akhirnya percaya setelah temannya itu memperlihatkan rekaman di HPnya. Ada ekspresi ngeri dan jijik pada wajahnya. Suara Ana dan si penelepon terdengar walaupun tidak terlalu jelas, tetapi paling tidak Tania menyadari bahwa suara penelepon dari rekaman tidak dapat menghipnotis Ana secara tidak sengaja, melihat Ana masih dapat dengan konsentrasi menonton video itu. Tidak diketahui oleh Ana, tetapi Tania kembali menikmati rekaman yang sedang ditonton mereka berdua. Video Ana yang sedang masturbasi, kedua tangan gerayangan memuaskan kemaluan dan buah dadanya sendiri sangat merangsang Tania. Sesekali dia mengganti-ganti posisi duduk kakinya agar pahanya dapat menggesek vaginanya, dilakukan diam-diam agar temannya itu tidak menyadari. Tania merasa malu terhadap dirinya sendiri, dan satu-satunya hal yang menahan dirinya untuk tidak menindaklanjuti nafsu birahinya adalah kehadiran Ana di sampingnya. “Oke, oke, cukup. Aku nggak mau lihat lagi….” komentar Ana sambil memejamkan matanya. Ia tidak lagi kuat melihat apa yang terjadi pada dirinya dalam rekaman, sehingga dirinya hanya melihat sebagian saja. Tania mencoba menenangkannya. “Nggak apa-apa, Na. Aku di sini,” ucap Tania. Ia memeluk temannya yang kemudian memeluknya kembali. Ia dapat merasakan kepala Ana yang bersandar pada pundaknya mulai sesenggukan, menangis pelan. Wajar saja, pikirnya. Temannya baru saja melihat hal buruk terjadi pada dirinya tanpa disadari, dan bahkan terlihat menikmati perbuatan itu. Tania sempat mulai memikirkan cara untuk menolong Ana bebas dari penelepon itu, atau bahkan menangkapnya, tetapi pikiran itu mulai hilang, tertutup dengan aroma jeruk yang berasal dari Ana. Entah berasal dari tanktop, leher belakang, atau rambut Ana, bau itu kembali membuat Tania teringat akan apa yang terjadi tadi: Ana memainkan puting payudaranya sendiri, mengusap vaginanya, dan mengeluarkan suara-suara sugestif di telepon tepat di hadapannya. Yang membuat Tania sedikit kecewa adalah Ana yang melakukan itu untuk orang lain, entah siapa, di telepon, sedangkan hati kecil Tania ingin temannya itu melakukan itu untuk dirinya sendiri. “B-bantu aku, Tan….” “Iya Na. Aku pasti bakal bantu kamu.” Tania melepas pelukannya dan memegang pundak Ana di depannya. Ia dapat melihat wajah Ana yang basah dengan air mata menatapnya kembali. Sejenak, pikiran buruk di kepalanya memudar. “Aku nggak mau dihipnotis kayak gitu lagi. Hanya karena ada orang aneh bilang… apalah itu…?” tanya Ana. Mendengarnya, Tania mengalami momen eureka di otaknya. Ide itu merupakan ide yang jahat, tetapi Tania tidak dapat menahan lagi hasratnya. Sebagai penyangkalan lagi, ia berpikir bahwa Ana dengannya masih lebih baik daripada orang yang tidak dikenal. Tania pun membuat keputusannya. “…Orang aneh itu… dia bilang… ‘Ana, mana budakku?’” Dan dengan kata-kata yang diucapkan Tania itu, Ana pun kembali berubah. Posisi duduk yang awalnya condong ke depan, bertumpu pada tangan Tania di pundaknya kini menjadi tegak seperti sebelumnya. Ekspresi di wajahnya yang sekarang mendadak hilang kontras dengan air mata yang masih terlihat di pipinya, dan tatapannya kini juga tidak lagi fokus pada mata Tania. Posisi duduknya yang tegak membuat dadanya terbusung, seakan-akan menawarkan tubuhnya pada teman di hadapannya. Belahan dada, garis tulang selangka, dan lekukan ketiak yang tidak tertutup oleh tanktop itu seolah sekarang milik Tania untuk dinikmati. Ana kini berada di bawah pengaruh Tania. “Ini budakmu, Tuan.” Tania hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Teman terdekat dan orang yang ia sukai secara diam-diam kini duduk diam menunggu perintah darinya. Ia tentu perlu memastikan hal ini. “…A-Ana?” Tania memanggil Ana dengan suara pelan, tetapi temannya tidak menjawab. Ia berpikir kalau sepertinya Ana hanya akan menjawabnya ketika Tania memberikan perintah, paling tidak dalam mode pasif ini. Kedua tangan Tania yang masih memegang pundak Ana mulai bergerak. Tangan kanannya melepaskan pundak kiri Ana dan bertengger pada pipi kirinya. Membelai dengan perlahan, Tania merasakan halusnya kulit wajah Ana yang biasanya hanya bisa ia pandangi diam-diam. Sama sepertinya, Ana merawat kulitnya dengan baik, tetapi kagumnya Tania sekarang menandakan bahwa melihat berbeda dengan menyentuh langsung. Sementara itu, tangan kiri Tania bergerak menyusuri tulang selangka Ana hingga sampai pada dadanya. Mata Tania bahkan belum sempat melirik payudara Ana karena dia masih menikmati lembutnya kulit di leher dan dada temannya. Tanpa disadari, wajah Tania terus bergerak mendekat. Kini tersadar hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari wajah Ana, Tania melirik bibir Ana yang tertutup. Meskipun belum minum, bibir itu masih terlihat berkilau, tanda penggunaan lipgloss yang Tania sudah ketahui. Lalu…. *CUP!* Suara kecupan pendek muncul dari pertemuan bibir mereka berdua. Tidak ada perubahan dari sisi Ana, tetapi Tania dapat merasakan denyut nadinya semakin kencang, bahkan lebih kencang dari ketika ia merekam Ana ketika ia ditelepon. Masih berposisi tepat di depan wajah temannya, Tania kini tidak lagi memusingkan terlalu lama etika dari hal yang akan ia lakukan. “Mmpphh…!” Ciuman Tania sekarang dilakukan lebih lama… dan lebih ceroboh. Lidahnya kini sedang berusaha menerobos bibir Ana yang terus tertutup, meskipun tidak sulit untuk membukanya karena Ana tidak menahannya. “Mmmhh… slurp… Ana….” Ana yang sekarang bersikap submisif tidak menghentikan Tania untuk mencumbuinya dengan hasrat yang tinggi. Tania tidak mencium temannya dengan lembut; tangan kanan Tania menarik kepala Ana dengan kencang, sedangkan tangan kirinya memeluk punggung temannya, seakan Ana akan menghilang apabila Tania melepasnya. “A-Ana, balas ciumanku.” “Ya, Tua— Mmpphhh!” Perintah pertama dilontarkan. Ana sekarang membalas cumbuan Tania. Berbeda dengan Tania yang mencium dirinya dengan penuh semangat, Ana mulai membalasnya dengan kecupan dan gerakan lidah yang tenang dan pelan. Meskipun begitu, boneka hidup itu perlahan mengikuti kecepatan majikan barunya. “Slurp… Mmmm….” Kelebihan Ana dibandingkan Tania memang berada pada parasnya, tapi itu bukan berarti Tania tidak mengidamkan tubuh Ana.

Sambil terus menyerang bibirnya, tangan kiri Tania bergerak dari punggung budak barunya menuju payudaranya. Seperti mimpi, pikirnya, ia dapat membelai dada temannya dengan bebas walaupun masih tertutupi baju. Tetapi tidak lama lagi. “Hahhh… hahhh… Ana, toket kamu…. Mmm… cantik, persis kayak yang aku bayangin….” “…Terima kasih, Tuan.” Tania kini mengetahui kalau Ana dapat menjawab pujiannya dalam mode pasif, tidak hanya menjawab perintah. Ia sempat berpikir untuk mengganti mode hipnotis Ana agar orang yang disukainya itu dapat menjawabnya dengan baik, tetapi jantungnya yang berdetak terburu-buru seperti tidak menghantarkan darah dengan baik ke kepala Tania, sehingga dia sekarang hanya dapat berpikir untuk menurunkan fokusnya ke payudara kanan Ana yang baru saja ia buka dari tanktop dan branya. “Ugh…. Mmm….” Suara desahan kecil muncul dari mulut Ana tepat ketika lidah Tania menyentuh puting payudara merah mudanya itu. Berputar-putar, bergerak mondar-mandir, dan mengitari puncak gunung itu pada areolanya, Tania tidak menyisakan satu titik pun di sana. Sementara itu, tangan kanannya ikut beraksi dengan meremas buah dada kiri Ana dari balik tanktopnya. Beberapa waktu kemudian, Tania berhenti menikmati tubuh teman dekatnya itu dan memperbaiki pakaian dalam Ana. Selain desahan pelan yang seperti tidak sengaja dikeluarkan Ana, ia tidak melakukan apa-apa lagi, dan itu membuat Tania gila. Ada badai di kepala Tania yang membuatnya pusing. Ia ingin sekali Ana dapat menikmati persanggamaan ini dengannya, tetapi ini berarti mengganti mode Ana menjadi mode aktif, dan Tania tidak tahu apa dampaknya apabila Ana melihat Tania pada mode tersebut. Apa Ana tetap akan patuh? Apa dia akan bertingkah layaknya wanita penggoda seperti yang ia lihat ketika Ana ditelepon? Ataukah Ana akan menyadari perbuatan Tania? Tetapi rasa penasaran sedang kuat posisinya di pikiran Tania, sehingga ia memutuskan untuk…. “Ana, ganti mode aktif,” katanya, dan kekakuan tubuh Ana perlahan menghilang. Ekspresi wajahnya yang sebelumnya kosong kini mulai berubah. Apa yang akan muncul di raut mukanya? Heran? Amarah? Damba? Tania hanya dapat duduk di depan wanita yang disukainya dan berharap cemas, kalau Ana yang muncul di hadapannya tidak akan menolaknya. “…Tania,” sebutnya singkat. Dan dengan ucapan Ana itu, seluruh rasa bersalah Tania yang menumpuk tersembunyi di balik hatinya pun runtuh berantakan. “A-Ana… Ana… maaf….” Tania memejamkan matanya dan segera memeluk perempuan di depannya. Posisinya lebih rendah dari Ana; Tania melingkarkan tangannya di pinggang Ana dan kepalanya bersandar pada dada Ana. Air matanya mulai membasahi tubuh tempat ia bersandar. “Maafin aku, Ana…. Hik… hik…. A-aku nggak bisa nahan perasaanku lagi….” Kali ini giliran Tania yang menangis sesenggukan di pelukan temannya yang sekarang entah sedang sadar atau tidak. Emosinya sedang tidak stabil, yang sebenarnya wajar mengingat hal yang ia saksikan baru beberapa waktu yang lalu. Meskipun begitu, Tania tetap sudah melakukan hal yang serupa kepada Ana, dan waktu tidak dapat diputar kembali. Ia bahkan tidak tahu apakah Ana yang sedang ia peluk akan marah, kecewa, atau merasakan apapun sama sekali. Untuk detik ini, Tania yang dipenuhi rasa bersalah hanya dapat meminta maaf saja. Beberapa detik setelah Tania memeluk Ana, ia dapat merasakan sepasang tangan memeluknya kembali. Ana belum mengatakan apa-apa, tapi Tania masih terlalu takut untuk menatap Ana tepat di matanya. Meskipun begitu, Tania tidak merasakan kebencian dari pelukan itu. “…Aku bukan Ana yang kamu kenal, tapi kalau ini membantu…. Ana pasti bakal maafin kamu,” jelas sosok di hadapan Tania. Ketika Tania mengangkat kepalanya, ia melihat Ana sedang tersenyum manis kepadanya. “Halo,” sapa Ana. Tania belum mengerti bagaimana kondisi Ana saat ini, tapi melihat Ana tidak membencinya, ada rasa lega yang muncul di hatinya. Setelah beberapa saat, Tania berhasil menenangkan dirinya sendiri dengan bantuan Ana. “Jadi, kamu bukan bener-bener Ana?” tanya Tania. “Aku kepribadian Ana yang lahir dari hipnotis ini. Ana yang kamu kenal… sedang tidur nyenyak,” jelas Ana. Ini menandakan bahwa Ana yang sebenarnya belum sadar, dan ini masih ‘Ana’ dalam mode aktif hipnotisnya. “…Oke. Apa Ana tahu tentang perbuatanku sekarang?” “Dia bisa tahu kalau ingatannya sekarang nggak dihapus dulu sebelum dia sadar, tapi untuk sekarang…,” jelas Ana, lalu menggelengkan kepalanya. Lagi, Tania merasa sedikit lebih lega. “Apa kamu masih patuh sama orang yang pertama ngehipnotis kamu?” “Aku patuh kepada orang yang memicu hipnotisku, jadi untuk sekarang, aku nggak sedang mematuhi dia,” jelas Ana. Mendengar ini, Tania menemukan cara untuknya melepaskan Ana dari pengaruh orang itu. “Ja-jadi siapa orang itu? Yang pertama ngehipnotis kamu? A-apa kamu bisa beritahu aku?” “Dia nggak pernah kasih tahu aku namanya, meskipun aku tahu rupanya. Nomornya di-save di HP-ku sih, jadi kamu bisa cari tahu sendiri di lingkungan kalian.” “Fiuh…. Untunglah… untunglah….” ujar Tania, kepalanya ditundukkan dan disandarkan kembali ke dada Ana. Tania amat senang dapat mengambil langkah selanjutnya untuk membantu Ana, sekaligus, mungkin, membayar atas perbuatan buruknya terhadap temannya sendiri tadi. “Senang bisa membantu,” komentar Ana. Tania tidak merasakan ketulusan dari ucapan itu, tetapi tidak pula dengan sarkasme. Ia tidak dapat mengetahui apa yang ada di pikiran ‘Ana’ yang sekarang. “Oh, kamu nggak apa-apa bantu aku? Aku bakal cari orang itu sampai ketemu, sampai dia nggak bisa pengaruhin kamu lagi!” jelas Tania. “Aku udah bilang, aku sekarang nggak sedang mematuhi dia. Lagipula, pemicu hipnotisku masih ada, jadi walaupun dia ditangkap…,” jawab Ana, sambil menggesturkan tangannya ke Tania. Ia menunjukkan kalau Tania masih dapat membawa Ana ke bawah pengaruhnya kapan saja. “Aahhh, nggak, nggak, nggak. Aku udah janji ke diriku sendiri, nggak akan lagi—” Itu yang sedang dikatakan Tania sambil berusaha menjauh dari Ana, tetapi…. “Yakin, Tania?” tanya Ana. Sekarang kedua tangannya memegang leher dan pundak Tania, menahannya di tempat. Rasa takut beserta hal lainnya mulai menyelimuti Tania. “Masih ingat tingkah lakuku waktu aku ditelepon? Aku langsung menggoda ‘dia’, kayak yang biasa aku lakukan. Sifat itu yang diminta dariku. Sampai sekarang. Aku cuma menenangkan kamu karena aku rasa kamu perlu bantuan tadi, tapi aku tetap sama: seorang penggoda. Selagi aku di sini, kenapa nggak kita sekalian…?” kata Ana, bagian terakhir perkataannya ditandai dengan nada dan gerakan alis mata yang sugestif. “A-aku nggak bisa. Kamu bahkan bukan Ana yang beneran—” *CUP!* “Apa ciuman itu nggak kerasa seperti Ana yang asli? Aku masih Ana, Tania. Dan Ana akan dengan senang hati mengikuti apa mau kamu,” ujar Ana, mencoba meyakinkan Tania. Ciuman itu berhasil mengkorsletkan pikiran Tania, karena sekarang dia belum dapat mengatakan apa-apa. “Kamu masih berkuasa atasku. Beri aja aku perintah….” “A-aku nggak bisa maksa Ana untuk cinta aku….” “Kalau kamu bisa bikin Ana bahagia mencintai kamu, kenapa nggak?” Pertanyaan Ana membuat Tania menyadari adanya kesempatan emas itu. Kalau dia memberi perintah kepada Ana untuk mencintainya, Ana pun akan dengan sepenuh hati mencintai Tania. Perintahnya mungkin rekayasa, tetapi perasaan mereka berdua tidak. Itu ide yang bodoh, pikir Tania. Bodoh, tetapi… apa Ana akan pernah membalas rasa cintanya tanpa itu? Tania yang tidak dapat menjawab lagi membuat Ana tersenyum. Ia lalu menarik kepala Tania mendekat, dan berbisik di telinganya. “Aku bakal melakukan… apa aja untukmu. Jadi, beri aku perintah… Tuan.” ‘Tuan’. Sebuah kata sapaan yang biasanya digunakan untuk laki-laki, tetapi dapat berarti ‘majikan’ yang tidak diasosiasikan dengan gender, dan kata sapaan terhadap perempuan bangsawan atau yang memiliki derajat lebih tinggi. Lebih penting lagi, kata itu seolah menyalakan kembali gairah birahi yang sempat teredam dalam diri Tania. Seperti yang terlihat dari reaksi Tania pada waktu telepon sebelumnya, Tania tidak hanya jatuh cinta kepada Ana; ia juga terangsang dari pemandangan Ana yang terhipnotis, menyenangkan dirinya sendiri dan mematuhi perintah tuannya tanpa sadar. Kalau dirinya dapat dicintai dan dipatuhi oleh dua sisi yang berbeda dari Ana…. “A-Ana….” …kenapa tidak? “…T-tolong… cintai— B-bukan…. B-bercintalah denganku malam ini….” Hidung mereka sudah saling menempel pada detik ini. Bersandar di sisi tempat tidur, Ana seakan menarik tali yang entah kapan ia ikatkan pada hati Tania. “Ya… Tuan— Mmmhhh….” Sepasang bibir itu menyatu kembali. Tania kali ini mencumbui wanita pujaan hatinya dengan gerak yang perlahan, seolah-olah waktu di dunia berhenti untuk mengakomodasi hubungan mereka malam ini. Sekali kecup, dua kali, ketiga kalinya dengan lidah. Pada malam itu, di mata Tania, Ana tampak bersinar lebih terang daripada bulan yang mengintip dosa yang mereka buat dari balik tirai jendela. “Mmm… slurp…. T-Tuan….” Tania mendadak menghentikan ciumannya, kemudian berdiri. Tangannya memegang pinggang Ana. Baru mengerti apa yang diinginkan tuannya, Ana lalu berdiri dan berpindah tempat duduk ke atas tempat tidur, lalu diikuti oleh Tania di atasnya. “Suka yang Anda lihat, Tuan?” Kata-katanya yang formal secara disengaja membuat Tania bergidik. Pertanyaan Ana tepat sasaran—Sebagai salah satu mahasiswi paling populer, hanya sedikit yang dapat mengalahkan Ana pada bidang kecantikan wajahnya. Tidak sulit untuk membuat para pria jatuh hati padanya, bahkan Tania pun mengaguminya. “Ana… kamu cantik banget….” Hidung yang mancung, bibir yang tebal, kulit yang halus, bulu mata yang lentik, dan rambut lembut juga panjang. Dengan kepribadian Ana yang ini, seluruh kelebihan fisik itu mempengaruhi logika Tania tiga kali lebih kuat dengan senyumnya yang nakal dan mata yang mengundang. “Hihi…. Kalau gitu, coba aku buat lebih sulit.” Ana mengambil remote AC yang berada di dekatnya dan melemparkannya ke saklar lampu. Terang lampu kamar menjauhi perbuatan mereka yang lebih tepat dilakukan dalam kegelapan. Pada kala itu, sulitnya mengenali fitur wajah Ana karena ruangan yang tiba-tiba gelap membuat matanya bergerak ke arah yang lain: tubuh Ana yang sedang terlentang. Tanktop yang sekarang sudah mulai berantakan lagi, hotpants yang tidak lagi menutupi celana dalam merah mudanya, dan tangan-kakinya yang tidak bergerak di hadapan Tania seakan berteriak, ‘setubuhi aku.’ “Mmmpphhh!” Suara desahan yang cenderung menggambarkan rasa kaget keluar dari mulut Ana ketika Tania tiba-tiba menghisap lehernya, kemudian bergerak turun perlahan menuju lembah di dadanya. “Aaahhh… T-Tuan….” Tali tanktop dan BH Ana kini sudah diturunkan setengah melalui lengannya, dan Tania kini dapat melihat kedua payudara Ana. Tania memiliki kelebihan pada daya tarik tubuhnya dibandingkan dengan Ana, dengan payudara serta pantat yang lebih montok, tetapi kemilikan Ana yang berukuran B-cup itu tidak gagal mempercepat detak jantung Tania. “A-aaahhh…!” “Mmm… slurp….” Lidah Tania, seperti sebelumnya ketika Ana masih berada dalam mode pasif, menikmati kembali puting Ana, kali ini yang kiri. Tidak ingin memberi kendor, lidahnya terus memutari areola pink itu, hingga Ana sang penggoda tidak dapat berhenti bersuara. “Hahhh… hahhh…. Ana, ini rasanya kayak mimpi….” “Mmmhh…. Kalau begitu terus bermimpi, Tuan. Aku nggak akan membangunkan Anda.” Jari-jemari Tania bergerak menyusuri belahan dada Ana melewati solar plexus-nya, lipatan tanktop dan BH-nya yang sudah diturunkan tadi, hingga karet celananya. “…Bantu aku lepas celana kamu, Ana.” “Ya, Tuan.” Ana mengangkat bokongnya dari tempat tidur, memudahkan Tania untuk menurunkan hotpants sekaligus celana dalam Ana. “…Wow….” Entah untuk diri sendiri atau diperintah orang lain seperti penelepon misterius itu, rambut kemaluan Ana telah dicukur habis. Dari bawahnya, aroma cairan kemaluannya menusuk hidung Tania, yang justru membuat nafsunya semakin tinggi. “…Tuan?” “E-eh? Oh, maaf.” Tania merasa seperti dirinya terkena hipnotis juga, ketika ia melihat vagina wanita di hadapannya. Dengan labia minora yang sudah terlihat dan sangat basah, Tania tidak dapat melepaskan konsentrasinya dari sana. Setelah disadarkan oleh Ana…. “Aaaahhhh! T-Tuan….” Tania segera melahap liang kenikmatan Ana. Rasa cairan yang terus keluar dari kemaluan Ana itu seperti manis di lidah Tania, membuatnya semakin lapar akan tubuh budak barunya. “Mmmhh… slurp… slurp….” Tubuh Ana menggelinjang kuat. Kakinya perlu dipaksa untuk terus terbuka agar tidak mengganggu majikannya, sedangkan tangan Ana memuaskan dirinya sendiri pada kedua puncak buah dadanya. Ia ingin menekan kepala Tania untuk membuat lidahnya terus ke dalam, tetapi dia tidak bisa melakukan itu kepada tuannya. “Aahhh…! Tuannn! Ya, di sana— Aaaahhhh!” Tania dengan mudah menemukan G-spot Ana. Selain karena sudah melihatnya sendiri ketika Ana ditelepon, seorang wanita tentunya juga dapat menemukannya lebih mudah dari pria. Sekarang, Tania sedang berfokus untuk membuat Ana sampai ke puncak kenikmatan. Ia tidak ingin kalah dengan si penelepon tadi, yang sudah berkali-kali menikmati tubuh Ana tanpa diketahuinya. “Ugh…! Tu-Tuan…. Sebentar lagi… aku….!” Walaupun Ana belum membalas jasa Tania sejauh ini, tiap erangan Ana yang masuk melalui telinganya sudah cukup menahan gairah Tania tetap tinggi. Dan sebentar lagi, mungkin Ana baru akan bisa membalasnya. “Aaaaaaaaaahhhhh!!” Tubuh Ana terangkat tinggi ketika ia berteriak. Punggungnya melengkung ke atas secara spontan setelah Tania mengeluarkan serangan pamungkasnya.

Ketika Tania merangkak maju untuk melihat sasarannya, Ana belum berhenti menggelinjang dan terengah-engah. “Hahhh… hahhh…. T-Tuan, mungkin peran kita terbalik… haha….” Mereka berdua tersenyum ketika wajah mereka bertemu kembali. Beberapa waktu menghabisi liang senggama Ana membuat Tania sudah tidak lagi merasa takut atau bersalah. “Kalau gitu, ayo kita gantian. Ana, ambil kendali.” Mendengar perintah itu, Ana tiba-tiba mendorong Tania dan memutarkan badannya. Ia kini berada di atas, melihat lawan mainnya terbaring di posisi Ana sebelumnya, terkejut dan terangsang sekaligus dengan gerakannya yang cepat. “Ya… Tania.” Tengkuk Tania merinding mendengar Ana menyebutnya dengan namanya lagi. Nafsunya terdorong tinggi dengan rasa setengah takut, setengah penasaran akan apa yang akan dilakukan terhadapnya. “…Hufft!” Ana menarik tanktop dan BH-nya yang sedari tadi terjebak melingkari perutnya. Tania memperhatikan gerakan tubuhnya tanpa henti sementara ia terlentang kini; siluet hitam tubuh wanita dalam kegelapan itu dilihatnya, ketika Ana meluruskan lengannya ke atas untuk melepaskan dan melempar pakaiannya entah ke mana dan berpose untuk sang majikan. Pada siluet tubuh wanita yang tampak seperti tes Rorschach itu, Tania seperti melihat wujud seorang malaikat walaupun ia tahu noda tinta di hadapannya adalah setan penggoda. “Hm.” Ana bergumam dalam posisi merayap di atas tubuh Tania seperti bersiap memangsa, sambil mencubit bagian kaus ‘korban’-nya dengan ibu jari dan telunjuk kanannya, lalu berbicara, “Aku telanjang tapi kamu masih berpakaian lengkap. Ini nggak adil.” Ia mengangkat baju lengan pendek Tania, perlahan, dari sisi bawah. Jari-jemarinya disengaja agar menyentuh kulit Tania, menggelitiknya. “Aa-ahhh….” Tania mengangkat badan atasnya agar kausnya mudah terlepas. Setelah itu, kedua tangannya tetap dibiarkan lurus ke arah atas tubuhnya, pasrah. Kini bergantian, Ana memperhatikan tubuh Tania yang sudah terbuka. Tania memiliki payudara C-cup, sedikit lebih besar daripada Ana, tetapi memiliki lekuk pinggang yang tidak lebih lebar. Dengan bokong yang berisi, yang Ana sekarang lihat adalah figur macam gitar spanyol, hanya tertutupi bra dan celana pendeknya. Rambut gaya bob Tania tidak membantu menutupi kenampakan moleknya sendiri. “Kamu tahu kalau Ana selalu kagum dengan cantiknya kamu?” tanya Ana, yang kali ini justru membuat detak jantung Tania seperti berhenti sejenak. Ana kemudian mencium dadanya yang tidak tertutup bra untuk membuat jantung itu bekerja kembali. “Aaahhh… A-Ana?” “Mhm,” jawab Ana mengiakan. Ciumannya berubah menjadi jilatan yang kemudian bergerak ke atas, menuju leher, dagu, dan akhirnya sampai ke bibir Tania. “Mmmmhhh….” Memulai dengan pacu yang lambat, Ana menghisap dan menggigit bibir Tania, satu bagian demi satu bagian. “Hhnnnn….” Inferior labium. “Nnnnhhh… Ana….” Tepi kanan bibir. “Hahhh… hahhh….” Superior labium, Cupid’s Bow. “A-Ana— Nnnnhhh…!” Dan masuk ke dalam. Lidah Ana mencabuli rongga mulut Tania. Bahkan baru menyadari kalau bagian dalam mulutnya merupakan bagian sensitif, Tania tidak dapat fokus melawan gerakan lidah Ana dan hanya dapat menerima serangan itu. Ana dapat melihat mata Tania sedikit berputar ke belakang membuat ekspresi ahegao secara tidak sengaja karena kewalahan. “Ana… aku… Nnnnnggggg…!” Tania orgasme, hanya dari permainan lidah Ana di mulutnya. Ia tidak pernah merasa semalu itu, tetapi ia tidak bisa mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya dari Ana. Setelah puas mendengar erangan Tania, penyerangnya itu mengeluarkan lidahnya dari mulut Tania dan menciumi bibir Tania seperti normal. Tania yang sudah kembali sadar membalas cumbuan Ana dengan semangat yang baru saja tumbuh. Tetapi tekad Tania untuk membalas Ana itu tidak bertahan lama. “Aa-aaahhh! A… naaa….” Tubuh Tania gemetaran lagi ketika kedua tangan Ana merangsang dua mahkota payudaranya. Bak memainkan joystick, kedua ibu jari Ana memutar-mutarkan puting susu tuannya, sesekali memilinnya dengan ibu jari dan telunjuk. “Mmmmhhh…. An— Ahhh!” Seperti yang baru saja ia lakukan, Ana juga sesekali mencubitnya. Campuran rasa sakit dan geli di puncak buah dadanya membuat pikiran Tania melayang-layang di udara, tidak dapat mencengkeram fokusnya pada apapun. Ana melepaskan ciumannya pada bibir Tania, tetapi lanjut menciumi majikannya dari dagu menuju leher. Selagi ia mencium dan menggigit leher kiri Tania, tangan kirinya turun dari payudara kanan Tania ke arah bawah. Kuku panjangnya terus menyentuh kulit temannya agar momentum mereka tidak terhenti. “Ughhh…. Ahh…. Ana, terusss….” Tangan kiri Ana telah sampai pada bagian atas celana pendek Tania. Setelah memberi tanda pada perempuan di bawahnya itu untuk mengangkat bokongnya, Ana menarik celana Tania dengan tenaga yang kuat, hingga dengan sekejap celana dan celana dalamnya terlepas lewat kakinya. “Ah!” teriak Tania kaget. Dalam posisi duduk di atas paha Tania, Ana seang memperhatikan daerah kemaluan tuannya yang baru saja terbebas dari penjaranya. Tania tidak suka rambutnya di bawah sana terlalu panjang, sehingga ia biasa mencukurnya pendek. Malam ini, Ana melihat secara langsung debut kepemilikan istimewa Tania dengan segala gemerlapnya. Jembut pendek yang dipotong rapi berbentuk segitiga terbalik, bukaan berbentuk garis vertikal yang basah kuyup, dan harum lembap nan unik. Ana melihatnya sambil membelai wilayah kehormatan Tania dengan satu jari telunjuknya. Tania mungkin mengira kalau ‘Ana’ yang sedang berada di atas tubuhnya hanya memiliki perasaan berupa nafsu yang tinggi, tetapi diam-diam Ana benar-benar sedang mengagumi kenampakan di hadapannya. “A-Ana…. Ja-jangan dilihat gitu….” Ketika Ana sadar, dia melihat ke atas dan menemukan Tania dengan ekspresi malu di mukanya. Kepalanya dibuang ke arah samping dan matanya menolak menemui sorot mata Ana. Melihat Tania yang tersipu tiba-tiba membuat Ana merasakan suatu perasaan selain birahi. Kali ini, jantung Ana yang berhenti sekali detak. Menyadarinya, Ana lalu tertawa. “Oh, ahahahaha!” Ia menjatuhkan badannya dan menahannya dengan tangan tepat sebelum wajahnya bertabrakan dengan wajah Tania. “Ehh! Ke-kenapa?” tanya Tania, kali ini ia melihat Ana secara langsung karena terkejut. “Nggak apa-apa. Hanya ganti rencana,” jelas Ana, lalu berlanjut, “Muka malu kamu bikin aku gemes.” Mendengar komentar itu, Tania semakin tersipu dan kembali memalingkan wajahnya. “Aku tadinya mau ambil posisi 69, maksa kamu kasih aku BJ lagi kayak tadi, tapi… aku sekarang lebih tertarik fingering aja. Boleh?” jelas Ana secara terus terang. Rasa malu yang tidak muncul pada ekspresi Ana berpindah secara mental ke Tania, tetapi ia menguatkan diri untuk melirik ke arah mata wanita di depannya. “Emmhhh…. Bo-boleh, Ana…,” jawab Tania. Dengan izin itu, tangan kiri Ana kembali bergerak ke bawah. Dengan cepat, tangannya sampai ke liang kenikmatan Tania dan mulai menggosok-gosok bagian luarnya. “Aaa… ahhhh…. Ana….” Tania merasa canggung. Meskipun jari-jari di tangan kiri Ana mulai menyenangkan dirinya lagi, Ana masih memperhatikan wajahnya. Tangan kanan Ana menumpu badannya sendiri, tepat di sebelah kiri kepala Tania. “Aku nggak tahu kenapa… tapi aku mau lihat mukamu,” bisik Ana. Tania ingin menyembunyikan wajahnya lagi tetapi tidak bisa, dengan jarak bola mata Ana yang begitu dekat. Lagipula, di antara itu dan gerakan jari Ana pada kewanitaannya, Tania tetap ingin menikmati momen ini semaksimal mungkin. “Nnnngggghhh…. T-terus, Ana….” Gerakan jari Ana bertamasya di daerah pribadi Tania. Telunjuknya menyusuri panjang bibir vagina dari depan ke belakang. Lalu dari belakang ke depan. Sesekali ia melakukan gerakan horizontal untuk meningkatkan rangsangannya kepada Tania. “Ughhhh…! Mmmhhh…!” Dan Ana masih terus melihat wajah Tania. Untuk mengurangi kecanggungan dan meningkatkan rangsangan, Tania sudah memejamkan matanya dari tadi, tetapi Ana terus menatap wajahnya dengan beraneka macam ekspresi Tania yang muncul seraya ia memuaskannya. Tersipu malu, merintih, menggigit bibir. Ia seperti terserap ke dalamnya, seakan terhipnotis tetapi bukan jenis yang melandanya melalui orang misterius itu. Tanpa sadar… *CUP!* “…Ana?” …Ana mencium bibir Tania lagi. Pacunya tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Meskipun dengan tambahan rangsangan dari permainan jari Ana, Tania masih bisa membalas ciuman dan gerakan lidah budaknya. “Mmmmhhhh….” Beberapa saat kemudian, Ana mengubah gerakan jarinya. Dari hanya menyentuh permukaan, telunjuk dan jari tengahnya kini bergerak keluar-masuk liang kenikmatan Tania. Beberapa kali, ia juga menggesekkan jarinya ke klitoris Tania yang berada hanya sedikit di dalam. “Mmmmm…! Terus, Ana… j-jangan berhenti!” ujar Tania dalam celah kecil ketika bibir mereka sedang terpisah. Gerakan jari Ana yang kadang-cepat-kadang-lambat seolah-olah mengantarkan Tania sedikit lebih dekat ke surga, lalu ditarik lagi ke bawah. “Mmmm…. Puah! Hahhh… hahhh…!” Ana melepaskan ciumannya yang lama dan kembali memperhatikan wajah Tania dengan nafas yang terengah-engah. Ia tidak sama sekali mendingin meskipun hanya Tania yang sedang diberi servis kali ini, seperti dia puas hanya dari ciuman di antara mereka berdua dan dari menatap Tania. “A… A-Ana…! Terus…! Terus! Ya, sebentar lagiii!” Tania merasakan dirinya tidak dapat menahannya lagi, lalu… “Aaaaaahhhh! …Hahhhh… hahhhh….” Itu kali kedua Tania orgasme malam ini. Dibanjiri banyak emosi seperti hasrat yang kini kian menurun, bahagia, rasa bersalah, pegal-pegal, dan sebagainya, ia sekarang merebahkan diri di atas tempat tidur, terkapar tidak bergerak. Bersama Ana di pelukannya. “Ana, aku… a-aku….” Nafas Tania yang masih habis mengganggu bicaranya, tetapi ia masih ingin mengucapkannya. Tania hanya melihat ke atas sementara Ana melihat mukanya dari samping. “…Aku cinta kamu.” “…Ha?” Mendengar suara seperti itu, Tania yang baru saja menceploskan kata-kata itu melihat ke samping. Di sana, Ana melihatnya dengan wajah heran dan mata yang berlinang air mata. “Ana? Kenapa?” “A-aahhh…. Aku nggak tahu, tiba-tiba aku ngerasa…. Hahaha. Tania— ah, Tuan… kayaknya perasaan Ana berhasil keluar…,” kata Ana, tangannya menyeka air matanya. “Hah?” Tania tidak mengerti apa yang dimaksud Ana. Apa ‘Ana’ yang sebenarnya telah sadar? Atau apa yang di hadapannya sekarang ‘Ana’ yang asli? Mulut Tania menganga. “Aku— Saya nggak pernah kayak gini dengan orang di telepon…. Saya bisa ngerasain perasaan Ana, kayak emosi kami tercampur. Tuan, aku rasa Ana bahagia dengar Anda bilang itu— Nggak, aku sendiri juga senang….” jelas Ana. Suaranya semakin terdengar tidak jelas karena tangisnya mulai keras. “Tuan… Tania, hiks…. Ana… a-aku juga… cinta kamu….” Ana memeluk Tania erat, wajahnya dibenamkan di dadanya. Sementara Ana menangis, Tania masih syok dengan informasi yang didapatnya. ‘Ana’ yang asli bahagia? Apakah Ana sadar selama dia dihipnotis olehnya? Apa ini berarti Ana juga jatuh cinta dengan Tania diam-diam? Tania hanya dapat membalas pelukan Ana sambil menenangkannya, sedikit berharap akan ada gilirannya untuk menangis. Ia merasakan air mengalir di dadanya. Rasanya hangat. Beberapa menit kemudian, tangis Ana lambat laun berhenti, dan kepalanya pun diangkat lagi menghadap Tania. Mereka berdua sekarang sedang rebahan di samping masing-masing, tubuh bagian atas ditumpu tangan, dan kepala berhadapan. Hanya setengah badan mereka ditutupi selimut, sehingga lekuk tubuh keduanya masih bisa dilihat dengan bantuan cahaya bulan yang masih mengintip mereka sedari tadi. “Aku… aku nggak tahu apa sekarang Ana sadar atau nggak, tapi aku tahu perasaannya. Dia seneng dengar kamu bilang kamu cinta dia,” jelas Tania. “Ja-jadi aku harus apa? Apa aku perlu buat kamu lupa setelah aku angkat hipnotis kamu? Untuk memastikan Ana tetep nggak sadar?” “Keputusannya ada di tangan kamu, tapi… mungkin sebaiknya nggak usah buat dia lupa tentang ini semua. Atau… buat dia lupa kalau kamu ngehipnotis dia aja, tapi biarin dia tetep inget kalau kalian berdua saling mencintai.” ‘Saling mencintai.’ Mendengar frasa itu membuat Tania menelan ludahnya. “Jadi, apa yang akan kamu— Tuan—pilih?” tanya Ana. Tania berpikir keras, kali ini tidak hanya dengan kemaluannya tetapi juga dengan otak dan hatinya. Membiarkan Ana yang sebenarnya mengingat semua ini mengundang masalah. Apabila Ana dibuat ingat tentang semuanya, termasuk dihipnotis oleh temannya sendiri, kemungkinan besar akan membuatnya dibenci karena memanfaatkan tubuhnya. Tetapi kalau Ana dibuat lupa, lalu untuk apa perkembangan hubungan antara mereka berdua tadi? Pilihan yang dapat membuat Tania bahagia tetapi tetap relatif aman adalah membuat Ana ingat tentang hubungan baru mereka berdua, tetapi membuatnya lupa kalau ia dihipnotis oleh Tania. Itu pilihan paling logis. “A-Ana….” Tapi berpikir logis bukan keahlian Tania. “Aku mau… ‘Ana’ ingat semuanya. Termasuk tentang aku yang ngehipnotis dia. Kamu.” Ana hanya mengangguk mendengar tuannya mengatakan itu. Tania sudah tenggelam dalam lautan perasaan bersalah; satu-satunya cara agar dia bisa kembali bernafas adalah hanya dengan menguras rasa bersalah itu pergi… dengan menghadapi konsekuensi perbuatannya. Dipimpin oleh Ana, mereka berdua berhenti menopang tubuh bagian atas mereka dan merebahkan diri, menghadap satu sama lain. Ana menganggukkan kepalanya kepada Tania. “Dalam hitungan ketiga, kamu bakal sadar lagi, Ana.” Tania meneguk ludahnya. “Satu….” Ana memejamkan matanya. “Dua….” Tanpa sadar, mereka berdua berpegangan tangan di balik selimut. Entah siapa yang memulainya. “T-tiga.” Mata Ana terbuka perlahan. “Mmm…?” Suara yang menggesturkan rasa heran itu keluar dari bibir Ana. Beberapa saat yang singkat ini tidak ada masalah, tetapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Ana mengernyitkan alis matanya kepada Tania dan mengeritkan giginya. Air mata mulai mengalir kembali dari matanya. “Urk… nngghhh…!” erang Ana dengan suara pelan. Itu merupakan tanda marah yang klasik, tetapi ada perbedaan dengan yang biasa. Ekspresi Ana lebih condong terlihat bingung karena memiliki perasaan-perasaan yang saling bertentangan. Rasa takut mendominasi hati Tania, tetapi ia hanya bisa menerima apapun yang akan dikatakan Ana. “A-Ana… a-aku— Mmpphh!” Tepat saat Tania ingin mengucapkan permohonan ampunnya, Ana tiba-tiba melompat mendekat dan menyerang bibir temannya. Ciuman itu jauh lebih ceroboh daripada yang telah lalu; sambil menahan kepala Tania dengan satu tangan yang bebas, lidah Ana membasahi seluruh bibir Tania demi memasuki rongga mulutnya. Permainan bibir kali ini memang tidak cukup presisi untuk membuat Tania terangsang karena sensitivitas mulutnya, dan ia pun masih keheranan dengan tingkah laku Ana yang tampak tidak logis, tetapi ia bukan tidak tertarik dengan perkembangan ini. Setelah beberapa saat kaku terdiam, akhirnya Tania membalas Ana dengan ciumannya sendiri. “Mmmhhh… Ana….” Mereka saling beradu lidah selama beberapa belas detik. Barulah setelah itu, Ana melepaskan bibirnya dari Tania dan membenamkan kepalanya di atas dada Tania. “Hiks… hiks….” “Ana, kamu… kamu nggak marah sama aku?” “Aku… aku nggak tahu apa yang aku rasain sekarang…,” jawab Ana. “Aku ngerasa takut sama suara di telepon itu. Aku masih ngerasa… ‘panas,’ karena semua yang tadi. Aku marah sama kamu yang udah ngambil kesempatan, tapi… tapi aku nggak yakin aku bakal nerima perasaanku sendiri kalau kamu nggak ngambil kesempatan itu.” Jari-jari tangan Ana mencakar sedikit dada Tania yang berada tepat di hadapannya. Wajahnya masih berada dalam benaman, disembunyikan dari mata Tania seakan ada yang ia tahan darinya. “K-kamu udah dengar kata ‘Ana’ yang satu lagi, kan? Tentang… perasaanku…?” tanya Ana dengan suara yang pelan. Sudah mendengar kabar tersebut dari ‘Ana’ yang satu lagi tidak membuat Tania dapat mencerna informasi itu dengan lancar. Ia masih tidak dapat mempercayai apa yang didengarnya. “U-ugh…!” Tania menahan harunya. Ana kini mengangkat kepalanya sehingga Tania dapat melihat wajahnya, meskipun masih dipalingkan. “A-aku juga cinta kamu, Ana…,” kata Tania, memastikan perasaannya kepada Ana dan dirinya sendiri. “Aku serius, jadi… t-tolong maafin aku.” “…awab…,” jawab Ana dengan suara yang sangat pelan. “A-apa?” “…A-asal kamu tanggung jawab. Temani aku terus, baru mungkin nanti… bertahun-tahun lagi… aku bakal maafin kamu,” ulang Ana dengan suara yang lebih keras. Ekspresi wajahnya yang malu-malu itu 180o dari ekspresi nakal ‘Ana’ yang lain, dan gap itu nyaris membuat Tania terangsang kembali kalau bukan karena perasaan gembira dan lega karena temannya mau memaafkannya. “I-i-iya, aku bakal temenin kamu selamanya… k-kalau kamu mau,” jawab Tania. Kedua tangannya kini mendekap tubuh Ana di bawah lapisan selimut itu. Paling tidak selama beberapa saat saja…. “Ana, kamu ngapai— A-aww!” …Karena sekarang Ana sedang menggigit payudara kiri Tania, sedikit di atas putingnya. Tania belum melihatnya, tetapi ketika gigitan Ana dilepas, tampak tanda kepemilikan baru di sana. Lidah Ana membasahi bagian itu setelahnya. “A-aahhh….” “Aku nggak bisa beri kamu cincin, t-tapi… buat sekarang, itu pengingat janji kamu tadi,” jelas Ana. Mendengar penjelasan yang buruk itu, Tania tidak dapat menahan rasa heran dan tawanya. “Hah? Ahahaha!” “…Pfft….” Ana pun ikut tertawa dengannya. Tidak lama, mereka tertidur hingga pagi yang tiba tidak terlalu lama kemudian.
***​
“Cuy, lihat tuh! Duo ratu jurusan lewat!” “Ugh, bikin iri deh, kulit mereka….” “Elu tahu mereka berapaan harganya nggak? …Ya gua juga nggak tau mereka buka jasa apa nggak, tapi siapa tahu aja….” Hari itu merupakan hari Senin yang biasa bagi orang lain yang sedang memandangi dua sosok perempuan paling populer di jurusan mereka, tetapi bagi kedua perempuan tersebut—Ana dan Tania—hari itu adalah hari selesainya masalah terbaru mereka berdua. Setelah kejadian malam itu, mereka melaporkan video Ana yang Tania rekam dan hipnotis sungguhannya kepada dosen (wanita, tentu saja) untuk membantu menemukan ‘suara di telepon.’ Setelah beberapa waktu dan tahapan yang di dalamnya terdiri atas penguntitan dan penjebakan, mereka berhasil menangkap ‘suara’ itu, seorang mahasiswa di jurusan mereka sendiri. Karena permasalahan hipnotis sulit diperkarakan, kasus itu diselesaikan secara tertutup. Untungnya, orang itu berhasil dikeluarkan dari universitas dan dihukum… secara diam-diam. Kini, mereka berdua hanya ingin menikmati kebebasan mereka. “Hei, kamu denger komentar mereka? Ada yang bilang kita ayam kampus, haha,” ujar Ana. Mereka sedang berjalan melewati lorong gedung fakultas mereka untuk pulang ke apartemen Ana. Kini mereka tinggal bersama di sana. Untungnya, orangtua mereka tidak curiga apabila teman sekamar mereka adalah sesama perempuan. “Mmm, kalau kamu mau, kamu bisa bayar aku buat ngelayanin kamu,” jawab Tania, balas menggoda. “Bayar? Hah, kamu tahu kamu selalu bisa perintahin aku kapan aja, kan… Tuan?” Tania menelan ludahnya mendengar Ana menyebut dirinya dengan panggilan itu lagi. Meskipun pengalamannya dihipnotis orang yang tidak diinginkan dapat dikatakan traumatis, entah apa alasannya, Ana menyukai dikendalikan oleh pasangannya itu. Ia sudah memberi tahu ini kepada Tania beberapa hari sebelumnya, bahwa dihipnotis membuatnya terangsang, dan Tania diam-diam kegirangan walau kerap memastikan bahwa Ana tidak apa-apa dihipnotis kembali olehnya. “Ugh… kamu pinter banget godain aku, rasanya sifat-sifat ‘Ana’ yang lain bocor ke kamu…,” komentar Tania. “Hehe, mungkin…? Nggak apa-apa, kan? Kamu tetap suka aku, kan?” tanya Ana. Kedua tangannya merangkul lengan pasangannya yang sedang berjalan di sampingnya itu. “…Ya, aku cinta kamu.”
TAMAT​